Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SINDROM STEVEN JOHNSON

Disusun untuk Memenuhi Tugas Remedial Farmakologi

Semester Ganjil 2016

OLEH :

Malik Abdul Azis


(0432950715070)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH


Jalan RA. Kartini No. 66 Bekasi 17113
Teip. (021) 8834-5084 Fax. (021) 8835 7111
E-mail : stikesbanisaleh@yahoo.co.id
Januari 2017
PEMBAHASAN

1.1 PENGERTIAN

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr.
Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut
sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme
(EM).Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda,
1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks


imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari
setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik Sindroma Stevens-
Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) yang mengenai kulit,selaput
lendIr di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan
sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat
menyebabkan kenmatian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat
daruratan penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya
EktodermaEerosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema
Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum danEeritema Bulosa
Maligna. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma stevensJohnson.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, bahkan dikatakan
Multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik
terhadap obat. Sebagaimana kita ketahui hampir semua obat dapat dibeli bebas diluar
apotik dan adanya kecenderungan para pasien mengobati dirinya sendiri lebih dahulu
sebelum berobat ke dokter karena faktor biaya. Oleh karena itu penyakit ini makin
sering ditemukan. Penyakit ini perlu diketahui oleh para dokter karena dapat
menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat,umumnya penderita
dapat diselamatkan.

2.1 INCIDENCE
Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang
dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria dan wanita tidak
berbeda jauh di rumah Sakit Ciptomangunkusumo setiap tahun kira-kira ditemukan 10
kasus.

3.1 EPIDEMIOLOGI
Pada cuaca yang dingin penyakit ini sering ditemukan.Juga adanya factor fisik pada
lingkungan seperti sinar matahari dan sinar X akan mempengaruhi timbulnya sindrom
ini.
4.1 ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan Multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan
disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang
sama. Beberapa factor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
Penisilline dan semisentetiknya
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol)
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol

2. Zat tambahan pada makanan(Food Additive) dan zat warna

3. Kontaktan: Bromofluorene, Fire sponge(Tedania Ignis) dan rhus(3-

Pentadecylcatechol).

4. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lainlain.

5. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler.

6. Pasca vaksinasi : BCG, Smallpox dan Poliomyelitis.

7. Penyakit-penyakit keganasan : Karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,

Myeloma, dan Polisitemia.

8. Kehamilan dan Menstruasi.

9. Neoplasma.

10. Radioterapi.
Pada sebagian penderita tidak diketahui penyebabnya. Yang diduga sebagai
penyebab tersering ialah alergi Sistematik terhadap obat dan infeksi.

11. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)


a. Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi salauran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
Asian flu ,Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi
Smallpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelitis juga
dapat menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson.
b. Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma
StevensJohnson ialah Brucellosis,Dyptheria, Erysipeloid, Glanders,
Pneumonia, Psittacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy
atau Typhoid Fever.
c. Jamur
Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai
Sindroma Stevens-Johnson.
d. Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

5.1 Manifestasi Klinis


SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang
dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna
merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh
dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk
lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan
demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SSJ dan TEN, pasien
mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur,
kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari
daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi
penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
 ruam
 lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
 bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
 konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan bola mata)
 demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a) Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga
terjadi purpura.Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainan
berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus
respiratorius bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c) Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering
ialah konjungtifitis kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis
purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias
kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan
onikolisis.
Komplikasi : Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang
didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain
ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan
syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
d) Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam
daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus
yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin


dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan
dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang
diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di
Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe


III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147)

Reaksi Hipersensitif tipe III


Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi
tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel
yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa
sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-
sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
e) Pemeriksaan laboratorium
 Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu
dalam penegakan diagnosis.
 CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit
kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
 Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab
infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal Adanya nekrosis sel
epidermis Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

6.1 Dagnosa
Diagnosa dapat dibuat berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis. Pada Anamnesa
hendaknya ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara
sistemik. Pada kasuskasus dimana telah mengalami dua kali reaksi alergi dengan obat
yang sama membuktikan bahwa memang obat tersebutlah yang menjadi penyebabnya.
Gambaran Klinis khas berupa adanya trias kelainan yaitu kelainan pada kulit, selaput
lendir orifisium dan mata. Keadaan Umum penderita bervariasi dari ringan sampai
berat. Pemeriksaan laboratorium darah dapat membantu memperkirakan kemungkinan
penyebab meskipun tidak khas. Jika terdapat lekositosis menunjukkan penyebabnya
kemungkinan karena infeksi. Bila terdapat Eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika
disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat
lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu
didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal
atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak
ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

7.1 PENATALAKSANAAN
Penanganan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang
tepat dan cepat.penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Penanganan
yang perlu dilakukan meliputi:
1) Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada
Sindrom Stevens –Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison
dengan dosis 30-40mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran
yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan Dexametason
intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari. Setelah beberapa hari (2-3 hari)
biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah teratasi),ditandai dengan
keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi
yang lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5
mg sehari lalu diganti dengan tablet Prednison yang diberikan pada keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan
menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-
kira 10 hari.
2) Antibiotik
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis
tinggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Di RS Cipto mangunkusumo
dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.
Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis dibagi
dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten
terhadap Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan
Gentamisin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi.
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau
bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta
kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa 5%
atau larutan Darrow. Pada pemberian Kortikosteroid
terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium dan efek Katabolik. Untuk
mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah
garam, KCl 3 x 500mg/ hari dan obatobat Anabolik. Untuk mencegah
penekanan korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot)
dengan dosis 1 mg/ hari setiap minggu dimulai setelah pemberian
Kortikosteroid.
4) Transfusi Darah Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc
setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk
memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada kasus
dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat Hemostatik.
5) Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat
sebagai protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk
lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan Kenalog in Orabase. Selain pengobatan
diatas, perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT
untuk mengetahui apakah ada kelainan di Faring,karena kadang-kadang
terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita bernafas dan
sebagaian penyakit dalam. Pemeriksaan sinar X Thoraks perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah ada kelainan pada paru, misalnya tuberculosis atau
Bronchopneumonia Aspesifik.

8.1 Pengobatan SSJ/TEN


Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.

Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat
dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk
menghindari infeksi.Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan
pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit.
Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus
untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah
infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien
merasa lebih nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN.


Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari
pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak
dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko
infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.


Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Djuanda A.:”Sindroma Stevens-Johnson” ,MDK,vol.9 no.4, Mei 1990,halaman 50.

Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB.:”Eritema Multiforme Exudativum”,”Stevens


Johnson Syndrome”,Andrew’s Disease of the Skin Clicical Dermatology,Igaku
Shoin/Saunders,Tokyo,Seventh Edition,1982,page 147-150,150-151.

Hamzah M.:”Sindroma Stevens-Johnson” ,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai


Penerbit FKUI, Jakarta,edisi kedua, 1993,halaman 127-129.

Sularsito SA,Soebaryo RW,Kuswadji: Sindroma Stevens-Johnson” ,Dermatologi


Praktis, Perkumpulan ahli DermatoVenereologi Indonesia, Edisi
Pertama,1986,halaman 121.

Anda mungkin juga menyukai