Anda di halaman 1dari 18

KHAURA BARABA

1102019107

1. Autoimun
1.1 definisi
Autoimunitas didefinisikan sebagai respons imun terhadap antigen diri (autogous).
Autoimunitas adalah respon imun tubuh terhadap antigen diri yang di sebabkan oleh
autoantibodi terhadap antigen diri atau sel T autoreaktif terhadap antigen diri.
1.2 etiologi
 Faktor Genetik
Jika penyakit autoimun mengenai salah satu dari saudara kembar, maka penyakit yang sama
kemungkinan lebih besar mengenai saudara kembarnya daripada anggota populasi umum yang
tidak berhubungan.
Banyak penyakit autoimun pada hewan peliharaan dan manusia yang dikaitkan dengan alel
MHC tertentu. Hubungan antara sel human leukocyte antigen (HLA) dan penyakit autoimun pada
manusia ditemukan beberapa tahun yang lalu dan merupakan salah satu indikasi pertama bahwa
sel T memainkan peranan penting pada kelainan ini (karena satu satunya fungsi molekul MHC
yang diketahui adalah menyajikan antigen peptida kepada sel T)
 Faktor Lingkungan
Infeksi dapat mengaktifkan limfosit autoreaktif, sehingga memicu timbulnya penyakit
autoimun.
Respon imun alami terhadap infeksi dapat mengubah struktur kimia autoantigen. Sebagai
contoh, beberapa jenis infeksi periodontal dikaitkan dengan artritis reumatoid. Dikaitkan bahwa
respon inflamasi akut dan kronik terhadap berbagai bakteri tersebut menyebabkan konversi
enzimatik arginin menjadi sitrulin pada protein diri, dan protein tersitrulinasi ini dikenali sebagai
asing dan memicu timbulnya respon imun adaptif
 Faktor Hormon
Wanita menunjukan kecenderungan menderita penyakit autoimun dibanding pria. Wanita
pada umumnya juga memproduksi lebih banyak antibody dibanding pria yang biasanya
merupakan respons proinflamasi Th1. Hormon esteregon diduga sebagai salah satu penyebab
penyakit auto imun, saat wanita hamil, hormon prolaktin bekerja dan menunjukan efek
imunostimulasi terutama terhadap sel .
1.3 klasifikasi
Penyakit autoimun menurut organ :
a. Penyakit autoimun non-organ spesifik
Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibody terhadap
autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada penyakit autoimun yang
non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang diendapkan pada dinding
pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan kerusakan. Yang termasuk
penyakit autoimun sistemik:
- Ankylosing sponkylitis
- Multiple sclerosis
- Rheumatoid artritis
- Scleroderma
- Systemic lupus erythematosus
b. Penyakit autoimun organ spesifik
Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi
sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas. Yang termasuk penyakit
autoimun spesifik :
- Tiroiditis Hashimoto
- Tirotoksikosis
- Anemia pernisiosa
- Gastritis atrofi autoimun
- Penyakit Addison

1.4 patofisiologi
dasar patofisiologi penyakit kompleks imun adalah reaksi Hipersinsitifitas III menurut Gell
dan Comb. Reaksi yang terjadi disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-
antibodi ditemukan dalam jaringan / sirkulasi / dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen. Biasanya antibodi berupa IgG dan IgM yang mengaktifkan komplemen melalui jalur
klasik,sedangkan IgA melalui jaluralternatif.
Pada penyakit kompleks imun alergik seperti Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik IgE
juga berperan melalui reaksi Hipersensitifitas Tipe I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat
tersebut melepas enzimproteaso dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Makrofag juga melepas bahan toksik yang berasal dari metabolism oksigen dan arginine (Oksigen
radikal bebas) yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen persisten (malaria), bahan yang terhirup
(spora jamur menimbulk anal veolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit
autoimun).Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa
adanya respons antibodi yang efektif.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear,
terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran
kompleks merupakan factor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati, sedangkan kompleks kecil sulit untuk
dimusnahkan karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi
fagosit merupakan penyebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya
tidak berbahaya. Permasalahannya akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di
jaringan.
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun dalam jaringan ialah,
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vascular yang meninggi, antara lain karena
histamine yang dilepas.
Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada pengelepasan histamine tersebut.
Histamin dilepas dari mastosit atas pengaruhana filaktosin (C3a dan C5a) yang dilepas pada
aktivasi komplemen.
Kompleks imun lebih mudah diendapkan misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, pleksuskoroid dan ciliary body mata. Pada Lupus Eitomatosus Sistemik (LES),
ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis rheumatoid, sel plasma dalam
sinovium membentuk anti IgG (factor rheumatoid berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun
di sendi.
Toleransi Imun

 Clonal Anergy
Sel B atau T yang auto reaktif menjadi tidak aktif di individu yang normal dan
tidak bisa mengganggu sistem imun.
 Clonal Deletion
Sel limfoid yang auto reaktif dihancurkan oleh tubuh selama masa
perkembangannya.
 Molecular Mimicry Theory
Bakteri atau virus dapat menyebabkan kesalahan respon imun dengan melawan
sel tubuh yang sehat.Hal ini diakibatkan fragmen protein bakteri yang sangat mirip
dengan protein sel tubuh.
 Sequestered Antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel
T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti
inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan
sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal.
Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

Toleransi Sel T
a. Toleransi sentral
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan limfosit yang
self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel hidup melalui ikatan dengan
kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus
akan mati dengan apoptosis.

b. Toleransi perifer
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan
toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi
bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer. Terdapat
mekanisme yang dapat mencegah terjadinya toleransi perifer, seperti ignorance, anergi
dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.

Toleransi Sel B

a. Toleransi sentral
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self reaktif pada toleransi sel T juga berlaku
pada sel B. sel B yang self reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral
sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam
sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifisitas baru yang disebut
receptor editing.

b. Toleransi perifer
Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke
zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses
untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi ke sel folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan.
Siklus hidup sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. Namun beberapa sel B
anergik self-reaktif masih dapat mengikat antigen dengan afinitas tinggi, berperan dalam
respon terhadap antigen asing.
Proses hipermutasi somatik gen immunoglobulin pada sel B matang di sentrum
1.5 cara diagnosis
1.6 pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis penyakit autoimun
1.6.1 menjelaskan pemeriksaan antigen antibodi

1. Pemeriksaan Autoantibodi dan Immunologi

- Autoantibodi Non-spesifik organ

● Anti-Nuclear Antibody (ANA)

Anti-NuclearAntibod yadalah autoantibodi non-spesifik organ penting


yang dapat ditemukan pada berbagai penyakit autoimun, infeksi, dan
keganasan. ANA merupakan antibodi terhadap inti sel dan segala
komponennya (DNA, RNA, Histon, sentromer). Apabila didapatkan ANA (+)
melalui pemeriksaan ELISA maka dilanjutkan dengan
Immunofluoresensi Assay (IFA) untuk melihat pola pewarnaan yaitu
homogen, perifer, nukleolar, dan sentromer, sehingga kita dapat menduga
antibodi dan jenis penyakitnya. ANA bisa diduga apabila melalui titer tertentu,
Titer < 1:40 (ANA Negatif), Titer 1:40 - 1:80 (ANA positif rendah) dan titer >
1:160 (ANA positif). Titer ANA berkorelasi buruk dengan remisi/relaps
sehingga tidak dapat digunakan untuk memantau perjalanan penyakit maupun
respons terapi.

Nomenklatur ANA berasal singkatan nama penderita, untuk pertama kali


antibodi ditemukan atau penyakit yang sangat berhubungan dengan antibodi
atau struktur kimiawinya yang merupakan bagian dari antigen.

Ada banyak subtipe ANA seperti anti-Ro antibodi , anti-La antibodi , anti-Sm
antibodi , anti-nRNP antibodi , anti SCL-70-antibodi , anti-dsDNA antibodi ,
antibodi anti-histon, antibodi kompleks pori nuklir , antibodi anti-sentromer
dan antibodi anti-SP100. Masing-masing subtipe antibodi mengikat protein
yang berbeda atau kompleks protein dalam inti. Autoantibodi tersebut
ditemukan dalam banyak gangguan termasuk autoimunitas, kanker dan infeksi
, dengan prevalensi yang berbeda dari antibodi tergantung pada kondisi.

No Penyakit Sensitivitas (%)


1 LES >95
2 Lupus akibat obat >95
3 Sklerosis sistemik difus 70-90
4 Skleroderma sistemik terbatas 70-90
5 Sindrom sjogren 50-80
6 Artritis Reumatoid 25-55
7 MCTD 95

o ●  Anti-Neutrofil Cytoplasmic Antibody (ANCA)


Anti neutrofil Cytoplasmic Antibody bereaksi dengan granul
sitoplasma neutrofil. Pada pemeriksaan IFT, menunjukkan gambaran
sitoplasmik (cANCA), yang tersering ditemukan pada WG, MPA, dan
sindrom Churg Strauss. dan perinuklear (pANCA) yang awalnya
ditemukan pada MPA, tetapi kemudian ditemukan juga pada berbagai
penyakit seperti jenis vaskulitis lain, IBD, LES, RA, Juvenile
idiopathic arthritis. Gambaran IFT diperlukan untuk membedakan
berbagai ANCA yang berhubungan dengan sindrom vaskulitis.

Titer ANCA dapat jadi normal oleh pengobatan, meskipun ANCA


yang persisten positif atau meningkat positif tidak benar-benar
meramalkan eksaserbasi penyakit. Oleh karena itu ANCA hendaknya
tidak digunakan untuk menilai efikasi pengobatan.

o ●  Anti-Fosfolipid
Anti-fosfolipid terbagi menjadi dua, yaitu Anti-Cardiolipin (ACA) dan
Lupus Antikoagulan (LA). Pada ACA paling sensitif untuk sindroma
antifosfolipid, tetapi tidak spesifik. Sindroma antifosfolipid dapat
primer maupun sekunder sebagai komplikasi LES. Gambaran
umumnya adalah trombosis (arterial atau vena), trombositopenia,
keguguran spontan berulang dan ruam kulit khas (levido retikularis).
Penderita APS juga disertai dengan Lupus Antikoagulan (LA) dan
semua penderita yang perlu dicurigai perlu diperiksa untuk studi
koagulasi.

- Autoantibodi Spesifik Organ

1. Autoantibodi Tiroid

o ●  Anti-Tiroperoksidase (Anti-TPO)
Anti-Tiroperoksidase paling sensitif untuk mendeteksi penyakit tiroid
autoimun, diantaranya Miksedema primer, tiroiditis hashimoto, dan
penyakit graves. Pada penderita asimtomatis merupakan prediksi
penyakit tiroid autoimun di kemudian hari.
●  Anti-Reseptor TSH (TRAb)
Anti-Reseptor TSH (TRAb) dibagi menjadi dua, yaitu TSH reseptor
stimulating antibody (TSAb) yaitu menyebabkan efek stimulasi sehingga
terjadi hipertiorid, sedangkan TSH reseptor blocking antibody (TBAb) yaitu
menyebabkan efek hambatan sehingga terjadi hipotiroid.

● Anti-Triglobulin (Anti-Tg)
Anti-Triglobulin (Anti-Tg) berguna untuk mendeteksi penyakit tiroid
autoimun pada penderita goiter noduler dan memantau terapi iodium pada
goiter endemik.

2. Autoantibodi Hati
 ●  Anti Smooth Muscle (Anti-SMA)

Anti Smooth Muscle (Anti-SMA) sensitif untuk deteksi


hepatitis autoimun, tetapi tidak spresifik karena dapat dijumpai
pada beberapa penyakit hepar dan non-hepar.

 ●  Anti Actin
Anti Actin lebih spesifik untuk hepatitis autoimun dan dapat
digunakan untuk menentukan prognosis.
 ●  Anti Mitochondrial Antibodies (AMA)
Anti Mitochondrial Antibodies (AMA) memiliki titer
tinggi pada 95 % penderita dengan sirosis biler primer dan
memiliki titer rendah pada hepatitis kronis aktif
3. Autoantibodi RA

Rheumatoid Factor
Rheumatoid Factor adalah autoantibodi yang bereaksi

dengan Fc dari IgG polikonal yang dapat berupa tiap kelas Ig. Esai terbanyak
menemukan Rheumatoiud Faktor IgM. RF diperlukan dalam evaluasi
penderita yang mungkin terkena AR, meningkat sensitivitasnya yang 60-80%
dan spesifisitas 70%. RF tidak ditemukan pada 15% penderita RA. 15%
populasi sehat dapat menunjukkan titer rendah RF.

Penderita AR dengan RF positif lebih cenderung menunjukkan artritis


progresif, erosif dengan kehilangan mobilitas sendi dan juga manifestasi
ekstraseluler seperti nodul rheumatoid, vaskulitis, sindrom felty dan sindrom
sjogren sekunder. RF juga ditemukan pada penyakit autoimun lainnya seperti
sindrom sjogren, LES, krigobulinemia, penyakit paru (fibrosis interstisial dan
silikosis) serta berbagai penyakit infeksi

Anti-CCP

Pada AR, Autoantibodi juga dibentuk dalam anti-CCP. Anti-CCP adalah 96%
spesifik untuk diagnosis Artritis Rheumatoid dengan sensitifitas 76% yang
sama dengan rheumatoid faktor. Pemeriksaan Anti-CCP dan RF lebih
memabantu bila harus menyingkirkan diagnosis AR, dibanding hanya
pemeriksaan RF saja.

Penemuan anti-CCP pada penyakit dini yang masih belum terdiferensiasi


berarti penyakitnya cenderung berlanjut menjadi lebih berat, erosif, dan
agresif. Anti-CCP dapat pula ditemukan pada anak dengan sindrom sjogren,
miopati inflamasi dan tuberkulosis aktif.

1.6.2 mekanisme kelainan pemeriksaan lab pada penyakit autoimun

Pada pemeriksaan lab autoimun ada 3 macam, yaitu :

1. Pemeriksaan Laboratorium Awal

o -  Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi biasanya dilakukan pemeriksaan darah


lengkap, darah rutin untuk mengtehui kadar Hb, leukosit, trombosit,
dan lainnya. Biasanya pada autoimun ditemukan penderita anemia
hemolitik, leukopenia, trombositopenia, trombositosis.

o -  Pemeriksaan Hemostasis
Pemeriksaan hemostasis berhubungan dengan gejala

pemanjangan waktu pembekuan. Untuk melihat adanya pemanjangan


waktu pembekuan diperlukan studi koagulasi Activated
Thromboplastin Time (aPTT) dan/atau Prothrombin Time
(PT). Gangguan sindrom antifosfolipid merupakan salah satu penyakit
yang menunjukkan gangguan proses pembekuan karena terdapat
inhibitor terhadap faktor pembekuan.

o -  Pemeriksaan Kimia
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat kelainan kadar enzim yang
dihasilkan organ tertentu/kelainan metabolisme tertentu. Contohnya
adalah Hepatitis autoimun ( enzim AST, ALT, bilirubin),
Autoimmune inflammatory myopathies ( enzim AST, ALT,
Creatine kinase)

o -  Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis pada umumnya digunakan untuk menilai
kerusakan ginjal (glomerulonefritis nefritis interstisial) yang
menunjukkan proteinuria, hematuria, silinder granula.

2. Pemeriksaan Penanda Inflamasi


Pada pemeriksaan penanda inflamasi, ada istilah yang dinamakan acute
phase reactant, yaitu merupakan suatu protein serum yang dihasilkan
terutama di hati yang akan akan apabila terdapat inflamasi akut. Apabila
terjadi peradangan, APR akan meningkat, sehingga dapat dijadikan penanda
bahwa ada peradangan.

- Laju Endap Darah (LED)


Laju Endap Darah (LED) mengukur jumlah sel darah

merah yang mengendap dalam tabung pada waktu tertentu yang berdasarkan atas
interaksi antara kadar protein serum dan sel darah merah. Inflamasi meningkatkan
LED. Berbagai faktor

c.

mempengaruhi LED, seperti usia penderita, kelamin, morfologi darah merah, kadar
Hb dan ambang imunoglobulin serum. Sampel harus diproses dalam beberapa jam
setelah pengambilannya.

 -  C-Reactive Protein (CRP) C-ReactiveProtein(


CRP)ditemukandandinamakanuntuk

reaktivitasnya terhadap polisakarida C dalam sel dinding Streptococcus


pneumoniae. CRP merupakan protein sistem imun non-spesifik, membantu
opsonisasi patogen untuk difagositosis dan mengaktifkan sistem komplemen.
Produksi CRP dikontrol IL-1, IL-6, dan TNF-alfa.

Perubahan kadar CRP lebih cepat dibandingkan LED, oleh karena itu
pengukuran CRP lebih baik untuk merefleksikan inflamasi yang terjadi.
Derajat inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP. CRP merupakan
protein serum yang lebih stabil dan pemeriksaannya tidak terlalu ketat waktu
serta tidak dipengaruhi komponen serum lain seperti pada pemeriksaan LED.
Ambang < 0,2 mg/dL dianggap normal, sedangkan > 1.0 mg/dL dianggap
adanya inflamasi dan/atas infeksi oleh karena itu digunakan dalam evaluasi
penyakit jantung dan inflamasi lain.

 -  Ferritin
Ferritin serum merupakan gudang protein (untuk ferritin)

dan sintesisnya diatur zat besi intraseluler, sitokin (TNF-alfa, IL-1, IL-6),
produk stress oksidatif dan faktor pertumbuhan. Peningkatan kadarnya
menunjukkan adanya sepsis akut atau kronis, inflamasi atau keganasan.
Penyakit seperti Adult Still’s disease, systemic-onset juvenile
idiopathic arthritis. Limfohitiositosis hemagofagositik dan penyakit
kelainan besi, termasuk hemakromatosis atau hemosiderosis, perlu
dipertimbangkan jika kadar ferritin meningkat.

 -  Pemeriksaan lain
Selain pemeriksaan diatas, dapat juga dilakukan pemeriksaan anemia,
peningkatan enzim otot, hyperkalemia, studi koagulasi, seruplasmin,
fibrinogen, haptoglobin, albumin, komplemen, immunoglobulin, dan
krioglobulin.
Patofisiologi
Dasar patofisiologi penyakit kompleks imun adalah reaksi Hipersinsitifitas III menurut Gell
dan Comb. Reaksi yang terjadi disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-
antibodi ditemukan dalam jaringan / sirkulasi / dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen. Biasanya antibodi berupa IgG dan IgM yang mengaktifkan komplemen melalui jalur
klasik,sedangkan IgA melalui jaluralternatif.
Pada penyakit kompleks imun alergik seperti Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik IgE
juga berperan melalui reaksi Hipersensitifitas Tipe I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat
tersebut melepas enzimproteaso dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Makrofag juga melepas bahan toksik yang berasal dari metabolism oksigen dan arginine (Oksigen
radikal bebas) yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen persisten (malaria), bahan yang terhirup
(spora jamur menimbulk anal veolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit
autoimun).Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa
adanya respons antibodi yang efektif.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear,
terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran
kompleks merupakan factor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati, sedangkan kompleks kecil sulit untuk
dimusnahkan karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi
fagosit merupakan penyebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya
tidak berbahaya. Permasalahannya akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di
jaringan.
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun dalam jaringan ialah,
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vascular yang meninggi, antara lain karena
histamine yang dilepas.
Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada pengelepasan histamine tersebut.
Histamin dilepas dari mastosit atas pengaruhana filaktosin (C3a dan C5a) yang dilepas pada
aktivasi komplemen.
Kompleks imun lebih mudah diendapkan misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, pleksuskoroid dan ciliary body mata. Pada Lupus Eitomatosus Sistemik (LES),
ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis rheumatoid, sel plasma dalam
sinovium membentuk anti IgG (factor rheumatoid berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun
di sendi.
Toleransi Imun

 Clonal Anergy
Sel B atau T yang auto reaktif menjadi tidak aktif di individu yang normal dan
tidak bisa mengganggu sistem imun.
 Clonal Deletion
Sel limfoid yang auto reaktif dihancurkan oleh tubuh selama masa
perkembangannya.
 Molecular Mimicry Theory
Bakteri atau virus dapat menyebabkan kesalahan respon imun dengan melawan
sel tubuh yang sehat.Hal ini diakibatkan fragmen protein bakteri yang sangat mirip
dengan protein sel tubuh.
 Sequestered Antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel
T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti
inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan
sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal.
Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

Toleransi Sel T
c. Toleransi sentral
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan limfosit yang
self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel hidup melalui ikatan dengan
kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus
akan mati dengan apoptosis.

d. Toleransi perifer
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan
toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi
bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer. Terdapat
mekanisme yang dapat mencegah terjadinya toleransi perifer, seperti ignorance, anergi
dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.

Toleransi Sel B

c. Toleransi sentral
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self reaktif pada toleransi sel T juga berlaku
pada sel B. sel B yang self reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral
sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam
sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifisitas baru yang disebut
receptor editing.

d. Toleransi perifer
Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke
zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses
untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi ke sel folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan.
Siklus hidup sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. Namun beberapa sel B
anergik self-reaktif masih dapat mengikat antigen dengan afinitas tinggi, berperan dalam
respon terhadap antigen asing.
Proses hipermutasi somatik gen immunoglobulin pada sel B matang di sentrum

2. Artritis Rheumatoid
2.1 definisi
Artritis Rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama.

2.2 Etiologi
Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan merupakan
kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun
faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut
Smith dan Haynes
(2002), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita rheumatoid
arthritis yaitu :
1). Faktor genetik
Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya rheumatoid arthritis
sangat terkait dengan faktor genetik. Delapan puluh persen orang kulit putih yang menderita
rheumatoid arthritis mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di
permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen HLA-DR4 3,5 kali lebih rentan
terhadap rheumatoid arthritis.
2). Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki
dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem
imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun.
3). Infeksi
Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah terinfeksi secara
genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu rheumatoid arthritis seperti
parvovirus, rubella, EBV, borellia burgdorferi.
4). Lingkungan
Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid arthritis seperti
merokok. Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain infeksi streptokokus
hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolik dan faktor
genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan
oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor
infeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang
menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita (Alamanos dan
Drosos, 2005; Rindfleisch dan Muller, 2005).

2.3 epidemologi

Epidemiologi Artritis Reumatoid berpariasi di berbagai negara di dunia,


dengan angka kejadian yang lebih tinggi di amerika dan eropa, dan insiden
yang lebih rendah di asia tenggara dan timur tengah.

o Global
Prevalensi Artritis Reumatoid pada negara berpenghasilan rendah dan
menengah adalah:

 -  Asia Tenggara: 0,4%

 -  Timur Tengah: 0,37%

 -  Eropa: 0,62%

 -  Amerika: 1,25%

 -  Pasifik Barat: 0,42%

Pengukuran kualitas hidup mengguankan penilaian World Health


Organization Quality of Life menunjukan bahwa skor secara signifikan
lebih rendah pada pasien dengan Artritis Reumatoid dibanding kontrol
normal. Disabilitas fungsional merupakan faktor utama yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan Artritis Reumatoid.

o Indonesia
Angka kejadian Artritis Reumatoid pada penduduk dewasa (di atas 18
tahun) berkisar 0.1% hingga 0,3%. Sedangkan prevalensi pada anak
dan remaja ditemukan satu per 100.000 orang. Artritis Reumatoid lebih
banyak di temukan pada perempuan dibanding dengan laki-laki dengan
rasio 1:3 karena perempuan memiliki hormon estrogen yang dapat
memicu sistem imun dan dapat terjadi pada semua kelompok umur,
dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade ke 4 dan ke 5
kehidupan.

2.4 Patofisiologi
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun
terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan
fibroblast sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel
endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian meng
invasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran
sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi
sendi dan komplikasi sistemik
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari
sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT.
Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM,
IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012). Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel
T dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida
pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam
imunopatologis RA belum diketahi secara pasti (Suarjana, 2009).

2.5 Manifestasi

Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat terjadi RA adalah sebagai berikut :


●  Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita , awitan terjadi secara perlahan, Artritis simetris
terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan
penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih
cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15%
penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga
diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala muncul
beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti
oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau
lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa
kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.

 ●  Manifestasi artikular
Penderita RA pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dada dan kaku
pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal
pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak,kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal
penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan
hangat mungkin tidak dijumpai pada RA yang kronik. Penyebab artritis pada
RA adalah sinovial, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian
tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan
lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun
pada presentasi awal bias tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi
permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi.

 ● Manifestasi ekstraartikular

Manifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang


mempunyai titer faktor rheumatoid (RF) serum tinggi. Nodul rheumatoid
merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak
memerlukan intervensi khusus. Nodul rheumatoid umumnya ditemukan
didaerah ulna, olecranon, jari tangan, tendon Achilles atau bursa olecranon.
Nodul rheumatoid hanya ditemukan pada penderita RA dengan faktor
rheumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan
tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan
dengan demam reumatik, lepra, MCTD (multicentric reticulohistiocytosis).

Kriteria Artritis Reumatoid, 1987

1. Kaku pagi hari


2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita Artritis Reumatoid jika memenuhi sekurang
kurangnya kriteria 1-4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu

2.6 Diagnosis umum dan banding

Saat ini di Indonesia mendiagnosis Artritis Reumatoid mengacu pada kriteria


menurut American College of Rheumatoid/European League Against Rheumatism 2010.
Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih.

Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010 Skor

A. Keterlibatan Sendi

1 sendi besar 0

2-10 sendi besar 1

1-3 sendi kecil (dengan/tanpa keterlibatan sendi besar) 2

4-10 sendi kecil (dengan/tanpa keterlibatan sendi besar) 3

Lebih dari 10 sendi (min. 1 sendi kecil) 5

B. Serologi

RF dan ACPA (–) 0


RF dan ACPA (+) rendah
RF dan ACPA (+) tinggi 2

E. Reaktan fase akut

LED dan CRP normal 0


LED dan CRP abnormal
1

G. Lamanya sakit

Kurang 6 minggu 0
6 minggu atau lebih
1

Diagnosis Banding

Artritis Rheumatoid harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif
yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartopati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES) yang mungkin mempunyai gejala menyerupai
Artritis rheumatoid. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis
Gout jarang bersama-sama dengan artritis rheumatoid, bila dicurigai ada artritis
gout makan pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

2.7 Komplikasi
Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun pada beberapa
individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak fatal. Secara umum rheumatoid
arthritis bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit
ini secara bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat membaik. Bagaimanapun,
jika terjadi kerusakan tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan
permanen. Kecacatan dan nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang umum.
Sendi yang terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan tugas biasa sekalipun mungkin
akan sangat sulit atau tidak mungkin.

Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Selain itu, rheumatoid
arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain
sendi. Efek ini meliputi :
a. Anemia : 75% mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita
tersebut memberikan respons terhadap terapi besi.
b. Kanker : Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan, kejadian limfoma dan
leukemia 2-3kali lebih sering terjadi pada penderita AR. Diperkirakan karena penggunaan
OAINS
c. Infeksi : Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat
imunosupresif akan lebih meningkatkan risiko.
d. Penyakit jantung :RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko
penyakit jantung iskemik koroner.
e. Penyakit paru-paru: Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan
fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan
merokok.
f. Vaskulitis

2.8 Tata Laksana

Terapi Non Farmakalogik

Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan menunjukkan
hasil yang baik. Terapi minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing
agents pada penderita AR. Edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita,
bisa memberikan manfaat jangka pendek. Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat
nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi ekstensif, keterbatasan gerak yang
bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat dan ada ruptur tendon
Terapi Farmakologik

Pada umumnya meliputi Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) untuk
mengendalikan nyeri, glukokortikoid dan DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic
Drugs).

a. OAINS
Sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan, Penderita AR mempunyai
resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat penggunaan OAINS
dibandingkan dengan penderita osteoarthritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat
terhadap gejala efek samping gastrointestinal.
b. Glukokortikoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednisone kurang dari 10mg per hari cukup efektif
untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis harus diberikan
dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping katarak, gejala
Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah.
c. DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan jenis
DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan
adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazine dan leflunomide.

2.9 Prognosis
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar 40%
pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah
bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan
sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi penyakit
yang kronis. Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya
cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya
antibodi anti-CCP.Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun
cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena
masalah kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan,
tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum.

Pandangan Islam dalam Menghadapi Penyakit

1. SABAR
Definisi sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:
‫واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي‬
Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja “
.hari.” (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:
‫ وجه ربهم‬h‫والذين صبروا ابتغاء‬
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).

Ayat-Ayat Al-Quran

Al-Baqarah 152-156
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi
wa innaa ilaihi raaji'uun".

Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, “wahai sekalian orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga”
(QS.Ali imran : 200)
Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami
musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran,
serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad
meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, “Satu hari berjihad di jalan Allah itu
lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)

2. IKHLAS
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal
yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik
menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-
definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah
“menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang
beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar
manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau
membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan
(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan
amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah
yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan
perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar
manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang
jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat Al-Quran tentang ikhlas:


"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).

3. RIDHO
Ridho ( ً‫)رض‬
ِ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan
qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang
menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun
yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi
hamba-Nya.

Ayat al-quran tentang ridho


‫إِنَّ ال ِّدينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اإْل ِ سْاَل ُم‬
“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

ٌ‫ُول هَّللا ِ أُس َْوةٌ َح َسنَة‬


ِ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرس‬
 ‫ِل َم ْن َكانَ يَرْ جُو هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل َ ِخ َر َو َذك ََر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam  itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21)

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K. & Lichtman, A.H.,2016. Imunologi Dasar Abbas Edisi 5. Jakarta: Penerbit Elsevier

Alodokter.com diakses pada 23 mei 2017 pukul 21.32

Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2014. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Manaf, Asman.2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

W. A. Newman Dorland. 2008. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#aw2aab6b2b6aa, diakses pada tanggal 23 mei


2017. Pukul 19.36

https://muslim.or.id/10924-dan-jika-aku-sakit-dialah-yang-menyembuhkanku.html diakses pada


tanggal 23 mei 2017 pukul 20.55

Anda mungkin juga menyukai