Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN/WRAP UP

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH

“Gatal dan Bentol Merah di Seluruh Tubuh”

KELOMPOK : A-13
ANGGOTA :
1. Alaric Casta Rafi 1102019009
2. Annisa Amelia 1102019023
3. Avia Nurul Azzahra 11020190
4. Dafa Zenobia 1102019053
5. Dira Khoirunnisa Salsabila 1102018140
6. Dwi Wisnu 11020190
7. Fetrichia catharina 11020100079
8. Hasyajogi tiara harahap 110201900
9. Khaura Tsabitha Baraba 1102019107
10. Maygel Nahren 110201911

UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019

DAFTAR ISI
I. SKENARIO 2
GATAL DAN BENTOL MERAH DI SELURUH TUBUH
Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke dokter dengan keluhan
demam dan sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu.Dokter memberikan
antibiotika golongan penisilin.Setelah minum antibiotika tersebut timbul
gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata di seluruh tubuh,
timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir.Ia memutuskan untuk
kembali berobat ke dokter.Pada pemeriksaan fisik didapatkan
angioedema di mata dan bibir, dan urtikaria di seluruh tubuh. Dokter
menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas
tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamin dan
kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam
meminum obat.
II. BRAINSTORMING
KATA SULIT
1. Angioedema : bengkak tanpa nyeri dibawah kulit yang dipicu alergi
terhadap bulu binatang, serbuk sari, obat-obatan, racun, makanan.
2. Hipersensitivitas : reaksi yang merusak jaringan imunologis yang
mengacu pada respon sistem imun yang berlebihan pada antigen.
3. Anti histamin : agen yang melawan kerja histamin
4. Kortikosteroid : obat yang mengandung hormonsteroid yang berguna
untuk menambah hormonsteroid serta meredakan peradangan atau
inflamasi.
5. Urtikaria : reaksi vascular lapisan dermis bagian atas yang ditandai
dengan lembaran sementara yang menonjol dan lebih merah atau
pucat dari kulit sekitarnya.
6. Penisilin : antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri.
7. Antibiotika : segolongan molekul naik secara alami atau sintetik yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia
pada organisme khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.
PERTANYAAN
1. Bagaimana urtikaria dapat terjadi ?
2. Mengapa keadaan pasien dikatakan hipersensitivitas cepat ?
3. Apa saja tipe hipersensitivitas?
4. Apa penyebab hipersensintivitas ?
5. Apa efek samping dari pemberian obat anti histamin dan
kortikosteroid?
6. Mengapa penisilin mnyebabkan alergi?
7. Apa faktor penyebab reaksi alergi ?
8. Mengapa diberikan golongan antibiotic penisilin ?
9. Mengapa angioedema terjadi di mata dan bibir
10. Bagaimana cara dokter menegakkan diagnosis?
11. Apa saja obat yg termasuk anti histamin?
12. Penanganan selain farmako ?
13. Apakah angioedema dapat terjadi selain di mata dan bibir?
14. Apa saja gejala reaksi alergi penisilin?
15. Bagaimana Mekanisme hipersensitivitas tipe cepat?
16. Apa saja obat yang termasuk kortikosteroid?

JAWABAN SEMENTARA
1. (ketrin) Saat hipersensitivitas reaksi yang terjadi di reaksi oleh sel
mast dan mensekresi mediatornya. Alergi merangsang APC, sel Th yang
mengeluarkan sitokin untuk merangsang pengeluaran sel B, sel mast
akan mengeluarkan histamin stlh di rangsang sel B yg menyebabkan
kemerahan dan bentol.
2. (kadira) Karna saat meminum obat reaksi alergi berupa gatal dan
bentol langsung terjadi.
3. (alaric) Ada 4 Cepat, sitotoksik, kompleks imun, reaksi lambat
4. (jogi) obat, faktor genetic, makanan
5. (lia) anti histamin : mengantuk, sakit kepala.
(dapa, jogi) kortikosteroid: hipertensi, meningkatnya kadar gula darah
6. (avia) karna punya riwayat alergi atopic kek asma, ruam kulit.
(dapa) krn dia melepas histamin oleh sel mast sehingga muncul
bentol2
7. (ketrin)Gigitan atau sengatan serangga, obata2an, makanan, partikel di
udara
8. (lia)krn penisislin itu antibiotic ntuk menangani infeksi bakteri. Bbrp
kondisi yg dpt diobati yaitu rdng tenggorokan dan demam rematik.
9. (dafa) Krn jaringan ikat pada kelopak mata dan bibir merupakan
jaringan ikat longar dan terjadi pd mukosa dan submucosa tbh.
10. (avia) melakukan uji sensitivitas
(dapa) patch test, skin prick test, pemeriksaan darah untuk ukur kdr
IgE
11. (lia) ada 2 generasi, 1 prometazin 2 cetrizin sama loratadine
12. (lia,avia,dafa ) di kompres air dingin, es batu, berjemur dibawah
matahari
13. (Avia) kaki, tangan, genetalia
14. (baraba) gatal, batuk, bentol, demam, kemerahan
(avia kadira) diare mual muntah
15. (jogi)
a. Paparan trhdp allergen
b. Adanya aktivasi sel Th dan Merangsang perubahan IgE pd sel B
c. Produksi IgE
d. Pengikatan IgE pd Fc di sel mast
e. Terjadi paparan berulang
f. Aktivasi sel mast, pelepasan mediator
g. Aminvasoaktif, mediator lipid
h. Terjadi reaksi hipersensitivitas
16. (alaric, lia) Betametason, deksametason, prednisone, metilprednisolon

III. HIPOTESIS
Hipersensitivitas adalah reaksi yang merusak jaringan imunologis yg
mengacu pd respon system imun yg berlebihan pd antigen. Disebabkan
oleh obat, faktor genetic, makanan. Hipersensitivitas memiliki 4 tipe,
diantaranya Cepat, sitotoksik, kompleks imun, reaksi lambat. Dapat
ditangani dengan cara pemberian prometazin,cetrizin,loratadine,
Betametason, deksametason, prednisone, dan metilprednisolon.
IV. SASARAN BELAJAR
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
L.O 1.1 Definisi
o Keadaan perubahan reaktivitas dimana tubuh bereaksi secara berlebihan
terhadap benda asing. (Dorland, W.A Newman (1996) Kamus Kedokteran
Dorland Edisi 26. Jakarta, EGC.)
o Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. ( Imunologi UI )
o Hipersensitivitas adalah keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi
tubuh berupa respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap
sebagai benda asing.(Kamus Dorland, Edisi 29)
o Hipersensitvitas adalah refleksi dari sistem imun yang berlebihan (Imunologi
Abbas,2016)

L.O 1.2 Etiologi


a. Infeksi persisten
Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan muncul
kompleks imun pada organ yang terinfeksi
b. Autoimun
Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks imun
mengendap pada ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
c. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan. Tempat
kompleks imun mengendap yaitu paru.
(Jurnal FK USU)

L.O 1.3 Klasifikasi


o Pembagian menurut waktu timbulnya reaksi:
a. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam .
ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam
24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan
kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK /
ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa:
i. Reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia
hemolitik autoimun
ii. Reaksi arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonephritis, artritis rheumatoid dan
LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrophil atau sel NK.
c. Reaksi lambat
reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak,
reaksi M. tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.

o Pembagian menurut Gell & Coombs (1963)

Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-IV)


Mekanisme Gejala Contoh
Anafilaksis, urtikaria, Penisilin dari β laktam
angioedema, mengi, lain, enzim, antiserum,
Tipe I: IgE hipotensi, nausea, muntah, protamine, heparin
sakit abdomen, diare antibody monoclonal,
ekstrak allergen, insulin.
Agranulositosis Metamizol, fenotiazin
Anemia hemolitik Penisilin, sefalosparin, β
laktam, kinidin, metildopa
Tipe II: Sitotoksik (IgG Trombositopenia Karbamazepin, fenotiazin,
dan IgM) tiourasil, sulfonamide,
antikolvusan, kinin,
kinidin, parasetol,
sulfonamide, propil
tiourasil, preparat emas
Panas, urtikaria, atralgia, β laktam, sulfonamide,
limfadenopati fenitoin, streptomisin
Tipe III: Kompleks imun
(IgG dan IgM) Serum sickness Serum xenogenik,
penisilin, globulin anti-
timosit
Eksim (juga sistemik) Penisilin, anastetik local,
eritema, lepuh, pruritus antihistamin topical,
neomisin, pengawet,
eksipien (lanolin,
paraben), desinfektan
Tipe IV: Hipersensitivitas Fotoalergi Salisilanilid
selular (halogenated), asam
nalidilik
Fixed drug eruption Barbiturate, kinin
Lesi makulopapular Penisilin, emas,
barbiturate, β blocker
Granuloma Ekstrak allergen, kolagen
Tipe V: Reaksi granuloma
larut
(LE yang diinduksi obat?) Hidralazin, prokainamis
Tipe VI: Hipersensitivitas
stimulasi Resistensi insulin Antibody terhadap insulin
(IgG)

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe 1


2.1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe 1
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai.
Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian
protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik
seperti demam hay).

 Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1) Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE


sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε -R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
2) Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3) Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme alergi, misalnya
terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis,
antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh.
Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna,
diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi
atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini
memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop
yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan
reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan
lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang
dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan
sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine,
prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi
mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian
dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan
berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat.
2.2 manifetasi klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi
lokal. Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa
menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa
gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik),
dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.

a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ
spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan
masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah
diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan
penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit,
segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi
dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi
yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.

b. Reaksi sistemik – anafilaksis


Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell
dan Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE
yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel
efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu
berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat
atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan
anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.

c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid


Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum
yang melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi
tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme
jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi
Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis,
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya
sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi.
Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras
dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas
otot. (Karnen Grana, 2014)

2.3 Mediator dan Fungsinya


Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan
pertautan - silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu
suatu kaskade sinyal intraselsehingga terjadi pelepasan beberapa
mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator
sekunder untuk fase lambat.
1) Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Histamine merupakan komponen utama granul sel mast. histamin yang
merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptor nya.
Ada 4 reseptor histamin ( H1,H2,H3,H4 ) dengan distribusi yang berbeda
dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin akan menunjukkan
berbagai efek, yaitu meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi,
bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang
segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil
dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan
meliputi heparin serta protease netral (misalnya,triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk
menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan.
2) Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator lipid dan
sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivitas fosfolipase A2, yang
memecah fosfolipid membran sel mast untuk menghasilkan asam
arakhidonat. Selanjutnya asam arakhidona tmerupakan senyawa induk
untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
•Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekusor asam
arakhidonat dan sangat penting pada patognesishipersensitivitas tipe 1.
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang
dikenal paling poten, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam
menyebabkankontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat
kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
•Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh
jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
•Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamine dan
bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan
eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2,
mediator ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat.
•Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6)
dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang.
TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan
aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mastdan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. IL-5
mengaktifkan eosinophil.
2.4 contoh penyakit

 Rinitis alergi disebabkan oleh tungau debu


rumah, polen (hay fever)
 Alergi makanan disebabkan oleh kerang, susu,
ikan, bahan asal gandum
 Asma disebabkan oleh polen, tungau debu
rumah
 Anafilaksis disebabkan oleh obat, serum,bisa,
kacang kacangan
 Urtikaria akut disebabkan oleh allergen umum
sengatan serangga
 Ekzem atopi atau inflamasi pada kulit yg terasa
gatal disebabkan oleh polen, tungau debu
rumah, beberapa makana
LO 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe 2
3.1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe 2
Mekanisme pada hipersensitivitas tipe II ada 3 macam yaitu reaksi yang
bergantung pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC,
disfungsi sel akibat antibodi.

● Reaksi yang bergantung pada komplemen

- Reaksi Opsionasi
Sel normal terinfeksi oleh antigen → IgG berikatan dengan antigen →
Sel di opsonisasi agar mudah di fagosit → Pengaktifan komplemen
yang menghasilkan C3B dan C4B yang dapat meningkatkan
fagositosis → Sel yang di opsonisasi dikenali oleh Fc receptor → Sel
di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil.

- Reaksi Komplemen dengan Fc reseptor


Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau
matriks) → Pengaktifan komplemen → Menghasilkan C5a dan C3a C5a
menarik neutrofil dan monosit → Leukosit aktif melepaskan bahan
perusak → Kerusakan Jaringan Saat antibodi terikat pada jaringan
ekstraseluler (membran basal dan matriks), kerusakan yang dihasilkan
merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi
yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel
yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit
aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen
reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan
pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.
● Reaksi yang bergantung pada ADCC
Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen.

Lalu antigen ditangkap oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah
menjadi sel plasma.Lalu sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi akan berikatan
dengan sel killer yang memiliki reseptor antibodi. Sel killer bersama dengan antibodi
yang menempel di permukaannya selanjutnya menyerang sel target yang memasang
antigennya di permukaannya. Antibodi berikatan dengan antigen di permukaan dan
selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis.

● Disfungsi sel akibat antibodi


Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan

reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan


jejas sel atau inflamasi. Contohnya yaitu pada penyakit miastenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka
mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi
memblokir reseptor asetikolin yang berfungsi dalam kontraksi otot. Contoh
lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah penyakit
yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip
TSH pada kelenjar tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon
tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme).

3.2 Manifestasi

Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia


hemolitik autoimun .

a. Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi


oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat
tranfusi golongan B terjadi reaksi tranfusi, oleh karena anti B
isoheglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan
darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau
lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Sedangkan reaksi tranfusi
yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat tranfusi berulang
dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan darah
golongan lainnya.

b. Penyakit hemolitik bayi baru lahir


Penyakit hemolitik bayi baru lahir ditimbulkan oleh

inkompatibilitas Rh (Rhesus) dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan

golongan darah Rh (-) dan janin dengan Rh (+) c. Anemia hemolitik

Antibiotika tertentu seperti penicsillin, sefalosporin dan streptomisin


dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM (Sel Darah
Merah) yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten
pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi (Ab)
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan
komplemen menimbulkan lisis dengan anemia progresif.

3.3 Mediator dan Fungsinya

3.4 contoh penyakit

Contoh penyakit yang ditimbulkan karena adanya hipersensitivitas tipe II


adalah sebagai berikut :

A. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah kondisi di mana hancurnya sel darah merah


(eritrosit) lebih cepat dibandingkan pembentukannya. Terjadinya
anemia hemolitik dapat dipicu oleh faktor dari dalam sel darah merah
(intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah merah (ekstrinsik).

B. Agranulositosis

Anemia hemolitik adalah kondisi di mana hancurnya sel darah merah


(eritrosit) lebih cepat dibandingkan pembentukannya. Terjadinya
anemia hemolitik dapat dipicu oleh faktor dari dalam sel darah merah
(intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah merah (ekstrinsik).

C. Trombositopenia

Trombositopenia adalah istilah yang digunakan untuk penurunan


jumlah platelet dalam darah dibawah batas minimal. Takaran normal
platelet adalah 150.000 hingga 450.000 per mikroliter. Platelet yang
sering juga disebut trombosit memiliki fungsi penting untuk
membantu proses pembekuan darah agar pendarahan berlebihan tidak
terjadi.

D. Pemfigus

Penyakit autoimun berupa bula (vesikel besar yang mengandung serum,


pus, atau darah) kronik pada membran mukosa maupun kulit. Pada
penderita pemfigus, ditemukan adanya antibodi IgG yang bersirkulasi
dan terikat pada sel keratinosit sehingga menyebabkan timbulnya reaksi
pemisahan sel-sel epidermidis (disebut akantolosis) hingga terbentuk
bula. Pemisahan sel epidermidis tersebut terjadi karena tidak adanya
kohesi antara sel-sel epidermidis.

E.Sindrom Goodpasture
Penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi pada glomerulus pada
ginjal dan alveolus pada paru-paru. Sindrom Goodpasture merupakan
penyakit yang serius yang dapat menyebabkan pendarahan pada paru-
paru dan gagal ginjal. Sindrom ini banyak terjadi pada pria muda, tetapi
dapat juga berkembang pada usia berapapun dan dapat menjangkiti
wanita.

LO 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe 3


4.1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe 3
Hipersensitivitas tipe 3 adalah komplek imun kecil yang tidak bias atau
sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau
jaringan
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan
kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menurus
untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan :
 Agregasi trombosit
 Aktivasi makrofag
 Perubahan permeabelitas vaskuler
 Aktivasi sel mast
 Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
 Pelepasan bahan kemotaksis
 Influks neutrophil

2. Kompleks imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan
adalah kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vascular
yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena histamine yang
dilepas oleh sel mast
 Immune complex formation
Antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan
membentuk kompleks antigen antibodi yang akan
menimbulkan reaksi inflamasi
 Immune complex deposition
Aktivasi system komplemen menyebabkan pelepasan
berbagai mediator oleh mastosit

 Immune complex-mediated inflammation


C3a dan C5a yang terbentuk pada aktivasi komplemen
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang
menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi sebagai
factor kemotaktik
IV.2 Manifestasi
a. Reaksi Arthus
Pada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4
jam sesduah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan
selanjutnya menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut fenomena arthus
yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Reaksi arthus
membutuhkan antigan dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen yang
disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi dan
mengalami pengendapan. Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai
nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a
juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan
trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-
bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama
trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis
jaringan setempat.

b. Reaksi serum sickness


Reaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunasi pasif pada 
pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibodi yang berperan dalam
reaksi ini  adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut:
1.Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan
C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah
yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun.  Neutrofil
yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan
tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan
mediator-mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

4.3 Contoh penyakit


1. Reaksi arthus
Pada reaksi ini ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4
jam sesudah suntikandan menghilang keesokan harinya. Suntikan
selanjutnya menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan
yang ke 5-6 menimblkan perdarahan dan nekrosis. Fenomena ini
merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.reaksi arthus
membutuhkan antigen dan antibody dalam jumlah yang besar

2. Reaksi serum sickness


Ini ditemukan sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada
pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibody yang
berperan dalam reaksi ini adalah IgG dan IgM

LO 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe 4


5.1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe 4
Mekanisme dalam hipersensitivitas IV terdapat 2 fase yaitu fase sensitasi dan
fase efektor.

1. Fase sensitasi

Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen.


Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel
Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan
membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T
sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

2. Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan
sel Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan :
1. 1)  Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin
(makrofag dan sel inflamasi). Gejala biasanya muncul
nampak 24 jam setelah kontak kedua.
2. 2)  Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular,
bermigrasi ke jaringan sekitar.
3. 3)  Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel
efektor, dan menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan
menekan sel Th2.

Berbagai APC seperti sel Langerhans (Sel dendritik) di kulit dan


makrofag yang menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid
regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan pada
umumnya adalah sel CD4 terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel
CD8 dapat juga diaktifkan.
Baik CD4 maupun CD8 berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama
dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang
terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang
diinduksi oleh etilendiamin, neomisin, anastesi topikal, antihistamin topikal, dan steroid
topikal. Hal ini bisa membuktikan pembagian reaksi hipersensitivitas IV dalam DTH
yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui
sel CD8.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan
pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
5.2 Manifestasi

●  Dermatitis kontak

Penyakit CD4+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak
berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut
(contoh reaksi DTH) .

●  Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD)
biakan Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke
kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi berupa kemerahan dan
indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada
hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel limfosit T
CD4+ .

 Reaksi Jones Mote


Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi
basofil yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga
disebut sebagai hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan
nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah
kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh
suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
 T Cell Mediated Cytolysis atau Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc
yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada
beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi
virus hepatitis tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL
terhadap hepatosit yang terinfeksi.

Reaksi DTH , sel cd4 memberikan respons terhadap antigen jaringan


denganmelepas sitokin yang merangsang inflamasi dan mengaktifkan
fagosit, sehingga timbul kerusakan jaringan. CD8+/CTL/T langsung
membunuh sel jaringan dan menimbulkan penyakit.
5.3 contoh penyakit

Contoh penyakit yang ditimbulkan karena adanya hipersensitivitas tipe


IV adalah sebagai berikut :

A. Tuberkulosis
Respon seluler terhadap antigen protein Mycobacterium tuberculosis
menjadi kronis akibat infeksi sulit dieradikasi. Sehingga akan terjadinya
inflamasi kronik seperti granulomatus.

B. Diabetestipe1

Respon seluler terhadap antigen islet pankreas sehingga terjadi

gangguan metabolisme glukosa dan penyakit vaskuler.

C. Artritisreumatoid
Respon seluler terhadap antigen tidak dikenal pada sendi sehingga
mengakibatkan inflamasi sinovium dan erosi kartilago dan tulang di
sendi.

LO 6. Memahami dan Menjelaskan Antihhistamin


6.1 Antihistamin 1
6.1.1 Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian
oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal,
otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama
biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24
jam, terutama dalam bentuk metabolitnya. Meminum obat saat makan
akan mengurangi efek samping.

6.1.2 Farmakodinamik

AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah,

bronkus, bermacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk


mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai
penglepasan histamin endogen berlebihan. Obat AH1 dibedakan menjadi
2 yaitu AH1 generasi pertama dan AH2 generasi kedua. Obat AH1
generasi pertama adalah klorfeniramin (CTM). AH1 generasi kedua tidak
menyebabkan efek samping karena tidak menembus sawar otak sehingga
tidak menyebabkan efek pada SSP seperti kantuk, inkoordinasi, dll.
Contoh obat AH1 generasi kedua adalah terfenadin, astemizol, loratasin,
akrivastin, dan setirizin. Obat antihistamin yang digunakan untuk
anestesi lokal adalah prometazin dan pirilamin.

Antagonisme terhadap histamin. AH1 menghambat efek


histamin pada pembulih darah, bronkus dan bermacam-macam otot
polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin
endogen berlebihan.

Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin


pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin
dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan


edema akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.

Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan


beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karenabukan
histamin saja yang bekerja tetapi autakoid lain yang dilepaskan.
Efektivitasnya berbeda-beda tergantung beratnya gejala akibat histamin.

Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi


cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat
sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.

Susunan saraf pusat. AH1 dapat menghambat atau merangsang


susunan saraf pusat (SSP). Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada
keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Beberapa obat AH1 juga
efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau
sebab lain. Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi
rigiditas dan memperbaiki kelainan pergerakan.
Anastetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan
intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anastetik lokal ialah
prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut
dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai
antihistamin.

Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat atropin. Efek ini tidak


memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada
beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi, dan impotensi.
Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor
muskarinik.

Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak


memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular. Beberapa
AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard
berdasarkan sifat anestetik lokalnya.

6..1.3 Efek Samping

 Mengentalkan sekresi bronkus sehingga menyulitkan ekspektorasi


(sehingga tidak efektif untuk penderita asma )
 Sedasi (mengantuk parah). Namun ada obat non-sedasi yaitu
Astemizol, Terfenadin, Loratadin
 Vertigo, Insomnia, Tremor, Nafsu makan menurun, inkoordinasi,
pandangan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, lemah, penat, mulut
kering, disuria, hipotensi, sakit kepala, dll.
 Astemizol yang berlebihan menyebabkan gemuk
 Pemberian astemizol, terfenadin yang diberikan bersama makrolida
(eritromisin) seperti ketokonazol, itrakonazol akan menyebabkan
keadaan fatal yaitu aritmia ventrikel.

6.2 Antihistamin 2

6.2.1 Simetidin dan Ranitidin

-  Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Absorpsi simetidin
diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada
periode pasca makan. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya
dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis
IV dan 40% dari dosis oral simetidin di eksresi dalam bentuk asal dalam
urin. Masa paruh eliminasi berlangsung sekitar 2 jam.

Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan


meningkat pada pasien penyakit hati , memiliki masa paruh kira-kira 1,7-
3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan juga pada
pasien gagal ginjal. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di
hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan
metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

-  Farmakodinamik
Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan
reseptor H2 akan merangsang dan sekaligus menghambat sekresi asam
lambung dan juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung.

- Efek Samping
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap reseptor H2,
seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi,
ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

6.2.2 Famotidin

-  Farmakokinetik

Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam


setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan
bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam.

-  Farmakodinamik
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan
AH2, sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan
basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga
kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.

-  Efek Samping
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya
sakit kepala,pusing,konstipasi dan diare.Seperti halnya dengan
renitidin,famotidin nampaknya kebih baik dari simetidin karena tidak
menimbulkan efek antiandrogenik.

6.2.3 Nizatidin

-  Farmakokinetik

Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makan atau antikolinergik. kadar puncak dalam serum setelah pemberian
oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1 setengah jam dan
lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin dieksresikan terutama
melalui ginjal, 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam
16 jam.

-  Farmakodinamik
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidin.

-  Efek Samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, peningkatan kadar

asam urat dan tranminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang
nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna, dan tidak
memiliki efek antiandrogenik.

LO 7. Memahami dan mejelaskan kortikosteroid


7.1 Definisi
Kortikosteroid adalah hormon kelas steroid yang dihasilkan di
korteks adrenal. Kortikosteroid terlibat dalam berbagai sistem
fisiologis seperti respon stres, respon imun dan regulasi inflamasi,
metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah,
dan tingkah laku.Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati
membran plasma secara difusi pasif.

7.2 Klasifikasi

● Short Acting (8-12 jam)

1. Cortisone

Cortisone adalah jenis steroid yang diproduksi secara alami oleh


kelenjar dalam tubuh yang disebut kelenjar adrenal. Cortisone
berfungsi untuk meredakan inflamasi. Efek samping yang biasa
ditimbulkan adalah rasa nyeri.

2. Hydrocortisone
Hydrocortisone adalah kostikosteroid topical yang mempunyai
efek anti-inflamasi, anti alergi dan antipruritus pada penyakit
kulit. Indikasi pemberian obat ini adalah untuk penderita
dermatitis atopi, dermatitis alergik, dermatitis kontak, pruritus
anogenital dan neurodermatitis. Hydrocortisone tidak boleh
diberikan kepada penderita yang hipersensitif, herpes simplex,
varicella dan infeksi jamur. Efek samping yang mungkin
ditimbulkan dari obat ini adalah rasa terbakar, gatal, kekeringan,
atropi kulit dan infeksi sekunder.

Intermediate Acting (18-36 jam)

1. Prednisolone

Prednisolone diberikan untuk pasien penekanan jangka pendek


peradangan pada gangguan alergi dan pengobatan jangka pendek
peradangan pada mata. Efek samping yang ditimbulkan adalah
mual, dyspepsia, malaise, cegukan, reaksi hipersensitifitas
termasuk anafilaksis.

2. Triamcinolone
Triamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan pembentukan
glikogen yang lebih besar, dan berkurangnya efek samping
retensi garam. Efek samping yang dapat timbul adalah fraktur
spontan, ulkus peptik/tukak lambung, perubahan cushingoid,
purpura, flushing, sering berkeringat, jerawat, striae, hirsutisme,
vertigo, sakit kepala, tromboembolisme, nekrosis aseptik,
pangkreatitis akut, kelemahan otot, esofagitis ulseratif,
peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, katarak
subkapsular.

3. Methylprednisolone
Methylprednisolone adalah suatu obat glukokortikoid alamiah
(memiliki sifat menahan garam (salt retaining properties)),
digunakan sebagai terapi pengganti pada defisiensi
adrenokortikal. Methylprednisolone dikontraindikasikan pada
infeksi jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap
komponen obat. Fludrocortisone

4. Fludrocortisone merupakan mineralokortikoid yang paling


banyak digunakan. Mempunyai aktivitas retensi garam yang kuat
dan efek anti-inflamasi yang berarti walaupun digunakan dalam
dosis yang sedikit.

 Long Acting (36-54 jam )

1. Dexamethasone
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk Anti
inflamasi, Pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen
lainnya, Alergi dermatitis, Penyakit kulit, dll. Pengobatan yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid
seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan
pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan
potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan glucocorticoid
lainnya. Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering
terjadi.

2. Betamethasone
Betamethasone digunakan untuk meringankan inflamasi dari dermatosis yan
responsive terhadap kortikosteroid. Penggunaan kostikosteroid topical dapat
menyebabkan efek samping local seperti kulit kering, gatal-gatal, rasa terbakar,
iritasi, hipopigmentasi, dermatitis alergi.

7.3 farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi,
mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas
terhadap reseptor dan ikatan protein. Kortisol dan analog sintetiknya
pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai kadar
tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk mendapatkan efek yang
lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur
kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan
ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. Glukokortikoid
dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

7.4 Farmakodinamik

●  Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein,


dan emak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem
kardiovaskular,ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.

●  Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua


golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.

o Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen


hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil. Contohnya adalah
kortisol.

o Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air


dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan
glikogen hepar sangat kecil. Contohnya adalah aldosteron
atau desoksikortikosteron.
●  Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan
berdasarkan massa kerjanya.

o -  Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis


kurang

dari 12 jam.

o -  Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis


antara

12-36 jam.

o -  Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih


dari 36

jam.

●  Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya


dosis, makin besar dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek
yang didapat. Mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid
terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan
terhadap hormon lain.

7.5 efek samping

Efek samping yang ditimbulkan antara lain :

- Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara


tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.

-  Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba


dapat menimbulkan infisiensi adrenalin akut dengan gejala demam,
malgia, artralgia dan malaise.

-  Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan


cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat
infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat
mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.

-  Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan


pengobatan derivat kortikosteroid sintetik.

- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada


pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan
dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap
saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

7.6 kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut
kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat
dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif
dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitus tukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan system kardiovaskular lainnya.

LO 8. Batasan Hukum Islam Tentang Alergi Obat Sebagai Dokter


Muslim
Maslahah
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang
al-maslahah yaitu: “Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran
untuk mengabil manfaat atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan
itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan
kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam
mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah
memelihara tujuan syara.Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat
bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu:
a) Kemasalahatan menurut manusia, dan
b) Kemaslahatan menurut syari‟at.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang
Anshar terluka di perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang
dokter yang ada di kota Madinah, lalu bersabda, “Obatilah dia.” Dalam
riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada
kebaikan dalam ilmu kedokteran?” Rasullah menjawab, “Ya,”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki
menderita sakit di zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda,
“Panggilkan dokter.” Lalu Hilal bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
dokter bisa melakukan sesuatu untuknya?” “Ya,” jawab beliau. (HR
Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf:
V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu
bersabda, “Panggilkan dokter!” kemudian ada yang bertanya, “Bahkan
engkau mengatakan hal itu, wahai Rasulullah?” “Ya,” jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah
menganjurkan kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu
kedokteran yang diciptakan Allah untuk kita. Kita juga ditekankan agar
tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah bersabda, “Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin
yang lemah.” (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah
dari Usamah bin Syuraik menuturkan,”Aku berada bersama Nabi lalu
datanglah sekelompok orang Badui dan bertanya,’Wahai Rasulullah,
apakah kita boleh berobat?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, wahai hamba
Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit
kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam penyakit.’
Mereka bertanya,’Apa itu?’ Rasulullah menjawab,’Penyakit tua’.”(HR
Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,”Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada
penyakitnya maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim:
I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu’, “Tidaklah Allah
menurunkan panyakit kecuali menurunkan obatnya.”(HR Bukhari:
VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal,
minum madu, pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku
menyengatkan api.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di
bagun untuk kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan
larangannya serta hukum-hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-
manfaat) dan makna masholihi adalah: jamak dari maslahat artinya :
manfaat  dan kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, B.G. and Trevor, A.J. eds., 2015. Basic & clinical pharmacology (pp. 619-20). New
York: McGraw-Hill Education.
2. Abbas, A.K., Lichtman, A.H. and Pillai, S., 2016. Imunologi Dasar Abbas, Fungsi dan
Kelainan Sistem Imun. Edisi, 5, pp.267-75.
3. Simbolon, B.P., Sjabaroeddin, S. and Irsa, L., 2016. Penggunaan Kortikosteroid Intranasal
Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak. Sari Pediatri, 8(1), pp.54-9.
4.http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3405/08E00605.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
5. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/842/697

Anda mungkin juga menyukai