BIOFARMASETIKA
oleh
Tim Praktikum Biofarmasetika
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
I. Tujuan Percobaan
Mempelajari macam mekanisme transport obat melalui membran usus tikus.
II. Teori
Obat-obat yang diberikan secara oral, dalam saluran pencernaan akan
diabsorpsi dengan berbagai macam mekanisme absorbsi. Dari berbagai macam
mekanisme itu ada tiga mekanisme transport yang paling lazim yaitu difusi pasif,
transport aktif, dan difusi fasilitatif (Notari, 1980). Studi absorpsi in vitro
dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi yang
sesuai, permeabilitas membran saluran pencernaan terhadap berbagai bahan obat,
serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu bahan obat.
Difusi Pasif
Untuk obat yang ditransport secara difusi pasif, peranan dinding usus hanya
sebagai membran difusi. Yang dimaksud difusi pasif yaitu obat yang bersifat lipofil
melarut dalam membran kemudian muncul di kompartemen seberang yang
berkadar lebih rendah. Driving force proses ini adalah gradien konsentrasi,
sehingga prosesnya tidak bisa melawan gradien konsentrasi. Kecepatan difusi
pasif dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain ;
- perbedaan konsentrasi dari kedua daerah tersebut
- kelarutan zat dalam lipid
- tebal membran
- luas kontak antara membran dan medium
- koefisien difusi obat dalam membran transport
Zat masuk dalam kompartemen serosal secara pasif akan berhenti jika zat aktif
dalam bentuk yang dapat tertransport pada kedua sisi membran kadarnya sama.
Turner dkk, menyatakan permeabilitas membran biologi terhadap suatu
bahan obat mempunyai hubungan linier dengan kecepatan transpor atau kecepatan
absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan (1).
Keterangan :
d Qb/dt= kecepatan tranpor obat ke kompartemen serosal (blood)
Dm = koefisien difusi obat melalui membran
Am = luas membran yang digunakan untuk berdifusi
Pm/s = koefisien partisi obat antara membran dan cairan serosal atau mukosal
X = ketebalan membran
Cg = kadar obat dalam kompartemen mukosal (gastrointestinal) pada waktu t
Cb = kadar obat dalam kompartemen serosal (blood) pada waktu t
Harga C1 dan C2 tidak dapat diukur, tetapi dapat digantikan dengan Cd (konsentrasi
di kompartemen donor) dikalikan koefisien partisi (K) untuk C1, dan Ca (konsentrasi
di kompartemen reseptor) dikalikan K untuk C 2, dapat dilihat pada persamaan 6 dan
7.
Transport Aktif
Faktanya obat-obat seperti glukosa dan gula yang lainnya, vitamin-vitamin
larut air, dan ion-ion mineral dapat diabsorpsi, maka transport aktif dan difusi
fasilitatif berperan di sini. Pada difusi fasilitatif, transport tidak perlu energi, tetapi
perlu gradient konsentrasi. Transport aktif tidak perlu gradient konsentrasi karena
driving force-nya adalah energi yang diperoleh dari pemecahan ATP. Bukan berarti
mekanisme ini berjalan dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi, tetapi
transportnya satu arah, misalnya dari saluran gastrointestinal ke darah, berapapun
konsentrasi di kedua kompartemen tersebut, transport tetap menuju ke darah.
Pada proses transport aktif maupun difusi fasilitatif memerlukan suatu
pembawa (carrier), yang bekerja mirip enzim. Sehingga persamaan Mikaelis
Menten sesuai dengan proses ini, terlihat pada persamaan 11.
persamaan tersebut dalam bentuk yang lain seperti pada persamaan 13.
Kurva hubungan antara 1/V versus 1/C linear, km dan Vm dapat dihitung dari data
intersep dan slopenya.
Sifat-sifat Transport Aktif
1. Transport dapat melawan gradien konsentrasi
2. Perlu “carier” atau pembawa yang dapat terjadi penjenuhan carier
3. Perlu energi
4. Arah transpor searah dari mucosal ke serosal
5. Carier bersifat structural selective
6. Zat yang mempunyai struktur mirip akan saling menginhibisi
7. Zat-zat yang bersifat racun dapat menghambat transpor
8. Hanya terjadi di dalam membran sel hidup (tidak dapat disimulasi)
III. Metode Percobaan
a. Bahan
1. Tikus putih jantan
2. Larutan ringer
3. glukosa dan asam salisilat sebagai obat model
4. Gas oksigen
5. Reagen GOD-PAP
6. Zink sulfat dan Barium hidroksida
b. Alat
1. Spektrofotometer
2. Timbangan analitik
3. Penangas air
4. Alat percobaan absorpsi in vitro model Crane & Wilson yang telah
dimodifikasi olehYuwono (1987)
5. Peralatan operasi
6. Pengaduk gelas diameter 2 mm
7. Pencatat waktu
8. Alat-alat gelas
c. Cara kerja
1. Hewan percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tapi diberi minum air
masak.
2. Tikus kemudian diaklitimasi dengan gas CO2, lalu dibuka perutnya
sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan. Cari lambung kemudian
ambil usus setelah 15 cm dari pangkal lambung, diambil 20 cm (diharapkan
ini adalah ileum).
3. Usus lalu dipotong menjadi 2 dan dibersihkan
4. Ujung anal dari potongan usus diikat dengan benang, kemudian dengan
menggunakan batang pengaduk yang berdiameter 2 mm, usus tersebut
dibalik, sehingga bagian mukosa terletak di luar.
5. Kanula dimasukkan ke ujung atas dari usus
6. Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm, kemudian bagian anal diikatkan
pada pipa oksigenasi yang sebelumnya diisi dengan larutan ringer.
7. Kantong usus ini masing-masing diisi dengan cairan serosal 1,4 ml
a. Larutan glukosa 0,001 M, telah diukur dulu serapannya seperti
pengukuran pada sampel
b. Larutan asam salisilat 0,001 M, telah diukur dulu serapannya seperti
pengukuran pada sampel
8. Kantong usus dimasukkan dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal
75 ml (isinya sama dengan cairan serosal) pada temperatur 37°C.
9. Alirkan oksigen dengan kecepatan kurang lebih 100 gelembung per menit
10. Inkubasi selama 90 menit, ambil cairan serosal dan mukosal, tentukan
serapannya dengan cara sebagai berikut:
a. Ambil 1,0 ml sampel kemudian ditambah dengan 3,0 ml larutan zink
sulfat 5% dan 2,0 ml larutan barium hidroksida 0,3 N.
b. Larutan dikocok dan disentrifus selama 5 menit, diambil bagian yang
jernih untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang
maksimum (scan dulu)
11. Bandingkan serapannya untuk mendapatkan kesimpulan mekanisme
transport kedua obat model tersebut.
d. Analisis data
Data percobaan ini berupa absorbansi (sebagai representasi kadar) obat dalam
cairan mucosal dan serosal yang kemudian dibandingkan, jika absorbansi
cairan serosal dan mukosal berbeda secara nyata berarti obat ditranspor
secara aktif meski kadar obat pada 2 sisi membran sama. Sedangkan bila
absorbansi cairan serosal dan mukosal sama (tidak berbeda secara nyata)
berarti obat ditranspor selain transport aktif.
I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh inhibitor terhadap absorpsi obat melalui saluran
pencernaan secara in vitro
II. Teori
Proses transport aktif dapat dihambat oleh racun metabolisme (inhibisi non
kompetitif) maupun oleh adanya senyawa lain yang mirip (inhibisi kompetitif).
Beberapa senyawa yang dapat menghambat secara non kompetitif adalah
merkuri, sianida, iodoasetat, dan lainnya.
Gambar 2. Preparasi percobaan transport pada usus terbalik dengan tabung Craine and Wilson
Percobaan III
ABSORBSI OBAT SECARA IN SITU
I. Tujuan Percobaan:
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat, yang diabsorpsi dengan
cara difusi pasif.
II. Teori
Obat pada umumnya diabsorpsi secara pasif di saluran pencemaan.
Absorpsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian ke
dalam sirkulasi umum dalam tubuh. Absorpsi obat dan saluran pencernaan ke
dalam plasma umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling
membran tempat terjadinya absorpsi. Obat-obat yang ditransport secara difusi pasif
hanyalah yang larut dalam lipida. Makin baik kelarutannya dalam lipida makin baik
absorpsinya.
Sebagian besar obat merupakan asam atau basa organik lemah, yang
absorpsinya dipengaruhi oleh derajat ionisasi pada waktu zat tersebut berhadapan
dengan barrier membran. Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yang
tidak terionkan daripada bentuk terionkan, karena kelarutan obat pada membran
dalam bentuk tidak terionkan jauh lebih besar dari pada kelarutan obat dalam
bentuk terionkan. Sedangkan derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa
obat, seperti yang terlihat pada persamaan Handerson-Hasselbalch (14).
Untuk suatu asam Untuk basa lemah
pH = pKa + log {fi/fu} pH = pKw – pKb + log {fu/fi} (14)
Gambar 3. Model penggambaran proses absorpsi obat dalam lumen intestin dari
larutannya, yang dialirkan melalui intestin dalam keadaan tunak (Ho et al., 1977).
Gambar 4. Bagan percobaan absorpsi in situ larutan obat pada segmen intestin tikus
dengan metode Through and Through (Ho et al., 1977)
III. Metode Percobaan
a. Alat:
1. Kanula satu set
2. Pompa peristaltik
3. Cauter rlistrik
4. Perlengkapan operasi (meja operasi, gunting, pinset, benang,
penggaris)
5. Alat-alat gelas
6. Stopwatch
7. Timbangan hewan percobaan
8. Gelas piala besar
9. Spektrofotometer
b. Bahan:
1. Larutan dapar sitrat pH 4,5 dan 6,5
2. Larutan tetrasiklin dalam dapar sitrat
3. Tikus putih jantan dengan berat 150-250 gram
4. Larutan uretan 40% steril
5. Larutan natrium klorida 0,9% b/v
c. Carakerja:
1. Tikus percobaan dipuasakan sehari (kira-kira 24 jam), lalu dianestesi dengan
uretan 40% b/v secara injeksi sub kutan dengan dosis 1 mL/200 gram berat
badan tikus.
2. Setelah teranastesi (perlu waktu 45-60 menit), tikus tersebut dibuka rongga
perutnya menurut arah linea mediana dengan couter listrik
3. Cari bagian lambung dan ukur bagian anal kira-kira 15 cm dari pylorus
dengan pertolongan benang
4. Kanul dipasang sedemikian rupa sehingga ujungnya mengarah ke bagian
anal, dan ujung kanul ini dihubungkan dengan reservoar yang berisi dap ar
yang sesuai dengan percobaan sebanyak 100 mL.
5. Dapar dialirkan (dengan pompa peristaltik) sehingga usus menggelembung ,
usus diukur lagi dengan pertolongan benang ke arah anal sepanjang 20 cm,
disinilah dibuat lubang kedua dengan ujung kanul mengarah ke bagian oral,
pada waktu membuat lubang kedua ini, aliran dapar dari reservoar
dihentikan dulu.
6. Alirkan lagi dapar dari reservoir untuk mencuci isi usus dan untuk mengatur
kecepatan alir 1 mL/menit
7. Ganti larutan dapar dengan larutan obat sebanyak 100 mL yang telah
ditentukan kadarnya dengan spektrofotometri dan aliran diteruskan, lama
pengaliran dilakukan sampai diperoleh kondisi tunak.
8. Tampung larutan yang keluar dari kanula bagian bawah setiap 5 ml, jangan
lupa catat waktu yang diperlukan untuk mendapatkan 5 ml sample tersebut.
9. Kadar obat dalam larutan ditentukan secara spektrofotometri.
10. Setelah didapat kadar tunak, matikan tikus dengan memotong jantungnya,
ambil usus yang dipakai untuk transport in situ tersebut ukur panjangnya
(dengan penggaris) dan diameter usus (dengan jangka sorong) atau keliling
usus (dengan bantuan benang), dengan cara memotong usus di atas kanula
bagian atas dan di bawah kanula bagian bawah
Catatan :
Kurva baku
a. Timbang seksama 100 mg serbuk tetrasiklin masukkan dalam labu takar 250
mL, tambahkan larutan dapar sesuai percobaan sampai tanda.
b. Dari larutan induk buat seri larutan dengan kadar 0,04; 0,08; 0,1; 0,12; 0,16
mg/mL dengan menggunakan larutan dapar sebanyak 5 mL. Ukur
serapannya pada panjang gelombang maksimal.
Sisa larutan dapat digunakan sebagai obat yang akan dialirkan.
c. Analisis data
Hitung Papp
d. Tugas sebelum pretes
Tuliskan struktur, sifat fisika kimia dan pKa/pKb tetrasiklin
Percobaan IV
ABSORPSI PERKUTAN
SECARA IN VITRO DAN IN VIVO
II. Teori
Berbagai macam cara pemakaian obat telah kita kenal, seperti cara oral,
intravena, intamuskular, intraperitonial, subkutan, sublingual, rectal, dan nasal.
Pemakaian obat yang dioleskan pada perrnukaan kulit sering disebut sebagai
pengobatan secara topikal. Obat yang digunakan secara topikal untuk dapat
memberikan aksinya, obat harus dilepaskan dari pembawa. Selanjutnya, ob at
dapat berada pada permukaan kulit dan atau menembus sampai ke dalam
epidermis serta mungkin dapat sampai peredaran darah. Penetrasi obat ke dalam
kulit ditentukan oleh berbagai faktor, seperti: sifat fisiko kimia obat, bahan pembawa
dan faktor kulit itu sendiri.
Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan dapat didefinisikan sebagai absorpsi obat ke dalam
stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutnya obat menembus lapisan di
bawahnya dan akhimya obat masuk dalam sirkulasi darah.
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau
senyawa ekstemal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat
dan pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topical, obat
berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum
dan sebum), selanjutnya menembus epidermis.
Penetrasi obat melewati kulit dapat terjadi dengan dua cara:
1. Rute transepidermal, yaitu dif usi obat menembus stratum komeum
2. Rute transfolikular, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan sebum.
Gambar 5 memperlihatkan skema absorpsi obat perkutan. Seperti terlihat pada
gambar 5 proses absorpsi perkutan terdiri atas tahap-tahap partisi obat ke dalam
stratum korneum dan sebum. Rute yang merupakan rute penting adalah rute
transepidermal sebab permukaan epidermis mempunyai luas beberapa ribu kali dari
luas folikel.
Difusi obat melalui membran
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya. Setelah
obat kontak dengan stratum komeum maka obat akan menembus epidermis dan
masuk dalam sirkulasi sistemik secara difusi pasif.
Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang
berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan
konsentrasi tersebut merupakan daya dorong sebagai penyebab terjadinya
perpindahan massa. Untuk bisa berdifusi melewati membran, molekul obat harus
masuk dan melarut dulu dalam membran itu. Selanjutnya obat berdifusi
meninggalkan membran dan masuk ke dalam medium reseptor.
Difusi pasif mengikuti hukum Fick, yaitu teori yang menggambarkan
hubungan antara fluks obat melewati membran sebagai fungsi perbedaan
konsentrasi, yaitu:
J = (K D / h) (Cd - Cr)
Dengan J = fluks
K = koefisien partisi obat dalam membran dan pembawa
h = tebal membran
D = koefisien difusi obat dalam membran
Cd = konsentrasi obat dalam pembawa
Cr = konsentrasi obat dalam medium reseptor
Bila harga Cd>> Cr (kondisi sink) maka persamaan di atas dapat disederhanakan
menjadi:
J=(KD/h)Cs
(K D / h) sering disebut sebagai koefisien permeabilitas (P)
Peran Enhancer dalam Absorbsi Perkutan (Transdermal)
Enhancer merupakan senyawa yang dapat meningkatkan permeabilitas obat
menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi ataupun kerusakan permanen struktur
permukaan kulit, tidak toksik, tidak menyebabkan alergi dan tidak mengiritasi
permukaan kulit. Peningkatan penetrasi obat melalui kulit membutuhkan penetration
enhancer yang dapat menimbulkan gangguan pada organisasi lemak dalam stratum
korneum (Nugroho, 2000).
Saraf et al, 2006, telah mengelompokkan beberapa enhencer kimia yang dapat
meningkatkan bioavailabilitas transdermal. Beberapa senyawa hidrofilik dapat
meningkatkan permeasi dari obat yang larut air. Beberapa contoh dari enhancer
golongan ini adalah DMSO, DMF, DMA, glycerol, polyethylene glycol, turunan
pyrrolidone, N-Decyl-methylsulfoxide (Brij 36T), lower alcohol’s, fatty acids, esters.
II. Teori
Pada uji in vitro dapat digunakan membran buatan maupun membran alami.
Membran kulit buatan terdiri dari tiga jenis, yaitu membran polimer berpori (misalnya
selulosa asetat, selofan, poliamida), membran polimer tidak berpori (misalnya
dimetil siloksan, asam tereftalat-etilenglikol, etil selulosa) dan membran lipid tidak
berpori (misalnya asam kaprilat, sefalin, dan kolesterol) (William, 2003). Membran
buatan juga dapat dibuat dengan merendam kertas Whatman no 1 dalam Larutan
Sprangler (campuran 20% minyak zaitun, 15% minyak kelapa, 15% asam oleat,
15% vaselin album, 10% asam palmitat, 10% parafin cair, 5% skualen, 5%
kolesterol dan 5% asam stearat) (Darijanto dkk, 2004). Selain itu uji in vitro juga
dapat menggunakan membran alami yaitu kulit manusia maupun kulit binatang
(misalnya tikus, kelinci, marmut, dan babi) (Barry, 1983).
Pada uji in vitro membran harus dipasang dalam suatu alat uji yang disebut
sel difusi (lihat gambar 6) hingga didapatkan 2 kompartemen yaitu donor dan
reseptor yang dipisahkan oleh membran. Senyawa uji diletakkan pada
komparteman donor dalam bentuk larutan, formula tertentu, atau patch transdermal.
Dikenal tiga model sel difusi yaitu, jenis side by side, model Franz, dan model Franz
yang dilengkapi flow through system. Model Franz disebut juga model vertikal. Sel
difusi ini paling sering dipakai karena dapat digunakan untuk menguji obat dalam
bentuk larutan, sediaan semi padat maupun patch transdermal. Model aliran darah
subkutan dilakukan dengan mengganti medium reseptor secara berkala sehingga
kondisi sink pada kompartemen reseptor dapat dipertahankan (Kao, 1991).
Evaluasi yang dilakukan berupa transfer massa menembus kulit dengan
mengukur kadar obat dalam reseptor. Kelebihan uji in vitro adalah kemudahan
mengontrol parameter kritis kondisi percobaan. Namun demikian informasi
distribusi, metabolisme dan efek aliran darah terhadap hasil per measi tidak dapat
diketahui (Kao, 1991).
2. Sel difusi yang telah siap dipasang di atas magnetic stirer dengan hotplate
diatur pada suhu 40 OC, kemudian magnetic bar diputar dengan kecepatan
skala 8 (700 rpm) selama 5 menit. Sampling jam ke-0 dilakukan, kemudian
larutan donor (kontrol: buatlah 50 mL larutan theofilin 1% dalam PBS pH 7,4
dan perlakuan: buatlah 50 mL larutan theofilin 1% dalam PBS 7,4 yang
mengandung propilenglikol 10%) dimasukkan di kompartemen donor
sebanyak 20 mL, waktu mulai dihitung. Sampling lagi dilakukan pada jam ke-
0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5. Volume sampling adalah 2,0 ml, setelah sampling,
kekurangan volume langsung dikoreksi segera dengan menggantinya
menggunakan medium reseptor yang baru.
3. Kadar theofilin dalam sampel diukur dengan spektrofotometri UV, buat kurva
baku lebih dahulu.
4. Setelah selesai sel dibongkar, ambil membrannya dan ukur tebal dan
diameter membran dengan jangka sorong.
I. Tujuan Percobaan:
Mempelajari pengaruh sifat bahan baku obat (dispersi padat) terhadap
kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediannya.
II. Teori
Telah terbukti ada hubungan bermakna antara kecepatan disolusi berbagai
bahan obat dan sediaannya dengan absorpsinya. Obat-obat yang mempunyai
kecepatan disolusi sangat lambat umumnya disebabkan oleh kelarutannya yang
sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik kurang dari 0,1
mg menit-1 cm-2 biasanya menimbulkan masalah yang serius pada disolusinya,
sedangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1 .0
mg menit-1 cm-2 pada umumnya kecepatan absorpsinya (permeasi) menjadi langkah
penentu, bukan kecepatan disolusinya.
Studi kecepatan disolusi intrinsik ini telah dimulai oleh Noyes dan Whitney
dan menghasilkan persamaan Noyes-Whitney sebagai berikut:
Dengan dM/dt adalah kecepatan disolusi bahan obat, K adalah tetapan kecepatan
disolusi, S luas permukaan bahan obat yang berdisolusi, Cs adalah kelarutan obat,
dan C adalah kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium pada waktu t.
Dari persarnaan (17) terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus
dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya. Persamaan tersebut
sebenarnya merupakan turunan dari persamaan Ficks I, yang secara matematik
dapat dinyatakan:
J = - D dC/dx ............................................. (18)
dimana J adalah fluks bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang berdifusi secara
tegak lurus melalui bidang dengan luas tertentu per satuan waktu (dM/Sdt), D
adalah koefisien difusi, dan dC/dx adalah selisih kadar dalam 2 titik yang berjarak
x.
Menurut teori film, di permukaan partikel pada proses dissolusi akan
terbentuk suatu lapisan tipis setebal h, yang merupakan barier dalam proses
dissolusi. Kecepatan obat berdifusi melalui lapisan film ini, merupakan langkah
penentu dalam proses dissolusi.
Jika jarak antara 2 titik adalah tebal lapisan film tersebut (h) cm dari
permukaan bahan obat yang terdisolusi akan berlaku persamaan:
dC/dx = (C – Cs)/h ...................................... (19)
Dengan memasukkan persamaan (18) ke dalam persamaan (19) diperoleh
persamaan 20.
J = - D (C – Cs)/h ........................................ (20)
Selanjutnya persamaan (20) dapat diubah menjadi:
Persamaan (23), identik dengan persamaan (17), jika kedua ruas dibagi
dengan V, dan D/h adalah K
Kurva hubungan konsentrasi versus jarak dari permukaan padatan yang
mengalami dissolusi (gambar 7) dapat digunakan untuk menjelaskan tebal lapisan
dissolusi (h). Pengadukan akan menyebabkan penipisan h.
Dari persamaan (23) jika Cs>>.C (kondisi sink) maka C diabaikan terhadap
Cs sehingga didapatkan persamaan 24.
Sehingga
dengan menjaga S konstan dan mengintegralkan akan didapat kurva linear M/S vs
t. Kemiringan (slope) kurva adalah kecepatan disolusi intrinsik (mg cm-2menit-1).
Dispersi Padat
Dispersi padat dalam farmasi adalah merupakan suatu dispersi dari satu
atau lebih bahan obat dalam bagian pembawa yang inert atau matrik dalam
keadaan padat, yang dapat dibuat dengan metode peleburan (melting method),
metode pelarut (solvent method), dan metode pelarut peleburan (melting solvent
method) (Chiou dan Riegelman, 1971).
1) Metode peleburan
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan Obi
(1961).Campuran fisik antar obat dan pembawa larut air dipanaskan langsung
sampai lebur. Leburan ini kemudian didinginkan dan dipadatkan secara cepat
dengan es. Masa padat ini kemudian dihaluskan dan diayak. Keuntungan dari
metode ini adalah sangat sederhana dan murah tetapi tidak dapat diaplikasikan
pada obat-obatan dan bahan pembawa tertentu yang mengalami dekomposisi atau
penguapan ketika proses peleburan berlangsung, misalnya griseofulvin dengan
asam suksinat yang mudah menguap dan mengalami dekomposisi (Chiou dan
Riegelman, 1971).
2). Metode pelarut
Metode ini disiapkan dengan melarutkan campuran fisik dari dua komponen
padat dalam pelarut kemudian dilanjutkan dengan penguapan pelarut.Campuran ini
kemudian dihaluskan dan diayak. Keuntungan dari metode ini adalah dapat
menghindari peruraian obat atau pembawa pada suhu tinggi karena pada proses
penguapan pelarut dilakukan pada suhu rendah. Sedangkan kelemahannya adalah
kesulitan dalam menguapkan pelarut secara sempurna (Chiou dan Riegelman,
1971).
3). Metode gabungan pelarut dan peleburan
Metode ini dipakai untuk mengatasi kelemahan dari kedua metode di atas.
Pada metode ini obat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai sampai larut sedangkan
pembawa dilebur pada suhu leburnya kemudian dicampur. Campuran didinginkan
dan dihaluskan serta diayak.
Pemilihan metode yang digunakan tergantung dari sifat obat terhadap
temperatur dan kelarutannya. Sebagai bahan pembawa digunakan bahan yang
mudah larut dalam air, inert serta stabil sampai titik leburnya. Metode ini telah
diteliti dengan membuat dispersi padat spironolakton-PEG 6000 dan griseofulvin -
PEG 6000 (Chiou dan Riegelman, 1971).
PEG 6000 dikenal dapat membentuk ikatan kompleks molekul dengan
berbagai bahan obat, sehingga banyak obat yang kelarutannya meningkat dengan
adanya PEG. Peningkatan kelarutan ini akan berarti sekali dalam peningkatan
kecepatan disolusi obat, berarti pula akan meningkatkan ketersediaan farmasetika
di sekitar sel-sel absorptif, sehingga untuk obat-obat yang kelarutannya kecil dapat
ditambah PEG untuk meningkatkan kecepatan absorpsi obat. Penambahan PEG
diharapkan dapat meningkatkan harga Cg pada persamaan Turner, sehingga
kecepatan absorpsinya akan meningkat.
c. Cara kerja:
1. Dibuat pellet bentuk tablet dengan cara mencetak kira-kira 300 mg bahan
obat maupun dispersi padat dengan tekanan 5 ton dalam 5 menit.
2. Pellet ditaruh pada penyangga, lalu bagian atas pellet dituang lilin padat
yang dicairkan, sehingga hanya satu permukaan pellet yang langsung
bersinggungan dengan medium disolusi.
3. Diagram alat dissolusi dapat dilihat pada gambar 8
d. Analisa Data
Membuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi dibagi luas pellet
sebagai fungsi waktu, jumlah obat terdisolusi dikoreksi dahulu karena adanya
pengurangan bobot oleh sampel yang diambil. Dihitung kecepatan disolusi
intrinsik masing-masing sampel yaitu kemiringan dari kurva.
I. Tujuan
Mempelajari pengaruh pembentukan dispersi padat furosemid-PEG 6000 terhadap
absorpsi pada pemakaian oral pada kelinci.
II. Teori
Ketersediaan hayati (bioavailabilitas) digunakan untuk menggambarkan
besar dan laju absorpsi obat dari suatu bentuk sediaan, seperti digambarkan
dengan kurva konsentrasi obat dalam jaringan (cairan fisiologis) versus waktu.
Data bioavailabilitas digunakan untuk menentukan (1) jumlah atau proporsi obat
yang diabsorpsi dari suatu formulasi atau bentuk sediaan (F), (2) Laju absorpsi
obat, (3) lama beradanya obat dalam jaringan atau cairan hayati, hubungannya
dengan respon pasien, (4) Hubungan kadar obat dalam darah dengan aktivitas dan
toksisitasnya. Kebanyakan pengkajian ketersediaan hayati diterapkan untuk obat -
obat yang berada dalam bentuk sediaan padat yang digunakan secara oral untuk
tujuan sistemik (Ansel, 1989).
Parameter yang menggambarkan besar absorpsi obat adalah AUC dan
Cpmaks sedangkan yang menunjukkan laju absorpsi obat tmaks dan Cpmaks . Laju
absorpsi obat menentukan waktu yang diperlukan untuk dicapainya konsentrasi
efektif minimum (MEC:minimum Efektif Concentration) yang merupakan awal efek
farmakologis terjadi (onset) (Shargel, 1985). Laju absorpsi suatu obat juga
menentukan lamanya obat tersebut masuk ke dalam darah dan oleh karenanya
mempengaruhi lamanya waktu terpeliharanya kadar obat dalam darah. Harga t maks
dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini: (ka=tetapan laju absorbsi,
k=tetapan laju eliminasi).
Tahapan Absorpsi
Obat pada pemakaian oral, pada umunmya diabsorpsi melalui mekanisme
difusi pasif, dengan melalui beberapa tahap. Absorbsi diawali dengan melarutnya
obat dari bentuk sediaan non larutan ke dalam medium gastrointestinal, atau
medium absorpsi yang lain. Tahapan ini sebenarnya terdiri dari beberapa bagian
jika sediaan berupa tablet, yaitu disintegrasi (pecahnya tablet menjadi
integran/granul), deagregasi (pecahnya agregat menjadi serbuk). Disolusi bisa
terjadi dari tablet maupun dari granul, tetapi disolusi yang dari serbuk adalah yang
paling besar karena luas permukaannya yang sangat besar. Obat yang telah larut
ini kemudian melarut dalam membran (untuk proses difusi pasif, dan proses itulah
yang paling banyak dari absorpsi obat), kemudiaan masuk ke plasma darah.
Proses ini disebut dengan permeasi, beberapa rujukan menyebut sebagi proses
absorpsi atau penetrasi. Karena terdiri dari dua proses maka ada satu yang paling
menentukan kecepatan proses absorbsi secara keseluruhan. Tahap penentu ini
disebut rate limiting step, yaitu tahap terlambat dalam rangkaian proses kinetik.
Obat-obat yang bersifat hidrofil mempunyai permeasi yang lambat dalam membran
gastrointestinal yang bersifat lipoid, sehingga permeasi adalah rate limiting step
untuk obat-obat golongan ini. Obat-obat lipofil mempunyai kemampuan melarut
dalam cairan gastrointestinal yang jelek, sehingga disolusi obat ini menjadi rate
limiting step.
Secara lebih rinci obat dibagi menjadi 4 golongan (BCS:Biopharmaceutics
Classification System), yaitu golongan I, disolusi dan permeasi tidak ada masalah,
golongan 2, yaitu disolusi sulit permeasi mudah, golongan 3, yaitu disolusi mudah
permeasi sulit, dan dan golongan 4 yaitu disolusi maupun permeasi dua-duanya
sulit.
Kinetika disolusi diterangkan dengan persamaan Ners-Burner atau Noyes-
Whitney, sedangkan kinetika permeasi diterangkan dengan Hukum Fick I dan
persamaan Turner.
Eritromisin monohidrat
Eritromisin anhidrat
20
Waktu (menit)
Gambar 9. Profil disolusi bentuk solvat dari eritromisin
Tampak bahwa eritromisin dihidrat memberikan disolusi yang lebih baik. Tidak ada
ketentuan bahwa jika hidratnya lebih banyak disolusinya lebih baik. Ampisilin justru
sebaliknya. Sekali lagi pembentukan solvat atau hidrat berguna untuk obat yang
rate limiting stepnya pada fase dissolusi dengan meningkatkan harga Cs nya.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan kompleks obat dengan
senyawa mudah larut. Kompleksasi dengan senyawa sukar larut akan menurunan
kelarutan (bisa sisteain release), misalnya dengan resin. Ikatan kompleks obat
dengan senyawa mudah larut diharapkan bersifat reversibel. Kelarutan akan
meningkat dengan pembentukan kompleks ini. Misalnya furosemid, piroksikam,
dexametason, dan lain –lain, bisa dibuat kompleks dengan PEG,PVP, Siklodekstrin,
cafein, dan kompleksan – kompleksan lainnya. Kompleksasi yang reversibel tidak
mengurangi absorbsi karena ikatan ini nantinya akan pecah pada proses pelarutan
kemudian obat bebasnya diabsorpsi seperti skema gambar 10.
Obat + Kompleksan Obat-kompleksan
membran
Obat (Plasma)
c. CaraKerja
1. Dua ekor kelinci jantan yang perbedaan berat badannya tidak lebih dari 5% ,
yang sebelumnya telah dipuasakan 20-24 jam, tetapi boleh minum air.
2. Masing-masing diambil darahnya dengan menggores vena pada telinga,
tampung darahnya dalam flakon yang sebelumnya telah diberi heparin
sebagai anti koagulan. Cuplikan darah ini untuk pembuatan kurva baku,
kontrol dan blanko.
3. Kelinci pertama diberi furosemida 40 mg (untuk memudahkan pemberian
furosemid dimasukkan cangkang kapsul) sedang kelinci yang lain diberi
dispersi padat furosemida — PEG 6000 (1:1) 80 mg secara oral.
4. Tiap selang waktu 0,25;0,5; 1, 2, 3 dan 4 jam darahnya diambil kurang lebih
0,4 ml dengan cara yang sama seperti pada point 2.
5. Penetapan kadar furosemida dalam darah:
Proses ekstraksi dilakukan dengan mencampurkan plasma 200 µl dengan HCl
0,1 N (50 µl ) kemudian disari dengan etil asetat 3,0 ml menggunakan vortex
selama 2 menit. Lapisan etil asetat diambil 2,0 ml dituang ke tabung lain
kemudian ditambah larutan dapar fostat 0,1 M pH 8,0 (3 ml), lalu divortex selama
2 menit dan disentrifus (2500 rpm, 10 menit). Larutan etil asetat dibuang dan 2,0
ml sisa larutan diasamkan dengan HCI 0,5 N (1,0 ml).
6. Tentukan kadar furosemid dalam darah dengan kurva baku yang te lah
dibuat dengan kadar furosemida dalam plasma darah dengan kadar 0,005;
0,01; 0,02;0,04, 0,08; dan 0,16 mg/L pada panjang gelombang eksitasi dan
emisi maksimum.
d. Analisis Data
1. Gambar kurva Cp vs t
2. Tentukan parameter bioavailabilitas dengan metode residual maupun Wagner -
Nelson
3. Bandingkan antara kelinci yang diberi dispersi padat dengan yang non disperse
padat.
DAFTAR PUSTAKA
Alice Marie Fox, 1965, Effect of Inhibitors on Active Transport by Turtle Intestinal
Segments, Biological Bulletin, 129 (3) 490-494
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim,
F., ed 4, UI Press, Jakarta
Banker G.S. dan Rhodes, C.T., 1995, Modern Pharmaceutics, ed 3, Marcel Dekker
Inc, New York.
Hakim, L., 1996, Ekskresi Urin Furosemida pada Kelinci setelah Pra-Perlakuan
dengan Bunga Kubis, Laporan Penelitian UGM.
Işık Sarıgüllü Özgüney, Hatice Yeşim Karasulu, Gülten Kantarcı, Sumru Sözer,
Tamer Güneri, and Gökhan Ertan, 2006, Transdermal Delivery of Diclofenac
Sodium Through Rat Skin FromVarious Formulations, AAPS PharmSciTech 2006; 7
(4) Article 88 (http://www.aapspharmscitech.org).
Kao., J., 1991, In Vitro Assesment of Dermal Absorbtion dalam Honson, D.W.,
Dermal and Ocular Toxicology: Fundamental and Method, hal 267-279, CRC
Press., Inc. Florida
Martin A., Bustamante P., Chun A.H.C, 1993, Physical Pharmacy, ed 4, Lea
&Febriger , Philadelphia
Nugroho, A.K., Martodihardjo, S., dan Yuwono, T., 1999, Pengaruh Propilen Glikol
Sebagai Enhancer Terhadap Permeabilitas Teofilin Melalui Membran Lipid Buatan,
Majalah Farmaseutik, 3(1) 14