Anda di halaman 1dari 3

Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi

yang mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi kerusakan


pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk
larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik
kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem
fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung
diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui
ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel yang
berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III
ialah vaskulitis nekrotikans.

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein
asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika
seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun).
Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika
terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada
organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh
darah kecil pada kulit. Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu
dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen
disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit
akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut
akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan
komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan
setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat.
2

Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya


netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum
sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk
mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing
seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan
terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang
berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
1,2

Ikatan antibodi dengan antigen membentuk


kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya
produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut
disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen
yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi.

Kompleks imun akan mengendap pada jaringan


tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu
deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum,
kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik.
Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan
lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga
meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi.

Faktor humoral seperti komplemen dan enzim


fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah
pengendapan

Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor


humoral dan selular.

Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi


inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat
terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia),
pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip
pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis
jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus
ginjal, artritis jika terjadi pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang
mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi

patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan


level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi
cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun.
Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang
atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang
berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa
penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan deposisi
kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti seperti
pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya
terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi
intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki
antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke
dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya
kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap pada
dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun
trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.
Daftar Pustaka
Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung
Seto; 2010.p. 31-84.
Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The
Immune System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 2045.
2

Anda mungkin juga menyukai