Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SISTEM PENGHANTARAN OBAT

JALUR PENGHANTARAN OBAT (ORAL, REKTAL, & PARENTERAL)

Disusun Oleh: Kelompok 3

Anggota Kelompok:

1. Dede Firman (1408010078)


2. Diana Fazayanti (1208010079)
3. Arinda Nur Cahyani (1408010080)
4. Hanifa Setyawan (1408010081)
5. Annisa Mufidah Hardiyanti (1408010082)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
A. SISTEM PENGHANTARAN OBAT MELALUI JALUR ORAL

1. Penghantaran Obat Melalui Mucosa Oral


Rute oral telah menjadi rute utama penghantaran obat untuk pengobatan berbagai
macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami hambatan karena
lipofilisitas obat yang tinggi. Hampir 40% dari calon obat baru menunjukkan kelarutan
yang rendah dalam air, yang mengarah ke bioavailabilitas yang rendah, tingginya
variabilitas intra- dan inter-subjek, serta kurangnya proporsionalitas dosis.

Rongga mulut adalah titik masuk untuk formulasi obat oral tapi biasanya kontak
obat dengan mukosa oral dalam waktu yang singkat. Untuk memanfaatkan sebagian dari
sifat mukosa oral atau untuk mengobati mukosa secara lokal, sistem persalinan telah
dirancang untuk memperpanjang tinggal di area ini. Luas permukaan total yang tersedia
untuk penyerapan obat sangat terbatas, hanya sekitar 100 cm2. Penyerapan obat melalui
mukosa bukal pertama kali dijelaskan oleh Sobrero pada tahun 1847 yang mencatat efek
sistemik yang dihasilkan oleh nitrogliserin setelah diberikan pada mukosa oral. Rute
administrasi bahasa menjadi mapan dalam praktik klinis pada tahun 1897 ketika William
Murrell memperkenalkan tetes nitrogliserin untuk pengobatan angina pektoris.
Selanjutnya, nitrogliserin diformulasikan dalam tablet untuk penggunaan sublingual dan
dinamai glyceryl trinitrate.

Suplai darah dari mukosa bukal dan sfingter anal, tidak seperti sisa saluran
pencernaan, tidak mengalir ke vena portal hepatik, karena daerah periferal ini tidak
khusus untuk penyerapan nutrisi. Obat-obatan yang diserap melalui mukosa oral
memasuki sirkulasi sistemik secara langsung melalui vena jugularis, sehingga pada
awalnya menghindari perjalanan melalui hati dimana mereka dapat dimetabolisme. Obat
yang tertelan dalam air liur tidak menghindari metabolisme pertama dan akan mengalami
degradasi oleh cairan pencernaan.

Rongga mulut kaya akan pembuluh darah dan limfatik, sehingga onset tindakan
cepat dan kadar obat dalam darah tinggi didapat dengan cepat. Dalam banyak kasus
bentuk dosis bukal dapat menghasilkan bioavailabilitas yang sama seperti formulasi
intravena, tanpa kebutuhan untuk aseptik. Akhirnya, mereka berbagi dengan sistem
transdermal bahwa pengobatan dapat dihentikan dengan cepat dengan menghilangkan
bentuk dosis, walaupun epitel bukal dapat bertindak sebagai reservoir untuk obat
terlantar setelah sistem persalinan telah dikeluarkan. Idealnya, konsentrasi plasma
terhadap profil waktu seharusnya menyerupai gelombang persegi, serupa dengan yang
terlihat setelah aplikasi kulit dari tambalan gliseril trinitrat, namun hal ini tidak selalu
dapat dicapai Agar diserap secara oral, obat tersebut harus terlebih dahulu larut dalam air
liur. Bahan yang sangat hidrofobik (yang memiliki koefisien partisi lebih besar dari
sekitar 2000) tidak akan larut dengan baik dan kemungkinan akan tertelan utuh kecuali
sistem pengiriman khusus digunakan untuk mempresentasikannya ke mukosa. Air liur
yang mengandung obat terlarut terus ditelan, dan proses ini bersaing dengan penyerapan
bukal, keseimbangan harus ditemukan antara pembubaran yang baik (menyiratkan
pecahan obat yang terionisasi besar) dan sebagian besar pecahan obat (menyiratkan
kelarutan yang rendah tetapi penyerapan yang baik). Rentang koefisien partisi 40-2000
telah terbukti optimal untuk obat-obatan yang akan digunakan secara sublingual.
Pentingnya partisi dapat dilihat pada penyerapan asam fenilasetat tersubstitusi-p, yang
memiliki kira-kira pKa yang sama. Penyerapan bukal pada pH 6 adalah, (dalam rangka
meningkatkan hidrofobisitas): hidrogen-1%, nitro-1%, metoksi-3%, metil-7%, etil-10%,
t-butil-25%, n- butil-34% n-pentil-49%, sikloheksil-44% dan n-heksil-61%(Wilson,
Washington and Washington, 2000).

2. Pengukuran Obat Oral

Uji penyerapan bukal asli diperkenalkan oleh Beckett dan Triggs pada tahun
1967. Larutan oral obat terlarang di mulut tanpa tertelan. Setelah periode yang diukur,
mulut dikosongkan dan dibilas, dan jumlah obat yang tidak terserap yang tersisa diuji.
Metode ini memiliki beberapa kelemahan, terutama bahwa profil penyerapan waktu
harus dibangun dari beberapa percobaan terpisah. Konsentrasi obat juga berubah karena
sekresi ludah dan menelan; yang terakhir ini dapat dikompensasi dengan menggunakan
penanda internal yang tidak terserap. Baru-baru ini Tucker telah menggambarkan
modifikasi metode yang menggunakan pengambilan sampel oral terus menerus sehingga
percobaan berulang tidak diperlukan. Semua prosedur ini mengalami kelemahan karena
hanya penyerapan dari keseluruhan epitel oral yang dapat diukur, dan jika
penyerapannya rendah, ketepatan metodenya buruk. Untuk mengukur penyerapan obat
dari daerah tertentu, disk kertas filter kecil Direndam dalam obat bisa dioleskan ke
mukosa. Teknik ini telah digunakan untuk mengukur serapan atau hilangnya ion air,
natrium dan kalium. Metode yang lebih elegan untuk mengukur penyerapan obat dari
berbagai daerah adalah ruang dimana larutan obat dapat diedarkan yang dapat
diaplikasikan ke berbagai daerah mukosa. Ini memiliki keuntungan bahwa tingkat plasma
dan efluen dari ruang dapat dianalisis untuk kandungan obat(Wilson, Washington and
Washington, 2000).

3. Kekurangan Penghantaran Melalui Mukosa Mulut

Tidak mengherankan,ada kekurangan rute administrasi ini. Rongga bukal, seperti


seluruh kanal pencernaan, berperilaku sebagai penghalang lipoidal terhadap berlalunya
obat-obatan terlarang. Transportasi aktif, pinositosis, dan perjalanan melalui pori-pori
berair hanya memainkan peran yang tidak penting dalam memindahkan obat melintasi
mukosa oral, oleh karena itu sebagian besar penyerapan bersifat pasif, dan hanya sedikit
molekul lipofilik yang diserap dengan baik. Obat polar, misalnya yang terionisasi pada
pH mulut (6,2-7,4), kurang diserap. Penyerapan interselular kecil dimungkinkan
melintasi epitel perkerasan skuamosa cuboid dari rongga mulut.

Namun, beberapa asam amino seperti asam glutamat dan lisin dan beberapa
vitamin seperti asam L-askorbat, asam nikotinat dan tiamin dilaporkan diangkut melalui
proses yang cepat. Masalah utama lainnya adalah bahwa bentuk dosis harus disimpan di
tempat sementara penyerapan terjadi, karena aliran air liur yang berlebihan dapat
mencucinya. Luas total penyerapannya rendah dibanding rute lainnya, berada di wilayah
100-170 cm. Rasa obat harus hambar, jika tidak maka tidak akan bisa diterima. Obat itu
juga harus tidak mengiritasi, dan seharusnya tidak mengubah warna atau mengikis gigi.
Hal ini dapat diatasi sebagian dengan menggunakan sistem pengiriman obat yang
memiliki aliran keluar searah yang ditempatkan di atas mukosa. Namun, sistem ini
memiliki potensi difusi lateral dan partisi belakang obat ke dalam rongga mulut(Wilson,
Washington and Washington, 2000).

4. Contoh Obat Yang Penghantaranya Melalui Oral Mucosa


a. Nitrat
Jumlah terbesar produk yang tersedia secara komersial untuk pengiriman bukal
dan sublingual adalah untuk nitrat organik (nitrogliserin (GTN), isosorbid dinitrat). GTN
dengan cepat dan lebih efektif diserap (30-60 s) dari dosis bukal 2,5-5 mg dibandingkan
dengan patch transdermal 10 mg. Hal itu terbukti efektif dalam memperpanjang waktu ke
angina pectoris selama latihan setelah satu dosis, efeknya berlangsung sekitar lima jam.
Kurang meyakinkan adalah efek menguntungkan pada gagal jantung pada pasien lanjut
usia dalam sebuah studi terbuka selama minimal empat belas hari. Terapi jangka panjang
dengan trinitrat glyceryl bukal atau transdermal dapat dikaitkan dengan toleransi
terhadap tindakan obat yang disebabkan oleh konsentrasi plasma tinggi yang
berkelanjutan. Nitrogliserin buccal dilaporkan menjadi profilaksis yang lebih baik dalam
pengobatan angina pektoris daripada nitrogliserin sublingual karena durasi kerjanya yang
lebih lama, sedangkan kedua rute sebanding dalam pengobatan serangan akut.
b. Steroid
Steroid seperti deoxycorticosterone diserap melalui mukosa oral, namun
peningkatan dosis tiga kali lipat suntikan intramuskular diperlukan.. Testosteron dan
methyltestosterone lebih efisien diserap bila diturunkan secara bukal dibandingkan
dengan rute peroral. Metil testosteron untuk mengobati hipogonadisme dan pubertas
tertunda tersedia secara komersial di perangkat yang menggunakan jalur pengiriman ini.
Berbagai kondisi inflamasi, atrofi dan ulseratif terjadi di mulut dimana pengobatan
topikal kortikosteroid ditunjukkan.
c. Analgesik
Opioid (morfin, petidin) terserap dengan baik dengan ketersediaan sistemik dan
konsentrasi plasma yang serupa dengan, atau bahkan lebih tinggi dari pada, setelah
pemberian intramuscular.Penurunan nyeri post operatif sebanding dengan kedua rute
administrasi. Buccal morfin dilaporkan tidak seefektif morfin intramuskular dalam
mengurangi kecemasan pra operasi dan terjaga namun hal ini mungkin telah dihasilkan
oleh ketersediaan hayati obat yang lebih rendah dari bentuk dosis bukal yang digunakan..
Studi selanjutnya menunjukkan bahwa pemberian morfin intramuskular menghasilkan
peningkatan 8 kali lipat dalam kadar plasma dibandingkan dengan pemberian bukal.
Buprenorfin tersedia sebagai produk komersial sublingual untuk pengobatan analgesia.
d. Antibiotik
Rongga mulut mengandung keragaman mikroorganisme dan lebih dari 300
spesies bakteri yang berbeda telah diidentifikasi di mulut. Kepadatan mikroorganisme
tinggi dan air liur, yang berasal dari flora dari permukaan mulut mengandung 107-108
bakteri per ml Sebagian besar bakteri di mulut adalah komensal dan mungkin memiliki
peran protektif terhadap bakteri patogen. Infeksi oral dikategorikan sebagai primer,
dimana bakteri menyebabkan penyakit seperti karies, gingivitis kronis, dan penyakit
periodontal inflamasi, dan sekunder, yang memperparah kerusakan yang ada terkait
dengan jaringan yang terkontaminasi. Agen antibakteri digunakan dalam pengobatan
radang gusi kronis dan agen efektif, seperti chlorhexidine, dapat bertahan selama berjam-
jam. Penghambat plak antimikroba efektif dalam mencegah pembentukan, daripada
menghancurkan, membentuk plak.
e. Antifungals
Patogen jamur oral yang dominan termasuk dalam genus Candida, namun pada
pasien dengan infeksi HIV, spesies yang kurang umum seperti Crytococci, Histoplasma
dan Mucorales sering ditemukan.. Nistatin telah dimasukkan ke dalam sistem pengiriman
terkontrol untuk penggunaan bukal, namun amfoterisin B dan klotrimazol hanya tersedia
sebagai suspensi atau pelega. Dua bentuk dosis pelepasan yang diperpanjang telah
dirancang untuk pengobatan kandidiasis oral: klorheksidin dan klotrimazol, untuk terapi
terhadap Candida albicans, dan juga benzokain dan hidrokortison untuk melawan rasa
sakit dan pembengkakan akibat infeksi kandida.Yang menarik hanya klorheksidin dan
klotrimazol yang bisa disampaikan dengan cara yang terkendali dari tambalan
mukoadhesif, namun pelepasan keempat obat tersebut dikendalikan dari tablet
mukoadhesif. Pelepasan obat secara optimal selama 24 jam dicapai dengan
menggunakan tablet kombinasi sodium carboxymethylcellulose dan polyethylene oxide.
Baru-baru ini interferon-a juga telah diteliti untuk penggunaan terhadap infeksi jamur
pada rongga mulut (Wilson, Washington and Washington, 2000).
A. SISTEM PENGHANTARAN OBAT MELALUI JALUR REKTAL

Beberapa obat menyebabkan iritasi lokal pada lambung atau saluran


gastrointestinal atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500 mg. Populasi pasien tertentu,
umumnya anak-anak, orang tua dan pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk
mengonsumsi tablet dan kapsul oral. Sebagai tambahan, pengobatan beberapa penyakit
paling baik dilakukan dengan pemberian langsung pada tempat yang sakit, umumnya
pada penyakit di mata, mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal. Pemberian
oral dapat digunakan untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang terkena penyakit,
namun terpaparnya seluruh kompartemen tubuh pada pemberian obat melalui oral tidak
efisien dan bisa memicu efek yang tidak diinginkan.

Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dan
sistemik. Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local pada
area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari pemberian
oral. Obat-obat yang mengalami metabolismee lintas pertama ketika diberikan oral,
masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute rektal.

Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk


sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupun controlled
release. Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian yang
umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk penggunaan
tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran obat alternatif
yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.

1. Sediaan Yang Bias Digunakan Secara Rektal

a. Supositoria Padat

Supositoria padat merupakan bentuk sediaan yang paling umum digunakan untuk
pemberian obat rektal dan lebih dari 98 % bentuk sediaan rektal berada dalam bentuk
supositoria. Umumnya bentuk sediaan ini berbentuk torpedo yang terdiri dari basis
lemak atau basis larut air yang beratnya bervariasi dari 1 g (anak-anak) sampai 2,5 g
(dewasa). Komposisi supositoria disesuaikan dengan sifat fisikokimia obat dan profil
pelepasan obat yang diinginkan. Obat-obat lipofilik biasanya diinkorporasikan ke dalam
basis larut air sedangkan obat-obat hidrofilik diformulasikan ke dalam basis supositoria
berlemak. Secara teori, metode ini memaksimalkan pelepasan obat yang segera dari basis
supositoria ke dalam lingkungan rektal atau kolon bagian bawah. Untuk supositoria yang
dibuat dari basis berlemak, pelelehan harus terjadi secepat mungkin pada suhu mendekati
suhu tubuh (37°C). Idealnya hasil pelelehan akan memiliki sifat mudah mengalir untuk
menyediakan penutupan yang luas dan tipis pada jaringan rektal, sehingga
meminimalkan efek lag time yang disebabkan karena pelepasan obat yang lambat dari
basis supositoria. Supositoria larut air harus melarut pada suhu 37°C untuk memfasilitasi
pelepasan obat dan absorpsi obat setelah itu. Baik supositoria basis lemak atau larut air,
efek potensial dari obat yang diinkorporasikan pada pelelehan atau sifat kelarutan perlu
untuk dievaluasi.

b. Larutan

Larutan, suspensi atau enema merupakan bentuk sediaan rektal yang terbatas
penggunaannya. Hal ini disebabkan karena ketidaknyamanan penggunaannya dan
kurangnya kepatuhan pasien. Pada banyak kasus, formulasi ini dimaksudkan untuk
pemberian media pengontras dan imaging agents untuk roentgenografi saluran
gastrointestinal bawah.

c. Gel/Busa/Salep

Penggunaan bentuk sediaan gel, busa (foams) atau salep untuk pemberian rektal
dapat memberikan manfaat yang melebihi formulasi cair karena retensi bentuk sediaan
pada saluran rektal mengurangi masalah kepatuhan pasien. Pelepasan obat dengan
bentuk sediaan semisolid biasanya terbatas untuk indikasi lokal seperti hemorrhoid dan
radang perut bawah (proctitis). Pelepasan obat dan aksi farmakologik setelahnya
biasanya lebih cepat dengan formulasi semisolid dibandingkan dengan supositoria padat
karena tidak ada waktu tunda (lag time) untuk pelelehan atau pelarutan. Miyazaki dkk,
meneliti tentang gel thermoreversible dari polisakarida xyloglucan yang diperoleh dari
biji tamarind. Cairan yang mengandung 1-2 % xyloglukan membentuk gel pada
temperatur 27-32°C. Suhu kemudian diturunkan dengan peningkatan konsentrasu
xyloglukan. Profil pelepasan in vitro untuk indometasin dan diltiazem dikarakterisasi.
Pelepasan indometasin yang lambat dari gel secara in vitro dibuktikan secara in vivo
dimana diperoleh puncak absorpsi yang lebih luas dan waktu tinggal yang lebih panjang.

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh tidak ada perbedaan bioavailibilitas yang
signifikan antara formulasi gel thermal dengan supositoria konvensional indometasin.
Ryu dkk meneliti tentang supositoria mukoadhesif cair yang dikombinasikan dengan
senyawa bioadhesif dengan polimer thermal gelling. Hidroksipropilselulosa,
polivinilpirolidon, carbopol, polikarbofil dan natrium alginate digunakan sebagai polimer
bioadhesif dalam polimer thermal gelling yang terdiri atas poloxamer 407 dan poloxamer
188. Suhu saat terjadi gel antara 30-36°C diperoleh dengan tekanan mukoadhesif antara
430-5800 dyne/cm2. Dengan propanolol sebagai senyawa model, bioavailabilitas
meningkat dengan peningkatan tekanan mukoadhesif dan jarak migrasi bentuk sediaan
diturunkan. Dengan demikian tidak terdapat hubungan langsung antara bioavailabilitas
dan suhu terbentuknya gel. Natrium alginat dan polikarbofil memberikan tekanan
mukoadhesif terbesar dan memberikan perbaikan yang signifikan pada bioavailabilitas
propranolol.

d. Formulasi Pelepasan Terkontrol (Controlled-release)

Formulasi pelepasan terkontrol dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan cara
yang terkontrol dan terus-menerus. Hidrogel menunjukkan sistem polimerik yang dapat
diterima pada uji klinis pada manusia untuk penghantaran terkontrol antipirin dan
teofilin. Sistem penghantaran osmotik terkontrol juga terbukti berguna untuk
penghantaran obat yang berefek sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena.
Karena ukuran keterterimaan total dari formulasi rektal secara signifkan melebihi ukuran
yang mungkin untuk formulasi oral, pemberian rektal untuk tujuan pelepasan terkontrol
memberikan manfaat yang signifikan.

Faktor yang membatasi adalah kebutuhan untuk menginkoporasikan zat


pengontrol yang dirancang untuk mengatur pelepasan obat yang secara sgnifikan akan
meningkatkan ukuran total dari bentuk sediaan. Bentuk sediaan untuk orang dewasa
yang dapat diterima adalah sampai 2,5 g, jumlah obat yang bisa diformulasi dalam
bentuk sediaan pelepasan terkontrol bisa 2-3 kali lebih besar dari formulasi oral. Untuk
beberapa zat terapeutik, jumlah obat yang lebih tinggi ini memberikaan keuntungan yang
tidak diperoleh lewat rute oral.

Pengembangan dan pemasaran bentuk sediaan rektal pelepasan terkontrol masih


belum menguntungkan karena masih enggannya pasien untuk menggunakan rute ini dan
masalah kepatuhan pasien.

2. Masalah Fisiologis dan Farmasetik Berkaitan dengan Penghantaran Obat


Rektal:

a. Pertimbangan Anatomi Rektum Tidak seperti usus halus dan kolon bagian atas
kolon, pembuluh darah yang terdapat pada saluran rektal tidak seluruhnya langsung
menuju suplai darah ke hati. Vena hemorrhoidal bawah dan tengah dari bypass
rektum, merupakan sirkulasi portal selama lintas pertama menuju sirkulasi umum,
mengizinkan obat yang diserap mendesak efek sistemik disebabkan oleh
metabolisme dan ekskresi via mekanisme hepatik. Saluran rektal juga dikosongkan
oleh sirkulasi limfatik yang luas yang memfasilitasi absorpsi dan paparan sistemik
dari obat yang terserap. Walaupun villi dan mikrovilli tidak terdapat pada jaringan
rektum dan kolon, luas permukaan yang mencukupi mengizinkan absorpsi dari obat
yang permeable. Kurangnya motilitas pada rektum dan kolon, menyediakan
keuntungan tambahan untuk mempertahankan gradient konsentrasi yang maksimal
pada permukaan absorpsi. Bersamaan dengan terbatasnya volume cairan pada bagian
bawah kolon, umumnya 2-3 ml dari cairan inert mucus jika tanpa adanya feses,
lingkungan yang statis dari rektum dan kolon bagian bawah menyediakan area untuk
mempertahankan konsentrasi obat yang lebih tinggi daripada di usus halus. Sisi
negatifnya bagi potensi absorpsi, kompleks persimpangan interselular lebih ketat di
kolon dan rektum dibadingkan usus halus, yang bisa menurunkan kesempatan bagi
obat-obat yang larut dalam air dan berukuran kecil untuk berpermeasi ke ruang
interselular dan mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik tanpa melewati membran
selular.

b. Biokimia Metabolisme selular dari obat, saat mereka melewati sawar mukosa pada
rektum atau kolon, dapat diharapkan sama seperti pada usus halus karena peralatan
dasar metabolic intraselular sama pada sel epitel. Perbedaan utama pada metabolisme
obat terjadi pada enzim-enzim dimana obat terpapar pada lumen usus dan membran
apical dari lapisan sel epitel. Karena kolon dan rektum tidak memiliki fungsi cerna,
tidak terdapat enzim lumen, yang secara aktif diekskresikan oleh usus halus bagian
atas. Sehingga, obat yang tidak stabil oleh enzim proteolitik seperti peptida dan
protein memiliki stabilitas yang lebih besar jika dilepaskan pada rektum atau kolon
bagian bawah. Penelitian yang dilakukan Saffran et al. menunjukkan bahwa
vasopressin, peptida yang menjadi subyek hidrolisis proteolitik, lebih aktif ketika
diberikan melalui rute rektal dibandingkan rute oral. Absorpsi rektal yang signifikan
pada hormon pertumbuhan dan insulin juga ditunjukkan dengan bantuan zat
peningkat absorpsi. Pembawa untuk vitamin juga terdapat pada jaringan usus halus.
Pembawa ini tidak terdapat pada mekanisme transport di jaringan kolon dan rektal
sehingga senyawa seperti asam amino, sakarida dan vitamin dan senyawa lain yang
memiliki struktur yang mirip dan membutuhkan pembawa untuk absorpsinya
mengurangi absorpsinya di rektal. pH pada kompartemen rektal umumnya netral,
antara 7 sampai 8, dengan kapasitas dapar yang minimal jika dibandingkan dengan
usus halus. Supositoria atau larutan diformulasi untuk mempertahankan pH spesifik
yang bertujuan untuk mengoptimalksan absorpsi obat pada pH tersebut. Hal ini
menguntungkan untuk obat yang sifat permeasinya optimal pada pH mendekati
netral. Hal yang perlu diingat adalah untuk menjaga pH permukaan membrane epitel,
pada rentang pH 6,0-6,5. 2.4. Keuntungan Penghantaran Obat Rektal a. Bentuk
sediaan relatif besar dapat ditampung dalam rektum b. Rute rektal aman dan nyaman
bagi pasien usia lanjut dan muda.

c. Pengenceran obat diminimalkan karena volume cairan residu rendah d. Rektum


umumnya kosong e. Adjuvant absorpsi memiliki efek lebih jelas daripada di saluran
pencernaan bagian atas f. Enzim degradatif dalam lumen rektal
beradapadakonsentrasi yang relatif rendah g. Terapi dapat dengan mudah dihentikan
h. Eliminasi lintas-pertama (first-pass elimination) obat oleh hati dihindari sebagian
Rute rektal sering digunakan ketika pemberian bentuk sediaan melalui mulut tidak
sesuai, misalnya, dengan adanya mual dan muntah, pada pasien tidak sadar, jika
menderita penyakit pada pencernaan bagian atas yang dapat mempengaruhi absorpsi
obat, atau jika rasa obat tidak menyenangkan atau tidak stabil oleh asam.

3. Kerugian Penghantaran Obat Rektal :

a. Kurangnya keterterimaan dan kepatuhan pasien Pemberian supositoria yang kurang


nyaman bagi pasien menurunkan kepatuhan pasien.

b. Potensi untuk hilangnya obat Setidaknya ada dua masalah umum yang dapat
menyebabkan hilangnya obat pada pemberian rektal. Pertama, untuk absorpsi yang
efektif, sediaan harus tertahan dalam rektum, sehingga jika sediaan atau bagiannya
hilang dari rektum, absorpsi obat akan menurun. Kedua, terdapat kemungkinan obat
atau beberapa eksipien penting berinteraksi dengan isi rektum seperti feses atau
cairan rektum. Hal ini dapat menurunkan absorpsi obat dan mengurangi keefektifan
obat.

c. Terbatasnya cairan dalam rektum Jumlah cairan rektum sekitar 3 ml, jumlah yang
kecil jika dibandingkan dengan jumlah cairan di saluran gastrointestinal ketika obat
diberikan secara oral. Volume cairan yang sedikit tersebut dapat membatasi pelarutan
obat, khususnya yang memiliki kelarutan dalam air yang rendah. Hal ini juga
menjadi masalah apabila pelarutan pembawa merupakan rate determining step pada
pelepasan obat dari pembawa.

d. Formulasi Terdapat begitu banyak variabel dan pertimbangan formulasi yang dapat
menyebabkan kesulitan dalama absorpsi obat melalui rektal, termasuk pelelehan dan
sifat pencairan pembawa. Kelarutan obat dalam pembawa, ukuran partikel obat,
kapasitas penyebaran pembawa, viskositas pembawa dan eksipien pada suhu rektum,
dan kemungkinan retensi obat oleh eksipien, semua itu dapat mempengaruhi
kecepatan pelepasan dan selanjutnya absorpsi obat. Lebih jauh lagi, pKa obat, pH
cairan rektum, adanya dapar, dan kapasitas dapar pada cairan rektum juga koefisien
partisi dari obat mempengaruhi absorpsi obat dan harus dipertimbangkan saat
memformulasi supositoria atau bentuk sediaan rektal yang lain. Suhu penyimpanan,
waktu dan kondisi penyimpanan ditemukan memberikan efek baik pada stabilitas dan
sifat pelepasan obat dari bentuk sediaan rektal. Setiap pertimbangan faktor-faktor di
atas menyebabkan kesulitan dalam formulasi, pembuatan dan distribusi dari sediaan
rektal.
e. Biaya Supositoria dan bentuk sediaan rektal lain memerlukan biaya yang lebih
banyak untuk penyiapan dan pencampuran dibandingkan tablet sederhana.

Mekanisme Pelepasan Obat Melalui Rektum Lima puluh persen aliran darah dari
rektum memintas sirkulasi portal (melalui hati-biasanya pada rute oral), sehingga
biotransportasi obat oleh hati dikurangi. Bagian obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian
bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta.

4. Keuntungan pemberian melalui rektal

Keuntungan pemberian melalui rektal (juga sublingual) adalah mencegah


penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam lambung. Supositoria, yang dipakai
secara rektal mengandung zat aktif yang tersebarkan (terdispersi) di dalam lemak yang
berupa padatan pada suhu kamar tetapi meleleh pada suhu sekitar 35ºC, sedikit di bawah
suhu badan. Jadi setelah disisipkan ke dalam rektum sediaan padat ini akan meleleh dan
melepaskan zat aktifnya yang selanjutnya terserap dalam aliran darah.

Mekanisme Pelepasan Zat Aktif dari Basis Supositoria (Aulton, 2007) Secara
rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh mukosa
dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat, karena obat diabsorpsi
melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi darah, serta terhindar dari
pengrusakan obat dari enzim didalam saluran gastro-intestinal dan perubahan obat secara
biokimia didalam hepar.

Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu
hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat
terhindar dari tidak aktif. Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:

a. Lewat pembuluh darah secara langsung

b. lewat pembuluh getah bening

c. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.

Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat inferior
dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena
cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai dari vena
haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles superior menuju vena porta
melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan
rektal yaitu melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut
Fabre dan Regnier pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeabel sempurna.
Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu
penyerapan juga tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat
diberlakukan secara umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa
rektum. Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum,
sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada rektum kososng,
akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih kuat
dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rektum tidak
tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran darah pertama,
sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect).

Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena
rektalis superior disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya
thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat di dalam rektum yang tergantung dari
basis supositoria yang digunakan, dapat menentukan rutenya kesirkulasi darah.
Supositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal pada gangguan poros-
urus, misalnya wasir.

B. SISTEM PENGHANTARAN OBAT MELALUI JALUR PARENTERAL

Rute parenteral adalah memberikan obat dengan meninginjeksi ke dalam jaringan


tubuh, obat yang cara pemberiaannya tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran
pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Misalnya sediaan injeksi atau suntikan.
Tujuannya adalah agar dapat langsung menuju sasara.

Kelebihan :
- Bisa untuk pasien yang tidak sadar,
- Sering muntah dan tidak kooperatif,
- Tidak dapat untuk obat yang mengiritasi lambung,
- Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati, bekerja cepat dan dosis
ekonomis.

Kekurangan :
- Kurang aman karena jika sudah disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan
lagi jika terjadi kesalahan.
- Tidak disukai pasien.
- Berbahaya (suntikan – infeksi).
Pemberian parenteral meliputi empat tipe utama injeksi berikut:
a. Intravena (iv) : Tidak mengalami tahap absorpsi. Obat langsung dimasukkanke
pembuluh darah sehingga kadar obat di dalam darah diperoleh dengan
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.
Kelebihan :
- Cepat mencapai konsentrasi,
- Dosis tepat,
- Mudah menitrasi dosis

Kekurangan :
- Obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek toksik lebih
mudah terjadi.
- Jika penderitanya alergi terhadap obat, reaksi alergi akan lebih terjadi.
- Pemberian intravena (iv) harus dilakukan perlahan-lahan sambil mengawas respons
penderita.
- Konsentrasi awal tinggi toksik, invasive resiko infeksi,
- Memerlukan keahlian.

b. Intramuscular (im) : Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan


kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut seperti dizepam dan
penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya
berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur.

Kelebihan :
- Tidak diperlukan keahlian khusus,
- Dapat dipakai untuk pemberian obat larut dalam minyak,
- Absorbsi cepat obat larut dalam air.

Kekurangan :
- Rasa sakit, tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan darah (Clotting time),
- bioavibilitas bervariasi, obat dapat menggumpal pada lokasi penyuntikan.

c. Subkutan (SC) : Hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif terhadap
jaringan. Absorpsi biasanya berjalan lambat dan konstan, sehingga
efeknya bertahan lebih lama. Absorpsi menjadi lebih lambat jika
diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau
dalam bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan
vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorpsinya Penyuntikkan
dibawah kulit
Kelebihan :
- Diperlukan latihan sederhana,
- Absorbsi cepat obat larut dalam air,
- Mencegah kerusakan sekitar saluran cerna.

Kekurangan :
- Dalam pemberian subkutan yaitu rasa sakit dan kerusakan kulit,
- Tidak dpat dipakai jika volume obat besar,
- Bioavibilitas bervariasi sesuai lokasi.
- Efeknya agak lambat

d. Intrathecal: obat langsung dimasukkan ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan


bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau
sumbu cerebrospinal seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi
SSP yang akut.
Ada beberapa teknik pembuatan sediaan lepas lambat parenteral:

a. Membuat sediaan dg viskositas yang tinggi menggunakan pembawa yang dapat


bercampur dengan air seperti gelatin dan PVP

b. Menggunakan pembawa yang tidak bercampur dengan air seperti minyak sayur,
dan bahan penolak air seperti aluminium monostearat

c. Suspensi tiksotropik

d. Pembuatan derivat obat yang tidak larut dalam air seperti bentuk kompleksnya
dan ester

e. Mendispersikan obat dalam polimer mikrosphere atau mikrokapsulasi seperti


lactide-glycolide homopolymers

f. Dengan menambahkan vasokonstriktor

Teknik-teknik ini dapat digunakan tersendiri seperti pada pembuatan suspensi


insulin dan zinc dalam air. Atau kombinasi dari beberapa teknik dalam pembuatan
suspensi penicillin G – procaine dalam minyak sayur dan digelkan dengan aluminium
monostearat. Teknik-teknik ini akan menghasilkan depot obat.

Depot obat dapat diklasifikasikan berdasarkan proses yang digunakan untuk mengatur
pelepasan obat, yaitu :

1. Dissolution-controlled depot formulation

Depot ini mengatur pelepasan obat dengan memperlambat disolusi partikel obat.

Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk memperlambat disolusi obat yaitu:

I. Pembentukan garam atau kompleks yang kelarutannya dalam air kecil

contohnya: penisilin G procain, penisilin G benzathine, naloxone pamoate,


naltrexone-Zn-tannate

II. Suspensi makrokristal

Kristal yang besar melarut lebih lambat dari pada kristal kecil. Contohnya pada
suspensi testosteron isobutirat dalam air untuk pemakaian IM, dietilstilbestrol
monokristal untuk injeksi subkutan
Tetapi teknik makrokristal tidak selalu menghasilkan perlambatan disolusi.
Pengecualian terjadi untuk suspensi penicilin G procaine yang digelkan dengan
minyak kacang untuk injeksi IM dengan ukuran partikel besar (>150µm),
konsentrasinya dalam serum cepat mencapai maksimum dan cepat pula turun kembali.
Sedangkan bila digunakan partikel yang dimikronisasi (<5µm) yang terjadi justru
sebaliknya.

2. Adsorption-type depot preparation

Depot ini dibuat dengan mengikatkan molekul obat dengan adsorbent. Jadi hanya
partikel obat yang bebas saja yang tersedia untuk penyerapan segera. Setelah partikel
yang bebas diserap, partikel obat yang terikat segera dilepas. Contoh sediaan yang
menggunakan teknik ini adalah : vaksin yang dibuat dengan mengikatkan antigen pada
gel aluminium hidroksida.

3. Encapsulation-type depot preparation

Depot ini dibuat dengan mengenkapsulasi partikel obat dengan barrier permeasi
atau mendispersikan partikel obat dalam matrik difusi. Barrier permeasi dan matrik
difusi dibuat dari makromolekul biodegradale atau bioabsorbable seperti gelatine,
dextran, polylaktat, kopolimer laktat-glikolid, pospolipid, asam lemak rantai panjang dan
gliserida. Contoh khususnya adalah: naltrexone pamoate-releasing biodegradable
microcapsules, liposom, norethindrone-releasing biodegradable lactide-glycolide
copolymer beads. Pelepasan obat diatur oleh kecepatan permeasi melalui membran
permeasi dan biodegradasi dari barrier makromolekul.

4. Esterification-type depot preparation

Depot ini dihasilkan dengan mengesterifikasi obat menjadi bentuk prodrugnya


kemudian diformulasi menjadi sediaan injeksi. Kecepatan absorpsi obat tergantung
kepada jumlah obat yang dalam bentuk bebas atau bukan prodrugnya. Contohnya:
fluphenazine enanthate, nandrolone decanoate, testosterone dengan pembawa minyak.

Injeksi lepas lambat sudah digunakan untuk pengobatan pada :

1. Penisilin

2. Insulin

3. Vitamin B12
4. Hormon adrenocorticotropic

5. Steroid

6. Antipsychotic

7. Antimalaria

8. Antinarkotik

9. Kontrasepsi
Daftar pustaka

Abbas, Z. Aditya,N.,Swamy, N. 2013. Fabrication and in vitro Evaluation of


Mucoadhesive, Thermoreversible, in situ Gelling Liquid Suppository of
Chloroquine Phosphate. Indian Journal of Novel Drug Delivery.

Diakses dari http://www.ijndd.com/apr-jun2013/1.%20Research%20article IJNDD% 20


Apr-Jun%202013_60-70_SWAMY%20NGN.pdf pada tanggal 22 November
2014 Aulton, M. 2007. Pharmaceutics:The Science of Dosage Form Design.
Churchill Livingstone.

Diakses dari http://www.mdpi.com/1422-0067/15/1/342/pdf pada tanggal 22 November


2014 Eman,G.dkk. 2012.

Diakses dari http://web.usm.my/mjps/mjps08012010/mjps08012010_6.pdf pada tanggal


06 Desember 2014 Swarbrick, J. 2007.

Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. Informa Healthcare. New York.


Washington,N. dkk. 2001. Physiological Pharmaceutics : Barriers to drug
absorption.Taylor & Francis. London 24

London Baviskar, P.dkk. 2013. Drug Delivery on Rectal Absorption : Suppositories.


International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research.

Prasanna,L. Deepthi,B. Rama,R. 2012. Rectal drug delivery: A promising route for
enhancing drug absorption. Asian Pharma Press.

Ranjita,S. Kamalinder,S. 2010. In vitro Release of Paracetamol from Suppocire


Suppositories: Role of Additives. Malaysian Journal of Pharmaceutical Science.

Sustained Release Rectal Suppositories as Drug Delivery Systems for Atenolol. Journal
of American Science 2012.

Wilson, C., Washington, N. and Washington, C. (2000) Physiological Pharmaceutics,


Physiological Pharmaceutics. doi: 10.1201/9780203483701.

Anda mungkin juga menyukai