Disusun Oleh :
Kelompok : 3
Gelombang : 5
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT
atas berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan praktikum
kami dengan judul "Cara Sterilisasi Larutan Parenteral " ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan Steril dengan Dosen Pengampu apt.Nur’aini,
M.Farm. Selain itu, laporan praktikum ini juga bertujuan untuk menambah wawasan penulis
maupun pembaca mengenai cara sterilisasi.
Kami ucapkan terima kasih kepada bapak apt.Nur’aini, M.Farm yang telah memberikan
ilmu dengan menyampaikan materi sebelumnya sehingga dapat membantu menyelesaikan
laporan praktikum ini.
Mungkin dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi
penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran guna
perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis
mengucapkan ribuan terima kasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua
pihak mudah– mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah SWT.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ II
V. FORMULASI .................................................................................................................... 9
ii
PRAKTIKUM II
LARUTAN PARENTERAL
I. Tujuan Praktikum
Parenteral berasal dari bahasa Yunani, para dan enteronyang berarti di luar usus
halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral seperti
yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti berbagai
sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau
sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan larutan
atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat
dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal kata
injeksi dai injectio yang berarti memasukan ke dalam,sedangkan infusioberarti
penuangan ke dalam (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput
lendir. Infus intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung
ke dalam vena dalam volume relatif banyak (Anonim, 1979). Dalam Farmakope
Indonesia Ed. IV (Anonim, 1995), yang dimaksud dengan larutan parenteral
volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah bertanda lebih dari 100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
1. Keuntungan dan kerugian sediaan parenteral (Shargel, 2005)
A. Keuntungan sediaan parenteral
▪ Memberikan efek yang cepat
▪ Tidak melalui firstpast effectc
1
▪ Dapat diberikan apabila penderita dalam keadaan tidak dapat
bekerjasama dengan baik, tidak sadar, atau tidak dapat dengan cara
pemberian lain (seperti oral)
▪ Kadar obat di dalam darah yang hasilnya lebih bisa diramalkan. Dapat
untuk obat yang rusak/tidak diabsorbsi dalam saluran cerna. Contoh :
Insulin (Protein Drug)
B. Kerugian sediaan parenteral
▪ Harga relatif lebih mahal
▪ Apabila sudah masuk kedalam saluran tubuh susah untuk di
keluarkan terutama apabila terjadi kasus toksisitas.
2. Rute-rute pemberian injeksi
Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang
paling umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan
intraspinal. Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan
intraartikular. Rute pemberian yang dimaksud mempunyai efek nyata terhadap
formulasi suatu produk parenteral. Volume di mana suatu dosis obat harus
dimasukan merupakan faktor untuk dipertimbangkan (Lachman dkk, 1994).
A. Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
▪ Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk
ke jaringan di bawah kulit.
▪ Volume tidak lebih dari 1 ml
▪ Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat
meyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis
dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
▪ Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat
daripada sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah
total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
▪ Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
B. Intramuskular (i.m)
▪ Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau
paha.
▪ Volume sediaan umumnya 2 ml
▪ Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot
mentoleransi minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi
2
dengan baik, di dalam minyak sehingga jaringan otot tersebut
merupakan rute yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam
minyak. Bentuk larutan sebaiknya isotonis.
▪ Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
▪ Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat
dilepaskan padasuatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat
diabsorpsi daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
C. Intravena (i.v)
▪ Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v
▪ Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan
isohidris.
▪ Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
onset (mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
D. Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
▪ Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang.
Larutan harus isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan
serebrospinal lambat dan gangguan tekanan osmotik dengan
cepat menyebabkan sakit kepala dan muntah (Lukas, 2006;
Lachman dkk, 1994).
▪ Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan
operasi untuk memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus
hipertonis, zat aktif diabsorpsi dengan cepat dan volume diberikan
dalam jumlah besar (1 atau 2 liter) (Lukas, 2006).
▪ Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis
dan isohidris (Lukas, 2006)
▪ Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit.
Umumnya diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi)
atau imunisasi, larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena
larutan yang nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi
palsu (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
3
Macam-Macam Sediaan ParenteralSediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda yaitu (Anonim, 1995; Rahman &
Djide, 2009) :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai
dengan nama Injeksi, Contoh; Injeksi Vitamin C
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya,Steril. Contoh Inj.
Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya,untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk
Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya, suspensi steril. Contoh.Inj. Suspensi
Hidrokortison Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya, steril untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G
steril untuk suspensi.
Mekanisme Pelepasan Sediaan Parenteral Hubungan antara ilmu fisika, kimia,
dan biologi yang menyangkut obat, bentuk dan absorpsi obat disebut
biofarmasetika. Respon farmakologis suatu obat, termasuk cara kerja dan
intensitas kerja obat sangat tergantung pada cara pemberiannya (Lukas, 2006).
A. Obat Masuk ke Dalam TubuhObat masuk ke dalam tubuh dengan cara
intravaskular dan ekstravaskular (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009)
▪ Cara intravaskular
Cara intravaskkular ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik
dan didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pada cara pemberian
intravena (injeksi dan infus). Obat tidak mengalami fase absorpsi.
4
Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan
biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh.
▪ Cara ekstravaskular
Cara ekstravakular ialah obat harus diabsorpsi dulu sebelum masuk
ke peredaran sistemik seperti pemberian i.m, s.c, i.c, dan i.p. Syarat
untuk diabsorpsi adalah obat harus dibebaskan dari bentuk
sediaannya yang tergantung dari faktor fisikokimia obat, faktor
lingkungan tempat absorpsi dan teknik pembuatan.
Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya
(Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
a. Intravena (i.v)
Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke
seluruh tubuh. Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh
kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari
tubuh. Cara pemberian intravena sebagai berikut :
▪ Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar
tinggi dan pada waktu yang pendek
▪ Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan
periode pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari
▪ Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu
pemberian lebih dari 6 jam sampai 24 jam
b. Intramuskular (i.m)
▪ Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka
diberikan secara i.m.
▪ Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat
i.v tetapi secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas
mencapai 80-100%.
▪ Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk
suspensi atau larutan dalam minyak.
▪ Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan
dengan kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.
▪ Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekulbesar
masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening.
5
▪ Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak
terabsorpsi secara sempurna karena terjadi presipitasi yang
menyebabkan redisolusi sangat lambat atau terjadinya fagositosis
partikel obat.
c. Subkutan (s.c)
▪ Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m.
Namun karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi
regional kurang, maka kecepatan absorpsi obat kurang pula
▪ Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin,
yang menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat
tertahan atau diperlambat
▪ Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks jaringan
yang menyebabkan penyebaran dipercepat
d. Intradermal (i.c)
▪ Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi
biasanya pada bagian lengan bawah.
▪ Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume jaringan
kecil dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya pembulu darah
IV. Praformulasi
6
gigi, dan pencuci mata. Bahan ini juga berrungsi sebagai antibakteri,
antijamur, antiinfeksi, dan antiseptik (Finkel, Dkk., 2009).
7
Atropine Sulfat noradrenaline bitartrate, metaraminol bitartrate
dan sodium bicarbonate injections, alkali yang
lain, tanin, garam dari merkuri atau emas, borax,
bromia dan iodida
Daftar Pustaka Anonim, 1979
B. Asam Borat
Rumus molekul H2BO3
Bobot molekul 61,83
Pemerian
serbuk kristal putih, rasa agak pahit dan lama
kelamaan rasa manis, berbau lemah.
Kelarutan
bagian larut dalam 20 bagian aie, 16 abgian
alkoho, 4 bagian gliserol, sedikit larutan dalam
minyak, praktis tidak larut dalam eter
Stabilitas
pada suhu 100 ͦ C akan kehilangan air dan pada
suhu 140 ͦ C akan berubah menjadi asam
metabolik
pH 3,8 - 4,8
Khasiat
fungistatik, bakteriostatik lemah, mata merah
berair, bengkak, gatal pada kelopak mata
Penyimpanan
dalam wadah tertutup rapat
Daftar pustaka
Sweetman, 2009 : 337
4. OTT
8
hidroksibenzoat, alkali, reduktor, asam tanat, dan
Atropine Sulfat
garam merkuri
Asam Borat polipinil alkohol dan tanin (Sweetman, 2009)
b. Asam Borat
Asam Borat sebagai buffer dan pengisotonis.
V. Formulasi
9
B. Formula yang akan dibuat (termasuk perhitungan isotonis) b2 C
Perhitungan tonisitas;
Diketahui:
b1= 0,07
b2= 0,29
= 0,2 mg/100mL
= 0,002 gram/100mL
Ditanya : B?
Jawab:
0,52−(𝑏1𝑥𝑐)
B= 𝑏2
0,52−(0,07𝑥0,002)
B=
0,29
0,52−(0,00014)
B= 0,29
0,519
B= 0,29
B= 1,792 gram/100mL
10mL = x gram
10𝑚𝐿
𝑥 = 100𝑚𝐿 x 1,792 gram = 0,179 gram
10
C. Perhitungan dan Penimbangan
1. Ac. Borat
Diketahuni:
C= 0,179 gram
b1= 0,29
b2= 0,07
Ditanya : B?
Jawab :
0,52−(𝑏1𝑥𝑐)
B= 0,29
0,52−(0,29𝑥0,179)
B= 0,07
0,52−(0,051)
B= 0,07
0,469
B= 0,07
B= 6,7 gram
2. Aquadest ad 10mL
20
Ad 10 mL + (100 𝑥 10𝑚𝐿)
Ad 10 mL + 2 mL
Ad 12 mL
No Bahan Penimbangan
1 Atropin Sulfat 2% 0,179 g
2 Ac. Borat qs 6, 7 mg
3 Aquadest ad 10mL Ad 12ml
D. Cara kerja
a. Pembuatan Larutan Obat Suntik Secara Umum
11
Zat ditimbang dengan kaca arloji yang telah disterilkan secara
flambieren, kemudian dilarutkan dalam beker glass (yang sudah
steril), kemudian diaduk dan kaca arloji dibilas sebanyak 3 kali dengan
aquadest steril.
Ujung buret yang telah dipasang dengan jarum suntik dibilas dengan
kapas yang telah dibasahi dengan alkohol 70%, kapas ini diletakkan
diatas kaca arloji yang lain. (kapas dipegang dengan pinset steril).
Ampul yang telah steril diletakkan diatas wadah tertentu dan ditutup
dengan kertas perkamen yang dibentuk seperti kerucut.
Ampul yang telah berisi larutan obat distoom dengan aliran uap air
panas, untuk menghindari adanya tetesan larutan obat yang
menempel pada leher ampul (menyebabkan pengarangan waktu
ditutup)
Ampul yang telah berisi larutan obat distoom dengan aliran uap air
panas, untuk menghindari adanya tetesan larutan obat yang
menempel pada leher ampul (menyebabkan pengarangan waktu
ditutup)
12
Lakukan pengujian akhir seperti tes kebocoran, kejernihan, Ph, Volume
Panaskan larutan ini diatas nyala api spiritus pada suhu 60 – 70ºC
selama 15 menit sambil diaduk-aduk dengan batang pengaduk.
13
Volume yang diisi ke dalam ampul atau vial disesuaikan dengan
persyaratan volume yang tercantum dalam FI ed III atau untuk vial
netto.
2. Botol Infus
14
3. Tube
Dasar tube dijepit dengan pinset dan kertas dicabut (ditarik) dengan
pinset kedua.
Dengan pertolongan corong serbuk atau kartu salap, serbuk tabur yang
sudah ditimbang (dispensasi pengayakan) dimasukkan ke dalam kaleng.
KEMASAN SEKUNDER
16
KEMASAN PRIMER ETIKET
BROSUR
17
VII. Daftar Pustaka
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608 700, Jakarta, UI Press.
Jakarta.
Finkel, R., Clark, M. A., & Cubeddu, L. X. 2009. Lippincott's Illustrated Reviews:
Pharmacology (4th ed.). Florida: Lippincott Williams & Wilkins.
Lachman L, Lieberman HA, 1994 'Teori dan Praktek Farmasi Indrustri.' Edisi Ketiga. Vol
III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press; 1994
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi: Yogyakarta
Rahman, L dan Djide, MN. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin. Makassar
Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi
kedua, Airlangga University Press, Surabaya
Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical, Press, London.
18