Anda di halaman 1dari 48

TUGAS BIOFARMASI

PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH YANG DIBERIKAN


SECARA INTRA NASAL/PULMONARI

Disusun oleh:
Kelompok 12
Widya Gusti Pradini (20330715)
Nopa Aprilia Yosi Yuni (20330722)
Dhiny Zsa Zsa Aulia (20330724)
Riezki Tri Wahyuni (20330727)
Nur Ainun Nisa (20330739)

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Teti Indrawati, M.S, Apt
Ritha Widyapratiwi, S.Si.,MARS.,Apt

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Masa Kuasa karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Biofarmasi yang
berjudul “Perjalanan Obat Dalam Tubuh yang Diberikan secara Intra
Nasal/Pulmonari”. Terima kasih kami ucapkan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Teti Indrawati, M.S, Apt. dan Ibu Ritha Widyapratiwi,
S.Si.,MARS.,Apt selaku dosen mata kuliah Biofarmasi
2. Rekan- rekan yang memberikan masukkan dan saran kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna serta masih banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi rekan-rekan yang
membaca dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 24 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi........................................................................3
1. Anatomi dan Fisiologi Hidung......................................................3
2. Anatomi dan Fisiologi Paru-paru...................................................8
B. Peredaran Darah..................................................................................9
1. Peredaran Darah Hidung................................................................9
2. Peredaran Darah Paru-paru..........................................................10
C. Komponen Cairan Saluran Nafas......................................................10
D. Faktor-faktor DDS Obat Intranasal/Pulmonari.................................12
E. Evaluasi Biofarmasetik Obat Intranasal/Pulmonari..........................20
F. Macam-macam Bentuk Sediaan Obat Intranasal/Pulmonari.............20

BAB III PEMBAHASAN.............................................................................23


A. Perjalanan Obat Intranasal/Pulmonari..............................................23
B. Kasus Perjalanan Obat Aerosol dalam Tubuh..................................24
C. Jenis Penghantaran Obat Intranasal/Pulmonari.................................32
D. Contoh Sediaan Obat Intranasal/Pulmonari......................................35
E. Video-video mengenai Obat Intranasal.............................................38
BAB IV KESIMPULAN...............................................................................40
DISKUSI........................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................44

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman yang semakin canggih ini, banyak industri farmasi yang telah
berinovasi membuat suatu sediaan yang dimodifikasi bentuk sediaan dan sistem
perjalanan obatnya di dalam tubuh. Hal ini tidak terlepas dari peran farmasi yang
memanfaatkan ilmu dan juga teknologi yang ada. Obat-obatan bisa masuk ke
dalam tubuh melalui berbagai jalur, yaitu mulut, kulit, rectum, aliran darah, dan
saluran nafas berupa hidung.

Hidung adalah organ penciuman yang terletak di tengah-tengah wajah.


Hidung berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama yang terdiri dari
silia epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium), kalenjar
mukus dan palut lendir (mucous blanket) yang membentuk sistem pertahanan
tubuh yang disebut sistem transpor mukosiliar dan oksigen didapat melalui organ
hidung yang menangkap udara kemudian terjadi proses pernapasan dengan
pertukaran gas di dalam paru-paru (Syahrizal, 2009).

Perjalanan obat secara intranasal/pulmonari dimulai ketika obat dihisap


melalui rongga hidung kemudian diterima oleh pusat penciuman yang terletak
pada bagian belakang hidung dan dibawa ke nasofaring. Kemudian hipotalamus
menginstruksikan sinyal untuk mengolah obat sehingga obat terlepas dari zat
aktifnya dan masuk ke paru-paru kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh.

Pulmonary drug delivery system atau Intranasal drug delivery system pada
mukosa hidung memiliki sifat absorbsi yang baik dan lebih cepat karena dapat
mengurangi aktivitas dari saluran pencernaan, mengurangi aktivitas pankreas dan
aktivitas enzimatik lambung, pH netral pada mukus hidung akan mengurangi
aktivitas gastrointestinal, sehingga cocok untuk pemakaian obat mukosa secara
topikal, serta menjadi pilihan alternative ideal pengganti penghantaran obat
sistemik parenteral. Berdasarkan penelitian Ratunanda, S. et al (2016),
menyatakan bahwa kortikosteroid intranasal efektif menurunkan derajat inflamasi
adenoid pada pasien usia dewas..

1
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah makalah ini untuk
memahami lebih jauh tentang perjalanan obat intranasal/pulmonary di dalam
tubuh.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung dan paru-paru?


2. Bagaimana pembuluh darah yang melewati hidung dan paru-paru?
3. Apa komponen dan karakteristik cairan dalam hidung dan paru-paru?
4. Jelaskan faktor yang mempengaruhi proses perjalanan obat intra
nasal/pulmonari?

5. Bagaimana evaluasi biofarmasetik sediaan obat intranasal/pulmonari?


C. Tujuan

Memahami perjalanan obat dalam tubuh yang diberikan secara intra


nasal/pulmonari.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Gambar 1. Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian :

a. Atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan

b. Tengah: kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan

c. Bawah: lobulus hidung yang mudah digerakkan.

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah,
terdiri dari pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela,
lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila , prosesus nasalis os frontal
dan sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan

3
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Hidung Dalam

Selain hidung luar, juga terdapat hidung bagian dalam terdiri atas struktur
yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior,
yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum,
dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Berikut beberapa bagian dalam hidung:

a. Septum Nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid (Dhingra PL, 2007).

4
b. Kavum Nasi

Kavum nasi terdiri dari beberapa bagian yaitu, dasar hidung, atap hidung,
dinding lateral, dan konka.

c. Meatus Superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid (Ballenger JJ,1994).

d. Meatus Media

Salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan
kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum (Dhingra PL, 2007).

5
e. Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai


muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. (Dhingra PL, 2007)

f. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di bahagian atap dan lateral dari rongga
hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan
sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya,
yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa
nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os
maksilla. (Dhingra PL, 2007). Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam
tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga
bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut
terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).

Secara fisiologis hidung memiliki berbagai fungsi, antara lain:

a. Sebagai jalan nafas

Udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dankemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, dan seterusnya. Pada ekspirasi
terjadi hal sebaliknya.

6
b. Alat pengatur kondisi udara

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan


udara yangakan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

1) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 

2) Mengatur suhu. Fungsi ini terjadi karena banyak pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal.

c. Penyaring udara

Mukus pada hidung berfungsi sebagai penyaring dan pelindung udara


inspirasi daridebu dan bakteri bersama rambut hidung, dan silia.

d. Indra penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa


olfaktorius padaatap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapatmencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

e. Resonansi udara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan


hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.

7
f. Membantu proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)


dimana ronggamulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.

g. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang dihubungkan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.

2. Anatomi dan Fisiologi Paru-paru

Gambar 3. Paru-paru

Paru-paru merupakan organ pernafasan bagi manusia, terletak di rongga


dada dan memiliki dua bagian utama, paru-paru kanan dan kiri yang dipisahkan
oleh mediastinum, di dalamnya terdapat pembuluh darah besar dan jantung. Paru-
paru dilapisi oleh pleura visceral yang menempel langsung pada paru dan parietal
yang menempel pada dinding dada, diantara kedua pleura terdapat cavum pleura.
Udara bisa sampai ke paru-paru setelah melewati jalan nafas atas, mulai dari
hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus.

8
Gambar 4. Fisiologis Paru

Paru-paru berfungsi sebagai pengatur pertukaran gas antara udara dari


atmosfer dengan darah. Dalam menjalankan fungsinya paru-paru seperti sebuah
pompa mekanik yang menghisap udara atmoser kedalam paru (inspirasi) dan
mengeluarkan udara alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi). Pertukaran udara
tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan
karbon dioksida (Jayanti, 2013).

Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-
paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru
(alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat yang dialiri darah. Ruang udara tersebut
dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Yunus, 2007).

Saluran pernafasan terdiri dari 2 bagian saluran pernafasan atas, meliputi


rongga hidung, faring, dan laring kemudian saluran nafas bagian bawah meliputi
trakea, bronkus, dan paru-paru.

B. Peredaran Darah
9
1. Peredaran Darah Hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid


anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis (Soetjipto D & Wardani RS,
2007).

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada. Vena-vena hidung mempunyai
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya, vena di vestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus, vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial
(Soetjipto D & Wardani RS, 2007).

Dari rongga hidung zat aktif akan terikat pada sarah penciuman, kemudian
melewati sawar darah otak (Blood Brain Barrier) untuk diteruskan ke jaringan
otak dan masuk ke dalam cairan serebrospinal yang mengalir di SSP (otak dan
susmsum tulang belakang) untuk kemudian di absorbsi oleh pembuluh darah dan
dialirkan seluruh tubuh dan menghasilkan efek sistemik.

2. Peredaran Darah di Paru-paru

10
Sistem peredaran darah dalam paru-paru diawali ketika darah yang
mengandung CO2 di bilik kanan dipompa dan dialirkan oleh pembuluh arteri
pulmonalis menuju paru-paru. Pada paru-paru, terjadi difusi gas yang akhirnya
mengubah kandungan CO2 di dalam darah sehingga menjadi O2 ketika keluar dari
paru-paru. Darah ini selanjutnya dialirkan oleh vena pulmonalis menuju serambi
kiri, proses ini biasa disebut dengan peredaran darah kecil.

Di dalam paru-paru zat aktif masuk ke trakea, bronkus, bronkiolus, sampai


ke bagian anatomi paru terkecil yaitu alveoli yang merupakan tempat pertukaran
oksigen dan karbon dioksida dari pembuluh darah kapiler dengan udara, partikel
yang masuk ke dalam alveoli akan menempel ke dinding alveoli dan zat aktif
terpenetrasi dalam dinding sel alveoli dan mencapai ke pembuluh darah kapiler
hingga ke vena pulmonalis hingga ke atrium kiri jantung lalu darah di dorong
menuju ventrikel kiri dan di pompa oleh aorta kemudian disirkulasikan ke seluruh
tubuh.

C. Komponen dan Karakteristik Cairan Saluran Nafas

Cairan dalam saluran nafas biasa disebut dengan mucus yang diproduksi
normalnya 100 ml setiap harinya. Rongga hidung dan paru-paru ditutupi oleh
selaput lendir dan diperbarui dalam 15-20 menit untuk dibuang ke faring.
Komponen utama dari mukus adalah 95% air, 2% musin, 1% garam, 1% protein
lain (albumin, Ig, lisozim, laktoferin), dan 1% lemak. Imunoglobulin A sekretori
merupakan penghalang imunologi dan memiliki fungsi penting untuk
meningkatkan ketahanan terhadap infeksi paru, lisozim dan laktoferin merupakan
suatu bakterisidal, lipid di dalam mukus dapat memberikan pengaruh pada sifat
perekat mukus. Lipid ini dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, cell
debris bisa berasal dari puing DNA, bakteri, leukosit, dan epitel dan garam
merupakan 0,9% dari total masa mucus. Mukus dihasilkan dari proses sekresi
bronkus.

D. Faktor-faktor DDS Obat Intra Nasal dan Pulmonari

11
1. Intra nasal

Faktor-faktor ini memainkan peran kunci untuk sebagian besar obat


mencapai tingkat darah terapi efektif setelah pemberian hidung. Faktor yang
mempengaruhi penyerapan obat hidung dijelaskan sebagai berikut
(Alagusundaram, 2010):

a. Sifat fisiko kimia obat

1) Ukuran partikel

Penyerapan obat melalui rute hidung dipengaruhi oleh ukuran molekul.


Obat lipofilik memiliki hubungan langsung antara MW dan permeasi obat
sedangkan senyawa yang larut dalam air menggambarkan hubungan terbalik.
Tingkat permeasi sangat sensitive terhadap ukuran molekul untuk senyawa
dengan MW ≥ 300 Dalton (Alagusundaram, 2010).

2) Keseimbangan lipofilik dan hidrofilik

Sifat HLB dari obat mempengaruhi proses penyerapan. Dengan


meningkatkan lipofilisitas, permeasi senyawa biasanya meningkat melalui mukosa
hidung.Meskipun mukosa hidung ditemukan memiliki beberapa karakter
hidrofilik, tampak bahwa mukosa ini terutama lipofilik di alam dan domain lipid
memainkan peran penting dalam fungsi penghalang membran ini.Obat lipofilik
seperti nalokson, buprenorfin, testosteron dan etinilestradiol hampir sepenuhnya
diserap bila diberikan rute intranasal (Alagusundaram, 2010).

3) Degradasi enzimatik dalam rongga hidung

Obat seperti peptida dan protein memilikibioavailabilitas yang rendah di


rongga hidung, sehingga obat ini mungkin memiliki kemungkinan untuk
mengalami degradasi enzimatik dari molekul obat dalam lumen rongga hidung
atau sewaktu melewati penghalang epitel (Alagusundaram, 2010).

12
b. Efek faktor pada hidung (sifat anatomi dan fisiologis dari rongga hidung)

1) Permeabilitas membrane

Permeabilitas membran hidung adalah faktor yang paling penting, yang


mempengaruhi penyerapan obat melalui rute hidung. Obat larut dalam air dan
berat molekul obat sangat besar seperti peptide dan protein mengalami
permeabilitas membran rendah. Jadi senyawa seperti peptida dan protein yang
utama diserap melalui proses transportasi endocytotic dalam jumlah rendah
(Alagusundaram, 2010). Obat dengan berat molekul tinggi yang larut dalam air
melintasi mukosa hidung terutama oleh difusi pasif melalui pori-pori berair (yaitu
persimpangan ketat) (Alagusundaram, 2010).

2) Lingkungan Ph

pH lingkungan memainkan peran penting dalam efisiensi penyerapan obat


hidung. Senyawa kecil larut dalam air seperti asam benzoat, asam salisilat, dan
asam alkaloid menunjukkan penyerapan hidung dalam tikus terjadi secara lebih
luas di mana nilai-nilai pH senyawa ini dalam bentuk terion. Namun, pada pH di
mana senyawa ini sebagian terionisasi, penyerapan substansial ditemukan. Ini
berarti bahwa bentuk lipofilik non terionisasi melintasi penghalang epitel hidung
melalui transelular rute, sedangkan bentuk terionisasi lebih lipofilik melewati
paracellular rute berair (Alagusundaram, 2010).

3) Pembersihan Mukosiliar

Pembersihan mukosiliar merupakan salah satu fungsi dari saluran


pernapasan bagian atas adalah untuk mencegah zat berbahaya sikap (alergen,
bakteri, virus, racun dan lain-lain) mencapai paru-paru. Ketika bahan tersebut
mematuhi, atau larut dalam, lapisan lendir dari rongga hidung, mereka diangkut
menuju nasofaring untuk akhirnya dibuang ke saluran pencernaan. Pembersihan
lendir ini dan terserap/zat terlarut ke dalam GIT disebut MCC (Mucociliary
clearance) (Alagusundaram, 2010).

13
4) Rhinitis

Rhinitis adalah penyakit umum yang paling sering dikaitkan pada


pengobatan intranasal, penyakit ini akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Hal
ini terutama diklasifikasikan ke dalam rhinitis alergi dan umum, gejalanya adalah
hipersekresi, gatal dan bersin terutama disebabkan oleh virus, bakteri atau iritan.
Alergi rhinitis adalah penyakit alergi saluran napas, yang mempengaruhi 10% dari
populasi. Hal ini disebabkan oleh peradangan kronis atau akut selaput lendir
hidung. Kondisi ini mempengaruhi penyerapan obat melalui selaput lendir akibat
peradangan (Alagusundaram: 2010).

c. Faktor yang memberikan efek penghantar

Faktor-faktor yang mempengaruhi penghantar obat di mukosa hidung


seperti surfaktan, apakah pH, osmolaritas, viskositas, ukuran partikel dan hidung
clearance, struktur obat dapat digunakan untuk keuntungan untuk meningkatkan
penyerapan.

1) Formulasi (Osmolaritas, pH, Konsentrasi)

pH sediaan obat dan permukaan hidung dapat mempengaruhi permeasi obat


ini. Untuk menghindari iritasi hidung, pH sediaan obat harus disesuaikan dengan
pH 4,5-6,5 karena lisozim ditemukan di sekret hidung, yang bertanggung jawab
untuk menghancurkan bakteri tertentu pada pH asam. Dalam kondisi basa, lisozim
tidak aktif dan jaringan yang rentan terhadap infeksi mikroba. Selain menghindari
iritasi, itu menghasilkan memperoleh permeasi obat efisien dan mencegah
pertumbuhan bakteri (Alagusundaram, 2010).

2) Gradien konsentrasi

Gradien konsetrasi memainkan peran yang sangat penting dalam proses


penyerapan/permeasi obat melalui membran hidung karena kerusakan mukosa
14
hidung. Contoh untuk ini adalah penyerapan LTirosin, dimana konsentrasi obat
dalam percobaan perfusi hidung. Sedangkan pada absorpsi asam salisilat
konsentrasi obatnya menurun. Penurunan ini kemungkinan karena kerusakan
mukosa hidung yang permanen (Alagusundaram, 2010).

3) Osmolaritas

Osmolaritas bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obat di hidung.


Sebagai contoh ialah natrium klorida yang mempengaruhi penyerapan hidung.
Penyerapan maksimum dicapai dengan konsentrasi natrium klorida 0.462 M,
konsentrasi yang lebih tinggi tidak hanya menyebabkan bioavailabilitas
meningkat tetapi juga mengarah pada toksisitas pada epitel hidung
(Alagusundaram, 2010).

4) Distribusi Obat dan deposisi

Distribusi obat dalam rongga hidung merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi efisiensi penyerapan hidung. Modus pemberian obat dapat
mempengaruhi distribusi obat di rongga hidung yang pada gilirannya akan
menentukan efisiensi penyerapan obat. Penyerapan dan bioavailabilitas bentuk
sediaan hidung terutama tergantung pada lokasi disposisi. Bagian anterior hidung
menyediakan waktu perumahan berkepanjangan hidung untuk disposisi dari
formulasi, hal ini akan meningkatkan penyerapan obat. Dan ruang posterior dari
rongga hidung akan digunakan untuk pengendapan bentuk sediaan, melainkan
dihilangkan oleh proses pembersihan mukosiliar dan karenanya menunjukkan
bioavailabilitas rendah. Situs disposisi dan distribusi bentuk sediaan terutama
tergantung pada penghantar perangkat, cara pemberian, sifat fisikokimia molekul
obat (Alagusundaram, 2010).

5) Viskositas

Viskositas yang lebih tinggi dari formulasi meningkatkan waktu kontak


antara obat dan mukosa hidung sehingga meningkatkan waktu untuk permeasi.

15
namun, formulasi sangat kental akan mengganggu fungsi normal seperti
pergerakan silia atau clearance mukosiliar dan dengan demikian mengubah
permeabilitas obat (Alagusundaram, 2010).

2. Pulmonari (Paru-paru)

Faktor-faktor yang mempengaruhi penghantaran obat ke paru-paru, antara


lain:

a. Deposisi partikel di paru-paru

Dengan adanya gaya gravitasi, obat yang terhirup dapat terdeposisi dalam
saluran pernapasan. Yang paling mempengaruhi mekanisme deposisi ini adalah
ukuran partikel obat dan kecepatan aliran pernapasan. Semakin lama suatu obat
berada pada daerah tertentu maka semakin banyak partikel yang terdeposisi pada
daerah tersebut (Yadaf et al., 2010).

b. Faktor fisiologis

Faktor fisiologis yang mempengaruhi penghantaran obat adalah adanya


mekanisme pertahanan pada paru-paru terhadap benda asing, sehingga menjadi
barrier yang harus diatasi untuk memastikan deposisi dan absorpsi obat yang
efisien pada saluran pernapasan. Adapun beberapa barrier tersebut di
antaranya (Tronde, A., 2002) :
1) Epitel Paru-paru
Paru-paru memiliki 40 jenis sel berbeda di sepanjang salurannya.
Perbedaan lapisan epitel paru-paru dapat diilustrasikan dengan membagi
strukturnya ke dalam tiga kategori berdasarkan letaknya (Bisgaard, Hans et al,
2002) :

a) Epitel Bronkus

16
Pada lapisan epitel di sepanjang daerah ini didominasi dengan sel bersilia
dan sel goblet. Selain itu juga ditemukan beberapa sel serous, sel brush, dan sel
Clara dengan sedikit sel Kulchitsky.

b) Epitel Bronkiolus
Lapisan epitel ini didominasi dengan sel cubodia bersilia. Jumlah sel
goblet dan sel serous menurun seiring semakin dalamnya saluran pernapasan
dan semakin meningkatnya sel-sel Clara. Semakin dalam paru-paru maka
lapisan epitel pun semakin tipis dan sedikit mucus yang terdapat pada bagian
ini.

c) Epitel Alveolus

Pada bagian ini tidak terdapat mucus dan banyak mengandung epitel
yang lebih datar sehingga membentuk lapisan squamosa dengan ketebalan 0,1-
0,5µm. Sel-sel makrofag banyak terdapat di daerah ini. Menurut Glyn Taylor
dan lan Kellaway (2001), ada 2 tipe sel pneumosit, tipe 1, sel-sel tipis yang
menawarkan saluran jalan udara- darah yang sangat pendek untuk difusi gas
dan molekul-molekul obat dan tipe 1 ini menempati 93% permukaan kantung
alveolus, untuk tipe 2 sel-sel cuboidal yang menyimpan dan mensekresikan
surfaktan paru-paru

2) Sel bersilia

Di bagian daerah trakheobronkial, sebagian besar sel-sel epitelnya bersilia


dan hampir menyelimuti seluruh permukaan saluran pernapasan bagian tengah
dan terus berkurang ketika masuk ke daerah alveolus. Setiap sel bersilia
menngandung kurang lebih 200 silia dengan panjang sekitar 5 µm dan diameter
0,25 µm. Mekanisme pembersihan silia ini melalui mukus yang disekresikan oleh
sel serous pada kelenjar submukosa.

3) Alveolar Macrophage

17
Sel makrofag pada alveolus ditemukan pada permukaan alveolus. Sel-sel
fagosit ini memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan melawan
bakteri dan perikel yang terhirup dan mencapai alveoli (Tronde, A., 2002).
Makrofag dibersihkan dari alveolus menuju bronkiolus oleh adanya aliran
caiaran paru-paru dan kemudian dikeluarkan dari saluran pernapasan melalui
mucociliary escalator (Tronde, A., 2002).
4) Lapisan Cairan Epitel
Partikel padat obat untuk saluran pernapasan harus terbasahi dan terlarut
sebelum dapat memberikan efek terapinya. Meskipun tingkat kelembaban di
dalam paru-paru mendekati 100%, lapisan cairan pada epitel ini kecil,
ketebalannya berkisar 5-10 µm dan berangsung-angsur menurun sepanjang
saluran pernapasan sampai alveoli (0,05-0,08 µm) (Tronde, A., 2002).
5) Surfaktan Paru-paru
Sel epitel tipe dua secara aktif mengeluarkan surfaktan paru-paru. Sekitar
85-90% komponennya merupakan fosfolipid dan sisanya adalah protein.
Fosfolipid yang dikandung 90% diantaranya adalah fosfogliserol. Surfaktan
paru- paru terletak di dinding internal wilayah alveolar dan memiliki fungsi
utama menurunkan tegangan permukaan, mempertahankan morfologi dan
fungsi pernapasan juga pertahanan paru-paru melawan adhesi mikroorganisme
dan meningkatkan fagositosis oleh sel makrofag. Surfaktan mengalami proses
metabolisme konstan dan dinamis termasuk pembersihannya melalui
mucociliary escalator, fagositosis, dan daur ulang. Waktu paruh fosfolipid
yang disekresikan telah dibuktikan yaitu 15-30 jam. Rangsangan seperti
peningkatan tingkat ventilasi dan inflasi paru-paru volume tinggi merangsang
sekresi surfaktan dari bagian lamelar pada sel alveolar tipe II (Tronde, A.,
2002).

Implikasinya pada penghantaran obat, lapisan surfaktan menyelimuti


jalan napas dan lapisan cairan alveolar dengan bagian rantai asam lemak yang
menghadap ke permukaan, sehingga dapat terjadi interaksi antara fosfolipid
surfaktan dengan obat inhalasi. Misalnya, surfaktan paru-paru ditunjukkan

18
untuk meningkatkan kelarutan glukokortikosteroid, yang dapat mempengaruhi
waktu tinggal steroid dalam paru- paru. Selanjutnya, interaksi kuat dari
polipeptida ditirelix dan siklosporin A dengan fosfolipid telah dibuktikan dan
telah disarankan untuk membatasi penyerapan dari paru-paru, sehingga
menyebabkan retensi berkepanjangan obat di paru-paru (Tronde, A., 2002).
Penggunaan surfaktan eksogen sebagai pembawa untuk pemberian obat paru-
paru telah diusulkan sebagai sarana untuk meningkatkan penyebaran obat
dalam paru-paru. Namun, interaksi yang kompleks antara obat dan surfaktan
paru-paru, harus dipertimbangkan dalam pengembangan obat.

6) Mucociliary Clearance
Mucociliary clearance merupakan mekanisme pertahanan paru-paru yang
paling penting. Berkoordinasi dengan pergerakan silia, mucus disapu bersihkan
dari nasal dan paru-paru menuju faring dan kemudian ditelan. Kecepatan
clearance pada hidung rata-rata 3-25 mm/min. Mucus terutama disekresikan
dari sel serosa darikelenjar submukosa dan dari sel goblet , dan terdiri dari air
(95 %), glikoprotein (mucins) (2%) , protein (1%), garam anorganik (1%), dan
lipid (1%) (Tronde, A., 2002) . Peraturan kadar air sangat penting yang
signifikan untuk mempertahankan sifat viskoelastik optimal.

Implikasinya untuk penghantaran obat, yaitu waktu tinggal obat inhalasi


diparu-paru tergantung pada lokasi pengendapan. Sebuah proporsi yang
signifikan dari obat dalam mencapai paru-paru dari sediaan inhalasi adalah
terperangkap dalam lendir di saluran pernapasan. Kemampuan obat untuk
menembus penghalang lendir tergantung pada muatan partikel, kelarutan,
lipofilisitas, dan ukuran. Misalnya, mengurangi transportasi di lapisan lendir
pernapasan telah dibuktikan secara in vitro untuk kortikosteroid dan antibiotik.

c. Faktor farmasetika

Faktor terkait formulasi yang mempengaruhi sistem penghantaran obat ini


adalah ukuran, bentuk, kerapatan dan stabilitas fisik partikel. Partikel dengan
ukuran lebih dari 10 µm akan bertubrukan pada saluran pernapasan bagian atas

19
dan mudah dikeluarkan oleh kejadian batuk, menelan, dan proses bersihan oleh
mukosiliari. Partikel dengan ukuran 0,5 – 5 µm dapat menghindari tubrukan yang
terjadi di saluran pernapasan atas dan akan terdeposisi melalui tubrukan dan
sedimentasi di daerah trakheobronkial dan alveolar. Jika ukuran partikel berada
diantara 3-5 µm maka akan terdeposisi sepenuhnya di daerah trakheobronkial dan
jika ukurannya kurang dari 3 µm maka kemungkinan akan terdeposisi jauh lebih
dalam lagi di daerah alveolar. Sedangkan partikel dengan ukuran submikron
mungkin tidak dapat terdeposisi akan akan terbuang saat ekspirasi sebelum terjadi
sedimentasi. Partikel dengan ukuran diameter 20 µm dan kerapatan 0,4 g/cm-3
akan secara efektif terdeposit dalam paru-paru (Glyn Taylor and lan
Kellaway,2001)

E. Evaluasi Biofarmasetik Obat Intra Nasal/Pulmonari

Evaluasi biofarmasetika sediaan obat iintranasal/pulmonary bisa dilakukan


dengan berbagai cara, antara lain:

1. Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam udara ekspirasi dan yang tertahan.

2. Studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya ( tetapi hanya
berkaitan dengan percobaan tentang pernapasan dinamik).

3. Evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi dari obat.

4. Evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus atau lendir. Hal ini merupakan
uji yang baik tetapi sulit dilaksanakan bila dimaksudkan untuk meneliti aktivitas
setempat dari aerosol, kekentalan cairan bronkus yang dikeluarkan, aktivitas
enzimatik atau malahan beberapa antibiotic.

F. Macam-macam Bentuk Sediaan Obat Intra Nasal/Pulmonari

Pemilihan bentuk sediaan tergantung dengan tujuan pengobatan, obat yang


digunakan, dan pemeriksaan terakhir dari dokter. Macam-macam bentuk sediaan
intranasal diantanya:

1. Semprot hidung
20
Ketersediaan pompa dosis terukur pada nasal spray dapat memberikan dosis
yang tepat dari 25-200 μm. Ukuran partikel dan morfologi dari obat dan
viskositas formulasi menentukan pilihan pompa dan perakitan (Kushwara, 2011).

2. Tetes hidung

Tetes hidung adalah salah satu yang paling sederhana dan nyaman
dikembangkan untuk penghantaran. Kerugian utama dari ini adalah kurangnya
presisi dosis tetes hidung mungkin tidak cocok untuk produk resep (Kushwara,
2011).

3. Nasal gel

Keuntungan dari nasal gel yaitu pengurangan dampak rasa karena


mengurangi menelan, pengurangan kebocoran anterior formulasi, pengurangan
iritasi dengan menggunakan eksipien menenangkan/emolien dan sasaran
pengiriman ke mukosa untuk penyerapan lebih baik (Kushwara, 2011).

4. Nasal bubuk

Keuntungan untuk bentuk sediaan serbuk hidung adalah tidak adanya bahan
pengawet dan stabilitas superior formulasi. Namun, kesesuaian bubuk formulasi
tergantung pada kelarutan, ukuran partike, sifat aerodinamis dan iritasi hidung
obat aktif dan/ atau bahan pembantu. Tetapi iritasi mukosa hidung dan pengiriman
dosis terukur adalah beberapa tantangan formulasi. Umumnya, penyerapan
bertindak melalui salah satu dari mekanisme berikut antara lain menghambat
aktivitas enzim, mengurangi kekentalan lendir atau elastisitas, penurunan
pembersihan mukosiliar, dan melarutkan atau menstabilkan obat (Kushwara,
2011).

5. Intranasal mikroemulsi

Intranasal mikroemulsi merupakan salah satu pengiriman obat non-invasif


untuk sirkulasi sitemik. Vyas (2006) telah melaporkan bahwa formulasi
mikroemulsi clonazepam digabungkan dengan agen mukoadhesif dipamerkan
timbulnya status epileptikus. Dalam penelitian lain, dilaporkan cepat dan tingkat

21
yang lebih besar dari transportasi obat ke dalam otak tikus setelah pemberian
intranasal mukoadhesif mikroemulsi zolmitriptan dan sumatriptan. Mukesh, dkk
(2008) mempelajari pengiriman intranasal risperidone dan menyimpulkan bahwa
jumlah yang signifikan dari risperidone dengan cepat dan efektid disampaikn ke
otak dengan pemberian intranasal nanoemulsion mukoadhesif risperidone
(Kushwara, 2011).

Berikut daftar obat yang diberikan intranasal dengan tujuan efek sistemik
tubuh dan jenis obat pengiriman perangkat yang digunakan Sarana pengiriman
dan perangkat untuk administrasi intranasal obat (Putheti dkk, 2009).

Tabel 1. Alat dan Cara Pemberian Obat Intranasal/Pulmonari

22
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perjalanan Obat Intranasal/Pulmonari

Adapun perjalanan sistem perjalanan obat Intranasal/pulmonari secara


umum dalam tubuh adalah sebagai berikut :

1. Bentuk sediaan obat nasal dengan zat aktif

Sediaan nasal diformulasikan atau dirancang dengan sedemikian rupa untuk


penggunaan efek lokal.

2. Fase biofarmasetik

Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui hidung

hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh.

3. Ketersediaan farmasi

Obat dalam bentuk zat aktif terlarut siap untuk diabsorpsi yang selanjutnya
zat aktif akan didistribusikan keseluruh tubuh (sistemik).

4. Fase farmakokinetik → tidak terjadi ADME

Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan

setelah obat dilepas dari bentuk sediaan.

5. Ketersediaan hayati → obat untuk memberi efek

Pada tahap ini obat mulai memberikan efek pada pasien dengan cara
berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh.

6. Fase farmakodinamik

Bila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor biasanya protein membran
akan menimbulkan respon biologik. Tujuan utama fase ini adalah optimisasi dari
efek bilogik.

23
7. Efek terapi

Obat pada akhirnya memberikan efek terapi atau pengobatan pada pasien.
Yang diharapkan dapat memberikan kesembuhan pada pasien.

Jalur obat nasal secara umum:

Obat dihirup rongga hidung Vestibula hidung lewat langit mulut

Turbinat inferior tengah Turbinat superior (mukosa olfactory) nasofaring

Faring Glotis Trakea Bronkus diserap bronkiolus diserap

alveoli Difusi ke aliran darah diabsorbsi melalui neoron olfactory

diabsorbsi dalam cairan serebrospinal Efek sistemik

B. Kasus Perjalanan Obat Aerosol dalam Tubuh

Gambar 5. Perjalanan Aerosol

Dengan alat penyemprot, partikel-partikel aerosol akan menempuh jalur


tertentu yang berbeda dengan jalur perjalanan zat aktif yang diberikan dengan cara
lainnya dan jalur tersebut tergantung pada cara pemberian aerosol (partikel yang

24
dihirup). Zat aktif akan bergerak menuju tempat aksi (bersama dengan aliran
udara yang dihirup), dan ebraksi selama ada kontak (kadang sangat terbatas) dan
dengan dosis yang umumnya sangat kecil.

Oleh sebab itu perjalanan obat aerosol dibagi menjadi 2, yaitu saat
perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampai ke tempat fiksasidi dalam
saluran nafas (kemungkinan kembali ke lingkungan) dan transfer zat aktif dalam
partikel aerosol sejak dari tempat depo sampai dikeluarkan tubuh. Tahapan
perjalanan aerosol seperti di bawah ini:

1. Transit atau proses penghirupan

Aerosol memulai perjalanan dari alat generator sampai titik fiksasinya


diepitel pernapasan. Tetesan Aerosol mula-mula mencapai cavum
bucallis,kemudian menuju trakea, bronkus, bronkiolus, kanal alveoli dan akhirnya
keaveoli paru. Faktor-faktor yang mempengaruhi perpindahan partikel adalah
ukuran partikel, pernapasan dan meuju pengaliran udara, jenis aliran, kelembaban
suhu dan tekanan.

2. Penangkapan atau depo

Pada tahap kedua dimana terjadi penahanan atau depo, partikel aerosol
ditahan oleh epitel broncho-alveoli. Hanya sebagian partikel yang
diteruskan sedangkan bagian lainnya ditolak. Sekali partikel tertahan, maka zat
aktif yang terlarut akan memberikan efek. Tahap ini merupakan hal yang
paling penting ditinjau dari sudut penggunaan praktis aerosol obat, dan
terdapat banyak mekanisme cara penahanan. Mekanisme yang mengatur
penahanan atau depo partikel padaberbagai daerah konduksi dan daerah
pertukaran terdiri dari 3 (tiga)cara yaitu:

a. Tumbukan karena kelembaman

Tumbukan karena kelembaman terjadi pada partikel-partikel yang bergerak,


berdiameter 0,5-50 µm dan peka pada perubahan arah dan kecepatan aliran.
Dikotomi (percabangan dua) yang berturutan dari saluran napas menyebabkan
terjadinya perubahan mendadak arah aliran udara yang dihirup. Karena
kelembamannya partikel-partikel cenderung mengikuti arah lintasan semula dan

25
selanjutnya membentur dinding saluran napas. Tumbukan terutama terjadi di
permukaan hidung, pharynx dan segmen trakeo-bronkus yang banyak
percabangannya. Kemungkinan terjadi depo akibat tumbukan dinyatakan oleh
persamaan berikut:

I = Ut . U . sin θ .............................................................(persamaan 1)

gR

U = laju pengaliran udara

Ut = laju partikel

θ = sudut bengkokan bronkus

R = jari-jari bronkus

g = gaya tarik bumi

Persamaan ini pada hakekatnya menunjukkan kemungkinan terjadinya tumbukan


oleh kelembaman yang semakin meningkat dengan bertambahnya diameter
partikel, laju pengaliran udara, sudut lekukan dan penurunan jari-jari bronkus;
tumbukan tidak terjadi di alveoli yang laju pengaliran gas adalah nol.

b. Pengendapan karena gaya tarik bumi

Depo yang terjadi karena pengendapan akibat gaya tarik bumi terjadi pada
bagian akhir dari bronkus (dimana laju pengaliran gas tinggal beberapa millimeter
sampai satu atau dua sentimeter tiap detik). Keadaan ini sangat berarti bila debit
antara inspirasi dan ekspirasi menjadi nol. Hal tersebut juga berpengaruh pada
saluran atas dan alveoli untuk partikel berdiameter antara 0,1 dan 50 µm. Proses
penahanan bekerja dibawah rangsangan yang merupakan fungsi dari laju
perpindahan partikel, lamanya melewati saluran dan inklinasi sudut saluran. Laju
pengendapan partikel dapat dihitung menurut persamaan berikut ini:

Ut=σ . g . d2 ……(persamaan 2)

18η

g = gaya tarik bumi

26
d = diameter partikel

σ = bobot jenis udara

η = kekentalan udara

Jadi, pengendapan partikel berbanding terbalik dengan laju pengaliran udara dan
berbanding lurus dengan bobot partikel.

3 Difusi (gerak brown)

Gerak brown dapat mempengaruhi aerosol. Gerak brown tersebut timbul


akibat tumbukan molekul gas dengan partikel yang tersusupensi diudara. Gerkan
ini akan mendorong patikel melintasi aliran gas dan hal itu memeperbesar
deponya. Fenomena ini khususnya terjadi di bronchiolus terminalis dan alveoli
terhadap partikel yang berukuran submikron (0,002-0,5). Laju penahanan atau
depo karena difusi yang disebabkan gerak brown umumnya sebanding dengan
jumlah partikel yang tersuspensi dalm udara, luar permukaan, muatan ion,
perubahan suhu, dan waktu istirahat antar gerakan-gerakan pernapasan.
Efektivitas difusi berbanding terbalik dengan ukuran partikel dan volume ruang
penghirupan : partikel-partikel dengan ukuran 0,6 mikro meter atau lebih kecil,
tidak mengendap dalam saluran yang lebih besar dari kantong alveoli (saccus
alveolares) dan saluran alveoli (ductuli alveolares), tapi saat ia mencapai daerah
ini, depo dapat terjadi secar tiba-tiba dan dipercepat.

Laju penahanan partikel karena difusi mengikuti persamaan :

1/2
∆= RT C

N 2π η d

∆= Laju perpindahan partikel

R= tetapan gas murni

T= suhu mutlak

N= bilangan avogadro

C= faktor pembetulan cuningham

27
η = kekentalan udara

d= diameter partikel

3. Penahanan atau pembersihan

Aktivitas partikel aerosol ditentukan oleh laju pelarutan dan difusi melintasi
selaput mukosa, oleh perubahan laju perjalanan dan peniadaanya dari lapisan
mukosa tersebut. Penangkapan partikel ke dalam mukus diikuti dengan perjalanan
menuju saluran napas bagian atas kecuali saluran dan kantong alveoli dan alveoli.
Hal ini disebabkan dalam kantong alveoli dan alveoli terdapat film surfaktan yang
berfungsi untuk membawa partikel – partikel menuju daerah dimana akan
bercampur dengan mucus.

Lamanya pembersihan sekitar 100 jam untuk partikel yang dibersihkan oleh
selaput mukosilia, 30-40% dikeluarkan pada 24 jam pertama. Mekanisme
pembersihan tergantung pada sistem aerosol. Yaitu pada aerosol yang larut dalam
air atau cairan biologis dan aerosol yang tidak larut dalam cairan biologis. Dalam
mekanisme yang pertama, cara pembersihan terjadi dengan penyerapan oleh
mukosa saluran napas. Dalam mekanisme yang kedua cara pembersihan
dinyatakan sebagai fungsi tempat fiksasi : pada saluran napas bagian atas,
pembersihan terjadi lebih awal dan cepat ( kurang dari 2 hari ), dan ditampung
pada mukosilier. Untuk aerosol yang tidal larut maka partikel tersimpan dalam
saluran napas bagian bawah, pembersihan terjadi lebih lambat dan diperpanjang
oleh pengaruh penahanan partikel dalam waktu yang berbeda – beda sesuai
dengan daerahnya.

Telah dijelaskan pula bahwa gerakan silia dipengaruhi oleh penyakit atau
keadaan yang kurang menguntungkan ( lingkungan tidak setara dengan
konsentrasi 0,9-2% NaCl, pH di luar rentang 6,2-7,2 ,suhu di luar rentang 28 –
35oC ) dan akibatnya pembersihan diperlambat.

4. Penyerapan

Pada tahap penyerapan, sebagian bahan yang dihirup dalam bentuk aerosol
akan terikat dalam saluran napas dan selanjutnya diserap oleh mukosa saluran.

28
Penyerapan dapat terjadi pada berbagai tempat yang berbeda dan kadang – kadang
`selektif untuk beberapa zat aktif tertentu.

a. Penyerapan di hidung

Luas permukaan penyerapan di hidung adalah 80cm2. merupakan bagian


yang paling sedikit menyerap dari seluruh permukaan saluran napas. Aerosol yang
diberikan melalui hidung sebagian ditahan oleh bulu – bulu hidung dan mukosa
permukaan. Pembersihan pada bagian tersebut terjadi dengan pencucian mukosa
dan penelanan, semua proses terjadi dengan sangat cepat. Jika zat aktif dapat
diserap maka ia harus terlarut dan terdifusi dengan cepat melintasi selaput
mukosa.

Sulfur anhidrida dan amoniak sangat cepat diserap di bagian hidung,


sedangkan histamina, nikotina,efedrina,epinefrina diserap sangat perlahan pada
bagian mukosa atas dan sangat cepat pada bagian mukosa yang luka. Bahan –
bahan lain yang juga diserap di bagian hidung adalah.: Sebuk post hipofisa,
tetrakosaktida, bahan organik pada asap rokok, antigen difteri murni.

b. Penyerapan di mulut

Luas permukaan penyerapan pada bagian dalam dari mulut dan pharynx
adalah sekitar 75cm2. Sebagian partikel aerosol yang tertinggal di dalam mulut
dapat tertelan , atau diserap melalui bukal setelah terlarut dalam saliva. Mulut
yang mempunyai mukosa berciri lipoid, penyerapan zat aktif terjadi dengan difusi
dalam bentuk tak terionkan. Misalnya : nitrogliserin,testosteron, desoksi
kortikosteron,isoproterenol,alkaloid dapat diserap dengan baik. Sebaliknya
barbiturat, protein bermolekul besar dan heparin sedikit sekali diserap.

c. Penyerapan di trakea

Baik air maupun larutan garam (saline) tidak diserap pada daerah trakea,
demikian pula beberapa bahan larut lemak seperti barbital, tiopental,
striknin,kurare.

Efek pemberian aerosol suksinilkolin ternyata secara bermakna lebih


lambat tetapi lebih lama dibandingkan penyuntikan intravena; pemberian aerosol

29
larutan methoxamin 1-2 ml dengan kadar 20 mg/ml menghasilkan efek yang sama
dibandingkan dengan pemberian 1mg melalui intravena. Pemberian penisilina
dengan penetesan pada trakea menghasilkan kadar dalam darah pada daerah
terapetik dua kali lebih lama dibandingkan pemberian intramuskular dan juga
tampak efek depo. Pembiusan setempat seperti tetrakaina diserap dengan cepat di
trakea dan sedikit diserap di daerah esofagus dan lambung.

d. Penyerapan di bronkus

Pada permukaan bronkus banyak terdapat otot polos yang sangat peka
terhadap beberapa senyawa iritan, sehingga dapat menyebabkan aktivitas lokal
bronkodilator. Saat pemberian senyawa vasodilator, bronkus akan mengalami
dilatasi sehingga efek sistemik dapat dihindari. Hal ini dapat diterangkan bahwa
sistem bronkus-paru memiliki 2 tipe reseptor andrenergik yaitu reseptor α yang
terdapat dalam pembuluh darah bronkus dan reseptor β yang terdapat dalam otot
bronkus. Kedua reseptor ini dapat di aktifkan langsung oleh parasimpatomimetik
dan secara tidak langsung oleh pelepasan katekolamin. Kedua rangsangan tersebut
terjadi setiap ada hambatan saluran udara, dengan rangsangan reseptor α akan
terjadi vasokonstriksi dan dekongesti mukosa bronkus, sedangkan rangsangan β
menyebabkan relaksasi otot polos saluran udara. Obat bronkodilator terutama
bekerja terhadap reseptor β, kecuali epinefrina dan efedrina yang merangsang
kedua reseptor tersebut, atau fenilefrina yang hanya bekerja pada reseptor α.

e. Penyerapan di alveolus

Alveoli merupakan suatu tempat penyerapan yang sangat istimewa karena


permukaanya yang luas dan letaknya yang sangat dekat denga jaringan yang
penuh kapiler. Sementara itu tidak mungkin untuk menentukan koefisien
permeabilitas zat aktif karena luas permukaan total dari saluran nafas tidak
diketahui secara pasti, jumlah total aliran alveoli dan nilai kedua parameter
tersebut selalu berubah – ubah tergantung subyek.

Mekanisme perlintasan melalui dinding alveoli tidak dapat ditentukan


dengan pasti. Kini yang telah diketahui dengan baik adalah hal-hal sebagi berikut.

1) Gas bius dan gas pernapasan melintasi sawr alveoli dengan sangat cepat.

30
2) Air juga dapat melintasi dinding alveoli dengan sangat cepat dan dalam
jumlah besar, larutan fisiologi NaCl diserap sangat perlahan

3) Membran alveoli agak permeable terhadap sebagian besar senyawa yang


terlarut. Ion – ion dan molekul kecil yang larut diserap lebih lambat dibandingkan
air. Urea dan kalium diserap lebih baik dibandingkan natrium

4) Amida dan alkilamina dengan bobot molekul yang besar lewat lebih cepat
dibandingkan dengan senyawa yang bobot molekulnya kecil.

5) Tipe dan laju penyerapan protein kurang diketahui, walau demikian


diketahui bahwa albumin,globulin diserap dengan baik, sedangkan vaksin para-
influenzatipe 2 ternyata lebih efektif jika diberikan dalam bentuk aerosol dari pada
pemberian dalam bentuk sub-kutan.

6) Aerosol antibiotika juga digunakan untuk tujuan efek sistemik atau efek
setempat.kanamisina sedikit diserap pada daerah alveoli, sehingga efeknya sangat
terbatas.

7) Pelintasan zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol terjadi dengan
beberapa cara berbeda tergantung pada keadaan tetesan bahan yang terlarut,
partikel terlarut atau tak terlarut.

f. Penyerapan di saluran cerna

Partikel yang berhenti di permukaan hidung atau mulut cenderung


menembus kedalam saluran cerna setelah penelanan pertama atau yang kedua
pada tahap epurasi paru.

Penyerapan terutama penting untuk aerosol tanpa air. Senyawa tertentu


(isoproterenol atau kromoglikat) akan dimetabolisme dan ditiadakan dengan cara
yang sama. Hal ini memperlihatkan pentingnya penelanan partikel. Sebaliknya
penyerapan isoproterenol melalui trakea lebih bermakna dibanding penyerapan
melalui saluran cerna. Sulit untuk meramalkan jumlah total yang diserap melalui
saluran cerna setelah pemakaian aerosol, dan sulit meniadakan kemungkinan
adanya penyerapan saluran cerna. Tergantung pada tempat penyerapan, diameter
partikel aerosol yang sangat berperan pada proses penyerapan.

31
Dautrebande, membuktikan bahwa aerosol murni dengan partikel yang
sangat halus dapat mengangkut bahan obat 30 – 40 kali lebih banyak daripada
aerosol polidispersi dan hanya dan hanya sejumlah kecil yang dapat menimbulkan
efek sistemik setelah perlintasan melewati paru. Sebaliknya efek pengobatan pada
permukaan yang ditimbulkan oleh aerosol murni adalah 5 kali lebih kecil
dibandingkan aerosol larutan dengan volume 10x lebih besar.

Aerosol monodispersi dengan partikel berukuran mikrometer memberikan


aksi pada permukaan paru yang lebih dalam; aerosol polidispersi dapat
menyebabkan efek sistemik dan efek setempat.

Subyek yang menghirup aerosol murni lalu aerosol polidispersi yang


masing-masing mengandung simpatomimetik secara bergantian dalam jumlah
pernapasan yang sama, maka cukup dengan beberapa hirupan aerosol murni dapat
menyebabkan bronkodilatasi dan segera mencapai efek maksimum tanpai disertai
perubahan tekanan arteri atau irama jantung. Sebaliknya volume yang sama
dengan aerosol polidisperse memberikan suatu manifestasi kardiovaskuler yang
nyata dengan intensitas, sebanding dengan volume yang dihirup, dengan jumlah
bahan yang diserap oleh mukosa saluran napas.

C. Jenis Penghantaran Sediaan Intranasal/Pulmonari

Ada 3 jenis penghantaran sediaan obat intranasal dan pulmonary, antara


lain:

1. MDI

MDI adalah alat terapi inhalasi dengan dosis yang terukur yang
disemprotkan dalam bentuk gas ke dalam mulut dan dihirup. Dalam
menyemprotkannya didorong menggunakan propelan. MDI mulai diperkenalkan
pada tahun 1956. Obat dalam MDI dapat berupa larutan atau suspensi dalam
propelan. Dapat ditambahkan eksipien khusus untuk meningkatkan stabilitas
fisika atau untuk meningkatkan kelarutan obat. Penggunaan MDI memerlukan
teknik tersendiri, dimana diperlukan koordinasi yang tepat antara tangan menekan
alat MDI (aktuasi) dan mulut menghirup obat. Cara penggunaan yang keliru dapat
menyebabkan hasil klinis yang tidak optimal. Teknik ini masih sering digunakan

32
secara tidak tepat oleh penderita asma sehingga perlu dilatih. Namun hal ini dapat
dikoreksi dengan penggunan spacer.

Spacer merupakan sebuah tube berukuran panjang antara 10 sampai 20 cm yang


disambungkan ke inhaler MDI. Spacer ini bertindak sebagai wadah pemegang
yang menjaga agar obat tidak terbang ke udara. Pada spacer, di bagian ujung yang
berdekatan dengan mulut terdapat katup yang menjaga agar obat tidak keluar dari
spacer kecuali bila dihisap. Katup tersebut akan terbuka bila pasien menghisap
spacer. Melepaskan obat ke wadah tersebut memungkinkan penderita asma untuk
menghirupnya lebih perlahan. Spacer juga akan memperbaiki penghantaran
partikel halus obat ke paru-paru hingga 22%, serta mengurangi jumlah obat yang
tertinggal di bagian belakang tenggorokan dan lidah.

2. DPI atau Inhalasi

Sementara DPI atau inhalasi serbuk kering yang diperkenalkan pada awal
tahun 1970-an adalah alat dengan obat dalam bentuk serbuk dihantarkan secara
lokal atau sistemik melalui rute paru-paru. Perkembangan DPI dimotivasi dengan
adanya keinginan besar mencari alternative pengganti MDI yang terkenal tidak
ramah lingkungan karena mengandung propelan CFC. Berbeda dengan MDI, DPI
dirancang dalam berbagai macam tipe. Semuanya bervariasi bergantung pada tipe
formulasi dan bentuk sediaan. DPI mengatasi kesulitan dalam penggunaan MDI
yang seringkali sukar menyelaraskan antara aktuasi alat inhalasi dan pernapasan.
Namun pada DPI diperlukan energi untuk menggerakkan serbuk mengikuti aliran
udara pernapasan dan memecah formula serbuk menjadi partikel kecil. Pada
penggunaan DPI diperlukan hirupan yang cukup kuat agar obat masuk ke saluran
pernapasan. Kinerja DPI tergantung dari teknik dan kemampuan pasien dalam
menghirup udara dan kecepatannnya.

DPI digolongkan berdasarkan desain dosis dan disain alat. Berdasarkan


disain dosis dibagi menjadi tiga kategori. Yang pertama single-dose DPI, secara
individual berisi kapsul yang mengandung satu dosis pengobatan. Kedua, multiple
unit-dose DPI mendispersikan dosis tunggal yang telah diukur dosisnya dalam
blister obat yang sudah diatur dari pabriknya. Yang ketiga, multiple-dose DPI,

33
dengan pengukuran dosis dari blister atau strip dari pabrik obat untuk
menghantarkan dosis ulangan.

a. Single-dose DPI dioperasikan dengan menggerakkan serbuk obat dari suatu


kapsul. Contohnya adalah Aerolizer dan Handihaler, keduanya untuk terapi asma.
Aerolizer digunakan untuk menghantarkan formoterol dan Handihaler untuk
menghantarkan tiotropium bromid Walaupun keduanya berbeda konfigurasi,
prinsip kerjanya sama. Dalam penggunaan single-dose DPI, setiap kali digunakan
pasien memasukkan kapsul dalam drug holder. Kemudian pasien menghirup obat
dari alat ini. Kekurangan single-dose DPI adalah pemakaiannya membutuhkan
waktu yang lama.

b. Multiple unit-dose adalah DPI yang mengandung 4 atau 8 delapan dosis


serbuk dalam satu disk. Dosis dijaga secara terpisah dalam blister aluminium
sampai sebelum dihirup.7 Salah satu contoh multiple unit-dose DPI adalah
Diskhaler. Digunakan untuk menghantarkan zanamivir untuk terapi infeksi yang
disebabkan oleh virus, yaitu wadah berbentuk melingkar yang mengandung empat
atau delapan obat. Masingmasing blister mempunyai mekanisme sendiri,
memungkinkan obat dapat dihisap melalui mulut. Ketika menggunakan Diskhaler,
alur pernapasan puncak pasien harus lebih besar dari 30 liter/menit agar obat
dapat mencapai paru-paru.

c. Multiple-dose DPI, mengukur dosis obat dari reservoir. Contoh yang paling
umum adalah Twisthaler, Flexhaler dan Diskus. Twisthaler mengandung bahan
aktif mometason furoat, sedangkan Flexhaler mengandung bahan aktif budesonid,
keduanya anti inflamasi, digunakan sebagai preventer pada penderita asma.
Diskus menghantarkan salmeterol, flutikason atau kombinasi keduanya. Diskus
mengandung 60 dosis dalam pengemas berupa strip.

3. Nebulizer

Nebulizer merupakan alat yang akan mengubah obat-obatan asma dari


bentuk cairan (liquid) menjadi aerosol, sehingga dapat dengan mudah dihirup ke
dalam paru-paru, seperti halnya bernapas biasa. Nebulizer biasanya cukup efektif

34
digunakan untuk balita dan anak kecil, atau untuk penderita asma yang kesulitan
menggunakan inhaler.

Banyak jenis obat-obatan asma yang bisa digunakan dengan nebulizer, baik
itu untuk menghadapi serangan asma ataupun untuk mengontrol gejala-gejala
asma. Jenis nebulizer ada yang berupa model rumahan/tabletop dan ada pula yang
berupa portable (menggunakan baterai), sehingga lebih mudah untuk dibawa.

D. Contoh Sediaan Intranasal/Pulmonari

1. Afrin Nasal Spray

Deskripsi :Afrin Nasal Spray merupakan obat semprot hidung yang


digunakan untuk melembabkan membran nasal (hidung)
yang kering dan meradang karena pilek dan melegakan
hidung tersumbat. Afrin Nasal Spray mengandung larutan
Oxy Metazoline Hidroklorida yaitu larutan isotonis yang
memiliki fungsi meringankan inflamasi membran hidung
dengan mengencerkan lendir (ingus) supaya mudah keluar
sekaligus melembabkan hidung yang kering.

Indikasi :Mengatasi kongesti (kesembaban) hidung dan nasofaring


karena salesma (flu), sinusitis, hay fever atau alergi
saluran napas bagian atas lainnya. Pengobatan tambahan
pada infeksi telinga bangian tengah

Komposisi :oxy metazoline hydrochloride 0.5 mg

35
Dosis :> 6 tahun: 2-3 semprot ke dalam tiap lubang hidung 2x/hr
(pagi dan sore)

Cara pakai :Posisi kepala tegak lurus, letakkan ujung lubang


semprotan dalam lubang hidung tanpa menyumbat lubang
hidung seluruhnya. Selama setiap pemberian pasien harus
menekuk kepalanya sedikit kedepan dan hirup dengan
cepat sambil memencet botol.

Cara Penyimpanan :Simpan ditempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya
matahari

Perhatian :Hipersensitifitas

Efek Samping :Umumnya dapat ditolerir dengan baik. Efek samping


biasanya ringan dan sementara dan berupa rasa terbakar,
tersengat, bersin atau bertambahnya ingus

Pabrik :Schering-Plough

Golongan Obat :Obat Bebas Terbatas

2. Vicks Inhaler

Deskripsi :Vicks Inhaler adalah alat inhalasi yang digunakan untuk


melegakan hidung yang tersumbat karena pilek. Dengan
kandungan Mentahunol dan Champor dapat memberikan
sensasi dingin dan kemudian hangat ketika diaplikasikan
hal tersebut dapat membantu melegakan hidung tersumbat
dan mengurangi peradangan.

36
Indikasi :Hidung tersumbat karena pilek

Komposisi :Menthol 197 mg,Camphor 197 mg

Dosis :Sesuai kebutuhan

Cara pakai :Gunakan hanya dalam posisi tegak. Hirup dalam-dalam


melalui tiap lubang hidung, membuat bernafas terasa lega
dan sejuk.

Cara Penyimpanan :Simpan di bawah suhu 30°C, wadah tertutup rapat,

kering, dan terlindung dari cahaya dan kelembaban

Pabrik :Procter and Gamble Indonesia

Golongan Obat :Obat bebas

3. Ventolin Inhaler

Deskripsi :Obat dengan kandungan Salbutamol yang


digunakan untuk mengobati penyakit pada saluran
pernafasan seperti asma dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Obat ini bekerja dengan cara merangsang
secara selektif reseptor beta-2 adrenergik terutama pada
otot bronkus. hal ini menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi karena otot bronkus mengalami relaksasi.
Dalam penggunaan obat ini harus sesuai dengan petunjuk
dokter.

37
Komposisi :Salbutamol Sulfate 100 mcg/puff

Dosis :Dewasa : - Menghilangkan bronkospam akut : 100 atau


200 mcg - Pencegahan alergen atau bronkospasme akibat
olahraga : 200 mcg - Terapi kronis : 200 mcg, 4 kali/hari
Anak-anak : - Menghilangkan bronkospam akut : 100 mcg
- Pencegahan alergen atau bronkospame akibat olahraga :
100 mcg - Terapi kronis : 200 mcg, 4 kali/hari

Aturan Pakai :Duduk atau berdiri tegak saat menggunakan inhaler.


Kocok inhaler dengan baik sebelum menghirupsnya.
Langsung tarik napas perlahan begitu Anda menekan
inhaler. Tahan napas selama minimal 10 detik setelah
menghirupnya. Tarik dan buang napas perlahan diantara
setiap isapan.

Kemasan :Dus, Botol @ 200 Dosis

Kontra Indikasi :Hipersensitivitas.Tdk dapat digunakan utk mengatasi


abortus yg mengancam.

Perhatian :Harus dengan resep dokter. Thyrotoxicosis, hypokalemia.


Ibu hamil dan menyusui. Kategori kehamilan : A

Manufaktur :GlaxoSmithKline Indonesia

Golongan Obat :Obat Keras

E. Video-video Sediaan Intranasal

Video yang terkait dengan penjalanan obat dalam tubuh sediaan


intranasal/pulmonari ada 4 macam, diantaranya :

1. MAD Nasal

Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=7sJMaSOoH88 )

Menjelaskan tentang perjalanan obat nasal dari rongga hidung menuju otak
dan dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.

38
2. Exubera Delivery Route Animation

Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=vU1gVsul0ME&t=87s )

Menjelaskan tentang perjalanan partikel obat insulin spray, pelepasan,


pelarutan, dan penyerapan sehingga memberi efek sistemik.

3. Rhinocobal – how it works

Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=BRfRNIhwJt4 )

Mekanisme kerja dari semprot hidung vitamin B12 terabsorbsi dan memberi
efek sisitemik ke dalam organ-organ tubuh.

4. Mechanism of Action for Circlesonide Nasal Spray

Link : (https://www.youtube.com/watch?v=H5MUhgrWUt8&feature=. )

Menjelaskan tentang mekanisme obat kortikosteroid nasal spray,


absorbsinya, dan onsetnya di dalam tubuh.

39
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Anatomi saluran pernafasan dimulai dari hidung, faring, laring, trakea,


bronkus, bronkiolus, dan alveolus. Secara fisiologis membantu proses inspirasi
dan ekspirasi.

2. Peredaran darah terbagi 2 sistem, dimana melalui saluran pernadafaan atas


Dari rongga hidung zat aktif akan terikat pada sarah penciuman, kemudian
melewati sawar darah otak (Blood Brain Barrier) untuk diteruskan ke jaringan
otak dan masuk ke dalam cairan serebrospinal yang mengalir di SSP (otak dan
susmsum tulang belakang) , untuk kemudian di absorbsi oleh pembuluh darah dan
dialirkan seluruh tubuh guna menghasilkan efek sistemik.Yang kedua melalui
saluran pernafasan bagian bawah, partikel obat akan masuk ke dalam kapiler
pembuluh darah yang banyak terdapat dalam alveoli, kemudian zat aktif
menempel pada reseptor dan menghasilkan efek sistemik.

3. Cairan yang terdapat dalam saluran nafas menyelimuti rongga hidung dan
paru-paru dikenal dengan istilah mucus, mucus terdiri dari 95% air, 2% musin,
1% garam, 1% protein lain (albumin, Ig, lisozim, laktoferin), dan 1% lemak

4. Faktor yang mempengaruhi perjalanan obat intranasal yaitu sifat fisikokimia


obat pada keseimbangan lipofilik dan hidrofilik, degradasi enzimatik pada rongga
hidung, dan ukuran partikel obat. Sedangkan pada pulmonary yaitu desposisi
partikel diparu-paru, faktor fisiologis dan faktor farmasetika. Perjalanan obat intra
nasal ada beberapa tahapan, yaitu proses penghirupan, penangkapan (depo),
penahanan/pembersihan, dan penyerapan.

5. Evaluasi biofarmasetik sediaan Intranasal/pulmonary yaitu pengukuran zat


aktif dalam aerosol dalam udara ekspirasi dan tertahan, efek farmakologi dari
sediaan aerosol, Studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya ( tetapi
hanya berkaitan dengan percobaan tentang pernapasan dinamik), evaluasi kadar

40
obat dalam darah atau efek farmakologi dari obat dan evaluasi perubahan sifat alir
getah bronkus atau lendir.

DISKUSI

1. Bagaimana cara pemakaian pada sediaan nasal seperti nasal bubuk, apa
keuntungan serta kerugian dalam sediaan tersebut? (Pertanyaan dari Dina
Setyarahma 17330006, Kelompok 1).

Jawab :

Untuk sediaan nasal bubuk atau powder spray langkah-langkahnya:

a. Kocok perlahan nasal powder spray.

b. Lepaskan penutup botol dari tip.

c. Pegang botol dibagian leher botol dengan dua jari, dengan posisi ibu jari
dibagian bawah botol.

d. Masukkan nasal powder spray ke dalam rongga hidung dengan menutup


lubang hidung yang satunya.

e. Tarik nafas dan tekan ibu jari ke atas dan lepaskan droplets atau serbuk yang
keluar berupa kabut, lalu bernafaslah seperti biasa.

Keuntungan sediaan nasal bubuk :

a. Mudah dan praktis dibawa.

b. Tidak perlu spacer.

c. Tidak memerlukan propelan (kurang iritatif).

d. Melindungi rongga hidung lebih lama 6-8 jam .

e. Lebih mudah menempel di hidung.

Kerugian sediaan nasal bubuk :

a. Perlu penghisapan yang kuat.

b. Sulit digunakan pada anak kecil.

41
c. Presisi dosis tidak jelas diatur.

d. Botol sewaktu-waktu bisa tersumbat dan menghambat proses


penyemprotan.

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyerapan pada intranasal? Dan


jelaskan apa yang dimaksud pembersihan mukosiliar dan gradient konsentrasi itu!
(Pertanyaan dari Salwa Alvionita 17330008, Kelompok 2).

Jawab :

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan sediaan intanasal, diantaranya :

1. Sifat Fisiko Kimia Obat

a. Ukuran partikel.

b. Keseimbangan lipofilik dan hidrofilik ronggga hidung.

c. Degradasi enzimatik dalam rongga hidung.

2. Efek Faktor-faktor pada Hidung ( Sifat Anatomi Fisioligis Hidung)

a. Permeabilitas membrane.

b. Lingkungan pH.

c. Pembersihan mukosiliar.

d. Rhinitis.

3. Faktor yang Memberikan Efek Penghantar

a. Formulasi (osmolaritas, pH, konsentrasi).

b. Gradien konsentrasi.

c. Osmolaritas bentuk sediaan.

d. Distribusi dan deposisi obat.

e. Viskositas.

Pembersihan mukosiliar itu berguna ntuk mencegah zat-zat asing masuk


sampai ke paru-paru, jadi dengan terjadinya pembersihan mukosiliar atau lendir

42
zat-zat yang tidak penting setelah larut dalam rongga hidung akan segera diangkut
ke nasofaring untuk di buang ke saluran pencernaan, sehingga tidak mengganggu
proses penyerapan partikel obat sediaan Intranasal.

Gradien konsentrasi sangat penting dalam proses penyerapan obat karena


semakin tinggi gradient konsentrasi (perbedaan konsentrasi dua larutan)
menyebabkan terjadinya difusi sehingga seluruh partikel obat bisa tersebar merata
sampai mencapai kesetimbangan konsentrasi dan menghasilkan efek yang
diharapkan.

3. Di evaluasi biofarmasetik sediaan intranasal ada salah satu cara evaluasi


yaitu perubahan sifat alir getah bronkus atau lendir, bagaimanakah cara
evaluasinya? (Pertanyaan dari Indri Yulianti Hidayah 18330039, Kelompok 3)

Jawab :

Evaluasi perubahan sifat alir getah atau lendir bronkus ini masih sangat
jarang dilakukan, karena memerlukan peralatan yang modern dalam
melakukannya. Dalam penelitian Oldenburg, et al (2012), membahas tentang
pelacakkan perubahan sifat alir lendir menggunakan alat Particle Tracking
Velocimetry, untuk melacak pergerakkan alirannya dengan menggunakan metode
Optical Coherence Tomography sehingga bisa terlihat jelas secara 3 dimensi,
dilakukan dengan 2 cara in vitro denga menggunakan sel epitel bronkial manusia
dan ex vivo dengan menggunakan trakea tikus. Evaluasi ini penting dilakukan
karena adanya aliran lendir mampu mempengaruhi penyerapan partikel-partikel
obat ke dalam tubuh.

43
DAFTAR PUSTAKA

Alagusundaram, B.Chengaiah, K.Gnanaprakash, S.Ramkanth,C.Madhusudhana


Chetty, & D.Dhachinamoorthi. 2010. Nasal drug delivery system - an
overview. International Journal of Research in Pharmaceutical
Sciences, 1(4), 454-465. Retrieved from
https://pharmascope.org/ijrps/article/view/
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara, hal :1-25.
Dhingra PL, 2007. Diseases of ear, nose and throat, 4 th ed, India: Elsevier, pp:
4-5, 70.
Glyn Taylor and lan Kellaway. 2001. Drug Delivary and Targeting for
Pharmacist and pharmaceutical scientists: Pulmonary Drug Delivery.
Taylor and Francis Library.
Kushwara, Swatantra K.S dkk. 2011. Advances in Nasal Trans-Mucosal Drug
Delivery. India: Journal of Applied Pharmaceutical Science 01 (07).
Putheti, Rames R, Patih, Mahesh C, Obire,O. 2009. Nasal Drug Delivery in
Pharmaceutical and Biotechnology : Present and Future. e-Journal of
Science & Technology (e-JST)

Ratunanda, S. S., Satriyo, J. I., Samiadi, D., Madiadipoera, T., & Anggraeni, R.
2016. Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid
Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging Bandung .
MKB Volume 48.

Sobol S,E. 2007. Sinusitis acute medical treatment. (Diakses tanggal 23


November 2020, http://www.emedicine.com/ent/topic377.htm )

Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.

Syahrizal. 2009. Perbandingan Waktu Transportasi Mukosiliar hidung pada


penderita rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah dilakukan endoskopi
fungsional. Bagian THT Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Tronde, A. 2002. Pulmonary Drug Absorption: In vivo and In vitro Investigations


of Drug Absorption Across the Lung Barrier and Its Relation to Drug
Physycochemical Properties. Comperhensive Summaries of Uppsala
Disertation from the Faculty of Pharmacy 275. Uppsala.

44
Yadaf, Vimal K, A.B. Gupta, Raj Kumar, Jaideep, S Y. dan Brajess Kumar. 2010.
Muchoadhesive polymers: Mean of Improving the Muchoadhesive
properties of Drug Delivery System. Journal of Pharmaceutical Researh.
Volume 2 (5). Hal 418-432

45

Anda mungkin juga menyukai