Anda di halaman 1dari 20

TUGAH MAKALAH

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN FARMASI STERIL


INJEKSI

OLEH :

I Gusti Putu Dika Wahyu Arsana (172200064)

I Made Mega Adi Mudra (172200065)

Niluh Mupu Puspita Dewi (172200066)

I Dewa Ayu Made Putri Adnyani (172200067)

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA DENPASAR
2019
I. DEFINISI SEDIAAN INJEKSI

Sediaan injeksi adalah sediaan injeksi volume kecil, Injeksi volume kecil adalah injeksi
yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang (FI IV, 1995). Injeksi
merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara
menembus atau merobek jaringan ke dalam selaput lender (F1 III, 1979). Sediaan steril injeksi
dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang
umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL.
Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi
serbuk bahan obat, larutan atau suspens dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.
(Anonim. Penuntun Praktikum Farmasetika I .2011)

Pada umumnya injeksi dikemas dalam wadah di bawah 100 ml. Tujuan obat dibuat steril
(seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darahatau cairan tubuh dan jaringan tubuh
lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkapyang berada di saluran
cerna/gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir/menawarkan racun
(detoksikasi=detoksifikasi). Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder.
Dalam hal ini tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan steril atau
tidak steril.

Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan


menjadi 5 jenisyang berbeda: 

1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan
untukinjeksi, ditandai dengan nama, Injeksi.......
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya : Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro
injection, Inj.Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection,  Inj.Luminal,
pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan
pelarutyang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan
nama ,...................Steril. Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan
disuntikkan ditambah zat pembawayang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang
memenuhi syarat larutan injeksi.Misalnya: Inj  Dihydrostreptomycin Sulfat steril 
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yangmemenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa
yangsesuai, ditandai dengan nama , ............ Steril untuk Suspensi. Dalam FI.ed.III disebut
berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawayang cocok dan steril,
hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.Misalnya : Inj.
Procaine Penicilline G steril untuk suspense
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan
secaraintravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam
pembawayang cocok dan steril) .Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat  steril 
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahantambahan
lain, ditandai dengan nama,............. Untuk Injeksi. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat
dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua
persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi
Cara-cara penyuntik obat injeksi sebagai berikut :
1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermalDimasukkan ke dalam kulit yang
sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yangdisuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml,
berupa larutan atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermikDisuntikkan ke dalam jaringan di bawah
kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkantidak lebih dari 1 ml. Umumnya
larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo(absorpsinya lambat). Dapat
diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym
hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena.Cara ini
disebut" Hipodermoklisa ".
3. Injeksi intramuskuler ( i.m )Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan /
otot. Injeksi dalam bentuk larutan,suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini.
Yang berupa larutan dapat diserap dengancepat, yang berupa emulsi atau suspensi
diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkanefek yang lama. Volume
penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untukmencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus ( i.v ) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravena yang diberikan dalam dosis tunggal
dengan volume lebih dari 10 ml, disebut"infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi
harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis. Injeksi
i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisidaInjeksi i.v
dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraarterium ( i.a )Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi,
volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau
ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan
gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ),
subaraknoid.Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada
dasar otak ( antara 3 -4atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan
cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal adalah
lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis.
Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.
8. IntraartikulusDisuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk
suspensi / larutan dalamair.
9. Injeksi subkonjuntivaDisuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa
suspensi / larutan, tidak lebihdari 1 ml.
10. Injeksi intrabursaDisuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon
dalam bentuk larutan suspensidalam air.
11. Injeksi intraperitoneal ( i.p )Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan
cepat ; bahaya infeksi besar.
12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epiduralDisuntikkan ke dalam ruang epidural,
terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dariotak dan sumsum tulang
belakang.
II. FORMULASI SEDIAAN INJEKSI :
Syarat sediaan injeksi adalah harus steeril, sehingga sejak awal proses pembuatan sediaan
harus mengikuti prosedur aseptic. Selain itu untuk mendapatkan formula sediaan parenteral
yang baik harus mempunyai data preformulasi yang meliputi sifat kimia, sifat fisika dan sifat
biologis sehingga dapat ditentukan:
a. Pembawa yang tepat yaitu pembawa larut air, pembawa yang tak larut air atau pelarut
campur
b. Eksipien yang dibutuhkan meliputi pengawet, komplekson, zat pengisotonis, anti oksidan,
dapar dan lain sebagainya
c. Wadah dan jenis wadah yang sesuai .
Formulasi suatu produk sediaan injeksi meliputi kombinasi dari satu atau lebih bahan
dengan zat obat untuk menambahkan kenikmatan, kemampuan terima, atau keefektifan produk
tersebut. Zat terapetis suatu senyawa kimia yang mudah mengalami karakteristik reaksi kimia
dan fisika dari golongan senyawa dimana zat tersebut termasuk didalamnya. Oleh karena itu
harus dibuat penilaian hati-hati untuk setiap kombinasi dua bahan atau lebih untuk memastikan
apakah terjadi interaksi merugikan atau tidak dan jika terjadi, cara untuk memodifikasi formulasi
sehingga reaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.

Formulasi umum sediaan injeksi adalah :


 Zat Aktif
 Pelarut/Pembawa
 Bahan Tambahan

A. Zat aktif
Zat aktif merupakan bahan yang diharapkan memberikan efek terapetik atau efek lain yang
diharapkan. Contohnya yaitu furosemid, CTM, neostigmin metilsulfat, ketorolac dan obat
lain yang menimbulkan efek farmakologi. Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk
sediaan injeksi bersifat larut air atau dipilih bentuk garamnya yang larut air. Sebelum
melakuan proses pembuatan sediaan injeksi, dilakukan preformulasi zat aktif terlebih dulu
dengan mencari data mengenai bahan aktif seperti pemerian, kelarutan, stabilitas terhadap
cahaya, ph, hidrolisis dan oksidasi.
B. Pelarut dan pembawa
Zat pembawa / zat pelarut Dibedakan menjadi 2 bagian :
1. Zat pembawa berair
Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi  NaCl, injeksi
glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat  pembawa
mengandung air, menggunakan air untuk injeksi, sebagai zat pembawa injeksi harus
memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk
memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi Ringer dapat digunakan
untuk pengganti air untuk injeksi. Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan
cara menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang
dilengkapi dengan labu  percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya
ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan.
2. Zat pembawa tidak berair Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya
Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol. Arachidis. Pembawa tidak berair diperlukan apabila bahan
obatnya sukar larut dalam air, bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air. Syarat-syarat minyak
untuk injeksi adalah harus jernih, tidak berbau asing / tengik.

C. Bahan tambahan
Bahan tambahan yang digunakan untuk sediaan injeksi ditujukan untuk beberapa alasan
yaitu:
a. Mempertahankan kelarutan obat
b. Mempertahankan stabilitas fisika dan kimia sediaan
c. Mengatur tonisitas sediaan
d. Mengatur ph sediaan
e. Mempertahankan sterilitas dan mencegah pertumbuhan mikroba

Syarat bahan tambahan yaitu  inert secara farmakologi fisika maupun kimia,  tidak toksik
dalam jumlah yang diberikan dan tidak mempengaruhi pemeriksaan obat
Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam sediaan parenteral adalah :
1. Antioksidan : Antioksidan berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat oksidasi
maka dalam formulasi dan mencegah terjadinya ketidakstabilan sediaan karena
oksidasi sediaan.
2. Antimikroba : Antimikroba berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
3. Buffer : Buffer berfungsi untuk mengatur ph sediaan. Ph sediaan harus sama dengan
ph cairan tubuh. Sehingga perlu penambahan dapar untuk mendapatkan ph yang
sesuai. pH ideal sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut
tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung
stabilitas dari sediaan (disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif bukan pH larutan).
Dapar yang ideal memiliki kapasitas dapar yang cukup untuk menjaga pH sediaan
selama penyimpanan, namun memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah.
Untuk sediaan parenteral volume kecil (<100mL), dapar dapat dibuat bila pH
stabilitas sediaan berada di dalam range : IV (SVP)  pH 3 – 10, Rute lain  pH 4 – 9
4. Pengatur tonisitas : Sediaan injeksi harus isotonis dimana tekanan osmosa sediaan
harus sama dengan tekanan osmosa cairan tubuh. Pengatur tonisitas diperlukan untuk
membuat sediaan menjadi isotonis

Tabel jenis bahan tambahan dan konsentrasinya


III.

CARA PEMBUATAN SEDIAAN INJEKSI


Dalam pembuatan sediaan injeksi, semua alat dan bahan harus steril. Berikut cara
pembuatan injeksi :
1. Perencanaan
Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat secara aseptik atau dilakukan
sterilisasi akhir (nasteril ). Pada pembuatan kecil-kecilan alat yang digunakan antara
lain pinset, spatel, pengaduk kaca, kaca arloji yang disterilkan dengan cara dibakar
pada api spiritus. Ampul, Vial atau flakon beserta tutup karet, gelas piala, erlemeyer,
corong yang dapat disterilkan dalam oven 150° selama 30 menit ( kecuali tutup karet,
didihkan selama 30 menit dalam air suling atau menurut FI.ed.III ). Kertas saring,
kertas G3, gelas ukur disterilkan dalam otoklaf. Untuk pembuatan besar- besaran di
pabrik, faktor tenaga manusia juga harus direncanakan.
2. Perhitungan dan penimbangan
Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus didapat, karena dilakukan
penyaringan, kemudian ditimbang. Larutkan masing-masing dalam Aqua p.i yang
sudah dijelaskan cara pembuatannya, kemudian dicampurkan.
Selain itu dilakukan perhitungan tonisitas untuk menentukan penambahan zat
pengatur tonisitas.
3. Penyaringan
Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam
filtrat. Pada pembuatan kecil-kecilan dapat disaring dengan kertas saring biasa
sebanyak 2 kali , lalu disaring lagi dengan kertas saring G3.
4. Pengisian ke dalam wadah
Cairan : Farmakope telah mengatur volume tambahan yang dianjurkan.

Bubuk kering :
Jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau berdasarkan volume, diisi
melalui corong.
Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :
A. Memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.
B. Menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik yang dibuat dengan
pembawa berair.
Secara garis besar, cara pembuatan sediaan injeksi dibedakan menjadi 2 yaitu
secara aseptis dan non aseptis.

Bagan cara
kerja
aseptis
Bagan kerja non aseptis

Contoh
pembuatan
injeksi

furosemid :

RUANG PROSEDUR
Ruang Sterilisasi (grey area) Peralatan, wadah sediaan dan aquabidest yang akan digunakan
disterilisasikan dengan cara sterilisasi yang sesuai
Ruang penimbangan (grey Furosemid 1000 mg
area) Natrium klorida 624 mg
Natrium hidroksida 200 mg
Keterangan : penimbangan dilakukan diatas kaca arloji steril lalu
ditutup dengan aluminium foil
Transfer box (ruang Semua alat, wadah yang telah disterililkan dipindahkan ke ruang
penimbangan) pencampuran (white area) melalui transfer box
Ruang Pencampuran Furosemid yang telah ditimvang dimasukkan dalam 15 ml aqua pro
injection dalam gelas kimia A yang telah ditara pada volume ahir
sediaan 100 ml. 200 mg NaOH dilarutkan 50 ml dalam aqua for
injection dalam gelas kimia B.
Larutan NaOH ditambahkan tetes demi tetes ke dalam gelas kimia
A sambil diaduk sampai semua furosemid terlarut .
624 mg NaCl dilarutkan dalam 20 ml aqua for injection dalam gelas
kimia C
Larutan NaCl dalam gelas kimia C dimasukan sedikit demi sedikit
ke dalam gelas kimia A.
Aqua for injection ditambahkan hingga volume larutan dalam gelas
kimia A mencapai kurang lebih 40 ml. dilakukan pengecekan ph.
pH sediaan diharapkan adalah 8-9,3. Jika diperlukan tambahkan
larutan NaOH sampai volume target ph sediaan tercapai.
Volume larutan dalam gelas kimmia A digenapan hingga mencapai
batas volume yang telah ditara dengan menambahkan aqua for
injection.
Ruang penutupan (grey area) Masing-masing ampul ditutup menggunakan mesin penutup ampul
atau dengan membakar ujung ampul dengan lampu Bunsen. Sediaan
dibawa ke ruang sterilisaasi melalui transfer box
Ruang sterilisasai (grey area) Sterilisasi sediaan menggunakan autoklaf pada suhu 121o C selama
20 menit. Kemudian dilakukan pemerisaan kebocoran dengan
membali posisi sediaan
Ruang evaluasi (grey area) Sediaan diberi etiker dan kemasan, lalu dilukakan evaluasi pada
sediaan yang telah diberi etiket dan kemasan

IV. pH SEDIAAN INJEKSI


Untuk mendapatkan pH yang optimal  pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain
adalah 7,4 dan disebut Isohidri. Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering
injeksi dibuat di luar pH cairan tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.
Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :
1. Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat, menghindari
kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.
2. Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan

 Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati),
sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit  jika disuntikkan. misalnya
beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 .  pH dapat
diatur dengan cara : 
1. Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.
2. Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.
Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah
1. Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.
2. Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis. 
3. Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat didapar pada pH
yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat
tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar

V. EVALUASI SEDIAAN INJEKSI


A. Evaluasi Fisika
1. Uji Bahan Partikulat dalam Injeksi (suplemen FI IV, 1533-15)
 Tujuan:
Menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran tertentu.
 Prinsip :
Prosedurnya dengan cara memanfaatkan sensor penghamburan cahaya, jika tidak
memenuhi batas yang ditetapkan maka dilakukan pengujian mikroskopik. Pengujian
mikroskopik ini menghitung bahan partikulat subvisibel setelah dikumpulkan pada
penyaring membran mikropori.
 Hasil :
Penghamburan cahaya: hasil perhitungan jumlah total butiran baku yang terkumpulpada
penyaring harus berada dalam batas 20% dari hasil perhitungan partikel kumulatif rata-
rata per ml.
Mikroskopik: injeksi memenuhi syarat jika partikel yang ada (nyata atau menurut
perhitungan) dalam tiap unit tertentu diuji melebihi nilai yang sesuai dengan yang tertera
pada FI.

2. Penetapan pH (Suplemen FI IV, hlm. 1572-1573)


 Alat : pH meter
Tujuan : Mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan
 Prinsip:
Pengukuran pH cairan uji menggunakan potensiometri (pH meter) yang telah dibakukan
sebagaimana mestinya yang mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH
menggunakan elektrode indikator yang peka, elektrode kaca, dan elektrode pembanding
yang sesuai. 
 Hasil:
pH sesuai dengan spesifikasi formulasi sediaan yang ditargetkan.

3. Uji Kejernihan:
Uji kejernihan untuk larutan steril adalah dengan menggunakan latar belakang putih dan
hitam di bawah cahaya lampu untuk melihat ada tidaknya partikel viable.

4. Uji Kebocoran (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral, 191-192)


 Tujuan:
Memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan
sediaan.
 Prinsip:
Untuk cairan bening tidak berwarna (a) wadah takaran tunggal yang masih panas setelah
selesai disterilkan dimasukkan ke dalam larutan metilen biru 0,1%. Jika ada wadah yang
bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke dalam karena perubahan tekanan di luar
dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan dalam wadah akan berwarna biru.Untuk
cairan yang berwarna (b)lakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal
ditempatkan diatas kertas saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran maka kertas saring
atau kapas akan basah.
 Hasil :
Sediaan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak menjadi biru (prosedur a) dan
kertassaring atau kapas tidak basah (prosedur b)

5. Uji Kejernihan dan Warna (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral hlm 201-203)
 Tujuan:
Memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas pengotor
 Prinsip:
Wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari wadah dari
samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan
latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor berwarna.
 Hasil:
Memenuhi syarat bila tidak ditemukan pengotor dalam larutan.

B. Evaluasi Kimia
Prosedur evaluasi kimia harus mengacu terlebih dahulu pada data monografi sediaan
(dibuku Farmakope Indonesia atau buku kompendial lain) :
1. Identifikasi
2. Penetapan Kadar

C. Evaluasi Biologi
1. Uji Sterilitas (suplemen FI IV, 1512-1519)
 Tujuan:
Menetapkan apakah sediaanyang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji
sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi
 Prinsip:
Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada
inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi secara aseptik.
Media yang digunakan adalah Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest
 Hasil:
Memenuhi syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi selama 14 hari.
Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji ulang dengan jumlah
bahan yang sama dengan uji aslinya.

2. Uji Endotoksin Bakteri (suplemen FI IV, 1527-1532)


 Tujuan:
Mendeteksi atau kuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam suatu
sediaan.
 Prinsip:
Pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate(LAL). Teknik pengujian
dengan menggunakan jendal gel dan fotometrik.Teknik Jendal Gel pada titik akhir reaksi
dibandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin yang dinyatakan
dalam unit endotoksin FI.Teknik fotometrik (metode turbidimetri) yang didasarkan pada
pembentukan kekeruhan.

 Hasil:
Bahan memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan pada
masing -masing monografi.

3. Uji Pirogen untuk volume sekali penyuntikan> 10 mL (FI IV, 908-909)


 Tujuan:
Untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada
pemberian sediaan injeksi.
 Prinsip:
Pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara IV dan
ditujukan untuk sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis
penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit.
 Hasil:
Setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat bila tak seekor kelinci
pun dari 3 kelinci menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih. Jika ada kelinci yang
menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih lanjutkan pengujian dengan menggunakan 5
ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci masing-masing menunjukkan
kenaikan suhu 0,5° atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimum 8 ekor kelinci tidak
lebih dari 3,3° sediaan dinyatakan memenuhi syarat bebas pirogen.

4. Penetapan Potensi Antibiotik (khusus jika zat aktif antibiotik)(suplemen FI IV, 1519-
1527)
Aktivitas (potensi) antibiotik dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek
daya hambatnya terhadap mikroba.
 Tujuan:
Untuk memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses pembuatan larutan
dan menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap mikroba.
 Prinsip:
Penetapan dengan lempeng silider atau “cawan” dan penetapan dengan cara “tabung”
atau turbidimetri.

 Hasil:
Potensi antibiotik ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus transformasi log
dengan prosedur penyesuaian kuadrat terkecil dan uji linieritas.

VI. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAAN SEDIAAN


1.) Keuntungan sediaan injeksi
a. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang
menjadi pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok.
b. Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang
dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
c. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan
secara injeksi.
d. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena pasien
harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus,
pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
e. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan
seperti pada gigi dan anestesi.
f. Dalam kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk parenteral
tersedia, termasuk injeksi steroid periode panjang secara intra-artikular dan
penggunaan penisilin periode panjang secara i.m.
g. Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada keseimbangan
cairan dan elektrolit.
h. Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat
dipenuhi melalui rute parenteral.
i. Aksi obat biasanya lebih cepat.
j. Seluruh dosis obat digunakan.
k. Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak aktif ketika diberikan
secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.
l. Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral, tetapi dapat
ditoleransi ketika diberikan secara intravena, misalnya larutan kuat dektrosa.
m. Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena dapat
menyelamatkan hidupnya.

2.) Kerugian sediaan injeksi


a. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu
yang lebihlama dibandingkan dengan pemberian rute lainPada pemberian
parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari
beberapa rasa sakit tidak dapatdihindari.
b. Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan efek
fisiologisnya.
c. Yang terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan, bentuk sediaan parenteral
lebih mahal dibandingkan metode rute yang lain.
d. Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila
sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
e. Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis.
f. Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika
pasien
hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan, efeknya
sulit untuk dikembalikan lagi.
g. Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab
udara atau mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya
dapat berupa reaksi phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.

Keuntungan dan Kerugian sediaan injeksi Vial dibangdingkan dengan ampul


a. Sediaan ampul dalam wadah takaran tunggal sehingga tidak memerlukan bahan
pengawet dalam sediaan sedangkan untuk sediaan vial memerlukan tambahan
bahan pengawet dikarenakan dapat digunakan varian dosis.
b. Sediaan ampul hanya untuk sekali pemakaian sedangkan sediaan vial dapat
digunakan berulang kali.
c. Sediaan vial lebih meningkatkan kontaminasi dikarenakan dapat digunakan
berulang kali.
d. Sediaan vial dapat mengurangi biaya unti perdosis jika dibandingkan dengan
sediaam ampul.

VII. CARA PEMAKAIAN AGAR TETAP STERIL


a. Penyimpanan sediaan injeksi sesuai dengan temperature dan kelembapan yang telah
ditetapkan untuk mejaga sediaan injeksi sesuai dengan keadaan awal seperti Ph. Contoh :
injeksi vaksin harus disimpan pada suhu kulkas 2-8 derajat Celsius untuk menjaga ke
stablian obat dan mencegah terjadinya perubahan formulasi sediaan
b. Saat akan membuka sediaan injeksi untuk diberikan ke pasien diharuskan menggunakan
APD yang memadai seperti sarung tangan dan masker. Hal tersebut untuk mencegah
kontaminasi karena sediaan injeksi dibuka dari wadahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat diterjemahkan oleh Farid
Ibrahim., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, p. 251-271.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 173-174; 519-521; 1044.


Departem. n Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 323.

Elisma, Sesilia, 2016, Praktikum Teknologi Sediaan Steril, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta

Niazi, S.K., 2004, Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations : Sterile Products,


CRC Press, United States of America

Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep, Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai