Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

”HIPERSENSITIVITAS DAN ALERGI”

Dosen Pengampu :

Ratih Kusuma Dewi, S.kep,Ns,M.Biomed

Disusun Oleh

Nur Fikri Abdilah

(1911604103)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

PROGRAM SARJANA TERAPAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘ASIYIYAH

YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel
limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen
tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan
tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Mekanisme
reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE
yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal
reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat
timbul syok anafilaktik
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan
sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut
saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses
inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan
sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare. Selain itu,
sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu

Angka kejadian alergi di Indonesia mengalami peningkatan mencapai 30%


pertahunnya sebagaimana yang disebutkan oleh Pusat Data dan Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (2012). Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi,
Semarang, menunjukkan prevalensi berbagai penyakit alergi, diantaranya rinitis alergi
63,6%, asma bronkial 25,0%, dermatitis atopik 40,9%, dan konjungtivitis alergi 2,3%.
Kasus alergi lebih banyak terjadi pada perempuan (54,5%) dibandingkan laki-laki
(45,5%) (Wistiani & Notoatmojo, 2011).

1.2 Tujuan Penulisan

1) Dapat Mengetahui pengertian hypersensitive dan alergi


2) Dapat Mengetahui bagaimana mekanisme hypersensitive
3) Dapat Mengetahui klasifikasi hipersensitive
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


A. Pengertian
Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang
pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Hipersensitivitas tipe 1
atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap
suatu zat yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini
menyebabkan kerusakan di jaringan yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang
dikenainya (Abbas & Lichtman, 2009).
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia
mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rinitis alergi, konjungtivitis alergi,
eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia meningkat pesat baik itu di negara
maju ataupun di negara berkembang. Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir
dan menjadi masalah terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012).
Reaksi ini terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme
yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai
reaksi segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat
bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi
oleh IgE yang dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Hipersensitivitas tipe II muncul
ketika antibodi melilit pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk
penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi oleh
antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen dan
antibodi IgG dan IgM) ditemukan pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi
hipersensitivitas tipe III. hipersensitivitas tipe IV (juga diketahui sebagai selular)
biasanya membutuhkan waktu antara dua dan tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe
IV ikut serta dalam berbagai autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut
serta dalam contact dermatitis. Reaksi tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan
makrofag.

B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1) Faktor Internal:
a) Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b) Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
c) Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2) Fakor Eksternal :
a) Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b) Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c) Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi

C. Patofisiologi
Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi.
Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang
sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah
tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel
mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
a) Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya
netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan panas.
b) Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis.
Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik
syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

D. Klasifikasi Hipersensitivitas
1) Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar
antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga
10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur
IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu
penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu
penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma,
dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2) Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a) Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal),
b) Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan
sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c) Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3) Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan
kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi
aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ,
seperti kulit, ginjal, paru- paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness)
yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun
karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh
paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh
sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum
(malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4) Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi
sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak
dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan
histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tipe Waktu Penampakan Histologi Antigen dan


Reaksi Klinis Situs
Kontak 48 – 72 Eksim ( eczema Limfosit, Epidermal
jam ) diikuti ( senyawa
makrofag ; organic,
edema jelatang atau
epidemidis poison ivy,
logam verat,
dll)
Tuberkulin 48 – 72 Pengerasan Limfosit, Intradema
jam ( indurasi ) monosit, (tuberculin,
lokal makrofag lepromin, dll)
Granulom 21 – 28 Pengerasan Makrofag, Antigen
a jam epitheloid dan persiten atau
sel raksasa, senyawa asing
fibrosis dalam tubuh
(tuberculosis ,
kusta etc.)

Mekanisme Berbagai gangguan yang diperantai secara imonologis


Tip Mekanisme Imun Gangguan Protipe
e
1 Tipe Anafilaksis Alergen mengikat Anafilaksis, beberapa
silang antibody bentuk alergi bronkial
IgE => pelepsan
amino vasoaktif
dan mediatorlain
dari basophil dan
sel mast rektumen
sel radang lain
2 Anti bodi IgG atau IgM Anemia hemolitik autoimun,
terhadap antigen berikatan dengan eritroblastosis fetalis,
jaringan tertentu antigen pda penyakit Goodpasture
permukaan sel pemphigus vulgaris.
fagositosis sel
target atau lisi sel
target oleh
komplemen atau
sitotosisitas yang
diperantai oleh sel
yang bergantung
antibodi
3 Penyakit Kompleks antigen Reaksi arthua, serum
kompleks Imun – antibody sickness, lupus eritematosus
mengatifkan => sistemik, bentuk tertentu
komplemen glumerulonefritis akut
menarik perhatian
nenutrofil
menjadikan
pelepasan enzim
lisosom, radikal
bebas oksigen,
dllL
4 Hipersensitivitas limfisit T Tuberkolosis, dermatitis
selular ( lambat) tersensitisasi kontak penolakan tramplant
pelepasan sitokin
dan sitotoksisitas
yang di perantai
oleh sel T

E. Penyebab Alergi
Gambar 1 : pramareola14.wordpress.com
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan
antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, Jika antibodi IgE yang
terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut
alergen). Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan,
yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan.
Kadang istilah penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan
penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma
alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan
antibodi IgE terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu
binatang dan partikel-partikel debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim
(dermatitis atopik) juga merupakan suatu penyakit atopik meskipun sampai saat ini
peran IgE dalam penyakit ini masih belum diketahui atau tidak begitu jelas.

F. Gejala alergi
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata
berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi
gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada
orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau
obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.

G. Tipe-tipe Alergi
1. Alergi tipe I
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopic. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen.
Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I adalah :
• Konjungtivitis
• Asma
• Rinitis
• Anafilaktic shock
2. Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel
tubuh oleh karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang
berada pada permukaan sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G. Reaksi ini
terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung pada komplemen,
reaksi yang bergantung Riwayati, Reaksi Hypersensitivitas Atau Alergi, pada
ADCC dan disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi. Mekanisme singkat dari
reaksi tipe II ini sebagai berikut : IgG dan IgM berikatan dengan antigen di
permukaan sel.
Contoh penyakit-penyakit :
• Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
• Myasthenia gravis (MG)
• Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
• Immune thrombocytopenia purpura
• Thyrotoxicosis (Graves' disease)
3. Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)
Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari
kompleks antigen antibody berada di jaringan.
Contoh Penyakit :
a) malaria
b) schistosomiasis dan filariasis
c) Kelainan sendi, arthralgia dan efsi sendi
d) hepatitis B,
e) demam berdarah. , kejang perut dan mual
f) Systemic lupus erythematosus (SLE)
g) "Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)
4. Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)}
Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”).
Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terdiri dari 2 jenis, yaitu :
1) Reaksi granulomatosa. Ditandai dengan pembentukan granuloma yang
terdiri dari sel-sel berinti tunggal yang telah berubah, histiosit, sel-sel
epiteloid dan sel-sel dari benda asing.
2) Reaksi tuberculin. Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi
bakterial spesifik terhadap produk filtrate biakan yang bila disuntikkan ke
kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV
Adapun Gejala klinik umumnya :
 Pada Saluran Pernapasan : Asma
 Pada Saluran Cera : mual, muntah, diare, nyeri perut
 Pada Kulit : urtikaria, angioderm, dermatitis , pruritus, gatal , demam
 Pada Mulut : Rasa gatal dan pembekakan bibir
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan
1. Mekanisme IgE Tipe I
Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang
berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang
ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat
dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen
(dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut
didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia
yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat
atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang
merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah
penyakit atopic digunakan untuk menggambarkan
sekumpulan penyakit keturunan yang berhubungan
dengan IgE, seperti rhinitis alergika dan asma alergika.
Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk
menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan (benda-benda
yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan
partikel-partikel debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh.
Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan suatu penyakit
atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit
ini masih belum diketahui atau tidak begitu jelas. Meskipun
demikian, seseorang yang menderita penyakit atopik tidak
memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen
yang disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga).
Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada
mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu : Alergen langsung
melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel
mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah
terpapar alergen sebelumnya, sehingga Ig E telah
terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan
menyebabkan keluarnya mediator mediator kimia seperti
histamine dan leukotrine,dan Respons ini dapat terjadi jika
tubuh belum pernah terpapar dengan alergen penyebab
sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B
berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E
kemudian melekat pada permukaan sel mast dan akan
mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan alergen akan
menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan
mediator kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan
terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme pada
otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat
ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-
bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem
dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme
otot polos yang ditemukan pada nafilaktic shock).
2. Mekanisme IgG Tipe II
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang
menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena
antibody melawan/menyerang secara langsung antigen
yang berada pada permukaan sel. Antibodi yang berperan
biasanya Ig G mekanisme terjadinya reaksi alergi tipe II.
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen

akan diikat antibody yang berada di permukaan sel

makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks.

Kompleks ini menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9)

yang berakibat kerusakan.


Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di

permukaan K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah

merah. Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang berakibat

hancurnya sel darah merah.

Contoh penyakit-penyakit :

 Goodpasture (perdarahan paru, anemia)

 Myasthenia gravis (MG)

 Immune hemolytic (anemia Hemolitik)\

 Immune thrombocytopenia purpura

 Thyrotoxicosis (Graves' disease)

Terapi yang dapat diberikan pada alegi tipe II: immune

supresant cortikosteroidsprednisolone).

3. Mekanisme IgG Tipe III

Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena

deposit yang berasal dari kompleks antigen antibody


berada di jaringan. Gambar berikut ini menunjukkan

mekanisme respons alergi tipe III.

Keterangan gambar atas: Adanya antigen antibody

kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya komplemen.

Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease

histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi.

Keterangan gambar bawah: Alergen (makanan) yang

terikat pada antibody pada netrofil (yang berada dalam darah)

dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan

komplemen. Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada

jaringan.
Penyakit :

 the protozoans that cause malaria

 the worms that cause schistosomiasis and filariasis

 the virus that causes hepatitis B, demam berdarah.

 Systemic lupus erythematosus (SLE)

 "Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)

Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui

menyebutkan bahwa imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan

alergi sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap Dipteri atau

tetanus. Gejalanya Disebut dg. Syndroma sickness, yaitu :

 Fever

 Hives/urticarial

 Arthritis

 protein in the urine.


BAB IV
KESIMPULAN
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada
individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen
tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coombs
membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu : Pertama, Tipe I (reaksi
anafilatik), Kedua, Tipe II (reaksi sitotoksik), Ketiga, Tipe III (reaksi kompleks imun),
Keempat, Tipe IV (reaksi tipe lambat). Reaksi alergi disebabkan allergen yang
mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I), tipe II, tipe
III dan tipe IV.

Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang


pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Hipersensitivitas tipe 1
atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap
suatu zat yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini
menyebabkan kerusakan di jaringan yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang
dikenainya (Abbas & Lichtman, 2009)..

Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia
mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rinitis alergi, konjungtivitis alergi,
eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia meningkat pesat baik itu di negara
maju ataupun di negara berkembang. Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir
dan menjadi masalah terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012).

Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang
bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah
penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang
berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atopik
ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan
(benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel
debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas A, Lichtman A, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology, SixthEdition. Philadelphia:
Elsevier-Saunders; 2007.

Abbas AK, Lichtman AH (2009). Basic immunology fungtion and disorder of the immune
system third edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, pp: 206-10.
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S (2012). Cellular and molecular immunology. USA: Elsevier,
p: 437

Baratawidjaja K, Rengganis I. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta: Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Indonesia; 2009.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.


Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti. (2010). SEPUTAR REAKSI
HIPERSENSITIVITAS (ALERGI). Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Jember.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/download/2063/1669

Pawankar RS, Sánchez-Borges M, Bonini S, Kaliner MA. The Burden of Allergic Diseases. In:
WAO White Book on Allergy. ; 2011:27-38.

Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi


6.Jakarta:EGC. Riwayati. (2015). Reaksi Hypersensitivitas Atau Alergi, hal. 22
- 27 . Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera Vol. 13. Penerbit : Pusdibang – KS
LPPM Universitas Negri Medan.
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jkss/article/view/3593/3205
Wistiani., Notoatmojo H,. 2011. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi Pada
Anak. 13 (3). pp 188.

Anda mungkin juga menyukai