Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

UJI ANTIINFLAMASI METODE VOLUME UDEM

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
FARMASI B

VEMAS BRIELYAN PRIHATAMA 202110410311043


HUANITA CAHYA CHAMILA 202110410311078
RIFKY ADI KURNIAWAN 202110410311094
SAFIRA FITRI AULIA 202110410311095
AFKARINA KAMALIN A F 202110410311100
ALIFIA MASHITHA ETIKA H 202110410311102
DHEA RAIHANA AZIZA 202110410311108

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii


A. TUJUAN ................................................................................................................... 3
B. DASAR TEORI ....................................................................................................... 3
I. Inflamasi .............................................................................................................. 3

II. Obat Antiinflamasi.............................................................................................. 6

III. Tinjauan Obat yang Digunakan ...................................................................... 18

IV. Pletismometer .................................................................................................... 24

V. Fase-fase Hubungan Waktu dan Efek Obat ................................................... 25

VI. Rute Pemberian Obat ....................................................................................... 26

VII. Macam-metode Pengujian Antiinflamasi ....................................................... 27

C. ALAT DAN BAHAN ............................................................................................. 29


I. Alat ..................................................................................................................... 29

II. Bahan ................................................................................................................. 29

D. PROSEDUR KERJA............................................................................................. 30
E. HASIL PENGAMATAN ....................................................................................... 31
F. PEMBAHASAN ..................................................................................................... 34
G. BAHAN DISKUSI ................................................................................................. 39
H. KESIMPULAN ...................................................................................................... 40
I. LAMPIRAN ........................................................................................................... 41
J. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 43

ii
A. TUJUAN

Memahami prinsip eksperimen terhadap efek antiinflamasi dengan menggunakan


alat pletismometer.

B. DASAR TEORI

I. Inflamasi

a. Pengertian Inflamasi
Inflamasi berasal dari kata inflammare yang berarti membakar. Inflamasi
merupakan respon protektif yang sangat diperlukan oleh tubuh dalam upaya
mengembalikan ke keadaan sebelum cidera atau untuk memperbaiki diri sendiri
sesudah terkena cidera (Amelia, 2020).
Menurut Bhara (2012), inflamasi adalah respon fisiologis berupa perlawanan
terhadap lingkungan di sekitar tubuh akibat cedera untuk memperbaiki jaringan-
jaringan yang sudah terlanjur rusak dan menghancurkan agen-agen penyebab
inflamasi tersebut (Aulia, Safitri and Fadilah, 2013).
Sedangkan menurut Katzung (2004), Inflamasi merupakan suatu respon
jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak sel. Rangsangan
ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,
bradikinin, dan prostaglandin yang menimbulkan reaksi radang berupa panas,
nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kerusakan sel yang terkait
dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan
leukosit mengeluarkan enzim-enzim lisosomal dan asam arakhidonat.
Metabolisme asam arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin yang
mempunyai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang
terlibat dalam inflamasi. Penyakit lain yang melibatkan adanya proses inflamasi
kronis dalam tubuh antara lain, infeksi saluran pernapasan akut, asma, diabetes,
dermatitis, penyakit sendi, alergi, anemia, hepatitis, tumor/kanker, dan penyakit-
penyakit autoimun (Prabowo, 2016).

3
b. Mekanisme terjadinya radang (inflamasi)
Respons inflamasi adalah stimulasi jalur pensinyalan yang terkontrol dan
terkoordinasi yang mengatur tingkat mediator yang terlibat dalam peradangan di
lokasi jaringan dan merekrut sel-sel inflamasi dari darah untuk mempertahankan
homeostasis jaringan (Lawrence, 2009). Peradangan biasanya merupakan
fenomena umum patogenesis banyak kondisi penyakit kronis bersama dengan
neurodegeneratif, penyakit usus dan kardiovaskular, artritis, kanker, dan diabetes
(Libby, 2007). Rantai respons dinamis ini mencakup peristiwa seluler dan
vaskular dengan stimulasi mediator spesifik. Dengan demikian mengubah lokasi
fisik leukosit, plasma dan cairan menuju tempat peradangan. Kumpulan
mediator dan molekul pensinyalan (misalnya histamin, prostaglandin, radikal
bebas yang dihasilkan dari nitrogen dan oksigen, serotonin dan leukotrien)
dilepaskan terutama oleh sel imun untuk memulai peristiwa peradangan
(Anwikar et al., 2010) . Respon inflamasi dimediasi terutama oleh dua peristiwa
i) akut dan ii) kronis; masing-masing dipicu oleh mekanisme yang berbeda
(Serhan et al., 2015). Terjadinya mikrovaskulatur selama cedera/infeksi
berlangsung cepat dan akhirnya menyebabkan vasodilatasi dan membuat
pembuluh darah menjadi lebih permeabel dan memungkinkan mediator
peradangan untuk masuk dan menghasilkan edema di ruang interstisial (Porter,
2013 ) (Mega et al., 2021).

c. Gejala terjadinya inflamasi


Menurut Price dan Wilson (2005), tanda-tanda umum yang terjadi pada
proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas
setempat yang berlebihan), dolor (rasa nyeri), dan fungsiolaesa (gangguan
fungsi/kehilangan fungsi jaringan yang terkena) (Amelia, 2020).

1. Rubor (kemerahan)
Menurut Price & Wilson (1995) dalam Lumbanraja (2009) Kemerahan
atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada saat
mengalami peradangan. Ketika reaksi peradangan mulai timbul maka arteri
yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar, oleh karena itu darah
mengalir lebih banyak ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh darah yang

4
sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi
penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya
hyperemia merupakan permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh
melalui pengeluaran zat mediator seperti histamin (Muthmainnah, 2016).

2. Tumor (pembengkakan)
Gejala dari peradangan akut adalah tumor atau pembengkakan. Hal ini
terjadi akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler serta adanya
penyaluran cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera.
Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih
mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin yang diikuti oleh
molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih
banyak protein yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam
jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Muthmainnah,
2016).

3. Kalor (panas yang berlebihan)


Panas merupakan reaksi pada permukaan tubuh yakni kulit yang terjadi
bersamaan dengan kemerahan akibat peradangan. Daerah peradangan pada
kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, hal ini terjadi karena darah
dengan suhu 37oC lebih banyak disalurkan ke permukaan daerah yang
terkena radang lebih banyak dibandingkan ke daerah normal (Muthmainnah,
2016).

4. Dolor (rasa nyeri)


Menurut Lumbanraja (2009), rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan
dihasilkan dengan berbagai mekanisme. Perubahan pH lokal atau konsentrasi
ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan zat
kimia tertentu misalnya mediator histamin atau mediator lainnya yang
menyebabkan pembengkakan dan peradangan pada jaringan sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan rasa sakit
(Muthmainnah, 2016).

5
5. Functiolaesa (gangguan fungsi/kehilangan fungsi jaringan yang terkena)
Menurut Dyaningsih (2007), functio laesa adalah reaksi peradangan yang
ditandai dengan nyeri disertai adanya sirkulasi yang abnormal akibat
penumpukan dan aliran darah yang meningkat sehingga menghasilkan
lingkungan kimiawi lokal yang abnormal dan menjadikan jaringan yang
terinflamasi tersebut tidak berfungsi normal (Muthmainnah, 2016).

d. Jenis radang (inflamasi)


Menurut Robbins dan Kumar (1995) terdapat 2 jenis inflamasi yaitu:
1. Inflamasi Akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
2. Inflamasi Kronik terjadi karena rangsang yang menetap, seringkali selama
beberapa minggu atau bulan, menyebabkan infiltrasi sel-sel mononuklear
dan proliferasi fibroblast.
(Amelia, 2020)

II. Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala-


gejala atau perubahan fisiologis yang dirasakan berlebih pada kondisi inflamasi,
misalnya nyeri yang tak tertahankan, rasa gatal yang berlebih, kemerahan dan
bengkak yang mengganggu, walaupun inflamasi bisa merupakan fenomena
menguntungkan karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya
adalah netralisasi dan agen penyerang serta penghancuran jaringan nekrosis
(Universitas Muhammadiyah Malang, 2023).
Obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama yaitu golongan
kortikosteroid (steroid) dan NSAID (non-steroid).

a. Kortikosteroid

1. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan
di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau

6
atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak system fisiologis
pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stress, tanggapan system
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku
(Widianingtyas, 2018). Obat kortikosteroid merupakan obat yang
mengandung kortikosteroid dan diproduksi secara sintetik oleh industry
farmasi. Obat ini digunakan sebagai terapi antiinflamasi dan
imunosupresan dalam dunia farmasi (Suherman and Ascobat, 2007).

2. Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan memengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormone memasuki sel melewati membrane plasma secara difusi
pasif. Hanya di jaringan target hormone ini bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks
reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi
sintesis protein ini akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Nisa, 2019).
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormone steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik. Pada jaringan lain, misalnya sel
limfoid dan fibroblast hormone steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya (Nisa, 2019).

3. Fungsi Kortikosteroid
Fungsi kortikosteroid meliputi metabolisme makronutrien (karbohidrat,
protein dan lemak), mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Selain itu juga mempengaruhi kerja system peredaran darah, sistem imun,
sistem kerja otot dan tulang serta saraf (Aprianto,2016). Kortikosteroid
digolongkan berdasarkan potensi relatifnya dalam retensi Na+, efek
terhadap metabolisme karbohidrat (yakni penimbunan glikogen dan
glukogenesis di hati), dan efek antriradang. Pada umumnya, potensi
steroid yang dinilai dari kemampuannya untuk mempertahankan gidup
hewan yang telah menjalani adrenalekotomi hamper setara dengan
potensinya untuk retensi Na+. Potensi dtetapkan berdasarkan efeknya

7
terhadap metabolisme glukosa yang hamper setara dengan potensinya
untuk efek antiradang (Nisa, 2019).
Kerja antiradang dan immunosuoresif kortikosteroid yang merupakan
kerja salah satu penggunaan farmakologis utama golongan ini juga
memberikan mekanisme perlindungan dalam keadaan fisiologis, karena
banyak mediator imunitas menimbulkan respons radang yang menurunkan
tonus vascular dan dapat menyebabkan kolaps kordiovaskular jika tidak
dilawan oleh adrenokortikostreroid (Goodman&Gilman,2014). Selain itu
efek farmakologis kortikosteroid di jaringan yang berbeda dan berbagai
efek fisiologis kortikostreroid tampaknya diperantarai oleh reseptor yang
sama. Oleh karena itu, turunan glukokortikostreroid yang kini digunakan
sebagai senyawa farmakologis memeiliki efek samping pada proses
fisiologis yang sejalan dengan keefektifan terapeutiknya (Nisa, 2019).

4. Klasifikasi
Berdasarkan klinik, umumnya kortikosteroid dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralkortikoid.

a) Glukokortikoid
Menurut Setiyawan (2013), glukokortikoid utama pada manusia
adalah kortisol (hidrokortison) yang memiliki beragam efek fisiologi,
termasuk anti-inflamasi, imunosupresan, anti-proliferatif, dan
vasokonstriktif. Efek utama dari glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasinya juga nyata,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil
(Ganiswarna, 2016). Glukokortikoid disintesis dari kolesterol oleh
zona retikularis kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi di bawah
pengaruh hormon adrenokortikotropik (ACTH). Pembentukan dan
sekresinya diatur secara ketat oleh susunan saraf pusat yang sangat
peka terhadap umpan balik negatif oleh kortisol dalam darah atau
glukokortikoid eksogen (sintetik). Kortisol disekresikan setiap hari
pada orang dewasa normal tanpa adanya stress sebesar 10-20 mg.
Laju sekresi mengikuti irama sirkadian yang diatur oleh hormon

8
adrenokortikotropik (ACTH) yang memuncak pada pagi hari setelah
makan, khususnya makan siang (Zulkasih, 2021).
Pada plasma, kortisol terikat dengan Corticosteroid Binding
Globulin (CBG). Albumin mempunyai kapasitas besar namun
afinitasnya rendah terhadap kortisol. Kortikosteroid sintetik seperti
deksametason umumnya lebih terikat ke albumin daripada ke CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi sekitar 60-90 menit, waktu ini
dapat meningkat pada pemberian hidrokortison dalam dosis besar
atau jika terdapat stres, hipotir atau penyakit ipotiroidisme hati
(Setiyawan, 2013) (Zulkasih, 2021).

b) Mineralkortikoid
Golongan mineralkortikoid mempunyai efek utama terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada
penyimpanan glikogen hepar sangat kecil (Ganiswarna, 2016).
Mineralkortikoid yang terpenting pada manusia adalah aldosteron.
Sekresi aldosteron diatur oleh ACTH dan sistem renin-angiotensin,
sangat penting diregulasi volume darah dan tekanan darah.
Aldosteron memiliki waktu paruh yang pendek dan sedikit aktivitas
glukokortikoid (Zulkasih, 2021).
Mineralkortikoid lainnya termasuk deoksikortikosteron (DOC),
secara alami terjadi prekursor aldosteron. Sedangkan fludrokortison
merupakan suatu kortikosteroid sintetik yang paling sering dipakai
sebagai hormon penahan garam dan lebih disukai untuk terapi
pengganti adrenalektomi dan kondisi lain di mana terapi
mineralkortikoid dibutuhkan (Katzung et al, 2012) (Zulkasih, 2021).

5. Sediaan Kortikosteroid
Menurut de Lange and Kars (2008), sediaan kortikosteroid dapat
diberikan secara oral, parenteral (intravena, intramuskular, intrasinovial,
dan intralesi), topikal pada kulit dan mata (salep, krim, dan losio) maupun
aerosol melalui jalan nafas. Absorpsi glukokortikoid cukup efektif bila
diberikan per oral, karena kortikosteroid diabsorpsi dengan baik secara
oral. Secara intramuskular gukokortikoid juga dapat diberikan untuk

9
memberikan efek lama. Dengan berbagai sediaan yang ada, hal ini tetap
harus memperhatikan cara pemberiannya, seperti diberikan penutup pada
area lokal, pemberian jangka panjang, dan luas area pemberian (Zulkasih,
2021).

6. Sediaan Oral Kortikosteroid


Sediaan oral kortikosteroid adalah sediaan kortikosteroid yang cara
pemberiannya melalui mulut. Contoh dari sediaan oral kortikosteroid yaitu
sebagai berikut:

a) Deksametason
Deksametason merupakan isomer dari betametason. Efek 0,75
mg deksametason setara dengan efek 20 mg kortisol. Pada
penggunaan oral, dosis awal yang digunakan yaitu 0,5-10 mg/hari
sedangkan untuk anak-anak yaitu 10-100 mcg/kg BB/hari.
Deksametason sangat mudah untuk dijumpai dan merupakan pilihan
utama untuk berbagai macam terapi terutama untuk menekan proses
peradangan dan anti alergi, misalnya untuk mengatasi penyakit
rhinitis alergi, dermatitis kontak, asma bronkial, rheumatoid arthritis,
sindrom Cushing, hyperplasia arenal kongenital, udema serebral
yang berhubungan dengan kehamilan, batuk yang disertai sesak
napas, penyakit rematik, dll. Deksametason juga digunakan untuk
penatalaksanaa post-operative nausea and vomiting. Efek
sampingnya yaitu nafsu makan meningkat, berat badan bertambah,
gangguan tidur, sakit kepala, dll (Ikatan Apoteker Indonesia, 2018).
Pemeriannya yaitu serbuk hablur; putih sampai praktis putih; tidak
berbau; stabil di udara. Melebur pada suhu lebih kurang 250°C
disertai peruraian. Sedangkan kelarutannya yaitu agak sukar larut
dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan dan dalam metanol;
sukar larut dalam kloroform; sangat sukar larut dalam eter; praktis
tidak larut dalam air (Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih,
2021).

10
b) Prednisolon
Prednisolon merupakan derivat sintetik dari kortisol yang lebih
kuat kira-kira 5 kali. Efek anti-inflamasi 5 mg prednisolon hampir
sama dengan 20 mg kortisol. Pada penggunaan oral, dosis awal yang
digunakan yaitu 10-20 mg/hari (penyakit berat sampai 60 mg/hari).
od mnghan), sebaiknya diberikan pagi setelah sarapan pagi, dosis
dapat diturunkan dalam beberapa hari tetapi dilanjutkan selama
beberapa minggu atau bulan. Dosis pemeliharaan 2,5-15 mg/hari,
tetapi dapat ditingkatkan bila diperlukan, efek samping meningkat
pada dosis di atas 7,5 mg/hari. Obat ini cocok digunakan untuk
demam, reumatik akut, asma bronkial, lupus eritema, neoplastik,
limfe, emfisema paru, fibrosis, dll. Penggunaan prednisolon
berpotensi menimbulkan efek samping, terutama untuk penggunaan
jangka panjang seperti moon face, peningkatan gula darah,
osteoporosis, peningkatan berat badan, dll (Ikatan Apoteker
Indonesia, 2018). Pemeriannya yaitu serbuk hablur, putih sampai
praktis putih; tidak berbau; melebur pada suhu 235°C disertai
penguraian. Sedangkan kelarutannya yaitu larut dalam metanol dan
dalam dioksan; agak sukar larut dalam aseton dan dalam etanol;
sukar larut dalam kloroform; sangat sukar larut dalarn air
(Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

c) Prednison
Prednison merupakan derivat sintesis dari kortisol, dan
merupakan obat prekursor dari prednisolon dengan dosis ekuivalen
5 mg. Pada penggunaan oral, dosis awal yang digunakan yaitu 10-20
mg/hari (penyakit berat sampai 60 mg/hari). Prednison digunakan
untuk mengobati alergi, peradangan, dan penyakit lain yang
membutuhkan glukokortikoid seperti reumatik, penyakit kolagen,
penyakit kulit, rheumatoid arthritis, asma bronkial, nefrosis, dll.
Efek samping dari obat ini antara lain dapat menyebabkan moon face,
edema, hipertensi, gangguan penglihatan, peningkatan berat badan
yang drastis, mudah memar, dll (Ikatan Apoteker Indonesia, 2018).

11
Pemeriannya yaitu serbuk hablur; putih atau praktis putih, tidak
berbau; melebur pada suhu 230°C disertai penguraian. Sedangkan
kelarutannya yaitu sangat sukar larut dalam air; sukan larut dalam
etanol, dalam kloroform, dalam dioksan dan dalam metanol
(Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

d) Metilprednisolon
Metilprednisolon merupakan derivat metil dari prednisolon. Efek
anti-inflamasi 4 mg metilprednisolon sama dengan 20 mg kortisol.
Pada penggunaan oral, dosis awal yang digunakan yaitu 2-40
mg/hari. Obat ini untuk m penyakit paru obstruktif kronik, asma
bronkial, rhinit.. 21/39 urtikaria, eksema atau dermatitis, dll. Efek
samping penggunaan metilprednisolon diantaranya lebih mudah
terkena infeksi, naiknya kadar gula dalam darah, mual dan muntah,
sulit tidur, sakit maag, dll (Ikatan Apoteker Indonesia, 2018).
Pemeriannya yaitu serbuk hablur, putih sampai hampir putih, tidak
berbau; melebur pada suhu 240°C disertai penguraian. Sedangkan
kelarutannya yaitu praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut
dalam etanol, dalam dioksan dan dalam metanol; sukar larut dalam
aseton dan dalam kloroform, sangat sukar larut dalam eter
(Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

e) Triamsinolon
Triamsinolon merupakan derivat fluorinasi dari prednisolon, efek
antiinflamasi 4 mg triamsinolon sama dengan efek 20 mg kortisol.
Pada penggunaan oral, dosis awal yang digunakan pada orang
dewasa yaitu 4-48 mg/hari. Indikasinya yaitu untuk insufisiensi
adrenal kronik sekunder, reaksi alergi, rhinitis alergi, penyakit
kolagen, udem serebral, sindrom nefrotik, gangguan saluran
pencernaan, dll (Ikatan Apoteker Indonesia, 2018). Penggunaan
triamsinolon dapat menyebabkan gangguan penglihatan, bengkak,
berat badan naik, merasa sesak nafas, depresi berat, dll. Pemeriannya
yaitu serbuk hablur, putih atau praktis putih; tidak berbau.
Sedangkan kelarutannya yaitu sangat sukar larut dalam air, dalam

12
kloroform dan dalam eter; sukar larut dalam etanol dan dalam
methanol (Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

f) Hidrokortison
Hidrokortison memiliki dosis ekuivalen 20 mg yang bekerja
dengan menurunkan respon sistem kekebalan tubuh, sehingga gejala
dan keluhan, termasuk nyeri dan pembengkakan bisa berkurang
seperti kekurangan adrenokortikal, syok, inflamasi usus besar,
ambeien, rematik, penyakit mata, dll. Pada penggunaan oral, dosis
untuk terapi pengganti yaitu 20-30 mg/hari dalam dosis terbagi,
sedangkan untuk anak-anak yaitu 10-30 mg. Efek samping yang
mungkin timbul setelah menggunakan hidrokortison diantaranya
mual dan muntah, sakit kepala atau pusing, nafsu makan meningkat,
dll (Ikatan Apoteker Indonesia, 2018). Pemeriannya yaitu serbuk
hablur; putih sampai praktis putih; tidak berbau. Melebur pada suhu
lebih kurang 215° disertai penguraian. Sedangkan kelarutannya
yaitu sangat sukar larut dalam air dan eter; agak sukar larut dalam
aseton dan etanol; sukar larut dalam kloroform (Kementerian
Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

g) Betametason
Betametason merupakan derivat prednisolon yang sudah
difluorinasi. Efek antiinflamasi 0,75 mg betametason setara dengan
20 mg kortisol. Pada penggunaan oral, dosis awal yang digunakan
yaitu 0,5-5 mg/hari. Betametason mempunyai efek
mineralokortikoid yang lebih rendah dari kortisol dan tidak
dianjurkan untuk terapi pengganti dari insufisiensi adrenokortikal.
Betametason dilaporkan dapat digunakan untuk penanganan nyeri
pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan
anorektal yang mendapatkan anestesi umum, tanpa meningkatkan
resiko terjadinya komplikasi luka. Selain itu juga bisa digunakan
untuk gangguan endokrin, muskuloskeletal, gangguan saluran
pencernaan, hematologik, dan neoplasmik. Efek samping yang
mungkin timbul setelah menggunakan betametason diantaranya

13
sakit kepala, lelah atau otot-otot melemah, risiko infeksi, sulit tidur,
perubahan suasana hati terutama pada awal pengobatan, dll (Ikatan
Apoteker Indonesia, 2018). Pemeriannya yaitu serbuk hablur; putih
sampai hampir putih; tidak berbau; melebur pada suhu lebih kurang
240° disertai sedikit peruraian. Sedangkan kelarutannya yaitu tidak
larut dalam air; agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam
dioksan dan dalam metanol; sangat sukar larut dalam kloroform dan
dalam eter (Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Zulkasih, 2021).

b. Antiinflamasi Non-Steroid

1. Definisi
Obat analgetik, antipiretik dan antiinflamasi atau sering disebut AINS
merupakan suatu kelompok obat yang memiliki senyawa heterogen secara
kimia yang bekerja menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang
mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin,
prostasiklin dan tromboksan (Desniar and Gultom, 2017).
Obat anti inflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAID (Non
Steroidal Antiinflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang
memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan
antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk
membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki
khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Secara umum, NSAID diindikasikan untuk merawat gejala penyakit
seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain
dan sakit kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan hingga sedang pada
luka jaringan, demam, ileus, dan renal colic (Amelia, 2020).

2. Mekanisme Kerja
Proses inflamasi atau peradangan adalah respon terhadap stimulus luka
yang disebabkan oleh infeksi, antibodi dan cedera fisik.17 Tubuh memiliki
respon imun yang akan menetralkan antigen dalam tubuh. Namun respon
imun yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan peradangan kronik
yang bersifat merugikan. Sel yang rusak akibat peradangan kronik akan

14
melepaskan sejumlah mediator inflamasi. Leukosit akan melepaskan asam
arakidonat yang merupakan hasil metabolisme di jalur siklooksigenase dan
menghasilkan prostaglandin. Prostaglandin memiliki efek pada pembuluh
darah, saraf dan sel-sel yang terlibat dalam peradangan (Desniar and
Gultom, 2017).
Obat Anti-inflamasi non-steroid ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga terdapat penurunan prostaglandin dan precursor
tromboksan yang disintesis oleh asam arakidonat.18 Enzim
siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX-2.
Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya
bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan
berbagai fungsi pada kondisi normal di berbagai jaringan, khususnya
ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1
menghasilkan prostasiklin yang bersifat melindungi mukosa lambung atau
sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga diinduksi berbagai
stimulus inflamator, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan
(growth factors). Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi
fisiologis yaitu pada organ ginjal, jaringan vaskular dan pada proses
perbaikan jaringan. Tromboksan A2 yang disintesis trombosit oleh COX-
2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti proliferative
(Desniar and Gultom, 2017).
Prostaglandin dilepaskan ketika sel rusak lalu obat AINS selektif dan
non-selektif menghambat biosintesisnya pada semua tipe sel. Akan tetapi,
obat golongan ini tidak menghambat pembentukan mediator inflamasi lain.
Meskipun efek klinis obat-obat ini secara jelas menghambat sintesis
prostaglandin, perbedaan besar antar individu dan intra individu dalam
respon klinis diketahui dapat mengurangi produksi radikal superoksida,
menginduksi apoptosis, menghambat ekspresi molekul adhesi,
menurunkan nitrogen monoksida sintase, menurunkan sitokin
proinflamatori (contohnya TNF-α dan IL-1), mengubah aktivitas limfosit,
dan mengganggu fungsi membran seluler. Akan tetapi, terdapat perbedaan

15
pendapat mengenai kerja ini yang berperan dalam aktivitas anti-inflamasi
obat AINS pada konsentrasi yang dicapai selama terapi (Desniar and
Gultom, 2017).

3. Klasifikasi NSAID
Klasifikasi obat anti-inflamasi non-steroid secara umum adalah sebagai
berikut:

a) NSAID Inhibitor Non-selektif


Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan
selektivitas yang berbeda. AINS pada golongan ini adalah inhibitor
dari siklooksigenase 1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX-2).
Jenis-jenisnya antara lain :

1) Asam Salisilat
Asam salisilat adalah asam organik sederhana yang cepat
diabsorbsi dari lambung dan usus bagian atas, menghasilkan
kadar puncak dalam plasma dalam waktu 1-2 jam. Asam salisilat
terikat pada albumin, tetapi ikatan dan metabolisme salisilat dapat
menjadi jenuh sehingga fraksi yang tidak terikat meningkat
seiring menigkatnya konsentrasi total. Contoh obat yaitu aspirin
dan diflunisal (Desniar and Gultom, 2017).

2) Derivat Para-Aminofenol
Kerja dari golongan ini yaitu menghambat sintesis
prostaglandin secara lemah dan tidak mempunyai efek pada
agregasi platelet. Di Indonesia derivate para-aminofenol lebih
dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat
bebas. Contohnya adalah asetaminofen (Desniar and Gultom,
2017).

3) Derivat Asam Asetat


Sifat antiinflamasi, analgetik dan antipiretik pada golongan ini
lebih menonjol seperti asam salisilat. Kerja dari golongan ini
merupakan inhibitor COX yang poten daripada derivat salisilat.

16
Obat yang termasuk ke derivat asam asetat yaitu indometasin,
sulindak dan etodolac (Desniar and Gultom, 2017).

4) Derivat Fenamat (N-fenilantranilat)


Secara terapeutik, senyawa ini tidak mempunyai keuntungan
yang lebih dari golongan obat AINS yang lain dan sering
menyebabkan efek samping gastrointestinal. Contoh obat yaitu
asam mefenamat, meklofenamat, asam flufenamat, tolmetin,
ketorolak, dan diklofenak (Desniar and Gultom, 2017).

5) Derivat Asam Propionat


Derivat asam propionat digunakan pada terapi simtomatik
artritis rheumatoid, osteoarthritis, spondylitis ankilosa dan artritis
pirai akut, obat ini juga digunakan sebagai analgesik untuk
tendinitis akut dan bursitis, dan untuk dismenorea primer. Contoh
obat yaitu ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen,
flurbiprofen, oksaprozin (Desniar and Gultom, 2017).

6) Derivat Asam Enolat


Derivat asam enolat atau oksikam merupakan inhibitor COX-
1 dan COX-2 dan mempunyai aktivitas antiinflamasi, analgetik,
dan antipiretik. Pada umumnya, derivat ini merupakan inhibitor
COX selektif, meskipun salah satunya (meloksikam)
memperlihatkan selektivitas terhadap COX-2 yang sebanding
dengan selekoksib dan disetujui sebagai inhibitor COX-2 selektif
di beberapa negara. Efikasinya sama dengan aspirin, indometasin,
atau naproksen untuk pengobatan jangka panjang artritis
rheumatoid atau osteoarthritis. Keuntungan utama penggunaan
senyawa ini adalah waktu paruhnya yang panjang sehingga dapat
diberikan satu kali sehari. Contoh obatnya adalah piroksikam,
meloksikam, dan nabumeton (Desniar and Gultom, 2017).

b) NSAID Inhibitor Selektif


Penggunaan AINS inhibitor non-selektif telah dibatasi karena
ditolerir dengan buruk. Pasien yang menggunakan jangka panjang

17
cenderung mengalami iritasi di gastrointestinal sampai 20% kasus.
Oleh karena itu ditemukan obat yang hanya menghambat COX-2
contohnya adalah selekoksib, valdekoksib, parekoksib, etorikoksib,
lumirakoksib (Desniar and Gultom, 2017).

c) NSAID Lainnya

1) Apazon
Apazon mempunyai aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik dan merupakan senyawa urikosurik yang poten. Obat
ini tersedia di Eropa, tetapi tidak di Amerika Serikat. Beberapa
fungsinya dihasilkan dari kemampuannya untuk menghambat
migrasi neutrofil, degranulasi, dan produksi superoksida. Apazon
telah digunakan untuk pengobatan artritis rheumatoid,
osteoarthritis, spondylitis ankilosa, dan pirai, tetapi biasanya
dibatasi pada kasus ketika pengobatan menggunakan AINS
lainnya telah gagal (Desniar and Gultom, 2017).

2) Nimesulid
Nimesulid merupakan senyawa sulfonanilide tersedia di Eropa
yang menunjukan selektivitas terhadap COX-2 yang sama dengan
selekoksib pada uji darah lengkap (Desniar and Gultom, 2017).

III. Tinjauan Obat yang Digunakan


a. Karagenan
1. Definisi
Menurut Thakur and Thakur (2016), Karagenan adalah kelas polisakarida
galaktan yang terdapat sebagai bahan matriks antar sel dalam rumput laut
merah atau ganggang laut dari kelas Rhodophyta. Karagenan pada rumput
laut memiliki fungsi sebagai struktur hidrofilik dan agar-agar yang fleksibel
untuk mengakomodasi berbagai tekanan arus dan gerakan gelombang di
dalam air. Karena sifatnya yang dapat terbiodegradasi, karagenan banyak
digunakan sebagai pengatur viskositas, zat penstabil, zat pengental dan
banyak lagi (Prihastuti and Abdassah, 2019).

18
Karena memiliki sifat pengembang, pembentuk gel dan penstabil yang
sangat baik, karagenan banyak digunakan di dalam pembuatan makanan yang
biasanya digunakan untuk meningkatkan tekstur keju, puding atau makanan
penutup. Selain itu, karagenan juga digunakan dalam pembuatan roti, sosis,
dan hamburger rendah lemak sebagai pengikat dan stabilisator (Campo et al,
2009). Karagenan juga digunakan dalam preparasi pasta gigi, busa pemadam
kebakaran, sampo gel dan krim kosmetik (Necas and Bartosikova, 2013).
Karegenan terutama digunakan sebagai agen pengemulsi, basis gel, agen
pensuspensi, dan sebagai agen peningkat viskositas pada formulasi
farmasetik seperti suspensi, emulsi, gel, cream, lotion, tetes mata,
suppositoria, tablet dan kapsul (Narang and Boddu, 2015) (Prihastuti and
Abdassah, 2019).

2. Sifat Karagenan
Menurut Necas and Bartosikova (2013), karagenan diklasifikasikan
menjadi enam kelas. Selain substituen utama sulfat, beberapa residu lain
ditemukan dalam struktur karagenan, misalnya, xilosa, glukosa dan asam
uronat, serta metil eter dan kelompok piruvat. Enam tipe karagenan tersebut
diantaranya adalah Iota (τ) -, Lambda (λ) -, Kappa (k) -, Theta (θ) -, Nu (ν) -,
dan Mu (µ) – karagenan. Dalam bidang farmasi tipe karagenan yang penting
adalah Iota (τ), Lambda (λ), Kappa (k) (Prihastuti and Abdassah, 2019).
Menurut Necas and Bartosikova (2013), kation terkait bersama dengan
konformasi unit gula dalam rantai polimer menentukan sifat fisik karagenan.
Fungsionalitas karagenan di berbagai aplikasi sangat tergantung pada sifat
reologi mereka. Viskositas tergantung pada konsentrasi, suhu, keberadaan zat
terlarut lainnya, dan jenis karagenan dan berat molekulnya. Viskositas
meningkat hampir secara eksponensial dengan konsentrasi (Prihastuti and
Abdassah, 2019).

a) Kappa karagenan
1) Pembentukan gel ionic : gel dengan garam kalium
2) Tekstur gel : rapuh dengan sedikit sineresis
3) Stabilitas freeze/thaw : Tidak stabil
4) Viskositas : Thixotropik rendah

19
5) Kelarutan dalam air : Larut sempurna dalam air panas; sebagian
larut dalam air dingin
6) Stabilitas asam : > pH 3,8, pH netral dan alkali
(Prihastuti and Abdassah, 2019)

b) Lota karagenan

1) Pembentukan gel ionic : Gel dengan garam kalsium


2) Tekstur gel : Elastis dan tidak ada sineresis
3) Stabilitas freeze/thaw : Freeze/thaw stabil
4) Viskositas : Thixotropik tinggi, sedang
5) Kelarutan dalam air : Larut sempurna dalam air panas
6) Stabilitas asam : > pH 3,8, pH netral dan alkali
(Prihastuti and Abdassah, 2019)

c) Lambda karagenan

1) Pembentukan gel ionic : Tidak ada pembentukan gel


2) Tekstur gel : Tidak ada sineresis
3) Stabilitas freeze/thaw : Freeze/thaw stabil
4) Viskositas : Thixotropik tinggi, sedang; membentuk
larutan yang viskositasnya tinggi
5) Kelarutan dalam air : Larut sempurna dalam air panas; Sebagian
larut dalam air dingin
6) Stabilitas asam :-
(Prihastuti and Abdassah, 2019)

b. Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak adalah derivat asam fenilasetat yang dikembangkan


secara spesifik sebagai agen antiinflamasi. Natrium diklofenak merupakan
anggota grup arilalkanoid dari NSAID. Nama “natrium diklofenak” berasal dari
nama kimiawinya: (2,6-dichloranilino)phenylacetic acid. Natrium diklofenak
awalnya dikembangkan oleh Ciba-Geigy (sekarang Novartis) pada tahun 1973.
Obat ini pertama kali diperkenalkan di UK pada tahun 1979 (Mangampa et al.,
2015).

20
Natrium diklofenak merupakan inhibitor COX yang poten dan memiliki efek
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Obat ini memiliki efek samping yang
sama dengan obat-obatan NSAID lainnya. Indikasi untuk obat ini termasuk
artritis rematoid, osteoartritis, dan inflamasi oftalmik (digunakan preparat
oftalmik) (Mangampa et al., 2015).

c. Infus Rimpang Temu Putih

1. Klasifikasi Tumbuhan
Klasifikasi tanaman rimpang temu putih sebagai berikut
(Wijayakusuma,2011) :
a) Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
b) Divisi : Spermatophyt (Tumbuhan berbiji)
c) Sub-divisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
d) Kelas : Monocotyledonae (Biji berkeping satu)
e) Ordo : Zingiberales
f) Familia : Zingiberaceae (Temu-temuan)
g) Genus : Curcuma
h) Species : Curcuma zedoaria

2. Morfologi Tanaman
Curcuma zedoaria atau yang bisa disebut temu putih/kunyit putih.
Tanaman ini berasal dari Himalaya, India dan tesebar pada negara-negara
Asia. Temu putih Curcuma zedoaria tumbuh liar di hutan Sumatra, hutan
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pada ketinggian 1000 dpl.
Tanaman ini dapat tumbuh hingga 1,5 m bahkan lebih, mempunyai daun
yang ukuran panjangnya mencapai 80 cm dan pada bagian tengah daun
berwarna ungu (Alam et al., 2016) (Bastian, 2021).
Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria) adalah tanaman bersemak
yang mempunyai tinggi 50-75 cm, bentuk batangnya semu yang tersusun
dari pelepahpelepah daun. Daun berwarna hijau, pada bagian ujung batang
berbentuk menyerupai mata lembing bulat (Tamba, 2019) (Bastian, 2021).
Temu putih (Curcuma zedoaria) memiliki bunga majemuk yang
berbentuk bulir yang muncul pada bagian batang. Mahkota bunga temu

21
putih berwarna kuning muda atau juga hijau keputihan yang memiliki
panjang 2,5 cm. Temu putih memiliki rimpang berbentuk bulat kulit yang
berwarna kecoklatan, jika rimpang temu putih dibelah memiliki warna
kuning di bagian luar dan putih kekuningan di bagian tengahnya (Tamba,
2019) (Bastian, 2021).

3. Kandungan Kimia
Menurut Setiawan et al.,(2019), temu putih mengandung senyawa
kurkuminoid, flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, fenolik, triterpenoid,
steroid dan glikosida (Bastian, 2021).

4. Khasiat dan Kegunaan


Menurut Sarjono (2007), temu putih memiliki manfaat dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti hepatitis, asma,
menurunkan kadar kolestrol, trigliserida darah, TBC, sinusitis dan sebagai
antiinflamasi. Tanaman ini bersifat antineoplastic yaitu dapat merusak
pembentukan ribosom pada sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel
kanker. Senyawa utama berkhasiat yang terdapat pada temu putih adalah
kurkuminoid, minyak atsiri, flavonoid, polifenol yang berkahsiat sebagai
penghilang rasa nyeri sendi, menetralkan racun, menurunkan kadar
kolestrol darah, antibakteri dan sebagai antioksidan. Minyak atsiri temu
putih dapat berkhasiat sebagai cholagogum, yakitu bahan yang dapat
merangsanag pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai
penambah nafsu makan dan anti spasmodicum untuk menenangkan dan
mengembalikan kekejangan otot (Bastian, 2021).

d. Asam Mefenamat

1. Pengertian
Menurut Buku bantu farmakologi (1995), Asam mefenamat atau
mefenamic acid merupakan salah satu obat pereda nyeri yang merupakan obat
golongan NSAID (anti inflamasi non steroid). Perbedaan utama antar obat-
obatan NSAID adalah pada farmakokinetik dan toksistasnya. Namun
demikian, semua NSAID menyebabkan gangguan saluran cerna jika
digunakan dalam dosis tinggi (walaupun lebih ringan dari yang disebabkan

22
aspirin), dan semuanya dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang berat.
Asam Mefenamat dan Meklofenat adalah NSAID dengan paruh waktu kira-
kira 2 jam. Obat ini cukup toksik, terutama untuk anak-anak dan janin.
Menurut Katzung (2002), Mefenamic Acid tidak boleh dipakai selama lebih
dari satu minggu dan tidak boleh dipakai oleh anak-anak (Pradana, 2018).

2. Dosis
Dalam Farmakologi an terapi (2007), Dosis bagi sebagian orang
merupakan suatu istilah yang tidak asing. Dalam konteks ini, dosis bisa
dimaknai sebagai jumlah dari suatu obat yang harus digunakan dan
dinyatakan dalam satuan tertentu. Satuan yang dimaksud dalam hal ini
menggunakan satuan milligram (gm), satuan yang lain bisa berupa microgram,
Internasional Unit (UI), Untuk vitamin, dan lain sebagainya. Bagi Orang
Dewasa, Dosis yang biasa dari Obat penurun Panas/ penghilang sakit adalah
500 mg, atau digoksin, salah satu obat jantung yang dosisnya hanya 0,5 mg.
Sederhananya Dapat dipahami bahwa beda Obat, beda pula dosisnya.
Besarnya dosis suatu Obat Diperoleh dari suatu penelitian yang memakan
rentang waktu yang cukup lama. Asam Mefenamat terikat sangat kuat pada
protein plasma. Dosis asam Mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari
(Pradana, 2018).
Menurut Op.cit, dalam dunia kedokteran dan farmasi terdapat beberapa
istilah jenis dosis, yaitu:
a) Dosis lazim, yaitu jumlah dosis acuan penggunaan obat. Dosis ini akan
memberikan khasiat dari suatu obat sebagaimana yang diharapkan.
b) Dosis Maksimal, yaitu dosis terbesar yang bisa digunakan oleh
pengguna obat atau pasien. Hal tersebut berlaku dalam setiap kali
pemakaian pada setiap harinya.
c) Dosis toksin/racun, yaitu dosis yang melampaui batasan dosis
maksimal. Obat tidak hanya mendatangkan Efek yang menguntungkan,
tetapi juga sebaliknya, berakibat fatal bagi pengguna obat atau pasien
itu sendiri. Menurut beberpa ahli dunia pengobatan, beda antara obat
dan racun hanya terletak pada jumlah dosisnya.
(Pradana, 2018)

23
3. Efek Samping
Selain menimbulkan efek terapi yang sama NCAID juga memiliki efek
samping serupa, yaitu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih banyak
terkumpul dalam sel yang bersifat asam misalnya di Lambung dan Ginjal.
Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat
dengan kadar yang lebih tinggi.
Secara Umum NSAID berpotensi menyebabkan efek samping pada 3
sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal, hati. Klinisi sering lupa bahwa
NSAID dapat menyebabkan kerusakan hati. Efek samping terutama
meningkat pada pasien usia lanjut. Kelompok ini paling sering membutuhkan
NSAID dan umumnya membutuhkan banyak obat- obatan karena menderita
berbagai penyakit. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi
tukak peptic (tukak duodenum dan tukak lambung) yang kadang-kadang
disertai anemia sekunder akibat pendarahan saluran cerna. Beratnya efek
samping ini berbeda antar Obat (Pradana, 2018).

IV. Pletismometer

Pletismometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur volume kaki hewan
uji. Pletismometer terdiri atas tabung yang lebih besar, yang digunakan untuk
memasukan kaki hewan coba, dan yang lebih kecil, dimana terdapat transduser.
Sebelum melakukan pengukuran dengan pletismometer, kaki hewan coba diberikan
batas pada bagian sendi tibiotarsal terlebih dahulu agar setiap pengukuran
dilakukan pada batas yang sama. Selanjutnya bagian telapak kaki belakang
dicelupkan hingga batas tersebut dan menyebabkan tingkat cairan di kedua tabung
berubah. Nilai volume telapak kaki berdasarkan waktu, dan di ambil rerata
volume telapak kaki (Widianti, 2017).

24
V. Fase-fase Hubungan Waktu dan Efek Obat

Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat di tempat kerja
obat. Ada 3 fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu: (1)
mula kerja (onset of action), (2) puncak efek (peak effect), (3) lama kerja obat
(duration of action), seperti terlihat pada gambar. Ketiga fase ditentukan oleh
kecepatan absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi obat.

Figure 1. Gambar Hubungan antara Waktu dan Kadar Obat dalam Darah

Fase yang diperoleh dari hitungan waktu dan efek obat :


1. Mula kerja obat (onset of action) adalah waktu obat memasuki plasma dan
berakhir sampai nencapai konsentrasi efektif minimum (MEC = minimum
effective concentration). Apabila kadar obat dalam plasma atau serum
menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang
memadai tidak tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan toksisitas (Nuryati, 2017).
2. Puncak kerja obat adalah waktu dimana obat mencapai konsentrasi
tertinggi dalam plasma. Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat,
maka konsentrasi di dalam tubuh semakin meningkat sehingga mencapai
konsentrasi puncak respon (Astuti et al., 2021).
3. Durasi kerja obat adalah lama waktu obat untuk menghasilkan suatu efek
terapi atau efek farmakologis (Astuti et al., 2021).

25
VI. Rute Pemberian Obat

Untuk mencapai efek farmakologik (efek sistemik) seperti yang diinginkan, obat
dapat diberikan dengan berbagai cara diantaranya melalui oral, subcutan,
intramuscular, intravena, intraperitoneal dan rectal. Masing-masing cara pemberian
ini memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin
efektif jika diberikan melalui salah satu cara pemberian tersebut tetapi tidak atau
kurqang efektif jika diberikan melalui cara lain.

a. Pemberian Oral

Pemberian obat secara peroral mempunyai tujuan untuk efek sistemik dari
obat yang diberikan sampai terjadinya absorbs pada bagian permukaan
sepanjang saluran cerna. Penggunaannya masuk melalui mulut. Pemberian ini
mempunyai keuntungan yaitu relatif aman, praktis, dan ekonomis. Sedangkan
kerugiannya yaitu dapat menimbulkan efek lambat tidak bermanfaat untuk
pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar dan tidak kooperatif.

b. Pemberian Intraperitoneal
Pemberian obat yang diberikan dengan cara disuntikkan melalui lubang jarum
ke dalam tubuh. Pemberian obat dengan cara ini dapat memberikan respon
baik/memuaskan dan ini juga disukai jika dibutuhkan absorbsi yang segera
seperti dalam keadaan darurat. Pemberian intraperitoneal absorbsinya lebih
cepat daripada pemberian oral. Tujuan dari pemberian ini yaitu tanpa melalui
saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah. Keuntungan dari
pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dapat digunakan untuk pasien yang
tidak sadar, sering muntah, pasien yang sulit menelan/pasien yang tidak
kooperatif, obat yang dapat mengiritasi lambung dan menghindari kerusakan
obat di saluran cerna dan hati. Akan tetapi pemberian obat dengan cara ini
memiliki kekurangan yaitu kurang aman, tidak disukai pasien dan berbahaya
(suntikan-infeksi).

26
VII. Macam-metode Pengujian Antiinflamasi

Untuk mengetahui suatu obat dapat menghasilkan efek antiinflamasi atau tidak,
maka dilakukan beberapa pilihan pengujian untuk membuktikannya.

a. Inflamasi model akut

Menurut Suralkar (2008), terdapat beberapa metode yang digunakan untuk


uji antiinflamasi model akut diantaranya :

1. Induksi asam asetat


Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat
terhadap peningkatan permeabilitas vaskular yang diinduksi oleh asam
asetat secara intraperitoneal. Kennudian sejumlah pewarna (Evan's Blue
10%) disuntikkan secara intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap
peningkatan permeabilitas vaskular ditunjukkan oleh kemampuan obat uji
dalam mengurangi konsentrasi pewarna yang menempel dalam ruang
abdomen dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang visible, lalu dibandingkan dengan kelompok control (Sukaina,
2013).

2. Induksi histamin
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi
karagenan, namum penginduksi yang digunakan adalah 0.1 ml
larutan histamin 1% (Sukaina, 2013).

3. Induksi xilena pada udem daun telinga


Hewan uji diinduksi xilena dengan mikropipet pada kedua permukaan
daun telinga kanannya. Telinga kini digunakan sebagai kontrol. Terdapat
dua parameter yang diukur dalam metode ini, yaitu ketebalan dan bobot
dari daun telinga mencit. Ketebalan daun telinga mencit yang telah
diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital, lalu
dibandingkan dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot dam
telinga, maka daun telinga mencit dipotong dan ditimbang. Kemudian
beratnya dibandingkan dengan telinga kirinya (Sukaina, 2013).

27
4. Induksi karagenan
Volume telapak kaki kiri tikus di ukur dengan pletismometer. Kemudian
tikus diberikan larutan uji setelah 1 jam, tikus tersebut di induksi oleh 0.1
ml injeksi karagenan 1% secara subplantar. Selanjutnya, dilakukan
pengukuran volume udem pada jam ke-1,2,3,4 dan 5 setelah induksi
(Sukaina, 2013).

5. Induksi asam arakidonat pada udem daun telinga


Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi xilena.
hanya saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakidonat yang
diberikan secara topikal pada kedua permukaan daun
telinga kanan hewan uji (Sukaina, 2013).

b. Inflamasi model kronik


Menurut Baheti, dkk (2011), model ini di desain untuk menemukan suatu
obat yang dapat memodulasi proses penyakit, termasuk di dalamnya
implantasi pellet dan sponge serta granuloma pouches yang terdeposit pada
jaringan granulasi, adjuvant induced arthritis merupakan model
inflamasi kronik (Sukaina, 2013).

28
C. ALAT DAN BAHAN

I. Alat
a. Pletismometer
b. Spuit
c. Sonde
d. Spidol

II. Bahan
a. 5 Tikus
b. Larutan Karagenin 1%
c. Aquadest 2,5ml/20gBB (kontrol negatif)
d. Na-Diklofenak 6,75mg/kgBB (kontrol positif)
e. Infus rimpang temu putih 5% (dosis 0,625g/kgBB)
f. Infus rimpang temu putih 10% (dosis1,25g/kgBB)
g. Infus rimpang temu putih 20% (dosis 2,5g/kgBB)

29
D. PROSEDUR KERJA

Mula-mula semua hewan uji dipuasakan 6-8 jam. Pengosongan lambung bermanfaat
terhadap proses absorbsi obat. Keberadaan makanan dalam gastric seringkali
mengganggu proses absorbsi, sehingga terjadi manipulasi efek obat.

Salah satu kaki belakang tikus diberi tanda dengan spidol, kemudian diukur volumenya
dengan cara mencelupkannya ke dalam tabung air raksa pada alat plestimometer sampai
dengan batas tanda tersebut.

Pemberian bahan uji. Semua kelompok diberikan masing-masing bahan uji secara
peroral 2.5 ml/200gBB.

Selang 10-15 menit, kemudian pada masing-masing tikus diberikan penginduksi udem
larutan karagenin 1% sebanyak 0.1 ml secara subkutan pada bagian dorsal kaki yang
sama.

Volume kaki tikus diukur kembali pada setiap interval waktu 5 menit sampai efek
udemnya hilang.

Data-data yang perlu dicatat adalah mula kerja dan durasi obat antiinflamasi.

Cara menghitung volume udem pada kaki tikus:

Volume Udem = Volume setelah diberi penginduksi radang – Volume kaki


awal

Persen hambatan udem dihitung sebagai berikut :


(𝑥 − 𝑦)
% 𝐻𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝑥

30
E. HASIL PENGAMATAN

Perlakuan Volume Waktu


Awal 10 20 30 40 50 60
Kontrol
negative 1,00 1,15 1,10 1,00 1,14 1,15 1,11
(aquadest)
Kontrol
positif (Na 1,29 1,27 1,21 1,14 1,10 1,17 1,35
Diklofenak)
Infus 5% 1,30 1,00 1,00 1,29 1,10 1,00 1,10
Infus 10% 1,14 1,5 1,20 1,10 1,15 1,15 1,02
Infus 20% 1,05 1,14 1,16 1,0 1,10 1,02 1,19

Perlakuan Volume Awal Rata-Rata Volume Udem %Hambatan


Volume
Kontrol
negative 1,00 1,11 0,110 0%
(aquadest)
Kontrol positif
(Na 1,29 1,21 -0,083 100%
Diklofenak)
Infus 5% 1,30 0,95 -0,220 300%
Infus 10% 1,14 1,19 0,050 54,55%
Infus 20% 1,05 1,10 0,050 54,55%

I. TIKUS 1 (AQUADEST – KONTROL NEGATIF)


a. Volume Udem
= 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑑𝑒𝑚 − 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑎𝑘𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙
= 1,11 𝑚𝑙 − 1,00 𝑚𝑙
= 0,11 𝑚𝑙

b. % Hambatan
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑑𝑒𝑚 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑑𝑒𝑚 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
= 𝑥 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑑𝑒𝑚 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓
0,110 𝑚𝑙 − 0,110 𝑚𝑙
= 𝑥 100%
0,110 𝑚𝑙
= 0%

31
II. TIKUS 2 (NATRIUM DIKLOFENAK)
a. Volume Udem
= 1,21 𝑚𝑙 − 1,29 𝑚𝑙
= −0,083 𝑚𝑙

b. % Hambatan
0,110 𝑚𝑙 − (−0,083 𝑚𝑙 )
= 𝑥 100%
0,110 𝑚𝑙
= 175,45%

c. % Potensi
175,45 %
= 𝑥 100%
175,45%
= 100%

III. TIKUS 3 (INFUS RIMPANG TEMU PUTIH 5%)


a. Volume Udem
= 1,082 𝑚𝑙 − 1,300 𝑚𝑙
= −0,220 𝑚𝑙

b. % Hambatan
0,110 𝑚𝑙 − (−0,220 𝑚𝑙 )
= 𝑥 100%
0,110 𝑚𝑙
= 300%

c. % Potensi
300%
= 𝑥 100%
100%
= 300%

32
IV. TIKUS 4 (INFUS RIMPANG TEMU PUTIH 10%)
a. Volume Udem
= 1,19 𝑚𝑙 − 1,14 𝑚𝑙
= 0,05 𝑚𝑙

b. % Hambatan
0,110 𝑚𝑙 − 0,05 𝑚𝑙
= 𝑥 100%
0,110 𝑚𝑙
= 54,55%

c. % Potensi
54,55%
= 𝑥 100%
100%
= 54,55%

V. TIKUS 5 (INFUS RIMPANG TEMU PUTIH 20%)


a. Volume Udem
= 1,10 𝑚𝑙 − 1,05 𝑚𝑙
= 0,05 𝑚𝑙

b. % Hambatan
0,110 𝑚𝑙 − 0,050 𝑚𝑙
= 𝑥 100%
0,110 𝑚𝑙
= 54,55%

c. % Potensi
54,55%
= 𝑥 100%
100%
= 54,55%

33
F. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kelompok kami melakukan percobaan uji antiinflamasi
metode volume udem pada lima ekor tikus yang telah diberikan masing-masing 5
bahan uji yang berbeda. Sebelum diberikan bahan uji, dilakukan pengukuran volume
kaki sebelah kanan pada masing-masing tikus. Kemudian diberikan bahan uji secara
peroral pada semua tikus. Setelah 15 menit, masing- masing tikus diberikan bahan
penginduksi udem berupa larutan karagenin 1% sebanyak 0,1 ml secara subkutan pada
bagian dorsal kaki tikus yang sama. Pada setiap interval 10 menit, volume kaki tikus
diukur selama 60 menit hingga efek udemnya menghilang.
Pengujian aktivitas pada penelitian ini dilakukan secara in-vivo, subjek penelitian
yang digunakan berupa makhluk hidup utuh. Hewan uji yang digunakan sebagai
sampel penelitian adalah lima ekor tikus putih. Tikus putih dipilih sebagai hewan uji
dikarenakan memiliki kesamaan secara fisiologis dengan manusia serta kemudahan
dalam pemeliharaan dan perlakuan (Arrington, 1972). Pada praktikum ini kamu
menggunakan Natrium Diklofenak 6,75mg/kgBB sebagai kontrol positif dan Aquadest
sebagai kontrol negatif. Bahan uji yang digunakan yaitu Infus rimpang temu putih
dosis 0,625g/kgBB dengan konsentrasi 5%, Infus rimpang temu putih dosis
1,25g/kgBB dengan konsentrasi 10%, dan Infus rimpang temu putih dosis 2.5g/kgBB
dengan konsentrasi 15%.
Udem merupakan salah satu gejala terjadinya inflamasi. Mekanisme terjadinya
inflamasi adalah bila membran sel mengalami kerusakan baik rangsangan kimiawi,
fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida
yang terdapat didalamnya menjadi asam arakidonat kemudian untuk sebagian diubah
oleh enzim siklooksigenase (COX-1) menjadi asam endoperokida dan seterusnya
menjadi prostaglandin. Bagian lain dari asam arakhidonat diubah oleh enzim
lipooksigenase menjadi leukotrin. Baik prostaglandin maupun leukotrin bertanggung
jawab bagi sebagian besar dari inflamasi. Uji efek antiinflamasi infus temu putih
(Curcuma Zedoaria), yang telah dilakukan menggunakan metode pemberian udem
buatan yang dibuat dengan menyuntikan larutan karagenan kedalam kaki tikus secara
subkutan kemudian diberikan aquadest, Na diclofenac, dan infus temu putih secara
peroral dalam 3 konsentrasi. Parameter yang diamati adalah volume udem kaki tikus
pemberian larutan karagenan akan memacu prostaglandin sehingga menyebabkan

34
inflamasi, dimana ditandai dengan adanya pembengkakan pada kaki tikus (Dewi &
Wahyuni, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pemberian infus temu
putih dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20%. Terjadi penurunan udem sama halnya
dengan pemberian larutan natrium diklofenak sebagai obat antiinflamasi. Pada kontrol
positiv digunakan Natrium diklofenak dimana natrium diklofenak salah satu obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS) yang digunakan untuk meredakan rasa sakit tingkat
ringan hingga menengah dan inflamasi. Obat ini juga lebih cepat diserap oleh tubuh
sehingga lebih sering digunakan untuk meredakan rasa sakit dan memiliki aktivitas
dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan
prostaglandin terhambat maka inflamasi tidak terjadi. Sedangkan pada kontorol
negatif digunakan air (aquadest) dan tidak memberikan efek penurunan udem.Dari
kelompok kontrol negatif dapat dihasilkan suatu baseline sehingga perubahan pada
variabel tergantung dapat terlihat.
Perlakuan yang diberikan kepada hewan uji memerhatikan pengaruh dari variasi
konsentrasi, yang bertujuan untuk melihat pada konsentrasi sediaan uji berapa yang
dapat memberikan efek antiinflamasi secara optimal. Sedangkan lama pemberian
dilihat setelah pemberian selama 60 menit. Berdasarkan kondisi tersebut, tiap
perlakuan obat terdiri dari 5 ekor tikus putih, Rute pemberian sediaan uji diberikan
secara peroral dan menginduksikan karagenin 1 % secara subkutan. Karagenin
merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari rumput laut merah Irlandia
(Chondrus crispus). Karagenin berperan dalam pembentukan udem dalam model
inflamasi akut (Singh, 2008). Karagenin merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila
masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin
sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen
tersebut untuk melawan pengaruhnya (Necas, 2013). Penggunaan karagenin
mempunyai beberapa kelebihan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak
menimbulkan kerusakan jaringan serta jika dibandingkan dengan senyawa iritan
lainnya, karagenin memberikan respon yang lebih peka terhadap obat inflamasi.
Aktivitas antiinflamasi suatu bahan obat adalah kemampuan obat dalam
mengurangi atau menekan derajat udem yang dihasilkan oleh induksi hewan uji.
Pengujian efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat Pletismometer.

35
Pletismometer memiliki prinsip pengukuran berdasarkan hukum Archimedes, yang
menyatakan bahwa apabila benda dimasukkan ke dalam zat cair, maka akan
menimbulkan gaya atau tekanan ke atas. Metode ini sering digunakan dalam uji
antiinflamasi, relatif sederhana, baik dari instrumen yang dibutuhkan, proses
perlakuan, pengamatan, pengukuran sampai dengan pengolahan data (Dewi &
Wahyuni, 2017).
Selang waktu pemberian semua perlakuan adalah 60 menit sebelum diberikan
induksi suspensi karagenan dengan tujuan selang waktu 60 menit telah dapat
menimbulkan efek secara maksimal untuk menurunkan udem. Pembentukkan radang
oleh karagenan menghasilkan peradangan akut, dan tidak menyebabkan kerusakan
jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama 360 menit dan berangsur-angsur
berkurang selama satu hari.
Pada hasil praktikum kami menunjukkan tikus 5 yang memiliki volume awal 0,89
ml diberikan bahan uji aquadest sebagai control negatif dan didapatkan rata- rata
volume udem -0,05. Hasil yang kami dapatkan tidak sesuai, seharusnya hasil volume
udem setelah diberikan karagenin volumenya lebih besar daripada pengukuran volume
kaki diawal. Karena sejatinya aquadest sebagai control negative tidak memberikan
efek antiinflamasi pada kaki tikus setelah diinjeksikan karagenin. Hal ini dikarenakan
aquades sebagai kontrol negatif hanya berfungsi sebagai pembanding yang tidak
memiliki efek antiinflamasi sehingga aquades tidak memilik efek untuk menurunkan
pembengkakan pada telapak kaki tikus yang diinduksikan karagenin (Andayani et al.,
2018).
Pada hasil praktikum kami menunjukkan tikus 1 yang memiliki volume awal 0,95
ml diberikan bahan uji Natrium Diklofenak sebagai control positif dan didapatkan rata-
rata volume udem -0,13. Hasil yang kami dapatkan tidak sesuai seharusnya rata-rata
volume udem lebih besar daripada volume awal kaki tikus, sehingga hasil rata-rata
tidak menjadi negatif. Natrium Diklofenak sebagai control positif harusnya
mempunyai persen potensi bahan uji yang baik yaitu 100%.
sedangkan kelompok kami mendapatkan persen hambatan -500% pada tikus yang
diberi bahan uji Natrium Diklofenak. Na diklofenak digunakan sebagai kontrol positif
mampu menurunkan udem pada kaki tikus yang telah diinduksikan karagenin karena
termasuk golongan NSAID dengan aktifitas antiinflamasi, analgetik dan antipiretik.

36
Fungsi kontrol positif adalah sebagai pembanding apakah zat uji bisa berefek sama
dengan obat antiinflamasi yang digunakan sebagai kontrol positif.
Pada tikus 2 yang memiliki volume awal 0,88 ml diberikan bahan uji infus rimpang
temu putih 5% untuk menguji keefektivitasnya terhadap antiinflamasi. Pada tikus 2
didapatkan rata-rata volume udem 0. Hasil yang kami dapatkan tidak sesuai
dikarenakan persen rata-rata yang kita dapatkan yaitu 100%, yang mana seharusnya
persen hambatan pada tikus yang diberikan bahan uji infus rimpang temu putih 5% itu
lebih kecil daripada persen hambatan pada tikus yang diberi bahan uji natrium
diklofenak sebagai control positif.
Pada tikus 3 yang memiliki volume awal 0,95 ml diberikan bahan uji infus rimpang
temu putih 10% untuk menguji keefektivitasnya terhadap antiinflamasi. Pada tikus 3
didapatkan rata-rata volume udem -0,08. Hasil yang kami dapatkan tidak sesuai
dikarenakan persen rata-rata volume udem yang kami dapatkan yaitu - 60%, yang
mana seharusnya persen hambatan pada tikus yang diberikan infus rimpang temu putih
10% itu lebih tinggi daripada persen hambatan pada tikus yang diberikan bahan uji
infus rimpang temu putih 5% dan Natrium Diklofenak.
Pada tikus 4 yang memiliki volume awal 0,74 ml diberikan bahan uji infus rimpang
temu putih 20% untuk menguji keefektivitasnya terhadap antiinflamasi. Pada tikus 4
didapatkan rata-rata volume udem 0,06. Hasil yang kami dapatkan sesuai dikarenakan
persen rata-rata volume udem yang kami dapatkan yaitu 220%. yang mana memang
seharusnya persen hambatan pada tikus yang diberikan infus rimpang temu putih 20%
itu lebih tinggi daripada persen hambatan pada tikus yang diberikan bahan uji infus
rimpang temu putih 5%, 10% dan Natrium Diklofenak.
Berdasarkan data NCBI, rimpang Kunir (Curcuma longa Linn) memiliki efek
antiinflamasi karena kandungan metabolit sekunder: curcumin yang berfungsi sebagai
zat antiinflamasi. Rimpang Temu Putih yang juga satu famili dengan Kunir(famili
Zingiberaceae) juga mengandung zat curcumin tersebut. Jadi dapat disimpulkan
bahwa zat yang berperan dalam mekanisme antiinflamasi pada rimpang temu putih
adalah curcumin (Sujono et al., 2012).
Adapun mekanisme curcumin sebagai anti inflamasi adalah infiltrasi besar
makrofag, neutrofil, dan fibroblast dibandingkan dengan luka yang tidak diobati.
Pengobatan mengakibatkan ekspresi ditingkatkan dari fibronektin dan kolagen oleh

37
fibroblast dan meningkatkan tingkat pembentukan jaringan granulasi menunjukkan
suatu peningkatan dalam penyembuhan luka. Curcumin ditunjukkan untuk
memodulasi angiogenesis dan angiogenesis tidak terkendali telah dikaitkan dengan
kondisi patologis seperti pertumbuhan tumor dan metastasis, rheumatoid arthritis,
retinopati diabetes, dan hemangioma.
Dari ketidaksesuaian data yang kami dapatkan, terdapat kesalahan yang dilakukan
oleh kelompok kami, yaitu kesalahan pada pengukuran volume kaki tikus. Pada saat
kami melakukan pengukuran volume kaki tikus, terdapat ketidakkonsistenan dalam
pemeberian tanda pada kaki tikus dan saat kaki tikus dimasukkan ke dalam alat
pletismometer. Seharusnya, tanda yang diberikan pada kaki tikus menggunakan spidol
permanen agar tidak terus menghilang. Hal tersebut dapat menyebabkan kesalahan
pada proses pengukuran karena kami beberapa kali menandai ulang batas pada kaki
tikus tetapi tidak tepat di tempat yang sama. Dan kami juga seharusnya konsisten pada
saat memasukkan kaki tikus ke dalam alat pletismometer, dimasukkannya sampai garis
yang berada di bawah tanda atau garis yang di atas tanda.

38
G. BAHAN DISKUSI

1. Apa sajakah yang mempengaruhi efektivitas obat?


Jawaban:
a. Sifat Fitokimia bahan obat terutama sifat stereokimia dan kelarutannya
Sifat fitokimia obat merupakan suatu aspek yang menggambarkan
karakteristik obat (dalam lingkungan air maupun lipid) dan membantu
menentukan kemampuan obat berpenetrasi menerubus barrier dan mencapai
reseptor di seluruh tubuh (Sebastian, 2015).
b. Ukuran Partikel
Jika ukuran partikel makin kecil maka luas permukaan makin besar sehingga
laju reaksi dari larutan semakin meningkat dan mempercepat penyerapan obat
melalui peredaran darah sehingga efek terapeutiknya lebih cepat tercapai (Zainal,
2012).
c. Sediaan Obat
d. Dosis
e. Rute Pemberian Obat
f. Waktu Kontak dengan permukaan absorbs
g. Besar permukaan yang mengabsorbsi
h. Nilai pH dalam darah yang mengabsorbsi
i. Aliran darah yang meyerap sorpsi

2. Apakah fungsi control positif dan control negative dalam praktikum ini?
Jawaban:
a. Fungsi Kontrol Positif (Na Diklofenak)
Sebagai pembanding apakah zat uji bias berefek sama dengan obat
antiinflamasi. Fungsi control positif ini juga digunkan untuk memastikan yang
dilakukan sudah tepat dan menghasilkan efek positif pada variable tergantung
(Anonim, 2013)
b. Fungsi Kontrol Negatif (Aquadest)
Untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan memiliki efek
antimikroba (Anonim, 2013).

39
H. KESIMPULAN

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan


yangdisebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik.
Inflamasi bisadianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh
mengalami injury, baikyang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses
self-destructive (autoimun).
Na-diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenil asetat yang merupakan
penghambat COXyang relatif non selektif. Na-diklofenak juga menghambat jalur
lipooksigenase sehingga mengurangi pembentukan leukotrien.Karagenin adalah sulfat
polisakarida bermolekul sebagai induktor inflamasi.Penggunaan karageninsebagai
penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak meninggalkan
bekas, tidakmenimbulkan kerusakan jaringan, dan memberikan respon yang lebih peka
terhadap obat anti inflamasidibanding senyawa iritan lainnya.Dari data praktikum
kelompok 2 dapat disimpulkan bahwa infus rimpang temu putih 5% lebih efektif
sebagai anti-inflamasi, karena memiliki persentase hambat yang sama besar dengan
kontrol positif. Sedangkan untuk infus rimpang temu putih dengan konsentrasi 10%
dan 20% dapat memberikan efek antiinflamasi meskipun lebih kecil.

40
I. LAMPIRAN

41
42
J. DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R. (2020) Profil Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid di Apotek
Kimia Farma 188 S.Parman Banjarmasin. Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin. Available at: http://eprints.umbjm.ac.id/id/eprint/1617.
Astuti, E. D. et al. (2021) Farmakologi dalam Bidang Kebidanan. pertama. Edited
by A. Karim. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Aulia, Y., Safitri, F. and Fadilah, R. (2013) ‘EFEK ANTI INFLAMASI EKSTRAK
ETANOL WORTEL ( DAUCUS CAROTA L .) TERHADAP TIKUS
STRAIN WISTAR ( RATTUS NOVERGICUS ) YANG DIINJEKSI’,
Saintika Medika, 9(2), pp. 65–69. Available at:
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/41234.
Bastian, A. B. S. (2021) TOKSISITAS REBUSAN RIMPANG TEMU PUTIH
(Curcuma zedoaria) TERHADAP LARVA UDANG Artemia salina Leach
MENGGUNAKAN METODE BSLT. Akademi Farmasi Putra Indonesia.
Available at: http://repository.poltekkespim.ac.id/id/eprint/680.
Desniar, B. and Gultom (2017) GAMBARAN POLA PERESEPAN OBAT ANTI-
INFLAMASI NON-STEROID DITELITI MELALUI RESEP RAWAT JALAN DI
INSTALASI FARMASI RSUD DR.PIRNGADI KOTA MEDAN PADA BULAN
NOVEMBER 2016. Universitas HKBP Nommensen. Available at:
http://repository.uhn.ac.id/handle/123456789/658.
Mangampa et al. (2015) PENGARUH PEMBERIAN NATRIUM DIKLOFENAK
DOSIS 1,4 MG/KgBB DAN 2,8 MG/KgBB TERHADAP KADAR SERUM
KREATININ TIKUS WISTAR. Universitas Diponegoro. Available at:
http://eprints.undip.ac.id/46711/.
Mega, K. et al. (2021) Kaskade Mekanisme Kekebalan dan Konsekuensi dari
Gangguan Inflamasi, Fitomedisin. doi: 10.1016/j.phymed.2021.153712.
Muthmainnah, N. A. (2016) UJI ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN
SALAM (Syzygium polyanthum wight) DENGAN METODE IN VIVO DAN IN
SILICO PADA SENYAWA KUERSITRIN, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Available at:
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/6209.
Nisa, A. A. (2019) Gambaran Peresepan Obat Kortikosteroid Pada Pasien Anak di

43
Poli Rawat Jalan RS Prima Husada Malang. Akademi Farmasi Putera
Indonesia Malang. Available at:
http://repository.poltekkespim.ac.id/id/eprint/487%0A.
Nuryati (2017) Farmakologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Prabowo, I. (2016) UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN
JARAK MERAH (Jatropha gossypifolia) PADA TIKUS JANTAN YANG
DIINDUKSI KARAGENIN. Universitas Muhammadiyah Malang. Available at:
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/32850.
Pradana, A. M. (2018) Tanggung Gugat Apotek Atas Apoteker Yang Melakukan
Penyalahgunaan Penjualan Obat Asam Mefenamat. Universitas Jember.
Available at: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/90557.
Prihastuti, D. and Abdassah, M. (2019) ‘Karagenan dan Aplikasinya di Bidang
Farmasetik’, Farmasetika.com (Online), pp. 146–154. doi:
https://doi.org/10.24198/farmasetika.v4i5.23066.
Suherman, S. K. and Ascobat, P. (2007) Farmakologi dan Terapi V. Edited by S. G.
Gunawan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. doi:
10.1017/CB09781107415324.004.
Sukaina, I. (2013) Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Herba Kemangi (Ocimum
americanum Linn.) Terhadap Udem Telapak Kaki Tikus Putih Jantan Yang
Dinduksi Karagenan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Available at:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/26458.
Universitas Muhammadiyah Malang (2023) Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Widianingtyas, A. P. K. (2018) ‘Evaluasi Penggunaan Obat Kortikosteroid Di
Apotek Hs 23 Periode Februari-April 2018’, Kefarmasian Akfarindo, (7–12).
doi: 10.37089/jofar.v0i0.38.
Widianti, Z. (2017) Efek antiinflamasi ekstrak etanol daun zaitun (Olea europaea L.)
pada edema telapak kaki tikus galur Sprague-Dawley jantan yang diinduksi
karagenan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Zulkasih, N. (2021) Evaluasi Penggunaan Obat Kortikosteroid Oral Pada Pasien di
Puskesmas Sumbang I. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

44

Anda mungkin juga menyukai