Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui

beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan

intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan

berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di

sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai untuk

bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu

dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. Ahkan

bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler,

begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya

saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani Para dan Enteron yang berarti

disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat

di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membran mukosa. Karena

rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan

selaput atau membran mukosa, maka kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan

harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain

harus steril. Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume

kecil, sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang

biasa diberikan secara intravena.


Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung

partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung

bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi

dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang

tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sediaan Parenteral

Parenteral berasal dai kata Yunani, para dan enteron yang berarti di luar

usus halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral seperti

yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti berbagai

sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).

Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau

sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan larutan

atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat

dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal kata

injeksi dai injectio yang berarti memasukan ke dalam, sedangkan infusio berarti

penuangan ke dalam (Lukas, 2006).

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk

yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang

disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput lendir. Infus

intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan

sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung ke dalam vena

dalam volume relatif banyak (Depkes R.I, 1979). Dalam Farmakope Indonesia Ed. IV

(Depkes R.I, 1995), yang dimaksud dengan larutan parenteral volume besar adalah

injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah bertanda lebih dari
100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda

volume 100 ml atau kurang.

2.2 Keuntungan Dan Kerugian sediaan parenteral (Shargel,2005)

1. Keuntungan Sediaan Parenteral

a. Memberikan Efek yang Cepat

b. Tidak Melalui Firstpast Effect

c. Dapat Diberikan apabila penderita dalam keadaan tidak dapat bekerjasama

dengan baik, tidak sadar, atau tidak dapat dengan cara pemberian lain (seperti

oral)

d. Kadar obat di dalam darah yang hasilnya lebih bisa diramalkan

e. dapat untuk obat yang rusak/tidak diabsorbsi dalam saluran cerna

Contoh : Insulin (Protein Drug)

2. Kerugian

a. Harga Relatif Lebih mahal

b. Apabila sudah masuk kedalam saluran tubuh susah untuk di keluarkan

terutama apabila terjadi kasus toksisitas

2.3 Rute-Rute Pemberian Injeksi

Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang paling

umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan intraspinal

(Lachman dkk, 1994). Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan

intraartikular (Lukas, 2006). Rute pemberian yang dimaksud mempunyai efek nyata

terhadap formulasi suatu produk parenteral. Volume di mana suatu dosis obat harus

dimasukan merupakan faktor untuk dipertimbangkan (Lachman dkk, 1994).


A. Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.

1. Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk ke jaringan

di bawah kulit.

2. Volume tidak lebih dari 1 ml

3. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat meyimpang

isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif

tidak optimal

4. Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat daripada

sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan

tempat terjadinya penyerapan.

5. Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)

B. Intramuskular (i.m)

1. Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha.

2. Volume sediaan umumnya 2 ml

3. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot mentoleransi

minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi dengan baik, di dalam minyak

sehingga jaringan otot tersebut merupakan rute yang cocok untuk minyak dan

suspensi dalam minyak. Bentuk larutan sebaiknya isotonis.

4. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.

5. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi. Pemberian

suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan pengumpulan produk

pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat dilepaskan pada suatu laju yang
sebagian besar ditentukan oleh karakteristik formula tersebut. Larutan dalam

air lebih cepat diabsorpsi daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).

C. Intravena (i.v)

1. Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v

2. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidri,

sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan isohidris.

3. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset (mula

kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)

D. Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal

1. Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang. Larutan harus

isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan serebrospinal lambat dan

gangguan tekanan osmotik dengan cepat menyebabkan sakit kepala dan

muntah (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).

2. Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan operasi untuk

memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus hipertonis, zat aktif diabsorpsi

dengan cepat dan volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter) (Lukas,

2006).

3. Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis dan isohidris

(Lukas, 2006)

4. Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit. Umumnya diberikan

untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi) atau imunisasi, larutan sebaiknya

isotonis dan isohidris karena larutan yang nonisotonik dapat memberikan

tanda-tanda iritasi palsu (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).


Gambar 1. Rute pemberian obat secara parenteral

2.4 Macam-Macam Sediaan Parenteral

Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang

berbeda yaitu (Depkes R.I 1995; Rahman & Djide, 2009) :

1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai dengan

nama Injeksi, Contoh. Injeksi Vitamin C

2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau

bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut

yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat dibedakan dari nama

bentuknya,Steril. Contoh Inj. Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.

3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih dapar,

penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari nama

bentuknya,untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.


4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak

disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan

dari nama bentuknya, Suspensi Steril. Contoh.Inj. Suspensi Hidrokortison Asetat

Steril.

5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan

yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan

bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari nama bentuknya,Steril

untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G steril untuk suspensi.

2.5 Mekanisme Pelepasan Sediaan Parenteral


Hubungan antara ilmu fisika, kimia, dan biologi yang menyangkut obat, bentuk

dan absorpsi obat disebut biofarmasetika. Respon farmakologis suatu obat, termasuk

cara kerja dan intensitas kerja obat sangat tergantung pada cara pemberiannya

(Lukas, 2006).

A. Obat Masuk ke Dalam Tubuh

Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular dan ekstravaskular (Lukas,

2006; Rahman & Djide, 2009)

1. Cara intravaskular ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan

didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pada cara pemberian intravena (injeksi

dan infus). Obat tidak mengalami fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam

plasma ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan

ekskresi/eliminasi obat dari tubuh.

2. Cara ekstravaskular ialah obat harus diabsorpsi dulu sebelum masuk ke

peredaran sistemik seperti pemberian i.m, s.c, i.c, dan i.p. Syarat untuk
diabsorpsi adalah obat harus dibebaskan dari bentuk sediaannya yang

tergantung dari faktor fisikokimia obat, faktor lingkungan tempat absorpsi dan

teknik pembuatan.

Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya (Lukas,

2006; Rahman & Djide, 2009).

1. Intravena (i.v)

Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh

tubuh. Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan

biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh. Cara

pemberian intravena sebagai berikut :

a. Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar tinggi dan

pada waktu yang pendek.

b. Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan periode

pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari.

c. Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu pemberian

lebih dari 6 jam sampai 24 jam.

2. Intramuskular (i.m)

a. Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka diberikan

secara i.m.

b. Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat i.v tetapi

secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas mencapai 80-100%.

c. Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk suspensi

atau larutan dalam minyak.


d. Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan dengan

kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.

e. Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekul besar masuk

ke sirkulasi melalui saluran getah bening.

f. Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak terabsorpsi

secara sempurna karena terjadi presipitasi yang menyebabkan redisolusi

sangat lambat atau terjadinya fagositosis partikel obat.

3. Subkutan (s.c)

a. Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m. Namun

karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi regional kurang,

maka kecepatan absorpsi obat kurang pula.

b. Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin, yang

menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat tertahan atau

diperlambat.

c. Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu

enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks jaringan yang

menyebabkan penyebaran dipercepat.

4. Intradermal (i.c)

a. Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi biasanya

pada bagian lengan bawah.

b. Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume jaringan kecil

dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya pembulu darah


2.6 Evaluasi Sediaan Parenteral

1. Evaluasi Fisika

a. Penetapan pH (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 1039-1040)

Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH

meter) yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang

mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode

indikator yang peka terhadap aktivitas ion hidrogen, elektrode kaca dan

elektrode pembanding yang sesuai seperti elektrode kalomel atau elektrode

perak-perak klorida.

b. Bahan Partikulat dalam Injeksi (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 981-984).

Batas bahan partikulat yang tercantum disini berlaku untuk masing-

masing bahan dalam adah dengan volume lebih dari 100 ml injeksi volume

besar dosis tunggal, untuk pemberian infus secara intravena batas ini tidak

berlaku untuk ineksi dosis ganda, untuk injeksi volume kecil, dosis tunggal

ataupun larutan injeksi yang dikonstitusi dari zat padat steril.

Ui bahan partikulat ini digunakan untuk menyatakan adanya partikel

dengan sumbu terpanjang atau dimensi linier efektif 10 µm atau lebih. Prosedur

lain atau prosedur yang lebih rinci dapat digunakan untuk menetapkan bahan

partikulat jika hasil yang diperoleh sama meyakinkan. Tetapi, jika terjadi

perbedaan atau meragukan, hanya hasil yang diperoleh dari prosedur

Farmakope yang berlaku.


c. Penetapan Volume Injeksi Dlam Wadah (Farmakope Indonesia edisi IV, hal.

1044).

Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih, 3 wadah atau

lebih bila volume lebih dari 3 ml dan kurang dari 10 ml, atau 5 wadah atau lebih

bila volume kurang dari 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah dengan alat

suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan

diukur dan dilengkapi dengan arum suntik nomor 21, panang tidak kurang dari

2,5 cm. Keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan

pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian arum, kedalam

gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang

diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera

(garis-garis penunjuk volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung,

bukan yang dituang). Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas

piala kering yang telah ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan

berat dalam g dibagi bobot jenis cairan. Isi dari dua atau tiga wadah 1 ml atau

2 ml dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik

kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi wadah 10 ml atau lebih

dapat ditentukan dengan membuka wadah, memindahkan isi secara langsung

kedalam gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara.

Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diui satu

per satu atau bila wadah volume 1 ml dan 2 ml, tidak kurang dari jumlah volume

wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.


Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa dosis volume tertera,

lakukan penentuan seperti diatas dengan seumlah alat suntik terpisah

sejumlah dosis tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang dari

dosis yang tertera.

d. Uji Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia

edisi III, hal. 19)

Sediaan yang sebelum digunakan sebagai injeksi dilarutkan terlebih

dahulu harus memenuhi syarat keseragaman bobot berikut : hilangkan etiket

10 wadah, cuci bagian besar wadah dengan air, keringkan. Timbang satu per

satu dalam keadaan terbuka. Keluarkan isi wadah, cuci wadah dengan air

kemudian dengan etanol (95%)P, keringkan pada suhu 105 o hingga bobot

tetap, dinginkan, timbang satu per satu. Bobot isi wadah tidak boleh

menyimpang lebih dari batas yang tertera pada daftar berikut, kecuali satu

wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.

Bobot yang tertera pada etiket Batas penyimpangan

Tidak lebih dari 120 mg + 10


Antara 120 mg dan 300 mg ± 7,5
300 mg atau lebih ±5
Volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih dari volume yang
ditetapkan. Kelebihan volume yang dianjurkan tertera dalam daftar dibawah ini.
Volume tambahan yang dianjurkan
Volume pada etiket
Cairan encer Cairan kental
0.5 ml 0.10 ml 0.12 ml
1.0 ml 0.10 ml 0.15 ml
2.0 ml 0.15 ml 0.25 ml
5.0 ml 0.30 ml 0.50 ml
10.0 ml 0.50 ml 0.70 ml
20.0 ml 0.60 ml 0.90 ml
30.0 ml 0.80 ml 1.20 ml
50.0 ml atau lebih 2% 3%

e. Uji Kejernihan Larutan (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 998).

Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar diameter 15

mm hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.

Masukkan kedalam dua tabung reaksi masing-masing larutan uji dan suspensi

padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar dengan cara seperti

tertera dibawah sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi

tepat 40 mm. Bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit pembuatan

suspensi padanan, dengan latar belakang hitam. Pengamatan dilakukan

dibawah cahaya yang terdifusi , tegak lurus ke arah bawah tabung. Difusi

cahaya harus sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat langsung

dibedakan dari air dan dari suspensi padanan II.

Suspensi padanan
I II III IV
Baku opalesan (ml) 5.0 10.0 30.0 50.0
Air (ml) 95.0 90.0 70.0 50.0
f. Uji Kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral)

Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata tetapi

untuk produksi skala besar hal ini tidak mungkin dikerjakan. Wadah-wadah

takaran tunggal yang masih panas setelah selesai disterilkan dimasukkan

kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang bocor maka

larutan biru metilen akan dimasukkan kedalamnya karena perbedaan tekanan

di luar dan di dalam wadah tersebut. Cara ini tidak dapat dilakukan untuk

larutan-larutan yang sudah berwarna.Wadah-wadah takaran tunggal

disterilkan terbalik, jika ada kebocoran maka larutan ini akan keluar dari dalam

wadah. Wadah-wadah yang tidak dapat disterilkan, kebocorannya harus

diperiksa dengan memasukkan wadah-wadah tersebut ke dalam eksikator

yang divakumkan. Jika ada kebocoran akan diserap keluar.

g. Uji Kejernihan dan Warna ( Goeswin Agus, Larutan Parenteral).

Umumnya setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-kotoran.

Uji ini sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti

karena hampir tidak ada larutan jernih. Oleh sebab itu untuk uji ini kriterianya

cukup jika dilihat dengan mata biasa saja yaitu menyinari wadah dari samping

dengan latar belakang berwarna hitam dan putih. Latar belakang warna hitam

dipakai untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna muda, sedangkan latar

belakang putih untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna gelap.


2. Evaluasi Biologi

a. Uji Sterilitas (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 855-863)

Prosedur berikut dapat digunakan untuk menetapkan apakah bahan

farmakope yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan ui sterilitas

seperti yang tertera pada masing-masing monografi (untuk prosedur uji

sterilitas sebagai bagian dari pengawasan mutu dipabrik seperti yang tertera

pada sterilisasi dan jaminan sterilitas bahan kompendia. Meningat

kemungkinan hasil positif dapat disebabkan oleh teknik aseptik yang salah atau

kontaminasi lingkungan ada waktu pengujian 2 tahap seperti yang tertera pada

penafsiran hasil uji sterilitas.

b. Uji Endotoksin Bakteri (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 905-907)

Uji endotoksin bakteri adalah uji untuk memperkirakan kadar endotoksin

bakteri yang mungkin ada dalam atau pada bahan uji. Pengujian dilakukan

menggunakan “Limulus Amebocyte Lysate” (LAL), yang diperoleh dari ekstrak

air amebosit dalam kepiting ladam kuda, Limulus polyphemus dan dibuat

khusus sebagai pereaksi LAL untuk pembentukan jenda-gel.

Penetapan titik akhir reaksi dilakukan dengan membandingkan langsung

enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin baku dan jumlah endotoksin

dinyatakan dalam uji endotoksin (UE).

c. Uji Pirogen (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 908-909)

Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam pada

tingkat yang dapat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan

injeksi. Pengujian meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah


penyuntikan larutan uji secara intravena an ditujukan untuk sediaan yang dapat

ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mg

per kg bobot badan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Untuk

sediaan yang perlu penyiapan pendahuluan atau cara pemberiannya perlu

kondisi khusus ikuti petunuk tambahan yang tertera pada masing-masing

monografi.

d. Uji Kandungan Zat Antimikroba (Farmakope Indonesia edisi IV, 939-942)

Komponen penting dalam injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda

adalah zat atau zat-zat yang dapat mengurangi bahaya cemaran mikroba.

Farmakope mensyaratkan pencantuman nama dan jumlah zat antimikroba

pada etiket. Metode dibawah ini adalah untuk zat-zat yang paling umum

digunakan untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera memang ada tetapi

tidak lebih dari 20% dari umlah yang tertera pada etiket.

3. Evaluasi Kimia

a. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)

b. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.
Aulton, M. 2007. Pharmaceutics:The Science of Dosage Form Design. Churchill
Livingstone. London
Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. Teori dan Praktek Farmasi Indrustri. Edisi
Ketiga. Vol III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press; 1994
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi: Yogyakarta

Rahman, L dan Djide, MN. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Lembaga Penerbitan

Universitas Hasanuddin. Makassar.

Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya
FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKALAH
BIOFARMASI SEDIAAN PARENTERAL

OLEH :

NAMA : Moh Shokib

STAMBUK : 15020140147

KLS : C2

DOSEN : Rizqi Nur Azizah, S.Si., M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018

Anda mungkin juga menyukai