Anda di halaman 1dari 10

TUGAS IMUNOLOGI

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Disusun oleh

Fauziah Karimah (19/450639/PKG/01329)

Nurnaningrum Sulistiani (19/450648/PKG/01338)

Dosen Pengampu :

drg. Suryono, SH, MM, Ph. D


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

PROGRAM STUDI KONSERVASI GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019

Pendahuluan

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan


bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh yaitu berupa penyakit
yang dikenal dengan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tipe III
merupakan salah satu pembagian dari reaksi hipersensitivitas berdasarkan Gell dan
Coombs (1963). Selain berdasarkan Gell dan Coombs, pembagian reaksi
hipersensitivitas juga dapat berdasarkan waktu timbulnya reaksi yaitu reaksi cepat,
intermediet dan lambat.

Definisi

Reaksi hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau sensitivitas


terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersensitivitas juga dikenal sebagai reaksi berlebihan, tidak diinginkan
(menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal) dari sistem kekebalan
tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
seluler tergantung pada sel B dan sel T. Aktivitas atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan keadaan imunopatologis yaitu reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell
dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu :

 Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaktif


 Reaksi hipersensitivitas tipe II yaitu reaksi sitotoksik
 Reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu reaksi kompleks imun
 Reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi yang diperantarai oleh sel
Berdasarkan kecepatan reaksinya, reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi
tipe cepat, reaksi hipersensitivitas tipe II dan III merupakan tipe intermediet,
sedangkan tipe IV merupakan reaksi tipe lambat.

Etiologi

Penyebab reaksi hipersensitivitas diantaranya :

a. Infeksi persisten

Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan muncul kompleks
imun pada organ yang terinfeksi

b. Autoimun

Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks imun mengendap
pada ginjal, sendi dan pembuluh darah

c. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan. Tempat kompleks
imun mengendap yaitu paru

Patofisiologi

Reaksi hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam jumlah
kecil dan antigen dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks imun yang kecil
dan sulit diekskresikan dari sistem sirkulasi. Kompleks imun ini memiliki sifat
sebagai antigen terlarut yang tidak berikatan dengan permukaan sel. Ketika antigen ini
berikatan dengan antibodi, maka terbentuk kompleks imun dengan berbagai ukuran.
Kompleks imun yang berukuran besar dapat dimusnahkan oleh makrofag, namun
kompleks imun yang berukuran kecil, sulit untuk dimusnahkan oleh makrofag
sehingga dapat lebih lama bertahan dalam sirkulasi.

Kompleks imun ini menjadi berbahaya ketika mengendap di jaringan. Beberapa


jaringan tersebut diantaranya: pembuluh darah, persendian dan glomerulus. Endapan
ini akan menimbulkan gejala. Kompleks imun berukuran medium lebih bersifat
patogen.

a. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergi ekstrinsik) atau dari
jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen yang berlebihan
tanpa disertai respon antibodi yang efektif. Oleh karena makrofag belum dapat
memusnahkan kompleks imun, sehingga perangsangan terhadap makrofag ini terjadi
secara terus menerus dan berakibat terhadap rusaknya jaringan.
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 atau
IgA diendapkan di membran basal vaskuler dan membran basal ginjal sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks ini juga dapat menimbulkan
agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permiabilitas vaskuler, aktivitas sel
mast, produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks
neutrofil. Bahan toksik ini dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya.
(Gambar 1)

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe III

b. Kompleks imun mengendap di jaringan

Beberapa hal yang dapat menyebabkan kompleks imun dapat mengendap di jaringan
yaitu : ukuran kompleks imun yang kecil serta permiabilitas vaskuler yang meningkat
antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.

Kompleks antigen antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut:

1. Aktivasi komplemen

2. Melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang merangsang mastosit melepas histamin

3. Melepas faktor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) mengerahkan polimorf yang


melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik

4. Menimbulkan agregasi trombosit

5. Menimbulkan mikrotrombi
6. Melepas amin vasoaktif

7. Mengaktifkan makrofag

8. Melepas IL-1 dan produk lainnya.

Bentuk Reaksi

Terdapat 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu : reaksi lokal atau sistemik.

a. Reaksi Lokal atau fenomena Arthus

Maurice Arthus yang menemukan bahwa penyuntikkan serum kuda ke


intradermal kelinci secara berulang-ulang di tempat yang sama akan terjadi reaksi
yang hebat. Reaksi awal berupa eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah
suntikan kemudian edema yang lebih besar. Reaksi tersebut hilang setelah keesokan
harinya. Pada suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit
sembuh. Hal ini disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk reaksi dari
kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.

Gambar 2. Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III pada Reaksi Arthus

Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskuler


dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul
berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan
eritem sampai nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi
kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan alveolitis atau
farmers lung. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen,
meningkatkan permiabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edema. C3a
dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai
diarahkan ke tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah.

Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan
leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast,
peningkatan permiabilitas vaskular dan respon tripel terhadap kulit. Neutrofil yang
diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepaskan berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan
vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Reaksi Arthus

Suntikan obat dapat memacu pembentukan kompleks imun (1), lalu mengaktivasi
komplemen melalui jalur klasik (2), dan kompleks imun diikat oleh sel mast (3),
menimbulkan degranulasi oleh neutrofil yang memacu kemotaksis (4) dan melepas
enzim litik (5).
Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus

Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan berbagai


komponen-komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh
darah. Bila kadar komplemen atau granulosit menurun maka kerusakan khas dari
arthus tidak terjadi. Reaksi arthus pada klinis dapat berupa vaskulitis.

b. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness

Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III, yang berasal
dari injeksi heterologus protein asing atau serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder
dari obat-obatan non protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von
Pirquet dan Shick pada tahun 1905. Serum sickness merupakan sindrom yang terdiri
dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri sendi dan limpadenopati pada regio yang
diinjeksi. Pemberian obat-obatan seperti penisilin, NSAID (Nonsteroidal anti
inflammatory drugs) juga berhubungan dengan penyakit yang mirip dengan serum
sickness.

Patofisiologi

Pada saat tubuh terpapar antigen asing, dimana tidak terdapat antibodi, serum
sickness dapat muncul setelah 1-2 minggu. Serum sickness ini muncul saat antibodi
terbentuk dan patogenesa serum sickness berhubungan dengan interaksi sirkulasi
antigen dan antibodi yang membentuk kompleks imun pada lingkungan dengan
kelebihan antigen.

Interaksi imunologi pada serum sickness timbul ketika antigen mampu mengenali
sirkulasi pada saat pembentukan antibodi. Kompleks imun dengan ukuran kecil tidak
menyebabkan inflamasi, kompleks imun yang berukuran besar biasanya dimusnahkan
oleh sistem retikuloendotelial sistem. Sedangkan yang berkuran intermediet, dapat
mengendap pada dinding pembuluh darah dan jaringan, sehingga dapat menyebabkan
kerusakan oleh karena aktivasi komplemen dan granulosit. Sel endotelial meningkat
pada saat adhesi molekul, monosit dan makrofag melepaskan sitokin proinflamasi.
Kemudian sel inflamasi lainnya direkrut serta terjadi nekrosis pada pembuluh darah.

Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis dan ikatan neutropil dengan


kompleks imun yang mengendap. Hal ini difasilitasi oleh peningkatan permiabilitas
vaskular melalui pelepasan amin vasoaktif dari sel mast. Pada saat ini, level
komplemen turun samapai setengah dari level respon antibodi. Sindroma kinik ini
timbul selama 1-2 minggu injeksi antigen. Antigen bebas biasanya dimusnahkan dari
darah, sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan pembentukan kompleks imun
yang berukuran besar dan mudah dimusnahkan oleh makrofag. Gejala klinis biasanya
sembuh atau menghilang 7-28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet
juga dimusnahka oleh sistem retikuloendotel.

Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul dari sistem imun.
Serum sickness sekunder memiliki gejala onset yang pendek dan gejala yang
berlebihan. Penyakit kompleks imun muncul dengan penyebab yang masih belum
jelas. Faktor yang mungkin berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun,
defisiensi relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap rendahnya
kemampuan eliminasi kompleks imun.

Etiologi

Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan yang mengandung protein
tertentu :

Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi monoklonal dan poliklonal


dari kuda, kelinci, tikus contohnya antithymocyte globulin.

Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin, furazolidone, griseofulvin,


lincomycin, metronidazole, paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin,
sulfonamide, tetrasiklin.

Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion, captopril, karbamazepin,


fluoxetine, halotan, hidantoin, hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran,
metimazole, metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan thiouacil.

Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum sickness like syndrome


yaitu : infliximab pada pengobatan chron disease dan reumatoid artritis. Omalizumab
digunakan untuk terapi alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab biasanya
digunakan pada berbagai penyakit diantaranya cryoglobulinemia dan lymphoma.

Gejala Klinis
Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan agen penyebab.
Waktu yang paling singkat untuk muncul yaitu 12-36 jam. Gejala klinis dapat berupa :
Demam, malaise (100%), demam dengan suhu tinggi dalam beberapa hari.

Erupsi kulit (93%) berupa urtikaria, muncul pada anteror badan bagian bawah,
periumbilikalis, aksila dan menyebar ke bagian atas badan dan ekstremitas. Dapat
pula muncul rash seperti morbili, palpabel purpura, eritema simplex, eritema
multiform,pruritus dan edema.

Atralgia (77%) biasanya pada metacarpophalangeal atau knee joint.

Gastrointestinal (67%)

Sakit kepala (57%)

Pandangan kabur (37%)

Mialgia (37%)

Dipsneu (20%)

Limpadenopati (17%)

Renal impairment : proteinuri, hematuri mikroskopi, oliguri.

Neurologi imparement : neuropati perifer, neuritis pleksus brachial, neuritis optik,


Guillain Barre Syndrome, encephalomyelitis.6

Diagnosa Banding

Beberapa diagnosa banding serum sickness terdiri dari :

Cyroglobulinemia

Glomerulonepritis

Hepatitis viral

Infeksius mononukleosis

Endikarditis infeksi

Kawasaki disease

Leukocytoclastic vasculitis
Sickle Cell Anemia

Systemic Lupus Erythematosus.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yaitu berupa : leukopenia atau mild leukositosis


dengan atau tanpa eosinopilia, sel plasma pada darah tepi, sedimen eritrosit meningkat,
peningkatan IgG, proteinuria ringan atau hematuria, kreatinin serum meningkat,
penurunan komplemen C3,C4, Cyroglobulinemia atau gabungan IgG dan IgM.

Anda mungkin juga menyukai