Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


LARUTAN PARENTERAL
Dosen : apt. Nur’aini, M.Farm

Disusun Oleh :
Kelompok : 3
Gelombang : 5

19040074 Eva Rosdiana


19040077 Nur Kartika Sari
19040079 Eneng Siti Annisa Tiara
19040082 Elsa Rahmapuziana
19040084 Marliana Praningrum

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH
TANGERANG
2022
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT
atas berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan praktikum
kami dengan judul "Cara Sterilisasi Larutan Parenteral " ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan Steril dengan Dosen Pengampu apt.Nur’aini,
M.Farm. Selain itu, laporan praktikum ini juga bertujuan untuk menambah wawasan penulis
maupun pembaca mengenai cara sterilisasi.
Kami ucapkan terima kasih kepada bapak apt.Nur’aini, M.Farm yang telah memberikan
ilmu dengan menyampaikan materi sebelumnya sehingga dapat membantu menyelesaikan
laporan praktikum ini.
Mungkin dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi
penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran guna
perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis
mengucapkan ribuan terima kasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua
pihak mudah– mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah SWT.

Tangerang, 25 Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. I

DAFTAR ISI............................................................................................................................ II

I. TUJUAN PRAKTIKUM .................................................................................................. 1

II. TUGAS PRAKTIKUM .................................................................................................... 1

III. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 1

IV. PRAFORMULASI ........................................................................................................ 6

V. FORMULASI .................................................................................................................... 9

VI. WADAH, ETIKET, BROSUR, DAN KEMASAN ................................................... 16

VII. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 18

ii
PRAKTIKUM II
LARUTAN PARENTERAL
I. Tujuan Praktikum

Mahasiswa mampu melakukan pembuatan larutan parenteral


II. Tugas Praktikum

Mahasiswa dapat melakukan pembuatan larutan parenteral


III. Tinjauan Pustaka

Parenteral berasal dari bahasa Yunani, para dan enteronyang berarti di luar usus
halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral seperti
yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti berbagai
sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau
sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan larutan
atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat
dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal kata
injeksi dai injectio yang berarti memasukan ke dalam,sedangkan infusioberarti
penuangan ke dalam (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput
lendir. Infus intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung
ke dalam vena dalam volume relatif banyak (Anonim, 1979). Dalam Farmakope
Indonesia Ed. IV (Anonim, 1995), yang dimaksud dengan larutan parenteral
volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah bertanda lebih dari 100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
1. Keuntungan dan kerugian sediaan parenteral (Shargel, 2005)
A. Keuntungan sediaan parenteral
▪ Memberikan efek yang cepat
▪ Tidak melalui firstpast effectc

1
▪ Dapat diberikan apabila penderita dalam keadaan tidak dapat
bekerjasama dengan baik, tidak sadar, atau tidak dapat dengan cara
pemberian lain (seperti oral)
▪ Kadar obat di dalam darah yang hasilnya lebih bisa diramalkan. Dapat
untuk obat yang rusak/tidak diabsorbsi dalam saluran cerna. Contoh :
Insulin (Protein Drug)
B. Kerugian sediaan parenteral
▪ Harga relatif lebih mahal
▪ Apabila sudah masuk kedalam saluran tubuh susah untuk di
keluarkan terutama apabila terjadi kasus toksisitas.
2. Rute-rute pemberian injeksi
Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang
paling umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan
intraspinal. Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan
intraartikular. Rute pemberian yang dimaksud mempunyai efek nyata terhadap
formulasi suatu produk parenteral. Volume di mana suatu dosis obat harus
dimasukan merupakan faktor untuk dipertimbangkan (Lachman dkk, 1994).
A. Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
▪ Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk
ke jaringan di bawah kulit.
▪ Volume tidak lebih dari 1 ml
▪ Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat
meyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis
dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
▪ Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat
daripada sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah
total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
▪ Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
B. Intramuskular (i.m)
▪ Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau
paha.
▪ Volume sediaan umumnya 2 ml
▪ Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot
mentoleransi minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi
2
dengan baik, di dalam minyak sehingga jaringan otot tersebut
merupakan rute yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam
minyak. Bentuk larutan sebaiknya isotonis.
▪ Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
▪ Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat
dilepaskan padasuatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat
diabsorpsi daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
C. Intravena (i.v)
▪ Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v
▪ Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan
isohidris.
▪ Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
onset (mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
D. Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
▪ Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang.
Larutan harus isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan
serebrospinal lambat dan gangguan tekanan osmotik dengan
cepat menyebabkan sakit kepala dan muntah (Lukas, 2006;
Lachman dkk, 1994).
▪ Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan
operasi untuk memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus
hipertonis, zat aktif diabsorpsi dengan cepat dan volume diberikan
dalam jumlah besar (1 atau 2 liter) (Lukas, 2006).
▪ Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis
dan isohidris (Lukas, 2006)
▪ Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit.
Umumnya diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi)
atau imunisasi, larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena
larutan yang nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi
palsu (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
3
Macam-Macam Sediaan ParenteralSediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda yaitu (Anonim, 1995; Rahman &
Djide, 2009) :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai
dengan nama Injeksi, Contoh; Injeksi Vitamin C
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya,Steril. Contoh Inj.
Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya,untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk
Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya, suspensi steril. Contoh.Inj. Suspensi
Hidrokortison Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya, steril untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G
steril untuk suspensi.
Mekanisme Pelepasan Sediaan Parenteral Hubungan antara ilmu fisika, kimia,
dan biologi yang menyangkut obat, bentuk dan absorpsi obat disebut
biofarmasetika. Respon farmakologis suatu obat, termasuk cara kerja dan
intensitas kerja obat sangat tergantung pada cara pemberiannya (Lukas, 2006).
A. Obat Masuk ke Dalam TubuhObat masuk ke dalam tubuh dengan cara
intravaskular dan ekstravaskular (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009)
▪ Cara intravaskular
Cara intravaskkular ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik
dan didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pada cara pemberian
intravena (injeksi dan infus). Obat tidak mengalami fase absorpsi.

4
Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan
biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh.
▪ Cara ekstravaskular
Cara ekstravakular ialah obat harus diabsorpsi dulu sebelum masuk
ke peredaran sistemik seperti pemberian i.m, s.c, i.c, dan i.p. Syarat
untuk diabsorpsi adalah obat harus dibebaskan dari bentuk
sediaannya yang tergantung dari faktor fisikokimia obat, faktor
lingkungan tempat absorpsi dan teknik pembuatan.
Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya
(Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
a. Intravena (i.v)
Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke
seluruh tubuh. Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh
kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari
tubuh. Cara pemberian intravena sebagai berikut :
▪ Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar
tinggi dan pada waktu yang pendek
▪ Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan
periode pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari
▪ Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu
pemberian lebih dari 6 jam sampai 24 jam
b. Intramuskular (i.m)
▪ Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka
diberikan secara i.m.
▪ Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat
i.v tetapi secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas
mencapai 80-100%.
▪ Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk
suspensi atau larutan dalam minyak.
▪ Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan
dengan kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.
▪ Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekulbesar
masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening.

5
▪ Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak
terabsorpsi secara sempurna karena terjadi presipitasi yang
menyebabkan redisolusi sangat lambat atau terjadinya fagositosis
partikel obat.
c. Subkutan (s.c)
▪ Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m.
Namun karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi
regional kurang, maka kecepatan absorpsi obat kurang pula
▪ Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin,
yang menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat
tertahan atau diperlambat
▪ Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks jaringan
yang menyebabkan penyebaran dipercepat
d. Intradermal (i.c)
▪ Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi
biasanya pada bagian lengan bawah.
▪ Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume jaringan
kecil dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya pembulu darah
IV. Praformulasi

1. Tinjauan Farmakologi Bahan Obat


a) Atropine Sulfat
Atropin adalah obat untuk menangani denyut jantung lambat
(bradikardia) dan keracunan insektisida. Obat ini juga dapat digunakan
sebelum pemeriksaan mata atau sebagai pramedikasi sebelum prosedur
anestesi. Atropine sulfat bekerja menghambat reseptor muskarinik baik
sentral maupun perifer. Hambatan reseptor muskarinik oleh atripine
sulfat bersifat reversible dengan asetilkolin dan antikolinesterase.
Atropine sulfat merupakan agen antimuskarinik yang menghambat
asetilkolin (Finkel, Dkk., 2009).
b) Asam Borat
Asam borat adalah bahan yang digunakan sebagai aditif untuk
produk farmasi, astringen, kosmetik, lotion, sabun, obat kumur, pasta

6
gigi, dan pencuci mata. Bahan ini juga berrungsi sebagai antibakteri,
antijamur, antiinfeksi, dan antiseptik (Finkel, Dkk., 2009).

2. Sifat Fisika Kimia Bahan Obat


A. Atropine Sulfat
BM 694,84
Titik didih
Atropine 114℃
Atropine Sulfat 190 sampai 194℃
Bentuk
Atropine kristal putih atau serbuk kristal
Atropine Sulfat tidak berbau, sangat pahit, serbuk kristal
Kelarutan
Atropine kelerutan yang rendah dengan air (1g atropine
dalam 445ml air dan 1g atropine dalam 90 ml
air 80℃), 1g larut adalam 2ml alkohol, 2,5ml
alkohol dalam 60℃, 2ml gliserol, 25 ml eter,
dan 1ml kloroform.
Atropine Sulfat sangat larut air, 1 g terlarut dala 0,4 ml air, 5 ml
alkohol dingin, 2,5 ml alkohol panas, 2,5 ml
gliserol, 420 ml kloroform dan 3.000 ml eter.
pH
Atropine 9,8 larutan jenuh atropine dala air pada alkali

Atropine Sulfat dalam 2% larutan dalam air memiliki ph 4,5 –


6,2 Stabilitas terhadap cahaya
Stabilitas terhadap cahaya
Atropine terlindung dari cahaya
Atropine Sulfat kecil sekali efeknya terhadap cahaya, terlindung
dari cahaya
Inkompabilitas
Atropine tidak diketahui

7
Atropine Sulfat noradrenaline bitartrate, metaraminol bitartrate
dan sodium bicarbonate injections, alkali yang
lain, tanin, garam dari merkuri atau emas, borax,
bromia dan iodida
Daftar Pustaka Anonim, 1979

B. Asam Borat
Rumus molekul H2BO3
Bobot molekul 61,83
Pemerian
serbuk kristal putih, rasa agak pahit dan lama
kelamaan rasa manis, berbau lemah.
Kelarutan
bagian larut dalam 20 bagian aie, 16 abgian
alkoho, 4 bagian gliserol, sedikit larutan dalam
minyak, praktis tidak larut dalam eter
Stabilitas
pada suhu 100 ͦ C akan kehilangan air dan pada
suhu 140 ͦ C akan berubah menjadi asam
metabolik
pH 3,8 - 4,8
Khasiat
fungistatik, bakteriostatik lemah, mata merah
berair, bengkak, gatal pada kelopak mata
Penyimpanan
dalam wadah tertutup rapat
Daftar pustaka
Sweetman, 2009 : 337

3. Cara Sterilisasi Masing-Masing Bahan

Atropine Sulfat autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit

Asam Borat autoklaf atau filtrasi

4. OTT

8
hidroksibenzoat, alkali, reduktor, asam tanat, dan
Atropine Sulfat
garam merkuri
Asam Borat polipinil alkohol dan tanin (Sweetman, 2009)

5. Cara Penggunaan Sediaan


a. Atropine Sulfat
Parenteral Injeksi 100-200 mg/ml
10-100 m/hari peroral dan jika perlu i.m dalam
Dosis Terapetik
defisiensi
(oral,im)) 5-10 mg/hari; dosis terapi (oral,im,iv)
Dosis Propilksis
10-100 mg/hari (anonim, 1979)

b. Asam Borat
Asam Borat sebagai buffer dan pengisotonis.

V. Formulasi

A. Permsalahan dan Penyelesaian


No Permasalahan Penyelesaian
1 Sediaan harus isohidris Menambahkan zat pengatur pH jika pH
(pH 7,4) masih dibawah 7,4. Pengaturan pH sangat
berguna untuk mencapai batas nyesri.
Larutan nyaris tampanyeri pH 7,3-9,7.
2 Atropine sulfate mudah Pembawa air yang di gunakan pro injeksi.
larut dalam air, sehingga
pembuatannya lebih stabil
dengan pelarut tersebut.
3 Sediaan steril harus bebas Sediaan dibuat dengan cara yang aseptis
mikroorganisme, isotonis dan sangat steril.
dengan larutan jernih,
bebas partikel, dan tidak
bersifat irutan

9
B. Formula yang akan dibuat (termasuk perhitungan isotonis) b2 C

R/ Atropin Sulfat 2% (PTB 0,07) E 0,13


Ac. Borat qs (PTB 0,29) E 0,5
Mf Larutan isotonis ad 10 ml

Perhitungan tonisitas;

Diketahui:

b1= 0,07

b2= 0,29

C = 2% = 2/100 = 0,2 mg/10mL

= 0,2 mg/100mL

= 0,002 gram/100mL

Ditanya : B?

Jawab:

0,52−(𝑏1𝑥𝑐)
B= 𝑏2

0,52−(0,07𝑥0,002)
B=
0,29

0,52−(0,00014)
B= 0,29

0,519
B= 0,29

B= 1,792 gram/100mL

➢ Jadi, zat pengisotonis yang dibutuhkan untuk 10ml sediaan yaitu:

10mL = x gram

100 mL= 1,792 garam

10𝑚𝐿
𝑥 = 100𝑚𝐿 x 1,792 gram = 0,179 gram

➢ Larutan sudah isotonis

10
C. Perhitungan dan Penimbangan
1. Ac. Borat
Diketahuni:
C= 0,179 gram
b1= 0,29
b2= 0,07

Ditanya : B?
Jawab :
0,52−(𝑏1𝑥𝑐)
B= 0,29
0,52−(0,29𝑥0,179)
B= 0,07
0,52−(0,051)
B= 0,07
0,469
B= 0,07

B= 6,7 gram

2. Aquadest ad 10mL
20
Ad 10 mL + (100 𝑥 10𝑚𝐿)

Ad 10 mL + 2 mL
Ad 12 mL

No Bahan Penimbangan
1 Atropin Sulfat 2% 0,179 g
2 Ac. Borat qs 6, 7 mg
3 Aquadest ad 10mL Ad 12ml

D. Cara kerja
a. Pembuatan Larutan Obat Suntik Secara Umum

Aquadest dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1 liter dan ditutup dengan


kapas yang dibungkus dengan kain kasa, disterilkan dengan cara
mendidihkan diatas lampu spiritus selama 30 menit kemudian
dinginkan

11
Zat ditimbang dengan kaca arloji yang telah disterilkan secara
flambieren, kemudian dilarutkan dalam beker glass (yang sudah
steril), kemudian diaduk dan kaca arloji dibilas sebanyak 3 kali dengan
aquadest steril.

Larutan dicukupkan volumenya sampai dengan volume yang


dikehendaki, beker glass ditutup dengan kaca arloji. (semua
pekerjaan dilakukan dalam lemari aseptis)

Buret yang telah direndam dengan larutan sublimate 10% selama


24 jam dikerjakan sebagai berikut :

• Tuang larutan sublimate dari buret melalui arah bawah


• Bilas dengan aquadest steril sebanyak 3 kali, setiap kali
sebanyak setengah buret yang dilakukan dengan memutar-
mutar buret sampai keujung bagian atas.
• Buret dibilas seperti cara diatas dengan larutan obat.

Ujung buret yang telah dipasang dengan jarum suntik dibilas dengan
kapas yang telah dibasahi dengan alkohol 70%, kapas ini diletakkan
diatas kaca arloji yang lain. (kapas dipegang dengan pinset steril).

Ampul yang telah steril diletakkan diatas wadah tertentu dan ditutup
dengan kertas perkamen yang dibentuk seperti kerucut.

Larutan obat dalam buret dimasukkan dalam ampul sesuai dengan


jumlah yang diminta, setiap kali memasukkan obat dalam ampul ujung
buret harus dengan kapas alkohol (lihat FI ed III)

Ampul yang telah berisi larutan obat distoom dengan aliran uap air
panas, untuk menghindari adanya tetesan larutan obat yang
menempel pada leher ampul (menyebabkan pengarangan waktu
ditutup)

Ampul yang telah berisi larutan obat distoom dengan aliran uap air
panas, untuk menghindari adanya tetesan larutan obat yang
menempel pada leher ampul (menyebabkan pengarangan waktu
ditutup)

12
Lakukan pengujian akhir seperti tes kebocoran, kejernihan, Ph, Volume

Diberi etiket dan dimasukkan dalam kotak, buat brosur.

b. Pembuatan Larutan Infus

Pembuatan larutan infus umumnya sama dengan pembuatan larutan


injeksi. Obat dilarutkan di dalam aquadest, dimasukkan dalam beker
glass 1000 ml

Ke dalam larutan ini ditambahkan karbon aktif sebanyak 0,1%,


cukupkan volumenya, ditutup dengan perkamen (ikat dengan tali).

Panaskan larutan ini diatas nyala api spiritus pada suhu 60 – 70ºC
selama 15 menit sambil diaduk-aduk dengan batang pengaduk.

Larutan disaring langsung ke dalam botol infuse yang akan diserahkan


(terlebih dahulu disterilkan), menggunakan kertas saring rangkap 2.
Pengerjaan ini dilakukan di dalam lemari aseptis.

Kemudian disterilkan dengan cara yang cocok

Untuk mengimbangi kekurangan zat karena proses adsorbsi oleh


karbon aktif, zat berkhasiat umumnya dilebihkan 5% dari berat
karbon yang digunakan. Untuk senyawa-senyawa organik seperti
glukosa dilebihkan sebanyak 35%. Sedangkan untuk zat
warnamaupun alkaloida yang diberikan dalam jumlah kecil, tidak
digunakan karbon aktif.

c. Pengisian ke dalam Wadah


1. Ampul atau Vial

Larutan yang sudah disaring, dituang melalui corong kecil (atau


langsung) ke dalam buret atau dituang ke dalam filter gelas G3, lalu
disedot kedalam kolom reservoir

13
Volume yang diisi ke dalam ampul atau vial disesuaikan dengan
persyaratan volume yang tercantum dalam FI ed III atau untuk vial
netto.

Jarum dilap dengan kapas yang dibasahi dengan alkohol 70%

Jarum dimasukkan ke dalam leher ampul atau vial (jangan sampai


menyentuh dinding dalam leher ampul) dan sewaktu pengisian, jangan
sampai menyentuh permukaan cairan.

Untuk mencegah pengarangan sewaktu leher ampul ditutup dengan


api, maka leher ampul diuapkan terlebih dahulu (vial tidak diuapkan)

Tergantung dari peka tidaknya zat terhadap oksigen, maka sebelum


ditutup udara yang berada dalam leher ampul atau vial diusir dengan
pertolongan gas nitrogen.

Suspensi diaduk dalam gelas ukur dan sebelum dituang langsung


kedalam vial yang telah dikalibrasi, diaduk terlebih dahulu dengan
batang pengaduk gelas agar homogenitas suspensi terjamin.

2. Botol Infus

Larutan disaring terlebih dahulu melalui kertas saring ke dalam


erlenmeyer, kemudian dituang ke dalam gelas ukur hingga volume
yang diinginkan, setelah itu tuang volume yang diminta ke dalam botol
infus.

14
3. Tube

Tutup tube dipasang pada tube, setelah kedua-duanya disterilkan

Massa salep / krim ditimbang diatas kertas perkamen steril berbentuk


persegi panjang. Digulung dan dimasukkan ke dalam tube (hanya tube
yang boleh dipegang dengan tangan).

Dasar tube dijepit dengan pinset dan kertas dicabut (ditarik) dengan
pinset kedua.

Dasar tube ditutup dengan penutup tube.

4. Kaleng serbuk tabur

Tutup kaleng dipasang pada kaleng serbuk, setelah lubang-lubangnya


ditutup dengan kertas perkamen steril yang sesuai

Kaleng diletakkan dalam keadaan terbalik.

Dengan pertolongan corong serbuk atau kartu salap, serbuk tabur yang
sudah ditimbang (dispensasi pengayakan) dimasukkan ke dalam kaleng.

Tutup dasar kaleng dengan seal yang sesuai.

d. Pemeriksaan hasil akhir

Setelah larutan disterilkan, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan


sebelum wadah dipasang etiket dan dilakukan pengemasan.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain: Kebocoran, Sterilisasi,
Pirogen, Kejernihan dan warna, Volume dan berat, dan Kadar
15
VI. Wadah, Etiket, Brosur, dan Kemasan

KEMASAN SEKUNDER

16
KEMASAN PRIMER ETIKET

BROSUR

17
VII. Daftar Pustaka

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608 700, Jakarta, UI Press.
Jakarta.
Finkel, R., Clark, M. A., & Cubeddu, L. X. 2009. Lippincott's Illustrated Reviews:
Pharmacology (4th ed.). Florida: Lippincott Williams & Wilkins.
Lachman L, Lieberman HA, 1994 'Teori dan Praktek Farmasi Indrustri.' Edisi Ketiga. Vol
III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press; 1994
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi: Yogyakarta
Rahman, L dan Djide, MN. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin. Makassar
Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi
kedua, Airlangga University Press, Surabaya
Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical, Press, London.

18

Anda mungkin juga menyukai