OLEH :
JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA DENPASAR
2019
I. DEFINISI SEDIAAN INJEKSI
Sediaan injeksi adalah sediaan injeksi volume kecil, Injeksi volume kecil adalah injeksi
yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang (FI IV, 1995). Injeksi
merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara
menembus atau merobek jaringan ke dalam selaput lender (F1 III, 1979). Sediaan steril injeksi
dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang
umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL.
Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi
serbuk bahan obat, larutan atau suspens dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.
(Anonim. Penuntun Praktikum Farmasetika I .2011)
Pada umumnya injeksi dikemas dalam wadah di bawah 100 ml. Tujuan obat dibuat steril
(seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darahatau cairan tubuh dan jaringan tubuh
lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkapyang berada di saluran
cerna/gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir/menawarkan racun
(detoksikasi=detoksifikasi). Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder.
Dalam hal ini tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan steril atau
tidak steril.
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan
untukinjeksi, ditandai dengan nama, Injeksi.......
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya : Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro
injection, Inj.Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection, Inj.Luminal,
pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan
pelarutyang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan
nama ,...................Steril. Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan
disuntikkan ditambah zat pembawayang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang
memenuhi syarat larutan injeksi.Misalnya: Inj Dihydrostreptomycin Sulfat steril
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yangmemenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa
yangsesuai, ditandai dengan nama , ............ Steril untuk Suspensi. Dalam FI.ed.III disebut
berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawayang cocok dan steril,
hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.Misalnya : Inj.
Procaine Penicilline G steril untuk suspense
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan
secaraintravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam
pembawayang cocok dan steril) .Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahantambahan
lain, ditandai dengan nama,............. Untuk Injeksi. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat
dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua
persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi
Cara-cara penyuntik obat injeksi sebagai berikut :
1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermalDimasukkan ke dalam kulit yang
sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yangdisuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml,
berupa larutan atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermikDisuntikkan ke dalam jaringan di bawah
kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkantidak lebih dari 1 ml. Umumnya
larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo(absorpsinya lambat). Dapat
diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym
hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena.Cara ini
disebut" Hipodermoklisa ".
3. Injeksi intramuskuler ( i.m )Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan /
otot. Injeksi dalam bentuk larutan,suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini.
Yang berupa larutan dapat diserap dengancepat, yang berupa emulsi atau suspensi
diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkanefek yang lama. Volume
penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untukmencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus ( i.v ) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravena yang diberikan dalam dosis tunggal
dengan volume lebih dari 10 ml, disebut"infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi
harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis. Injeksi
i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisidaInjeksi i.v
dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraarterium ( i.a )Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi,
volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau
ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan
gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ),
subaraknoid.Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada
dasar otak ( antara 3 -4atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan
cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal adalah
lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis.
Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.
8. IntraartikulusDisuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk
suspensi / larutan dalamair.
9. Injeksi subkonjuntivaDisuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa
suspensi / larutan, tidak lebihdari 1 ml.
10. Injeksi intrabursaDisuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon
dalam bentuk larutan suspensidalam air.
11. Injeksi intraperitoneal ( i.p )Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan
cepat ; bahaya infeksi besar.
12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epiduralDisuntikkan ke dalam ruang epidural,
terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dariotak dan sumsum tulang
belakang.
II. FORMULASI SEDIAAN INJEKSI :
Syarat sediaan injeksi adalah harus steeril, sehingga sejak awal proses pembuatan sediaan
harus mengikuti prosedur aseptic. Selain itu untuk mendapatkan formula sediaan parenteral
yang baik harus mempunyai data preformulasi yang meliputi sifat kimia, sifat fisika dan sifat
biologis sehingga dapat ditentukan:
a. Pembawa yang tepat yaitu pembawa larut air, pembawa yang tak larut air atau pelarut
campur
b. Eksipien yang dibutuhkan meliputi pengawet, komplekson, zat pengisotonis, anti oksidan,
dapar dan lain sebagainya
c. Wadah dan jenis wadah yang sesuai .
Formulasi suatu produk sediaan injeksi meliputi kombinasi dari satu atau lebih bahan
dengan zat obat untuk menambahkan kenikmatan, kemampuan terima, atau keefektifan produk
tersebut. Zat terapetis suatu senyawa kimia yang mudah mengalami karakteristik reaksi kimia
dan fisika dari golongan senyawa dimana zat tersebut termasuk didalamnya. Oleh karena itu
harus dibuat penilaian hati-hati untuk setiap kombinasi dua bahan atau lebih untuk memastikan
apakah terjadi interaksi merugikan atau tidak dan jika terjadi, cara untuk memodifikasi formulasi
sehingga reaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.
A. Zat aktif
Zat aktif merupakan bahan yang diharapkan memberikan efek terapetik atau efek lain yang
diharapkan. Contohnya yaitu furosemid, CTM, neostigmin metilsulfat, ketorolac dan obat
lain yang menimbulkan efek farmakologi. Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk
sediaan injeksi bersifat larut air atau dipilih bentuk garamnya yang larut air. Sebelum
melakuan proses pembuatan sediaan injeksi, dilakukan preformulasi zat aktif terlebih dulu
dengan mencari data mengenai bahan aktif seperti pemerian, kelarutan, stabilitas terhadap
cahaya, ph, hidrolisis dan oksidasi.
B. Pelarut dan pembawa
Zat pembawa / zat pelarut Dibedakan menjadi 2 bagian :
1. Zat pembawa berair
Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi NaCl, injeksi
glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat pembawa
mengandung air, menggunakan air untuk injeksi, sebagai zat pembawa injeksi harus
memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk
memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi Ringer dapat digunakan
untuk pengganti air untuk injeksi. Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan
cara menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang
dilengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya
ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan.
2. Zat pembawa tidak berair Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya
Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol. Arachidis. Pembawa tidak berair diperlukan apabila bahan
obatnya sukar larut dalam air, bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air. Syarat-syarat minyak
untuk injeksi adalah harus jernih, tidak berbau asing / tengik.
C. Bahan tambahan
Bahan tambahan yang digunakan untuk sediaan injeksi ditujukan untuk beberapa alasan
yaitu:
a. Mempertahankan kelarutan obat
b. Mempertahankan stabilitas fisika dan kimia sediaan
c. Mengatur tonisitas sediaan
d. Mengatur ph sediaan
e. Mempertahankan sterilitas dan mencegah pertumbuhan mikroba
Syarat bahan tambahan yaitu inert secara farmakologi fisika maupun kimia, tidak toksik
dalam jumlah yang diberikan dan tidak mempengaruhi pemeriksaan obat
Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam sediaan parenteral adalah :
1. Antioksidan : Antioksidan berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat oksidasi
maka dalam formulasi dan mencegah terjadinya ketidakstabilan sediaan karena
oksidasi sediaan.
2. Antimikroba : Antimikroba berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
3. Buffer : Buffer berfungsi untuk mengatur ph sediaan. Ph sediaan harus sama dengan
ph cairan tubuh. Sehingga perlu penambahan dapar untuk mendapatkan ph yang
sesuai. pH ideal sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut
tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung
stabilitas dari sediaan (disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif bukan pH larutan).
Dapar yang ideal memiliki kapasitas dapar yang cukup untuk menjaga pH sediaan
selama penyimpanan, namun memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah.
Untuk sediaan parenteral volume kecil (<100mL), dapar dapat dibuat bila pH
stabilitas sediaan berada di dalam range : IV (SVP) pH 3 – 10, Rute lain pH 4 – 9
4. Pengatur tonisitas : Sediaan injeksi harus isotonis dimana tekanan osmosa sediaan
harus sama dengan tekanan osmosa cairan tubuh. Pengatur tonisitas diperlukan untuk
membuat sediaan menjadi isotonis
Bubuk kering :
Jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau berdasarkan volume, diisi
melalui corong.
Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :
A. Memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.
B. Menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik yang dibuat dengan
pembawa berair.
Secara garis besar, cara pembuatan sediaan injeksi dibedakan menjadi 2 yaitu
secara aseptis dan non aseptis.
Bagan cara
kerja
aseptis
Bagan kerja non aseptis
Contoh
pembuatan
injeksi
furosemid :
RUANG PROSEDUR
Ruang Sterilisasi (grey area) Peralatan, wadah sediaan dan aquabidest yang akan digunakan
disterilisasikan dengan cara sterilisasi yang sesuai
Ruang penimbangan (grey Furosemid 1000 mg
area) Natrium klorida 624 mg
Natrium hidroksida 200 mg
Keterangan : penimbangan dilakukan diatas kaca arloji steril lalu
ditutup dengan aluminium foil
Transfer box (ruang Semua alat, wadah yang telah disterililkan dipindahkan ke ruang
penimbangan) pencampuran (white area) melalui transfer box
Ruang Pencampuran Furosemid yang telah ditimvang dimasukkan dalam 15 ml aqua pro
injection dalam gelas kimia A yang telah ditara pada volume ahir
sediaan 100 ml. 200 mg NaOH dilarutkan 50 ml dalam aqua for
injection dalam gelas kimia B.
Larutan NaOH ditambahkan tetes demi tetes ke dalam gelas kimia
A sambil diaduk sampai semua furosemid terlarut .
624 mg NaCl dilarutkan dalam 20 ml aqua for injection dalam gelas
kimia C
Larutan NaCl dalam gelas kimia C dimasukan sedikit demi sedikit
ke dalam gelas kimia A.
Aqua for injection ditambahkan hingga volume larutan dalam gelas
kimia A mencapai kurang lebih 40 ml. dilakukan pengecekan ph.
pH sediaan diharapkan adalah 8-9,3. Jika diperlukan tambahkan
larutan NaOH sampai volume target ph sediaan tercapai.
Volume larutan dalam gelas kimmia A digenapan hingga mencapai
batas volume yang telah ditara dengan menambahkan aqua for
injection.
Ruang penutupan (grey area) Masing-masing ampul ditutup menggunakan mesin penutup ampul
atau dengan membakar ujung ampul dengan lampu Bunsen. Sediaan
dibawa ke ruang sterilisaasi melalui transfer box
Ruang sterilisasai (grey area) Sterilisasi sediaan menggunakan autoklaf pada suhu 121o C selama
20 menit. Kemudian dilakukan pemerisaan kebocoran dengan
membali posisi sediaan
Ruang evaluasi (grey area) Sediaan diberi etiker dan kemasan, lalu dilukakan evaluasi pada
sediaan yang telah diberi etiket dan kemasan
Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati),
sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit jika disuntikkan. misalnya
beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 . pH dapat
diatur dengan cara :
1. Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.
2. Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.
Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah
1. Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.
2. Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.
3. Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat didapar pada pH
yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat
tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar
3. Uji Kejernihan:
Uji kejernihan untuk larutan steril adalah dengan menggunakan latar belakang putih dan
hitam di bawah cahaya lampu untuk melihat ada tidaknya partikel viable.
5. Uji Kejernihan dan Warna (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral hlm 201-203)
Tujuan:
Memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas pengotor
Prinsip:
Wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari wadah dari
samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan
latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor berwarna.
Hasil:
Memenuhi syarat bila tidak ditemukan pengotor dalam larutan.
B. Evaluasi Kimia
Prosedur evaluasi kimia harus mengacu terlebih dahulu pada data monografi sediaan
(dibuku Farmakope Indonesia atau buku kompendial lain) :
1. Identifikasi
2. Penetapan Kadar
C. Evaluasi Biologi
1. Uji Sterilitas (suplemen FI IV, 1512-1519)
Tujuan:
Menetapkan apakah sediaanyang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji
sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi
Prinsip:
Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada
inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi secara aseptik.
Media yang digunakan adalah Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest
Hasil:
Memenuhi syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi selama 14 hari.
Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji ulang dengan jumlah
bahan yang sama dengan uji aslinya.
Hasil:
Bahan memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan pada
masing -masing monografi.
4. Penetapan Potensi Antibiotik (khusus jika zat aktif antibiotik)(suplemen FI IV, 1519-
1527)
Aktivitas (potensi) antibiotik dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek
daya hambatnya terhadap mikroba.
Tujuan:
Untuk memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses pembuatan larutan
dan menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap mikroba.
Prinsip:
Penetapan dengan lempeng silider atau “cawan” dan penetapan dengan cara “tabung”
atau turbidimetri.
Hasil:
Potensi antibiotik ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus transformasi log
dengan prosedur penyesuaian kuadrat terkecil dan uji linieritas.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat diterjemahkan oleh Farid
Ibrahim., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, p. 251-271.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Elisma, Sesilia, 2016, Praktikum Teknologi Sediaan Steril, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta