Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIKUM II

GASTROESOFAGUS REFLUX DISEASE (GERD)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi GERD.
2. Mengetahui patofisiologi GERD.
3. Mengetahui tatalaksana GERD (Farmakologi & Non-Farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait GERD secara mandiri dengan menggunkan metode
SOAP.

B. DASAR TEORI
1. Definisi GERD
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah
suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus,
dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran
nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis
makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak
merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan
patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8
2. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan
anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme
patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES)
yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis
reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif
lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung.
Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal,

1
kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan
kerusakan mukosa pada pasien GERD.

Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:

1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)


Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting
untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD
yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini
dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter
yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia
oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat
memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya
tonus LES.5

2. Mekanisme pembersihan esofagus


Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu
gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus.
Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya
berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu
menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan
dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus
sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus
akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang
terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya
gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh
karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di
esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan
tersebut.5

2
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai
daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk
nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.5

4. Isi lambung dan pengosongannya


Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan
puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak
isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban
akan menambah kemungkinan refluks tadi.5

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi


sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:

1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.

3. Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7 Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan
bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang
menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu
lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-
obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.1
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau
sendawa).4

3
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter
esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang
terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.3 Tonus SEB
dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg.4 Sedangkan pada orang normal 25-35
mmHg.7

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan


hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap
berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter
esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan
masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.3

Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4

1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,


2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.4
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

4. Manifestasi Klinik
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh
penderita 5,11 Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau
mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya
keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan
kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan
kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa
masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh

4
posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan
ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi
yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang
berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi
dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu
bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul
karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi.7

Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan


tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas,
karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur
karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6

Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang
dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus.
Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit
otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik.
Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang
mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan
spasme esofagus yang difus.5,6

5
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3. Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay).6 Di
lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.

5. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.

a. Klasifikasi Los Angeles4


Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller6

GRADE Deskripsi endoskopi


I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus

6
V Barrett’s ephitelium

6. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai
dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5.
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.
Tujuan dari manageman terapi GERD adalah mengurangi gejala, meningkatkan proses
penyembuhan esophagus dengan menurunkan frekuensi dan durasi refluks esophagus,
mencegah terjadinya serangan ulang, dan menghindari terjadinya komplikasi jangka
panjang.
a. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian


bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks
serta mencegah kekambuhan.4,5

Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:

1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.

7
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan
tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,
progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD.5

b. Terapi Farmakologi

Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan
yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat
pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.

Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia
pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai
terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down. 3,4,5

1. Antasid

Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis3,4,5. Selain sebagai
penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.4,5

Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan
ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.

8
2. Antagonis Reseptor H2

Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini
adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam,
golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai
efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5

Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4

3. Obat prokinetik

Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.

1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis
reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih
jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui
dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari

9
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat
tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus
dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen
bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.3,4

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)

Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of


choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang
refrakter dengan antagonis reseptor H2.

Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :

- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg

10
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.

C. KASUS
Tn M. MRD 30 Agustus 2017 sore hari, kemudian tanggal 1 September 2017 pagi
diriview oleh apoteker. Usia pasien 36 tahun, jenis kelamin laki-laki. Tidak ada riwayat
alergi obat. Saar MRS (30 Agustus 2017). Pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan
sudah kurang lebih selama 1 bulan, badan terasa panas sejak 26 Agustus 2017, kepala
pusing, setiap kali makan perut terasa sakit.
Tanda-tanda vital pasien ditampilkan pada tabel berikut :
Parameter 30/8 31/8 1/9
Suhu (oC) 36,9 36,6 36,5
RR (kali/menit) 18
Nadi (kali/menit) 90 60 76
Tekanan darah (mmHg) 120/80 120/80 120/80
Endoskopi √

Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukkan GERD grade A dengan menggunakan LA


klasifikasi, adanya duodenal polip dan gastritis erosive. Berikut adalah hasil pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 31 Agustus 2017. (terlampir)

Diagnosis : GERD LA Classification grade A, Gastritis Erosiva. Pasien rencana KRS 1


September 2017. Berikut adalah catatan pengobatan pasien pada tanggal 30 dan 31
Agustus 2017. (terlampir)

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan endoskopi
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS
Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.
6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku ajar
ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009

12

Anda mungkin juga menyukai