Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profil Farmakokinetika Obat Parenteral


Farmakokinetika berarti berhubungan dengan nasib obat dalam tubuh, yang mencakup
proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi/eliminasi) (Lukas, 2006;
Rahman & Djide, 2009).
1. Absorpsi obat parenteral
Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan mengalami absorpsi
dan obat yang diberikan secara intravaskular (i.v) tidak mengalami absorpsi. Molekul
obat diabsorpsi dalam bentuk bebas (tidak terikat dengan zat lain) dan utuh ke dalam
darah atau peredaran sistemik.
Umumnya, obat baru memberikan efek terapi bila kalau mencapai kadar minimal
tertentu dalam darah (MEC = minimum effective concentration). Selama kadar obat
masih dalam darah masih berada di atas MEC, obat akan memberikan efek
farmakologis. Setelah ekskresi berlanjut dan kadar obat turun di bawah MEC.
Kecepatan absorpsi mempengaruhi cepat atau lambatnya obat mencapai kadar
MEC, yang merupakan onset atau mula kerja obat dan waktu obat (tmax) mencapai
kadar maksimum (puncak) dalam darah (Cmax). Selanjutnya obat berangsur-angsur
akan dieliminasi dengan cara diekskresikan atau biotransformasi atau keduanya. Lama
kerja obat (durasi) atau obat memberikan respon terapi yang dikehendaki adalah kadar
obat tersebut dalam darah berada di atas MEC.
Untuk menjamin efektivitas klinik, maka perlu dipertahankan konsentrasi obat
dalam darah tetap dalam dosis yang cukup, misalnya pemberian antibiotika,
sitostatika, hormon dan sebagainya. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari
ditemukan pemberian berulang misalnya 2 kali atau 3 kali sehari.
2. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam peredaran
darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat bercampur dengan cairan
tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian
didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja.

1
Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan perbedaan
karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan menyebabkan konsentrasi
obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi obat, erat
kaitannya dengan respon farmakologi.
3. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses biotransformasi obat
secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan biologis. Sebagian besar reaksi
metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut dalam air daan
siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat parenteral adalah di
hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor genetik,
umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.
4. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari aktivitas serta
keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh dikeluarkan
melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh bersama dengan
berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Ginjal merupakan organ utama
untuk mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain yang dapat mengeksresikan obat
yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Rute Parenteral


1. Faktor Fisikokima
a. Laju Disolusi
b. Koefisien Partisi Dan Kelarutan Dalam Lemak
c. Interaksi Obat (Zat Aktif) Dan Bahan Tambahan Lain Dalam Sediaan
2. Faktor Fisiologi
Terutama Dalam Absorbsi Obat
a. Aliran darah dari bagian tubuh / area ynag diinjeksikan kecepatan absorbsi
b. Pengaruh obat suatu obat yang dapat mempengaruhi obat lain (interaksi obat)
contoh: obat yang menyebabkan vasokontriksi / vasodilatas
c. Gerakan

2
d. Tempat injeksi (terutama i.m)
3. Faktor Formulasi
a. INTRA VENA
b. IM, SC
1. Aqueous Solution
2. Aqueous Suspension
3. Oleaginous Solution
4. Oleaginous suspention

Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain:


1. Sifat Fisikokimia Obat
a. Ukuran partikel
b. Luas permukaan obat
c. Kelarutan obat
d. Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous
e. Lipofilisitas
f. Stabilitas obat
2. Faktor Formulasi
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam
bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan:
(1) jenis produk obat; (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia
obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005).
Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin kurang dari
100% karena :
a. Obat diabsorpsi tidak sempurna
b. Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi menembus
dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati sebelum masuk ke dalam
sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di dalam dinding usus atau bahkan di
dalam darah vena porta. Hati dapat mengekskresikan obat ke dalam empedu
c. Laju absorpsi

3
2.3 Evaluasi Sediaan Parenteral

1. Evaluasi Fisika
a. Penetapan pH
Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH meter)
yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu
mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode indikator yang
peka terhadap aktivitas ion hidrogen, elektrode kaca dan elektrode pembanding
yang sesuai seperti elektrode kalomel atau elektrode perak-perak klorida
(Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 1039-1040).
b. Bahan Partikulat dalam Injeksi
Batas bahan partikulat yang tercantum disini berlaku untuk masing-masing
bahan dalam wadah dengan volume lebih dari 100 ml injeksi volume besar dosis
tunggal, untuk pemberian infus secara intravena batas ini tidak berlaku untuk
ineksi dosis ganda, untuk injeksi volume kecil, dosis tunggal ataupun larutan
injeksi yang dikonstitusi dari zat padat steril (Farmakope Indonesia edisi IV, hal.
981-984).
Uji bahan partikulat ini digunakan untuk menyatakan adanya partikel
dengan sumbu terpanjang atau dimensi linier efektif 10 µm atau lebih. Prosedur
lain atau prosedur yang lebih rinci dapat digunakan untuk menetapkan bahan
partikulat jika hasil yang diperoleh sama meyakinkan. Tetapi, jika terjadi
perbedaan atau meragukan, hanya hasil yang diperoleh dari prosedur Farmakope
yang berlaku (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 981-984).
c. Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah
Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih, 3 wadah atau
lebih bila volume lebih dari 3 ml dan kurang dari 10 ml, atau 5 wadah atau lebih
bila volume kurang dari 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah dengan alat
suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan
diukur dan dilengkapi dengan arum suntik nomor 21, panang tidak kurang dari
2,5 cm. Keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan
pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian arum, kedalam
gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang
diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-
garis penunjuk volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan

4
yang dituang). Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala
kering yang telah ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat
dalam g dibagi bobot jenis cairan. Isi dari dua atau tiga wadah 1 ml atau 2 ml
dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering
terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi wadah 10 ml atau lebih dapat
ditentukan dengan membuka wadah, memindahkan isi secara langsung kedalam
gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara (Farmakope Indonesia edisi IV, hal.
1044).
Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diui satu
per satu atau bila wadah volume 1 ml dan 2 ml, tidak kurang dari jumlah volume
wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung (Farmakope Indonesia edisi IV,
hal. 1044).

Kelebihan volume yang dianjurkan


Volume tertera dalam
penandaan
Untuk cairan encer Untuk cairan kental
0.5 ml 0.10 ml 0.12 ml
1.0 ml 0.10 ml 0.15 ml
2.0 ml 0.15 ml 0.25 ml
5.0 ml 0.30 ml 0.50 ml
10.0 ml 0.50 ml 0.70 ml
20.0 ml 0.60 ml 0.90 ml
30.0 ml 0.80 ml 1.20 ml
50.0 ml atau lebih 2% 3%

Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa dosis volume tertera,
lakukan penentuan seperti diatas dengan seumlah alat suntik terpisah sejumlah
dosis tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang dari dosis yang
tertera (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 1044).
d. Uji Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume
Sediaan yang sebelum digunakan sebagai injeksi dilarutkan terlebih
dahulu harus memenuhi syarat keseragaman bobot berikut : hilangkan etiket 10
wadah, cuci bagian besar wadah dengan air, keringkan. Timbang satu per satu
dalam keadaan terbuka. Keluarkan isi wadah, cuci wadah dengan air kemudian
dengan etanol (95%)P, keringkan pada suhu 105o hingga bobot tetap, dinginkan,

5
timbang satu per satu. Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas
yang tertera pada daftar berikut, kecuali satu wadah yang boleh menyimpang
tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera (Farmakope Indonesia edisi III, hal. 19).

Bobot yang tertera pada etiket Batas penyimpangan

Tidak lebih dari 120 mg + 10


Antara 120 mg dan 300 mg ± 7,5
300 mg atau lebih ±5

e. Uji Kejernihan Larutan


Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar diameter 15
mm hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
Masukkan kedalam dua tabung reaksi masing-masing larutan uji dan suspensi
padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar dengan cara seperti tertera
dibawah sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi tepat 40
mm. Bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit pembuatan suspensi padanan,
dengan latar belakang hitam. Pengamatan dilakukan dibawah cahaya yang
terdifusi , tegak lurus ke arah bawah tabung. Difusi cahaya harus sedemikian
rupa sehingga suspensi padanan I dapat langsung dibedakan dari air dan dari
suspensi padanan II (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 998).

Suspensi padanan
I II III IV
Baku opalesan (ml) 5.0 10.0 30.0 50.0
Air (ml) 95.0 90.0 70.0 50.0

f. Uji Kebocoran
Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata tetapi
untuk produksi skala besar hal ini tidak mungkin dapat dikerjakan. Wadah-
wadah takaran tunggal yang masih panas setelah selesai disterilkan dimasukkan
terlebih dahulu kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang
bocor maka larutan biru metilen akan masuk kedalamnya karena adanya
perbedaan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut. Cara ini tidak dapat

6
dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah berwarna.Wadah-wadah dengan
takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada kebocoran maka larutan ini akan
keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah yang tidak dapat disterilkan,
kebocorannya harus diperiksa dengan cara memasukkan wadah-wadah tersebut
ke dalam eksikator yang divakumkan. Jika ada kebocoran akan diserap keluar
(Goeswin Agus, Larutan Parenteral).
g. Uji Kejernihan dan Warna
Pada Umumnya setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-
kotoran. Uji ini sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang sangat
teliti karena hampir tidak ada larutan jernih. Oleh sebab itu untuk melakukan uji
ini, dilihat dari kriterianya yang cukup mudah dengan mata biasa saja yaitu
menyinari wadah dari samping dengan latar belakang berwarna hitam dan putih.
Latar belakang warna hitam dipakai untuk menyelidiki kotoran-kotoran
berwarna muda, sedangkan latar belakang putih untuk menyelidiki kotoran-
kotoran berwarna gelap (Goeswin Agus, Larutan Parenteral).

2. Evaluasi Biologi
a. Uji Sterilitas
Prosedur uji sterilitas dapat digunakan untuk menetapkan apakah bahan
yang ada di Farmakope memenuhi syarat dengan uji sterilitas seperti yang tertera
pada masing-masing monografi. Untuk prosedur uji sterilitas sebagai bagian dari
pengawasan mutu dipabrik seperti yang tertera pada sterilisasi dan jaminan
sterilitas bahan. Meningat kemungkinan hasil positif dapat disebabkan oleh
teknik aseptik yang salah atau kontaminasi lingkungan (Farmakope Indonesia
edisi IV, hal. 855-863).
b. Uji Endotoksin Bakteri
Uji endotoksin bakteri merupakan uji yang dilakukan untuk
memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang mungkin ada dalam bahan uji.
Pengujian dilakukan menggunakan “Limulus Amebocyte Lysate” (LAL), yang
diperoleh dari ekstrak air amebosit dalam kepiting ladam kuda, Limulus
polyphemus dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL untuk pembentukan jenda-
gel (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 905-907).

7
Penetapan titik akhir reaksi dilakukan dengan membandingkan langsung
enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin baku dan jumlah endotoksin
dinyatakan dalam uji endotoksin (UE) (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 905-
907).
c. Uji Pirogen
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam pada
tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Pengujian meliputi pengukuran kenaikan suhu pada kelinci setelah penyuntikan
larutan uji secara intravena dan ditujukan untuk sediaan yang dapat ditoleransi
dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mg per kg bobot
badan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Untuk sediaan yang perlu
penyiapan pendahuluan atau cara pemberiannya perlu kondisi khusus ikuti
petunjuk tambahan yang tertera pada masing-masing monografi (Farmakope
Indonesia edisi IV, hal. 908-909).
d. Uji Kandungan Zat Antimikroba
Komponen penting dalam injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda
adalah zat atau zat-zat yang dapat mengurangi bahaya cemaran mikroba.
Farmakope mensyaratkan pencantuman nama dan jumlah zat antimikroba pada
etiket. Metode dibawah ini adalah untuk zat-zat yang paling umum digunakan
untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera memang ada tetapi tidak lebih dari
20% dari jumlah yang tertera pada etiket (Farmakope Indonesia edisi IV, 939-
942).

3. Evaluasi Kimia
a. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)
b. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)

Anda mungkin juga menyukai