Anda di halaman 1dari 59

PETUNJUK PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA

oleh
Tim Praktikum Biofarmasetika

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, akhirnya buku petunjuk praktikum Biofarmasetika


dapat terwujud. Buku ini memberikan dasar dalam mempelajari konsep-konsep
biofarmasetika yang mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat, melatih
pengambilan sampel pada hewan uji sekaligus melaksanakan analisis kadar dan
penentuan parameter dissolusi, difusi maupun bioavailabilitas.
Penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan buku petunjuk praktikum ini.
Buku ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik untuk
penyempurnaannya akan kami terima dengan tangan terbuka.

Yogyakarta, September 2020


Penyusun
Percobaan I
ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

I. Tujuan Percobaan
Mempelajari macam mekanisme transport obat melalui membran usus tikus.

II. Teori
Obat-obat yang diberikan secara oral, dalam saluran pencernaan akan
diabsorpsi dengan berbagai macam mekanisme absorbsi. Dari berbagai macam
mekanisme itu ada tiga mekanisme transport yang paling lazim yaitu difusi pasif,
transport aktif, dan difusi fasilitatif (Notari, 1980). Studi absorpsi in vitro
dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi yang
sesuai, permeabilitas membran saluran pencernaan terhadap berbagai bahan obat,
serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu bahan obat.

Difusi Pasif
Untuk obat yang ditransport secara difusi pasif, peranan dinding usus hanya
sebagai membran difusi. Yang dimaksud difusi pasif yaitu obat yang bersifat lipofil
melarut dalam membran kemudian muncul di kompartemen seberang yang
berkadar lebih rendah. Driving force proses ini adalah gradien konsentrasi,
sehingga prosesnya tidak bisa melawan gradien konsentrasi. Kecepatan difusi
pasif dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain ;
- perbedaan konsentrasi dari kedua daerah tersebut
- kelarutan zat dalam lipid
- tebal membran
- luas kontak antara membran dan medium
- koefisien difusi obat dalam membran transport
Zat masuk dalam kompartemen serosal secara pasif akan berhenti jika zat aktif
dalam bentuk yang dapat tertransport pada kedua sisi membran kadarnya sama.
Turner dkk, menyatakan permeabilitas membran biologi terhadap suatu
bahan obat mempunyai hubungan linier dengan kecepatan transpor atau kecepatan
absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan (1).

Keterangan :
d Qb/dt= kecepatan tranpor obat ke kompartemen serosal (blood)
Dm = koefisien difusi obat melalui membran
Am = luas membran yang digunakan untuk berdifusi
Pm/s = koefisien partisi obat antara membran dan cairan serosal atau mukosal
X = ketebalan membran
Cg = kadar obat dalam kompartemen mukosal (gastrointestinal) pada waktu t
Cb = kadar obat dalam kompartemen serosal (blood) pada waktu t

Persamaan tersebut adalah penjabaran dari hukum Fick I dengan


penurunan sebagai berikut:
Jumlah obat, M (gram), yang tertranspor menembus membran, tiap satu
satuan luas S (cm2), tiap satu satuan waktu t (detik) disebut dengan fluks, J (gram
cm-2 detik-1) yang dapat dilihat pada persamaan 2 (Martin dkk, 1993).
(2)

Besarnya fluks berbanding lurus dengan gradien konsentrasi dC/dx


(3)
D adalah koefisien difusi obat dalam membran (cm2 detik-1), x adalah jarak dalam
membran yang mempunyai gradien konsentrasi dC (g cm-3).Tanda negatif karena
difusi berjalan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, sehingga harga fluks
selalu positif.
Jika persamaan (2) digabung dengan persamaan (3) akan kita dapatkan
persamaan 4.

Gambar 1. Penggambaran transport obat menembus membran (Martin dkk, 1993).

Gambaran transpor antar kompartemen yang dipisahkan oleh membran


ditunjukkan oleh gambar 1. Mula-mula obat berpindah dari kompartemen donor
tetapi belum muncul dalam kompartemen reseptor. Obat mulai muncul di
kompartemen reseptor setelah waktu tertentu yang disebut lag time. Kecepatan
munculnya obat di reseptor pada waktu – waktu awal masih kecil, dan meningkat
dari waktu ke waktu hingga didapatkan kecepatan yang konstan. Kondisi
kecepatan yang konstan ini disebut kondisi tunak (steady state condition) (Martin
dkk, 1993).
Jika gradien konsentrasi adalah C 2 – C1, maka dx adalah tebal membran, h
(cm), maka persamaan 4 menjadi persamaan 5 (Martin dkk, 1993).

Harga C1 dan C2 tidak dapat diukur, tetapi dapat digantikan dengan Cd (konsentrasi
di kompartemen donor) dikalikan koefisien partisi (K) untuk C1, dan Ca (konsentrasi
di kompartemen reseptor) dikalikan K untuk C 2, dapat dilihat pada persamaan 6 dan
7.

Persamaan 7 adalah umum untuk transpor dari kompartemen donor ke


reseptor. Pada absorpsi oral, kompartemen donornya adalah gastrointestinal
dengan konsentrasi Cg, kompartemen reseptor adalah darah dengan konsentrasi
Cb.
Karena obat-obatan mempunyai struktur tertentu dan jika tempat
absorpsinya sudah tertentu pula, maka kecepatan absorpsinya hanya ditentukan
oleh gradien kadar obat di antara kedua permukaan membran, yang memisahkan
lumen saluran pencernaan dengan plasma darah, sehingga persamaan di atas
dapat disederhanakan menjadi persamaan 8.

dimana, Ka = (Dm.Am.Pm/s)/Xm atau tetapan kecepatan absorpsi.


Jika kondisi sink yaitu (Cb/Cg)>10 maka Cb dapat diabaikan sehingga
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan 9.
Harga Cg bisa dianggap konstan karena kecilnya obat yang ditransport
sehingga kondisi tetap sink, sehingga jika persamaan tersebut diintegralkan akan
menghasilkan persamaan 10.
Qb = Ka.Cg.t (10)
Dimana Qb adalah jumlah obat yang ditranspor dari kompartemen mukosal ke
kompartemen serosal selang waktu t. Kurva hubungan antara jumlah obat yang
ditransport sebagai fungsi waktu kali Cg, akan diperoleh angka arah Ka dan lag time
yaitu harga perpotongan kurva dengan sumbu t. Bahan obat yang memiliki lag time
kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada proses transport
melalui membran biologis.

Transport Aktif
Faktanya obat-obat seperti glukosa dan gula yang lainnya, vitamin-vitamin
larut air, dan ion-ion mineral dapat diabsorpsi, maka transport aktif dan difusi
fasilitatif berperan di sini. Pada difusi fasilitatif, transport tidak perlu energi, tetapi
perlu gradient konsentrasi. Transport aktif tidak perlu gradient konsentrasi karena
driving force-nya adalah energi yang diperoleh dari pemecahan ATP. Bukan berarti
mekanisme ini berjalan dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi, tetapi
transportnya satu arah, misalnya dari saluran gastrointestinal ke darah, berapapun
konsentrasi di kedua kompartemen tersebut, transport tetap menuju ke darah.
Pada proses transport aktif maupun difusi fasilitatif memerlukan suatu
pembawa (carrier), yang bekerja mirip enzim. Sehingga persamaan Mikaelis
Menten sesuai dengan proses ini, terlihat pada persamaan 11.

-dC/dt adalah kecepatan transport (V), Vm adalah kecepatan transport


maksimal, C adalah konsentrasi dalam kompartemen donor, Km adalah konstanta
Mikaelis–Menten.
Pada kadar obat yang sangat rendah jauh di bawah km, maka km + C = km
karena C diabaikan terhadap km, maka kinetikanya akan mengikuti ordo pertama,
yaitu dC/dt = -kC dengan k = Vm/km, dan kurva hubungan antara ln C versus t
linear, sedangkan pada kadar yang sangat tinggi maka km diabaikan terhadap C
sehingga persamaan menjadi dC/dt = - k sehingga kurva hubungan C versus t
linear. Pada kadar di mana km dan C hampir sama maka mereka tidak bisa saling
mengabaikan satu dengan yang lain. Persamaan Mikaelis menten dapat dituliskan
menjadi persamaan 12.

persamaan tersebut dalam bentuk yang lain seperti pada persamaan 13.

Kurva hubungan antara 1/V versus 1/C linear, km dan Vm dapat dihitung dari data
intersep dan slopenya.
Sifat-sifat Transport Aktif
1. Transport dapat melawan gradien konsentrasi
2. Perlu “carier” atau pembawa yang dapat terjadi penjenuhan carier
3. Perlu energi
4. Arah transpor searah dari mucosal ke serosal
5. Carier bersifat structural selective
6. Zat yang mempunyai struktur mirip akan saling menginhibisi
7. Zat-zat yang bersifat racun dapat menghambat transpor
8. Hanya terjadi di dalam membran sel hidup (tidak dapat disimulasi)
III. Metode Percobaan
a. Bahan
1. Tikus putih jantan
2. Larutan ringer
3. glukosa dan asam salisilat sebagai obat model
4. Gas oksigen
5. Reagen GOD-PAP
6. Zink sulfat dan Barium hidroksida

b. Alat
1. Spektrofotometer
2. Timbangan analitik
3. Penangas air
4. Alat percobaan absorpsi in vitro model Crane & Wilson yang telah
dimodifikasi olehYuwono (1987)
5. Peralatan operasi
6. Pengaduk gelas diameter 2 mm
7. Pencatat waktu
8. Alat-alat gelas

c. Cara kerja
1. Hewan percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tapi diberi minum air
masak.
2. Tikus kemudian diaklitimasi dengan gas CO2, lalu dibuka perutnya
sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan. Cari lambung kemudian
ambil usus setelah 15 cm dari pangkal lambung, diambil 20 cm (diharapkan
ini adalah ileum).
3. Usus lalu dipotong menjadi 2 dan dibersihkan
4. Ujung anal dari potongan usus diikat dengan benang, kemudian dengan
menggunakan batang pengaduk yang berdiameter 2 mm, usus tersebut
dibalik, sehingga bagian mukosa terletak di luar.
5. Kanula dimasukkan ke ujung atas dari usus
6. Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm, kemudian bagian anal diikatkan
pada pipa oksigenasi yang sebelumnya diisi dengan larutan ringer.
7. Kantong usus ini masing-masing diisi dengan cairan serosal 1,4 ml
a. Larutan glukosa 0,001 M, telah diukur dulu serapannya seperti
pengukuran pada sampel
b. Larutan asam salisilat 0,001 M, telah diukur dulu serapannya seperti
pengukuran pada sampel
8. Kantong usus dimasukkan dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal
75 ml (isinya sama dengan cairan serosal) pada temperatur 37°C.
9. Alirkan oksigen dengan kecepatan kurang lebih 100 gelembung per menit
10. Inkubasi selama 90 menit, ambil cairan serosal dan mukosal, tentukan
serapannya dengan cara sebagai berikut:
a. Ambil 1,0 ml sampel kemudian ditambah dengan 3,0 ml larutan zink
sulfat 5% dan 2,0 ml larutan barium hidroksida 0,3 N.
b. Larutan dikocok dan disentrifus selama 5 menit, diambil bagian yang
jernih untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang
maksimum (scan dulu)
11. Bandingkan serapannya untuk mendapatkan kesimpulan mekanisme
transport kedua obat model tersebut.
d. Analisis data

Data percobaan ini berupa absorbansi (sebagai representasi kadar) obat dalam
cairan mucosal dan serosal yang kemudian dibandingkan, jika absorbansi
cairan serosal dan mukosal berbeda secara nyata berarti obat ditranspor
secara aktif meski kadar obat pada 2 sisi membran sama. Sedangkan bila
absorbansi cairan serosal dan mukosal sama (tidak berbeda secara nyata)
berarti obat ditranspor selain transport aktif.

e. Tugas sebelum pretes


Tuliskan sifat fisika kimia glukosa dan asam salisilat yang diperoleh dari
literatur
Percobaan II
PENGARUH INHIBITOR TERHADAP ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO

I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh inhibitor terhadap absorpsi obat melalui saluran
pencernaan secara in vitro

II. Teori
Proses transport aktif dapat dihambat oleh racun metabolisme (inhibisi non
kompetitif) maupun oleh adanya senyawa lain yang mirip (inhibisi kompetitif).
Beberapa senyawa yang dapat menghambat secara non kompetitif adalah
merkuri, sianida, iodoasetat, dan lainnya.

III. Metode Percobaan


a. Bahan-bahan:
1. Tikus putih jantan
2. Larutan ringer
3. Thiamin HCl
4. Gas oksigen
5. HgCl2
b. Alat
1. Tabung Crane dan Wilson yang sudah dimodifikasi
2. Waterbath
3. Timbangan analitik
4. Perlengkapan untuk operasi dan alat-alat gelas
c. Cara kerja
1. Hewan percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tapi diberi minum air
masak.
2. Tikus kemudian diaklitimasi dengan gas CO2, lalu dibuka perutnya
sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan. Diambil usus sepanjang 20
cm setelah 15 cm dari pylorus..
3. Usus dibagi dua bagian sama panjang, lalu dibersihkan.
4. Bagian anal digunakan sebagai kontrol tanpa inhibitor, sedang ujung anal
dari potongan usus diikat dengan benang, kemudian dengan menggunakan
batang pengaduk yang berdiameter 2 mm, usus tersebut dibalik, sehingga
bagian mukosa terletak di luar.
5. Kanula dimasukkan ke ujung atas dari usus
6. Kantong usus ini masing-masing diisi dengan cairan serosal 1,4 mL yang
terdiri dari larutan ringer, kemudian bagian anal diikatkan pada pipa
oksigenasi
7. Kantong usus dimasukkan dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal
75 ml pada temperatur 37°C. Isi cairan mukosal adalah sebagai berikut:
a. Untuk usus bagian anal cairan mukosalnya adalah larutan vit B1 0,05 %
dalam larutan ringer sebagai pelarutnya (kontrol, tanpa inhibitor)
b. Untuk usus bagian atas cairan mukosalnya adalah larutan vit B1 0,05 %
dalam ringer yang mengandung merkuri klorida 0,025% (sebagai
inhibitor)
8. Dilakukan cara yang sama untuk kantong usus kontrol, tetapi dengan
menggunakan cairan mukosal tanpa obat (dibuat jika jumlah peralatan yang
tersedia di laboratorium cukup tersedia ).
9. Selama percobaan, dijaga agar seluruh bagian usus dapat terendam dalam
cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira
100 gelembung tiap menit.
10. Inkubasi pada waktu tertentu (15,45,75,90,120 menit) kadar obat dalam
cairan serosal ditentukan, dengan cara: seluruh cairan serosal diambil
melalui kanula dan segera diisi lagi dengan 1,4 ml larutan ringer yang baru.
11. Tentukan serapannya dengan cara sebagai berikut :
a. Ambil 1,0 mL sampel kemudian ditambah dengan 2,0 mL Ba(OH) 2 0,3 N
dan 3,0 mL ZnSO4 5%.
b. Larutan dikocok dan disentrifus selama 5 menit, ambil bagian yang jernih
untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum.
d. Analisis Data
1. Buat grafik hubungan antara jumlah obat yang ditransport sebagai fungsi
waktu, hitung Ka (tetapan kecepatan absorpsi), bandingkan antara sistem
terinhibisi dan sistem normal
e. Tugas sebelum pretes : Tuliskan sifat fisika kimia vitamin B1, HgCl2

Gambar 2. Preparasi percobaan transport pada usus terbalik dengan tabung Craine and Wilson
Percobaan III
ABSORBSI OBAT SECARA IN SITU

I. Tujuan Percobaan:
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat, yang diabsorpsi dengan
cara difusi pasif.

II. Teori
Obat pada umumnya diabsorpsi secara pasif di saluran pencemaan.
Absorpsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian ke
dalam sirkulasi umum dalam tubuh. Absorpsi obat dan saluran pencernaan ke
dalam plasma umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling
membran tempat terjadinya absorpsi. Obat-obat yang ditransport secara difusi pasif
hanyalah yang larut dalam lipida. Makin baik kelarutannya dalam lipida makin baik
absorpsinya.
Sebagian besar obat merupakan asam atau basa organik lemah, yang
absorpsinya dipengaruhi oleh derajat ionisasi pada waktu zat tersebut berhadapan
dengan barrier membran. Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yang
tidak terionkan daripada bentuk terionkan, karena kelarutan obat pada membran
dalam bentuk tidak terionkan jauh lebih besar dari pada kelarutan obat dalam
bentuk terionkan. Sedangkan derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa
obat, seperti yang terlihat pada persamaan Handerson-Hasselbalch (14).
Untuk suatu asam Untuk basa lemah
pH = pKa + log {fi/fu} pH = pKw – pKb + log {fu/fi} (14)

fi = Fraksi obat yang terionkan fu = fraksi obat yang tidak terionkan


Dari persamaan 14, seseorang dapat secara teoritis menentukan jumlah
relatif dari suatu obat dalam bentuk tidak terionkan pada berbagai macam pH.
Percobaan absorpsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas
penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus, setelah larutan obat dengan
kadar tertentu dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan
kecepatan tertentu. Metode ini dikenal pula dengan nama teknik perfusi, karena
usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus
untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk
keluarnya cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi obat yang dicobakan stabil, tidak
mengalami metabolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen
usus akan muncul dalam darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain
hilangnya obat dari lumen usus tersebut karena proses absorpsi.
Bagi obat-obat yang bentuknya asam lemah atau basa lemah, pengaruh pH
terhadap kecepatan absorpsi sangat besar karena pH akan menentukan besarnya
fraksi obat yang dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorpsi
secara baik melalui mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang dapat
berpengaruh pada permeabilitas dinding usus dari berbagai macam obat.
Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya
mengoptimumkan kecepatan absorpsinya melalui pembentukan prodrug khusus
untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorpsi. Melalui
metode ini dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran usus terhadap
obat melalui lipoid pathway, pori dan aquaeusboundary layer.
Metode Through and Through merupakan salah satu cara percobaan in situ.
Cara ini dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorpsi, setelah larutan
obat dialirkan melalui lumen intestin yang panjangnya tertentu dan kecepatan
alimya tertentu pula.

Gambar 3. Model penggambaran proses absorpsi obat dalam lumen intestin dari
larutannya, yang dialirkan melalui intestin dalam keadaan tunak (Ho et al., 1977).

Absorbsi Dalam Kondisi Sink


Sesuai dengan gambar 3, dalam keadaan tunak proses absorpsi dapat
dinyatakan dengan persamaan 15.
C(0)= kadar obat mula-mula
C(1)= kadar obat setelah dialirkan
melalui lumen intestin
l = panjang intestin(cm)
r = jari-jari penampang melintang
intestine (cm)
Q = kecepatan alir larutan obat dalam
ml/menit
Papp = tetapan permeabilitas semu

Istilah permeabilitas semu/Papp (permeabilitas total) menunjukkan bahwa


lapisan penghalang proses absorbsi bukanlah suatu material yang homogen, tetapi
terdiri dari lapisan air yang static yang disebut diffusion layer (DL) atau aquous
boundary layer dan membran lipid (M) dengan pori-pori berair, sehingga
permeabilitas semu adalah gabungan dari permeabilitas dua lapis ini sesuai dengan
persamaan sebagai berikut:
Rapp=RDL+RM , dengan R adalah hambatan
1/Rapp = 1/(RDL+RM )
1/R adalah permeabilitas (P) sehingga didapat persamaan 16.

Adapun bagan percobaan absorpsi in situ dengan metode Through and


Through ini dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Bagan percobaan absorpsi in situ larutan obat pada segmen intestin tikus
dengan metode Through and Through (Ho et al., 1977)
III. Metode Percobaan
a. Alat:
1. Kanula satu set
2. Pompa peristaltik
3. Cauter rlistrik
4. Perlengkapan operasi (meja operasi, gunting, pinset, benang,
penggaris)
5. Alat-alat gelas
6. Stopwatch
7. Timbangan hewan percobaan
8. Gelas piala besar
9. Spektrofotometer

b. Bahan:
1. Larutan dapar sitrat pH 4,5 dan 6,5
2. Larutan tetrasiklin dalam dapar sitrat
3. Tikus putih jantan dengan berat 150-250 gram
4. Larutan uretan 40% steril
5. Larutan natrium klorida 0,9% b/v

c. Carakerja:
1. Tikus percobaan dipuasakan sehari (kira-kira 24 jam), lalu dianestesi dengan
uretan 40% b/v secara injeksi sub kutan dengan dosis 1 mL/200 gram berat
badan tikus.
2. Setelah teranastesi (perlu waktu 45-60 menit), tikus tersebut dibuka rongga
perutnya menurut arah linea mediana dengan couter listrik
3. Cari bagian lambung dan ukur bagian anal kira-kira 15 cm dari pylorus
dengan pertolongan benang
4. Kanul dipasang sedemikian rupa sehingga ujungnya mengarah ke bagian
anal, dan ujung kanul ini dihubungkan dengan reservoar yang berisi dap ar
yang sesuai dengan percobaan sebanyak 100 mL.
5. Dapar dialirkan (dengan pompa peristaltik) sehingga usus menggelembung ,
usus diukur lagi dengan pertolongan benang ke arah anal sepanjang 20 cm,
disinilah dibuat lubang kedua dengan ujung kanul mengarah ke bagian oral,
pada waktu membuat lubang kedua ini, aliran dapar dari reservoar
dihentikan dulu.
6. Alirkan lagi dapar dari reservoir untuk mencuci isi usus dan untuk mengatur
kecepatan alir 1 mL/menit
7. Ganti larutan dapar dengan larutan obat sebanyak 100 mL yang telah
ditentukan kadarnya dengan spektrofotometri dan aliran diteruskan, lama
pengaliran dilakukan sampai diperoleh kondisi tunak.
8. Tampung larutan yang keluar dari kanula bagian bawah setiap 5 ml, jangan
lupa catat waktu yang diperlukan untuk mendapatkan 5 ml sample tersebut.
9. Kadar obat dalam larutan ditentukan secara spektrofotometri.
10. Setelah didapat kadar tunak, matikan tikus dengan memotong jantungnya,
ambil usus yang dipakai untuk transport in situ tersebut ukur panjangnya
(dengan penggaris) dan diameter usus (dengan jangka sorong) atau keliling
usus (dengan bantuan benang), dengan cara memotong usus di atas kanula
bagian atas dan di bawah kanula bagian bawah
Catatan :
Kurva baku
a. Timbang seksama 100 mg serbuk tetrasiklin masukkan dalam labu takar 250
mL, tambahkan larutan dapar sesuai percobaan sampai tanda.
b. Dari larutan induk buat seri larutan dengan kadar 0,04; 0,08; 0,1; 0,12; 0,16
mg/mL dengan menggunakan larutan dapar sebanyak 5 mL. Ukur
serapannya pada panjang gelombang maksimal.
Sisa larutan dapat digunakan sebagai obat yang akan dialirkan.

Pembuatan dapar sitrat dengan variasi pH.


Timbang Natrium sitrat 0,1 mol, larutkan dalam air bebas CO 2 hingga 900 mL. Cek
pH larutan. Atur pH nya sesuai dengan yang diinginkan (4,5; dan 6,5) dengan
menambahkan NaOH atau HCl tetes demi tetes.

c. Analisis data

Hitung Papp
d. Tugas sebelum pretes
Tuliskan struktur, sifat fisika kimia dan pKa/pKb tetrasiklin
Percobaan IV
ABSORPSI PERKUTAN
SECARA IN VITRO DAN IN VIVO

A. ABSORBSI PERKUTAN SECARA IN VIVO


I. Tujuan:
Mengetahui proses absorpsi perkutan dan fungsi stratum korneum sebagai
penghalang fisik dalam absorpsi perkutan asam salisilat.

II. Teori
Berbagai macam cara pemakaian obat telah kita kenal, seperti cara oral,
intravena, intamuskular, intraperitonial, subkutan, sublingual, rectal, dan nasal.
Pemakaian obat yang dioleskan pada perrnukaan kulit sering disebut sebagai
pengobatan secara topikal. Obat yang digunakan secara topikal untuk dapat
memberikan aksinya, obat harus dilepaskan dari pembawa. Selanjutnya, ob at
dapat berada pada permukaan kulit dan atau menembus sampai ke dalam
epidermis serta mungkin dapat sampai peredaran darah. Penetrasi obat ke dalam
kulit ditentukan oleh berbagai faktor, seperti: sifat fisiko kimia obat, bahan pembawa
dan faktor kulit itu sendiri.

Anatomi dan Fisiologi Kulit


Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang tidak hanya berfungsi sebagai
pembungkus tubuh dan tempat syaraf perasa, tetapi kulit berfungsi pula sebagai
penjaga tubuh dari pengaruh luar, seperti suhu, tekanan, senyawa k imia dan
menahan masuknya kuman ke dalam tubuh. Kulit manusia tersusun dari lapisan-
lapisan dengan struktur dan fungsi yang kompleks. Secara umum, kulit dapat dibagi
menjadi 3 lapisan, yaitu: epidermis, dermis dan jaringan subdermis yang berlemak.
Gambar 5 memperlihatkan penampang melintang kulit.

Gambar 5. Anatomi kulit dan rute absorpsi transdermal (Benson, 2005).


Keterangan: Absorpsi dapat melewati dua rute yaitu rute transapendagial (1a.
melewati pori keringat dan 1b. melewati folikel rambut) dan rute penetrasi (2a.
interseluler/paraseluler dan 2b. transeluler/intraseluler/). Pada rute interseluler obat
melewati celah antar sel yang tersusun atas daerah berair (7 dan 13) dan daerah
lipid (11 dan 12). Daerah lipid kaya akan kolesterol (9), kolestero l sulfat (10), dan
ceremid (8). Pada rute transeluler obat menembus sel yang kaya akan keratin (14).
Di bagian dermis terdapat pembuluh darah kapiler (3) yang merupakan cabang dari
arteri yang terdapat di lapisan sub kutan (5), kelenjar keringat (4), dan kelenjar
sebasea (6).
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang umumnya berfungsi sebagai
penghalang terpenting dari hilangnya air, elektrolit dan atau nutrien tubuh, serta
penahan masuknya senyawa asing dari luar. Gambar 5 memperlihatkan
penampang melintang epidermis yang terdiri atas stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, stratum basal (germinativum).
Kehidupan jaringan epidermis dimulai dari sel-sel di stratum germinativum
ke arah ke luar yang kemudian berkembang menjadi sel-sel bersegi banyak dan
membentuk lapisan-lapisan yang disebut sebagai stratum spinosum. Sel-sel
tersebut ke arah luar membentuk lapisan-lapisan menjadi stratum granulosum
Lapisan terluar epidermis adalah stratum komeum yang terdiri atas sel-sel mati
yang rata dan mengandung sekitar 65% keratin, yaitu suatu protein yang dihasilkan
selama proses deferensiasi. Sel-sel stratum komeum saling berdempet satu dengan
yang lain dan bagian ini merupakan penghalang utama bagi kulit terhadap
masuknya benda-benda asing. Umumnya, stratum korneum mempunyai 10-15 lapis
sel dan ketebalannya dalam keadaan kering sekitar 10 mikron tetapi bila kena air
akan mengembang sampai beberapa kalinya. Sel-sel stratum korneum mempunyai
kerapatan 1,5 g/cm3 dengan ketebalan tiap-tiap selnya 0,5-1,5 mikron. Stratum
korneum ini memegang peranan penting dalam mengontrol absorpsi perkutan
molekul-molekul obat.
Dermis adalah lapisan kulit yang terletak antara epidermis dan jaringan
lemak subkutan. Tebal lapisan ini sekitar 3-5 mm. Dermis mengandung jaringan
padat dan serabut protein, seperti kolagen, retikulum dan elastin yang disimpan
dalam subtansi dasar amorf dari mukopolisakarida. Fungsi dermis ini terutama
melindungi tubuh dari luka, menjadikan epidermis lebih fleksibel, penghalan g
terhadap infeksi dan sebagai organ penyimpan air. Dalam dermis terdapat
pembuluh-pembuluh darah, syaraf, limfatic, kelenjar endokrin, kelenjar apokrin,
folikel rambut dan kelenjar sebasea.
Kelenjar keringat ditemukan di seluruh perrnukaan tubuh dan mense kresi
suatu larutan encer garam dan beberapa komponen lain (95% keringat berupa air).
Keringat mempunyai pH 4,5 —5,5. Fungsi utama kelenjar ini untuk mengontrol
panas dan sekresinya dirangsang oleh temperatur luar yang tinggi dan atau proses
dalam tubuh yang menghasilkan panas. Kelenjar keringat merupakan bagian kecil
dari permukaan tubuh, yaitu 1/10.000 total permukaan tubuh
Kelenjar sebasea terdapat pada bagian leher tiap folikel rambut dengan
diameter 200-2000 mikron. Kelenjar ini mensekresi material minyak dengan
komposisi : trigliserida 57,5% ; ester-ester lilin 26% ; squalene 12% ; ester- ester
kolesterol 3% ; dan kolesterol 1,5%. Komposisi sebum ini bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, dan bangsa. Sebum ini menyebabkan terbentuknya lapisan
tipis diskontinyu bahan lipofil pada beberapa permukaan kulit, karenanya sebum
dapat merupakan rute absorpsi obat untuk obat-obat yang larut lemak.

Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan dapat didefinisikan sebagai absorpsi obat ke dalam
stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutnya obat menembus lapisan di
bawahnya dan akhimya obat masuk dalam sirkulasi darah.
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau
senyawa ekstemal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat
dan pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topical, obat
berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum
dan sebum), selanjutnya menembus epidermis.
Penetrasi obat melewati kulit dapat terjadi dengan dua cara:
1. Rute transepidermal, yaitu dif usi obat menembus stratum komeum
2. Rute transfolikular, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan sebum.
Gambar 5 memperlihatkan skema absorpsi obat perkutan. Seperti terlihat pada
gambar 5 proses absorpsi perkutan terdiri atas tahap-tahap partisi obat ke dalam
stratum korneum dan sebum. Rute yang merupakan rute penting adalah rute
transepidermal sebab permukaan epidermis mempunyai luas beberapa ribu kali dari
luas folikel.
Difusi obat melalui membran
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya. Setelah
obat kontak dengan stratum komeum maka obat akan menembus epidermis dan
masuk dalam sirkulasi sistemik secara difusi pasif.
Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang
berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan
konsentrasi tersebut merupakan daya dorong sebagai penyebab terjadinya
perpindahan massa. Untuk bisa berdifusi melewati membran, molekul obat harus
masuk dan melarut dulu dalam membran itu. Selanjutnya obat berdifusi
meninggalkan membran dan masuk ke dalam medium reseptor.
Difusi pasif mengikuti hukum Fick, yaitu teori yang menggambarkan
hubungan antara fluks obat melewati membran sebagai fungsi perbedaan
konsentrasi, yaitu:
J = (K D / h) (Cd - Cr)
Dengan J = fluks
K = koefisien partisi obat dalam membran dan pembawa
h = tebal membran
D = koefisien difusi obat dalam membran
Cd = konsentrasi obat dalam pembawa
Cr = konsentrasi obat dalam medium reseptor
Bila harga Cd>> Cr (kondisi sink) maka persamaan di atas dapat disederhanakan
menjadi:
J=(KD/h)Cs
(K D / h) sering disebut sebagai koefisien permeabilitas (P)
Peran Enhancer dalam Absorbsi Perkutan (Transdermal)
Enhancer merupakan senyawa yang dapat meningkatkan permeabilitas obat
menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi ataupun kerusakan permanen struktur
permukaan kulit, tidak toksik, tidak menyebabkan alergi dan tidak mengiritasi
permukaan kulit. Peningkatan penetrasi obat melalui kulit membutuhkan penetration
enhancer yang dapat menimbulkan gangguan pada organisasi lemak dalam stratum
korneum (Nugroho, 2000).

Saraf et al, 2006, telah mengelompokkan beberapa enhencer kimia yang dapat
meningkatkan bioavailabilitas transdermal. Beberapa senyawa hidrofilik dapat
meningkatkan permeasi dari obat yang larut air. Beberapa contoh dari enhancer
golongan ini adalah DMSO, DMF, DMA, glycerol, polyethylene glycol, turunan
pyrrolidone, N-Decyl-methylsulfoxide (Brij 36T), lower alcohol’s, fatty acids, esters.

Enhancer lipofilik dapat memperbaiki bioavailabilitas obat yang larut air


maupun larut lemak. Beberapa contoh dari enhancer lipofilik adalah
dedecylazacycloheptane-2-one (azone), ethyl acetate, ethylpropionate, liquid
paraffin, lamonin, lard, hexadecyl alcohol, oleyl alcohol, hydro ethyl lactamide,
solketal, glycofural, tetrahydro-furfuryl alcohol, oleic acid, isopropyl myristate, lauryl
alcohol, miglyol-oil, linoleic acid, lauric acid, dodecyl-L-pyroglutomate, methyl
laurate (Saraf et al, 2006).

Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan dari kulit sehingga


mudah untuk ditembus senyawa obat. Kemampuan surfaktan sebagai enhancer
tergantung dari tipe surfaktannya. Secara umum surfaktan cationik (misalnya cetyl
trimethyl ammonium bromide) lebih merusak dan menyebabkan peningkatan fluks
transport yang lebih besar daripada surfaktan anionik (seperti sod. Lauryl sulphate).
Surfaktan anionic menimbulkan kerusakan dan peningkatan fluks yang lebih besar
dibandingkan surfaktan non ionic seperti Brij 36T. Beberapa surfaktan yang
dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai enhancer adalah sodium lauryl sulfate,
sodium dioctyl-sulfosuccinate, sorbitan monopalmitate, poloxamers, polyoxy-8-
stearate, polyxyethelene-o-oleyl-ether, long chain alkyl sulfoxide, lauryl ether, Brij
36T, cetyl trimethyl ammonium bromide, sodium oleate (Saraf et al, 2006).

Untuk mengurangi reversibilitas fungsi pertahanan dari stratum korneum,


dikembangkan sistem micell yang membawa obat. Misel dari beberapa senyawa
berikut mempunyai kemampuan sebagai enhancer: Myrj, unsaturated cyclic urea’s,
cyclic monoterpenes, cineole, d-limonene menthol lecithin’s, calcium-thioglyco-late
cyclopeptides, lauryl chloride, dan 2-N-nonyl-dioxolane (Saraf et al, 2006).

III. Metode Kerja


a. Bahan:
Asam salisilat, vaselin, EDTA, TCA, hewan uji kelinci
b. Alat:
Sentrifuge, spektrofotometer
c. Carakerja:
1. Cari panjang gelombang maksimum asam salisilat (teori 250 nm)
2. Buat kurva baku asam salisilat
3. Perlakuan pada kelinci
Kelinci dicukur hanya bulunya di daerah punggung kira-kira seluas 20 cm2
dengan panjang 5 cm dan lebar 4 cm. Pada bagian yang telah dicukur, oleskan
salep asam salisilat sebanyak 3 gram. Salep ditutup dengan aluminium foil dan
dibalut dengan kain kasa. Pengambilan sample darah dilakukan pada jam ke 0,5;
1 ;2 ;3 ;4;5 dan 6.
Untuk percobaan yang lain, stratum korneum dikurangi jumlah lapisannya
dengan jalan “stripping”. Stratum korneum diambil dengan cara kertas isolasi
ditempelkan pada kulit yang telah dicukur rambutnya beberapa kali. Lakukan
stripping sebanyak 5; 10; 15 ;20 dan 25 kali.
4. Pengambilan sample darah
Darah diambil dari vena di bagian telinga kelinci sebanyak 2 ml. Vena dilukai dan
darah yang menetes ditampung dalam tabung yang didalamnya telah diisi kira-
kira 3 mg EDTA atau 1 tetes heparin. Kemudian darah disentrifuge yaitu bagian
yang jernih (sel-se! darah merah tidak diikutkan) dan tempatkan dalam suatu
tabung dan tambah dengan 1 ml larutan TCA 1%, kemudian campuran tersebut
disentrifuge selama kira-kira 15 menit. Sebanyak 1 ml bagian yang jemih
ditambah 3 ml air, lalu dikocok dan ditentukan kadamya dengan
spektrofotometer.
5. Penentuan “recovery” asam salisilat dalam darah. Sampel darah yang telah
diambil (2 ml) ditarnbah larutan asam salisilat 300 ug/ml sebanyak 0,2 ml dan
perlakuan seperti nomor 4. Lalu tentukan persentase asam salisilat yang
diperoleh.
6. Analisis Data
Buat kurva hubungan antara konsentrasi obat dalam plasma dan waktu
pengambilan, dan hitunglah besarnya parameter bioavailabilitas.
B. ABSORBSI PERKUTAN SECARA IN VITRO
I. Tujuan:
Mengetahui proses absorpsi perkutan dan fungsi stratum korneum sebagai
penghalang fisik serta pengaruh enhancer dalam absorpsi perkutan teofilin.

II. Teori
Pada uji in vitro dapat digunakan membran buatan maupun membran alami.
Membran kulit buatan terdiri dari tiga jenis, yaitu membran polimer berpori (misalnya
selulosa asetat, selofan, poliamida), membran polimer tidak berpori (misalnya
dimetil siloksan, asam tereftalat-etilenglikol, etil selulosa) dan membran lipid tidak
berpori (misalnya asam kaprilat, sefalin, dan kolesterol) (William, 2003). Membran
buatan juga dapat dibuat dengan merendam kertas Whatman no 1 dalam Larutan
Sprangler (campuran 20% minyak zaitun, 15% minyak kelapa, 15% asam oleat,
15% vaselin album, 10% asam palmitat, 10% parafin cair, 5% skualen, 5%
kolesterol dan 5% asam stearat) (Darijanto dkk, 2004). Selain itu uji in vitro juga
dapat menggunakan membran alami yaitu kulit manusia maupun kulit binatang
(misalnya tikus, kelinci, marmut, dan babi) (Barry, 1983).
Pada uji in vitro membran harus dipasang dalam suatu alat uji yang disebut
sel difusi (lihat gambar 6) hingga didapatkan 2 kompartemen yaitu donor dan
reseptor yang dipisahkan oleh membran. Senyawa uji diletakkan pada
komparteman donor dalam bentuk larutan, formula tertentu, atau patch transdermal.
Dikenal tiga model sel difusi yaitu, jenis side by side, model Franz, dan model Franz
yang dilengkapi flow through system. Model Franz disebut juga model vertikal. Sel
difusi ini paling sering dipakai karena dapat digunakan untuk menguji obat dalam
bentuk larutan, sediaan semi padat maupun patch transdermal. Model aliran darah
subkutan dilakukan dengan mengganti medium reseptor secara berkala sehingga
kondisi sink pada kompartemen reseptor dapat dipertahankan (Kao, 1991).
Evaluasi yang dilakukan berupa transfer massa menembus kulit dengan
mengukur kadar obat dalam reseptor. Kelebihan uji in vitro adalah kemudahan
mengontrol parameter kritis kondisi percobaan. Namun demikian informasi
distribusi, metabolisme dan efek aliran darah terhadap hasil per measi tidak dapat
diketahui (Kao, 1991).

Gambar 6. Sel difusi tipe vertikal


III.Metode Penelitian
a. Alat:
Sel difusi tipe vertikal (Franz Sel), alat bedah, Magnetic stirer dengan hotplate,
magnetic bar.
b. Bahan:
Teofilin sebagai obat model, Enhancer propilen glikol, PBS pH 7,4 sebagai
medium kompartemen reseptor, kloroform, hewan uji (tikus jantan usia 2 bulan)
c. Cara Kerja:
1. Tikus jantan Wistar usia 1,5 – 2,5 bulan, dengan berat badan kurang lebih
200 gram diaklitimasi menggunakan gas CO2. Tikus yang sudah mati
dibedah untuk diambil kulit bagian punggungnya. Lemak yang menempel
dibersihkan dengan scalpel, rambut dibersihkan dengan electric clipper. Kulit
yang sudah bersih dipotong berbentuk lingkaran dengan diameter 2 cm,
sesuai dengan sel difusinya, satu tikus dapat memperoleh 4 -5 lingkaran.
Membran kulit ini dicuci dengan PBS pH 7,4. Kulit segar langsung dipasang
dalam sel difusi yang sudah berisi larutan kompartemen reseptor yaitu dapar
fosfat pH 7,4 sampai penuh (volume harus terukur). Bagian stratum
korneum (luar) menghadap ke bagian atas (kompartemen donor).

2. Sel difusi yang telah siap dipasang di atas magnetic stirer dengan hotplate
diatur pada suhu 40 OC, kemudian magnetic bar diputar dengan kecepatan
skala 8 (700 rpm) selama 5 menit. Sampling jam ke-0 dilakukan, kemudian
larutan donor (kontrol: buatlah 50 mL larutan theofilin 1% dalam PBS pH 7,4
dan perlakuan: buatlah 50 mL larutan theofilin 1% dalam PBS 7,4 yang
mengandung propilenglikol 10%) dimasukkan di kompartemen donor
sebanyak 20 mL, waktu mulai dihitung. Sampling lagi dilakukan pada jam ke-
0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5. Volume sampling adalah 2,0 ml, setelah sampling,
kekurangan volume langsung dikoreksi segera dengan menggantinya
menggunakan medium reseptor yang baru.
3. Kadar theofilin dalam sampel diukur dengan spektrofotometri UV, buat kurva
baku lebih dahulu.
4. Setelah selesai sel dibongkar, ambil membrannya dan ukur tebal dan
diameter membran dengan jangka sorong.

IV. Analisis Hasil


Hitung jumlah teofilin yang tertranspor tiap waktu, tentukan fluks dan lag time.
Dari fluks (dan Cd) hitung permeabilitasnya, dari lag time (dan tebal membran)
hitung koefisien difusi. Dari koefisien difusi, permeabilitas (dan tebal membran)
hitung koefisien partisinya. Bandingkan parameter-parameter tersebut antara
kontrol dengan perlakuan.
Percobaan V
PENGARUH SIFAT BAHAN OBAT TERHADAP
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

I. Tujuan Percobaan:
Mempelajari pengaruh sifat bahan baku obat (dispersi padat) terhadap
kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediannya.

II. Teori
Telah terbukti ada hubungan bermakna antara kecepatan disolusi berbagai
bahan obat dan sediaannya dengan absorpsinya. Obat-obat yang mempunyai
kecepatan disolusi sangat lambat umumnya disebabkan oleh kelarutannya yang
sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik kurang dari 0,1
mg menit-1 cm-2 biasanya menimbulkan masalah yang serius pada disolusinya,
sedangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1 .0
mg menit-1 cm-2 pada umumnya kecepatan absorpsinya (permeasi) menjadi langkah
penentu, bukan kecepatan disolusinya.
Studi kecepatan disolusi intrinsik ini telah dimulai oleh Noyes dan Whitney
dan menghasilkan persamaan Noyes-Whitney sebagai berikut:

Dengan dM/dt adalah kecepatan disolusi bahan obat, K adalah tetapan kecepatan
disolusi, S luas permukaan bahan obat yang berdisolusi, Cs adalah kelarutan obat,
dan C adalah kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium pada waktu t.
Dari persarnaan (17) terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus
dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya. Persamaan tersebut
sebenarnya merupakan turunan dari persamaan Ficks I, yang secara matematik
dapat dinyatakan:
J = - D dC/dx ............................................. (18)
dimana J adalah fluks bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang berdifusi secara
tegak lurus melalui bidang dengan luas tertentu per satuan waktu (dM/Sdt), D
adalah koefisien difusi, dan dC/dx adalah selisih kadar dalam 2 titik yang berjarak
x.
Menurut teori film, di permukaan partikel pada proses dissolusi akan
terbentuk suatu lapisan tipis setebal h, yang merupakan barier dalam proses
dissolusi. Kecepatan obat berdifusi melalui lapisan film ini, merupakan langkah
penentu dalam proses dissolusi.
Jika jarak antara 2 titik adalah tebal lapisan film tersebut (h) cm dari
permukaan bahan obat yang terdisolusi akan berlaku persamaan:
dC/dx = (C – Cs)/h ...................................... (19)
Dengan memasukkan persamaan (18) ke dalam persamaan (19) diperoleh
persamaan 20.
J = - D (C – Cs)/h ........................................ (20)
Selanjutnya persamaan (20) dapat diubah menjadi:
Persamaan (23), identik dengan persamaan (17), jika kedua ruas dibagi
dengan V, dan D/h adalah K
Kurva hubungan konsentrasi versus jarak dari permukaan padatan yang
mengalami dissolusi (gambar 7) dapat digunakan untuk menjelaskan tebal lapisan
dissolusi (h). Pengadukan akan menyebabkan penipisan h.

Gambar 7. Skema difusi obat menembus lapisan difusi setebal h.

Dari persamaan (23) jika Cs>>.C (kondisi sink) maka C diabaikan terhadap
Cs sehingga didapatkan persamaan 24.

Sehingga

dengan menjaga S konstan dan mengintegralkan akan didapat kurva linear M/S vs
t. Kemiringan (slope) kurva adalah kecepatan disolusi intrinsik (mg cm-2menit-1).
Dispersi Padat
Dispersi padat dalam farmasi adalah merupakan suatu dispersi dari satu
atau lebih bahan obat dalam bagian pembawa yang inert atau matrik dalam
keadaan padat, yang dapat dibuat dengan metode peleburan (melting method),
metode pelarut (solvent method), dan metode pelarut peleburan (melting solvent
method) (Chiou dan Riegelman, 1971).
1) Metode peleburan
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan Obi
(1961).Campuran fisik antar obat dan pembawa larut air dipanaskan langsung
sampai lebur. Leburan ini kemudian didinginkan dan dipadatkan secara cepat
dengan es. Masa padat ini kemudian dihaluskan dan diayak. Keuntungan dari
metode ini adalah sangat sederhana dan murah tetapi tidak dapat diaplikasikan
pada obat-obatan dan bahan pembawa tertentu yang mengalami dekomposisi atau
penguapan ketika proses peleburan berlangsung, misalnya griseofulvin dengan
asam suksinat yang mudah menguap dan mengalami dekomposisi (Chiou dan
Riegelman, 1971).
2). Metode pelarut
Metode ini disiapkan dengan melarutkan campuran fisik dari dua komponen
padat dalam pelarut kemudian dilanjutkan dengan penguapan pelarut.Campuran ini
kemudian dihaluskan dan diayak. Keuntungan dari metode ini adalah dapat
menghindari peruraian obat atau pembawa pada suhu tinggi karena pada proses
penguapan pelarut dilakukan pada suhu rendah. Sedangkan kelemahannya adalah
kesulitan dalam menguapkan pelarut secara sempurna (Chiou dan Riegelman,
1971).
3). Metode gabungan pelarut dan peleburan
Metode ini dipakai untuk mengatasi kelemahan dari kedua metode di atas.
Pada metode ini obat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai sampai larut sedangkan
pembawa dilebur pada suhu leburnya kemudian dicampur. Campuran didinginkan
dan dihaluskan serta diayak.
Pemilihan metode yang digunakan tergantung dari sifat obat terhadap
temperatur dan kelarutannya. Sebagai bahan pembawa digunakan bahan yang
mudah larut dalam air, inert serta stabil sampai titik leburnya. Metode ini telah
diteliti dengan membuat dispersi padat spironolakton-PEG 6000 dan griseofulvin -
PEG 6000 (Chiou dan Riegelman, 1971).
PEG 6000 dikenal dapat membentuk ikatan kompleks molekul dengan
berbagai bahan obat, sehingga banyak obat yang kelarutannya meningkat dengan
adanya PEG. Peningkatan kelarutan ini akan berarti sekali dalam peningkatan
kecepatan disolusi obat, berarti pula akan meningkatkan ketersediaan farmasetika
di sekitar sel-sel absorptif, sehingga untuk obat-obat yang kelarutannya kecil dapat
ditambah PEG untuk meningkatkan kecepatan absorpsi obat. Penambahan PEG
diharapkan dapat meningkatkan harga Cg pada persamaan Turner, sehingga
kecepatan absorpsinya akan meningkat.

III. Metode Percobaan


a. Alat - alat:
1. Timbangan analitik
2. Alat-alat gelas
3. Alat uji disolusi
4. Termostat waterbath
5. Penyangga (holder) sampel (berupa pellet)
6. Motor pemutar
7. Stopwatch
8. Spektrofotometer UV
b. Bahan-bahan:
1. Pellet furosemid, pellet dispersi padat Furosemid :PEG 6000(1:1) yang
dibuat dengan metode peleburan
2. parafin padat
3. Medium disolusi aquadest bebas CO2

c. Cara kerja:
1. Dibuat pellet bentuk tablet dengan cara mencetak kira-kira 300 mg bahan
obat maupun dispersi padat dengan tekanan 5 ton dalam 5 menit.
2. Pellet ditaruh pada penyangga, lalu bagian atas pellet dituang lilin padat
yang dicairkan, sehingga hanya satu permukaan pellet yang langsung
bersinggungan dengan medium disolusi.
3. Diagram alat dissolusi dapat dilihat pada gambar 8

Gambar 8.Bagan alat untuk percobaan k ecepatan


disolusi
1 = Tabung percobaan yang dilengkapi jaket
pengatur temperatur.
2 = Aliran air dan termostat 3 = Termometer.
4 = Penyangga. 5 =Tutup penyangga.
6. = pelet 7= Lilin 8 =Cairan pelarut. 9 = Motor
pemutar.
9
4. Penyangga yang sudah berisi sampel lalu ditutup
10= Pipet volumedan dihubungkan dengan
motor pemutar.
5. Siapkan tabung disolusi dan diisi 150 ml medium disolusi, suhunya diatur
dengan termostat pada 37 + 0,5°C.
6. Pellet yang sudah dipasang pada penyangga, dicelupkan dalam medium
disolusi, diatur agar tidak ada gelembung udara di bawahnya, lalu dipasang
pada motor pemutar, dan segera diputar dengan kecepatan 100 putaran per
menit.
7. Dijaga jarak antara permukaan pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm.
8. Sampel hasil disolusi diambil tiap selang waktu tertentu selama 1 jam, dan
cairan yang diambil segera diganti medium dissolusinya dengan volume dan
suhu yang sama. Sampel yang diperoleh ditentukan kadarnya secara
spektrofotometri

d. Analisa Data
Membuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi dibagi luas pellet
sebagai fungsi waktu, jumlah obat terdisolusi dikoreksi dahulu karena adanya
pengurangan bobot oleh sampel yang diambil. Dihitung kecepatan disolusi
intrinsik masing-masing sampel yaitu kemiringan dari kurva.

d. Tugas sebelum pretes


Tuliskan struktur, sifat fisika kimia dari furosemide.
Percobaan VI
ABSORPI IN VIVO SECARA ORAL

I. Tujuan
Mempelajari pengaruh pembentukan dispersi padat furosemid-PEG 6000 terhadap
absorpsi pada pemakaian oral pada kelinci.

II. Teori
Ketersediaan hayati (bioavailabilitas) digunakan untuk menggambarkan
besar dan laju absorpsi obat dari suatu bentuk sediaan, seperti digambarkan
dengan kurva konsentrasi obat dalam jaringan (cairan fisiologis) versus waktu.
Data bioavailabilitas digunakan untuk menentukan (1) jumlah atau proporsi obat
yang diabsorpsi dari suatu formulasi atau bentuk sediaan (F), (2) Laju absorpsi
obat, (3) lama beradanya obat dalam jaringan atau cairan hayati, hubungannya
dengan respon pasien, (4) Hubungan kadar obat dalam darah dengan aktivitas dan
toksisitasnya. Kebanyakan pengkajian ketersediaan hayati diterapkan untuk obat -
obat yang berada dalam bentuk sediaan padat yang digunakan secara oral untuk
tujuan sistemik (Ansel, 1989).
Parameter yang menggambarkan besar absorpsi obat adalah AUC dan
Cpmaks sedangkan yang menunjukkan laju absorpsi obat tmaks dan Cpmaks . Laju
absorpsi obat menentukan waktu yang diperlukan untuk dicapainya konsentrasi
efektif minimum (MEC:minimum Efektif Concentration) yang merupakan awal efek
farmakologis terjadi (onset) (Shargel, 1985). Laju absorpsi suatu obat juga
menentukan lamanya obat tersebut masuk ke dalam darah dan oleh karenanya
mempengaruhi lamanya waktu terpeliharanya kadar obat dalam darah. Harga t maks
dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini: (ka=tetapan laju absorbsi,
k=tetapan laju eliminasi).

Konsentrasi obat maksimum yang diamati dalam plasma atau serum


disimbolkan sebagai Cpmaks . Pada sediaan konvensional, seperti tablet dan kapsul,
Cpmaks biasanya terjadi hanya pada suatu titik tunggal (disebut t maks , seperti
penjelasan di atas). Cp maks dihitung dengan persamaan berikut: (F=fraksi obat
terabsorbsi, Do=dosis yang diberikan, Vd=volume distribusi).

AUC (Area Under time-concentration Curve) adalah luasan daerah di bawah


kurva waktu versus konsentrasi obat dalam plasma atau serum. Parameter ini
menggambarkan jumlah obat yang terabsorbsi. Fraksi obat terabsorbsi (F) dapat
ditentukan dengan data AUC, yaitu F oral=AUCoral/AUCiv .. AUC dapat dihitung
dengan membagi darah di bawah kurva menjadi beberapa trapesium. Luas setiap
trapesium dihitung dengan rumus sebagai berikut: (C=konsentrasi obat dalam
plasma, t=waktu)

Atrapesium = 0,5 (Cn – 1+Cn)(tn – tn – 1)

Bioavailabilitas dibedakan menjadi 2 yaitu bioavailabilitas relatif dan


bioavailabilitas absolut. Bioavailabilitas relatif adalah perbedaan ketersediaan
dalam pemberian sistemik antara suatu produk dengan produk standar yang sudah
diketahui (biasanya inovator atau obat murni). Evaluasi dilakukan dengan studi
crossover.
Untuk uji dengan dosis dan rute pemberian yang sama bioavailabilitas relatif
(BR) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Sedangkan jika dosis pemberian berbeda digunakan rumus sebagai berikut:

Bioavailabilitas absolut adalah perbandingan ketersediaan hayati suatu


produk obat yang diberikan secara ekstravasa (misalnya oral) dengan ketersediaan
hayati larutan obat yang diberikan secara intravena, dengan asumsi Vd dan k tidak
dipengaruhi rute pemberian. Bioavailabilitas Absolut (BA) dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

Tahapan Absorpsi
Obat pada pemakaian oral, pada umunmya diabsorpsi melalui mekanisme
difusi pasif, dengan melalui beberapa tahap. Absorbsi diawali dengan melarutnya
obat dari bentuk sediaan non larutan ke dalam medium gastrointestinal, atau
medium absorpsi yang lain. Tahapan ini sebenarnya terdiri dari beberapa bagian
jika sediaan berupa tablet, yaitu disintegrasi (pecahnya tablet menjadi
integran/granul), deagregasi (pecahnya agregat menjadi serbuk). Disolusi bisa
terjadi dari tablet maupun dari granul, tetapi disolusi yang dari serbuk adalah yang
paling besar karena luas permukaannya yang sangat besar. Obat yang telah larut
ini kemudian melarut dalam membran (untuk proses difusi pasif, dan proses itulah
yang paling banyak dari absorpsi obat), kemudiaan masuk ke plasma darah.
Proses ini disebut dengan permeasi, beberapa rujukan menyebut sebagi proses
absorpsi atau penetrasi. Karena terdiri dari dua proses maka ada satu yang paling
menentukan kecepatan proses absorbsi secara keseluruhan. Tahap penentu ini
disebut rate limiting step, yaitu tahap terlambat dalam rangkaian proses kinetik.
Obat-obat yang bersifat hidrofil mempunyai permeasi yang lambat dalam membran
gastrointestinal yang bersifat lipoid, sehingga permeasi adalah rate limiting step
untuk obat-obat golongan ini. Obat-obat lipofil mempunyai kemampuan melarut
dalam cairan gastrointestinal yang jelek, sehingga disolusi obat ini menjadi rate
limiting step.
Secara lebih rinci obat dibagi menjadi 4 golongan (BCS:Biopharmaceutics
Classification System), yaitu golongan I, disolusi dan permeasi tidak ada masalah,
golongan 2, yaitu disolusi sulit permeasi mudah, golongan 3, yaitu disolusi mudah
permeasi sulit, dan dan golongan 4 yaitu disolusi maupun permeasi dua-duanya
sulit.
Kinetika disolusi diterangkan dengan persamaan Ners-Burner atau Noyes-
Whitney, sedangkan kinetika permeasi diterangkan dengan Hukum Fick I dan
persamaan Turner.

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Bioavailabilitas


Sifat Fisiko Kimia
Ada 4 sifat fisiko kimia obat yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas.
Pengaruh yang pertama adalah dari koefisien partisi obat. Koefisien partisi adalah
perbandingan kadar obat dalam lipid dan kadar obat dalam air setelah terjadi
kesetimbangan. Atau bisa juga sebagai kelarutan obat dalam lipid dibagi kelarutan
obat dalam air. Dalam term ini ada dua masalah yaitu kelarutan obat dalam air dan
kelarutan obat dalam lipid, sehingga koefisien partisi berpengaruh pada proses
dissolusi maupun permeasi. Umumnya semakin besar koefisien partisi obat
semakin sulit larut dalam air sehingga disolusi akan lambat, sebaliknya semakin
kecil koefisien partisi semakin sulit larut dalam lipid sehingga permeasi menjadi
lambat. Maka absorpsi obat akan baik jika koefisien partisi optimal, tidak terlalu
besar dan tidak terlalu kecil. Jika terlalu kecil maka permeasi akan menjadi rate
limiting step-nya, sedangkan jika terlalu besar maka dissolusi akan menjadi rate
limiting step-nya.
Untuk koefisien partisi yang terlalu besar yang dapat dilihat dari harga
kecepatan disolusi intrinsiknya, jika lebih dari 0,1 mg cm-2menit-1, maka artinya
disolusi tidak bermasalah, ini menguntungkan karena berarti obat tidak bermasalah
pada proses disolusi maupun permeasinya. Jika koefisien partisi terlalu kecil maka
jelas permeasinya bermasalah, maka obat tadi bisa dibuat bentuk prodrug, suatu
senyawa yang tidak aktif, tetapi jika dimetabolisme akan menghasilkan senyawa
yang aktif, misalnya bekampisilin (prodrug untuk ampisilin) dan fenazetin (calon
parasetamol).
Sifat fisiko kimia yang kedua yaitu konstanta disosiasi (Ka). Besaran ini
menunjukkan kemampuan suatu asam lemah untuk terdisosiasi dalam air. Semakin
besar Ka maka semakin mudah asam lemah ini terdisosiasi. Bersama-sama
dengan pH medium maka pKa (yaitu nilai -log Ka) akan menentukan fraksi obat
dalam bentuk ion dan bentuk molekul, sesuai dengan persamaan Henderson-
hasselbalch
pH = pKa+log fi – log fu, untuk asam
pH = pKa+log fu – log fi, untuk basa
Untuk obat asam maka semakin besar pKa semakin mudah diabsorpsi,
sebaliknya untuk obat basa, pada pH medium yang sama. Persamaan Henderson -
Hasselbalch melahirkan suatu teori yang disebut pH-partition hypothesys:
1. untuk memprediksi ratio konsentrasi dalam dua kompartemen setelah
proses transport selesai. Misalnya : Berapakah perbandingan konsentrasi
asam salisilat (pKa 2,9) yang ditransport dari kompartemen A (pH 7,3) ke
kompartemen B (pH 6,4) setelah transport selesai
2. Obat asam mudah ditransport dari medium dengan pH rendah, karena fraksi
molekul semakin banyak, dan sebaliknya.

Ka berpengaruh pada disolusi sesuai dengan prinsip disosiasi, semakin


besar Ka semakin besar dissosiasi, artinya disolusi juga semakin mudah, tetapi
ingat jika fraksi ion terlalu banyak karena besarnya Ka maka permeasi juga lambat
sesuai prinsip pH-partition hypothesys.
Sifat fisiko kimia yang ketiga adalah ukuran molekul dan bentuk molekul.
Sesuai dengan persamaan Stokes-Einstein, ukuran molekul berpengaruh pada
harga koefisien difusi, D, pada proses disolusi (D pada persamaan Noyes-Whitney)
maupun pada proses permeasi (Dm pada persamaan Ficks I).

R adalah konstanta gas ideal, T adalah suhu mutlak, N bilangan Avogadro,η


viscositas stagnan layer atau membran, dan r jari-jari molekul,semakin besar r
semakin kecil D.

Pada proses transport konvektif, molekul-molekul berukuran kecil dapat menembus


pori gastrointestinal seperti urea dan formamid
Sifat fisiko kimia yang terakhir adalah stabilitas obat. Kalau 3 sifat di atas
berpengaruh terhadap Cd dengan mempengaruhi disolusi, maka stabilitas obat
berpengaruh terhadap Cd dengan mempengaruhi seberapa cepat obat hilang dari
kompartemen donor, bukan karena diabsorpsi tetapi karena dirusak. Beberapa obat
tidak bisa dipakai secara oral karena dirusak oleh pH maupun enzim-enzim dalam
gastrointestinal misalnya penisilin, yang beta laktamnya mudah terhidrolisis dalam
suasanan asam maupun basa.

Faktor Formulasi Bentuk Sediaan


Faktor formulasi yang pertama jelas bentuk sediaan, padat, cair, larutan,
emulsi, suspensi, puyer, dan lainnya. Ini terkait dengan masalah disolusi. Bentuk
sedian cair lebih cepat terdisolusi, larutan tidak perlu proses disolusi. Puyer tidak
perlu proses disintegrasi dan deagregasi sehingga dissolusinya lebih cepat dari
pada tablet.
Faktor formulasi berikutnya adalah ukuran partikel serbuk zat aktif.
Bedakan dengan ukuran molekul zat aktif. Ukuran partikel berpengaruh terhadap
luas permukaan spesifik. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar luas
permukaan spesifiknya. Artinya harga S pada persamaan Noyes-Whitney semakin
besar dg penurunan ukuran partikel, sehingga disolusi semakin cepat, akibatnya
absorpsi semakin baik. Contohnya adalah nitrofurantoin mikrokristal (<10 mikron)
absorpsi lebih baik daripada makrokristal (74 -177 mikron). Demikian juga pada
griseofulvin, fenazetin, dan sulfadiazin. Sehingga mikronisasi berguna untuk obat -
obat yang rate limiting stepnya pada fase dissolusi.
Faktor formulasi berikutnya adalah memberikan efek pH pada formulasi
sediaan padat. Obat yang bersifat asam dalam formulasi ditambahkan bahan
(dapar) yang bersifat basa. Akibatnya jika tablet ini masuk ke cairan maka di
sekeliling tablet itu menjadi bersifat basa. Sesuai dengan prinsip Henderson-
Hasselbalch maka obat menjadi mudah larut. Sekali lagi efek pH berguna untuk
obat-obat yang rate limiting stepnya pada fase dissolusi, dengan meningkatkan
harga Cs.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan garam dari suatu obat
asam lemah atau basa lemah. Untuk obat asam lemah dilakukan dengan
mengganti H+ pada obat asam dengan kation lain (counter ion), semakin kecil
conter ion disolusi semakin baik. Menjadi pertanyaan apakah dengan
pembentukan garam tidak menyebabkan besarnya fraksi obat dalam bentuk ion.
Maka jawabannya adalah fraksi obat dalam bentuk ion dan molekul bukan oleh
obatnya asam atau garam, karena obat dimasukkan dalam dapar bukan air, maka
yang berpengaruh adalah pH dapar dan pKa obatnya. Beberapa obat yang terbukti
bentuk garamnya memberikan bioavailabilitas yang baik adalah na diklofenak,
tetrasiklin HCl, Salbutamol sulfat, dan lain –lain. Pembentukan garam akan
mempermudah obat mengalami disolusi, sehingga berguna untuk obat yang rate
limiting stepnya pada fase dissolusi dengan meningkatkan harga Cs.
Faktor formulasi berikutnya adalah penggunaan surfaktan dalam formulasi.
Pada kadar kecil dibawah CMC surfaktan akan memberikan efek pembasahan
sehingga akan meningkatkan harga S pada prose disolusi. Jika surfaktan
membentuk misel yaitu pada kadar di atas CMC maka bisa terjadi incorporasi,
sehingga akan meningkatkan harga Cs pada persamaan disolusi, tetapi
kemungkinan ini kecil karena volume gastrointestinal besar. Contoh obat yang
berhasil diperbaiki bioavailabilitasnya adalah asam benzoat (dengan polisorbat 80
atau Na lauril sulfat) dan Sulfadiazin (dengan dioktil sodium sulfosuksinat).
Penambahan surfaktan akan mempermudah obat mengalami disolusi, sehingga
berguna untuk obat yang rate limiting stepnya pada fase dissolusi.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan (pemilihan atau
penggunaan) polimorf yang besar kelarutannya atau jika memungkinkan bentuk
amorfnya . Bentuk amorf lebih mudah larut karena susunannya yang tidak teratur
menyebabkan energi kisi yang rendah. Sifat polimorfisme tampak pada
kloramphenikol palmitat, kristal A lebih kecil kelarutannya dari pada kristal B,
sehingga absorbsi kristal B lebih baik. Sifat amorfisme tampak pada Novobiosin.
Novobiosin kristalin lebih jelek bioavailabilitasnya dari pada novobiosin amorf.
Sekali lagi pembentukan polimorf metastabil dan amorf berguna untuk obat yang
rate limiting stepnya pada fase dissolusi dengan meningkatkan harga Cs.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan (pemilihan atau
penggunaan) solvat atau hidrat yang mempunyai kelarutan lebih tinggi. Misalnya
pada eritromisin yang mempunyai 3 macam bentuk. Profil disolusi tampak pada
gambar 9.

% larut Eritromisin dihidrat


80

Eritromisin monohidrat

Eritromisin anhidrat

20
Waktu (menit)
Gambar 9. Profil disolusi bentuk solvat dari eritromisin

Tampak bahwa eritromisin dihidrat memberikan disolusi yang lebih baik. Tidak ada
ketentuan bahwa jika hidratnya lebih banyak disolusinya lebih baik. Ampisilin justru
sebaliknya. Sekali lagi pembentukan solvat atau hidrat berguna untuk obat yang
rate limiting stepnya pada fase dissolusi dengan meningkatkan harga Cs nya.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan kompleks obat dengan
senyawa mudah larut. Kompleksasi dengan senyawa sukar larut akan menurunan
kelarutan (bisa sisteain release), misalnya dengan resin. Ikatan kompleks obat
dengan senyawa mudah larut diharapkan bersifat reversibel. Kelarutan akan
meningkat dengan pembentukan kompleks ini. Misalnya furosemid, piroksikam,
dexametason, dan lain –lain, bisa dibuat kompleks dengan PEG,PVP, Siklodekstrin,
cafein, dan kompleksan – kompleksan lainnya. Kompleksasi yang reversibel tidak
mengurangi absorbsi karena ikatan ini nantinya akan pecah pada proses pelarutan
kemudian obat bebasnya diabsorpsi seperti skema gambar 10.
Obat + Kompleksan Obat-kompleksan

membran

Obat (Plasma)

Gambar 10. Gambaran masuknya obat yang dikomplek dalam membran

Pengurangan obat bebas karena terabsorpsi akan menyebabkan lepasnya ikatan


obat dengan kompleksan yang baru sedemikian sehingga harga konstanta
kompleksasi kembali ke semula. Peningkatan absorpsi dipengaruhi oleh:
- Kelarutan zat pengompleks
- Kekuatan ikatan antara obat dan zat pengompleks (ditunjukkan dengan
harga konstanta kesetimbangan)
Terbentuknya kompleks dapat dianalisis dengan: spektra IR, difraksi sinar X, DTA,
DSC. Sekali lagi pembentukan senyawa kompleks berguna untuk obat yang rate
limiting stepnya pada fase dissolusi dengan meningkatkan harga Cs nya.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan dispersi padat dengan
senyawa mudah larut. Pada pembentukan dispersi padat beberapa kemungkinan
bisa terjadi
- pembentukan kompleks, sehingga Cs meningkat
- terbentuk larutan padat, sehingga S nya meningkat
- terbentuk dispersi padat, sehingga S nya meningkat
- terbentuk polimorf yang berbeda, sehingg Cs meningkat
- terbentuk amorf, sehingga Cs meningkat

Contoh obat yang diperbaiki bioavailabilitasnya adalah griseovulvin dengan


pembawa PEG atau PVP.
Faktor formulasi berikutnya adalah pembentukan prodrug. Prodrug dapat
menambah kelarutan dalam air misalnya pembentukan ester fosfat/suksinat dari
prednisolon/deksametason, bisa juga menambah kelarutan dalam lipid, seperti pada
keterangan pada bagian pengaruh koefisien partisi misalnya N-asiloksialkil
alupurinol sebagai prodrug dari alururinil. Tetapi prodrug ini perlu uji farmakologi
dan uji klinik dari awal sehingga membutuhkan biaya yang besar, selain itu dalam
label obat juga harus disebutkan dengan jelas. Beda dengan mikronisasi,
kompleksasi, pembentukan dispersi padat, yang tidak harus disebutkan dalam label.
Faktor formulasi berikutnya adalah modifikasi eksipien misalnya pengisi,
penghancur, lubrikan, pengikat, SR agent, dan lain – lain. Penggunaan lubrikan
hidrofobik menurunkan kecepatan dissolusi, asam stearat pada jumlah lebih dari
5%, dissolusi turun secara signifikan. Penghancur pengaruhnya kecil jika zat
bersifat sangat hidrofobik, karena penentu kecepatan disolusi sediaan tersebut
adalah larutnya obat bukan pecahnya tablet.
Dari faktor formulasi tampak bahwa modifikasi formulasi sangat berguna
untuk obat yang rate limiting step-nya pada fase disolusi, yaitu obat yang
kelarutannya kecil. Oleh karena itu penggantian obat yang kelarutannya kecil
dengan merk yang lain (atau generik) bisa beresiko pada onset yang ditimbulkan.
Obat-obat tersebut misalnya glibenclamid, asam mefenamat, furosemid, dan
lainnya.
Faktor Fisiologi Saluran Cerna
Faktor – faktor fisiologi yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas dapat
dikelompokkan menjadi beberapa hal, yaitu komponen dan sifat gastro intestinal,
pengosongan lambung, transit intestinal, dan kecepatan aliran darah yang
memperfusi gastrointestinal. Empat hal ini dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan
hormonal, jenis kelamin, umur, dan makanan. Faktor yang lainnya yaitu ketebalan
dan fluiditas dinding gastrointestinal.
Komponen dan sifat cairan gastrointestinal yang berpengaruh terhadap
bioavailabilitas :
a) pH berpengaruh pada kecepatan dissolusi yaitu pada kelarutan obat, juga
berpengaruh pada ratio ion – molekul (koefisien partisi) dan stabilitas obat
b) Garam empedu, mengandung surfaktan (garam dari asam glikokolat dan
asam taurokolat), membantu pembasahan obat lipofil seperti griseofulvin,
maka pemakaiannya diianjurkan setelah makan supaya merangsang
pengeluaran getah empedu. Tetapi obat – obat tertentu tidak boleh bertemu
dengan getah empedu karena dapat membentuk kompleks yang tidak larut,
misalnya kompleks neomisin dan kanamisin dengan garam empedu akan
mengendap sehingga tidak bisa diabsorpsi
c) Sekret pankreas mengandung enzim – enzim yang dapat menghidrolisis
obat seperti kloramphenicol palmitat. Enzim pankreatin dan tripsin dapat
mendeasetilasi obat dengan gugus N-asetil
d) Viskositas masa di lambung/di usus: ditentukan oleh makanan dan mukus,
mukus sangat kental mengganggu proses disolusi berpengaruh terhadap
kecepatan disolusi, kecepatan pengosongan lambung, dan transit intestinal.
Semakin viskus masa lambung, semakin lambat kecepatan pengosongan
lambungnya.
Kecepatan pengosongan lambung dinyatakan dengan beberapa hal yaitu
waktu pengosongan lambung, kecepatan pengosongan lambung, dan t1/2
pengosongan lambung. Kecepatan pengosongan lambung dipengaruhi
oleh:viskositas massa lambung, suhu masa, energi yang tersimpan dalam masa
lambung, dan faktor psikis. Semakin viskus masa lambung, semakin besar energi
yang terkandung dalam masa lambung, semakin tinggi susu, semakin lambat
kecepatan pengosongan lambung. Beberapa obat berpengaruh (metoklopramid).
Kecepatan pengosongan lambung berpengaruh pada stabilitas obat, kecepatan
obat sampai ke usus dengan A yang besar, dan disolusi obat (pH).
Transit intestinal dipengaruhi oleh makanan, viskositas masa, dan motilitas
usus. Transit intestinal menentukan lama obat berkontak dengan membran yang
luas. Beberapa obat berpengaruh pada motilitas usus (parasimpatolitikum:
beladon, papaverin, dll).
Suplai darah ke gastrointestinal dipengaruhi oleh makanan dan obat-obatan
yang bekerja pada pembuluh darah. Suplai darah ke gastrointestinal pada proses
transport aktif menentukan penyediaan energi dan oksigen. Pada proses difusi
pasif menentukan gradien kadar terutama untuk obat yang permeabilitasnya tinggi.
Ketebalan dan viscositas dinding gastrointestinal berpengaruh pada
beberapa hal. Sifat ini bersifat individual, dan pabrik tidak bisa memodifikasi.
Karena membran adalah kristal cair , maka komponen-komponennya bisa bergerak
terutama fosfolipid, maka dia punya viskositas.

III. Metode Percobaan


a. Alat-alat:
Holder kelinci, scapel, ependorf, tabun reaksi, sentrifuge, vorteks, timbangan,
spektrofotometer Uv
b. Bahan-bahan
Furosemid, dispersi padat Furosemid-PEG 6000, serbuk , kloroform, larutanHCl
0,1 N, larutan etil asetat, dapar fosfat pH 8, kelinci jantan, heparin, aquadestilata.

c. CaraKerja
1. Dua ekor kelinci jantan yang perbedaan berat badannya tidak lebih dari 5% ,
yang sebelumnya telah dipuasakan 20-24 jam, tetapi boleh minum air.
2. Masing-masing diambil darahnya dengan menggores vena pada telinga,
tampung darahnya dalam flakon yang sebelumnya telah diberi heparin
sebagai anti koagulan. Cuplikan darah ini untuk pembuatan kurva baku,
kontrol dan blanko.
3. Kelinci pertama diberi furosemida 40 mg (untuk memudahkan pemberian
furosemid dimasukkan cangkang kapsul) sedang kelinci yang lain diberi
dispersi padat furosemida — PEG 6000 (1:1) 80 mg secara oral.
4. Tiap selang waktu 0,25;0,5; 1, 2, 3 dan 4 jam darahnya diambil kurang lebih
0,4 ml dengan cara yang sama seperti pada point 2.
5. Penetapan kadar furosemida dalam darah:
Proses ekstraksi dilakukan dengan mencampurkan plasma 200 µl dengan HCl
0,1 N (50 µl ) kemudian disari dengan etil asetat 3,0 ml menggunakan vortex
selama 2 menit. Lapisan etil asetat diambil 2,0 ml dituang ke tabung lain
kemudian ditambah larutan dapar fostat 0,1 M pH 8,0 (3 ml), lalu divortex selama
2 menit dan disentrifus (2500 rpm, 10 menit). Larutan etil asetat dibuang dan 2,0
ml sisa larutan diasamkan dengan HCI 0,5 N (1,0 ml).
6. Tentukan kadar furosemid dalam darah dengan kurva baku yang te lah
dibuat dengan kadar furosemida dalam plasma darah dengan kadar 0,005;
0,01; 0,02;0,04, 0,08; dan 0,16 mg/L pada panjang gelombang eksitasi dan
emisi maksimum.
d. Analisis Data
1. Gambar kurva Cp vs t
2. Tentukan parameter bioavailabilitas dengan metode residual maupun Wagner -
Nelson
3. Bandingkan antara kelinci yang diberi dispersi padat dengan yang non disperse
padat.
DAFTAR PUSTAKA

Alice Marie Fox, 1965, Effect of Inhibitors on Active Transport by Turtle Intestinal
Segments, Biological Bulletin, 129 (3) 490-494

Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim,
F., ed 4, UI Press, Jakarta

Banker G.S. dan Rhodes, C.T., 1995, Modern Pharmaceutics, ed 3, Marcel Dekker
Inc, New York.

Benson, H.A.E., 2005, Transdermal Drug Delivery: Penetration Enhancement


Techniques, Cur. Drug Deliv.,2(1)23-33

Barry, B.W., 1983, Dermatological Formulation: Percutaneous Absorbtion, hal 49 –


2013, Marcel Dekker Inc, New York.

Hakim, L., 1996, Ekskresi Urin Furosemida pada Kelinci setelah Pra-Perlakuan
dengan Bunga Kubis, Laporan Penelitian UGM.

Işık Sarıgüllü Özgüney, Hatice Yeşim Karasulu, Gülten Kantarcı, Sumru Sözer,
Tamer Güneri, and Gökhan Ertan, 2006, Transdermal Delivery of Diclofenac
Sodium Through Rat Skin FromVarious Formulations, AAPS PharmSciTech 2006; 7
(4) Article 88 (http://www.aapspharmscitech.org).
Kao., J., 1991, In Vitro Assesment of Dermal Absorbtion dalam Honson, D.W.,
Dermal and Ocular Toxicology: Fundamental and Method, hal 267-279, CRC
Press., Inc. Florida
Martin A., Bustamante P., Chun A.H.C, 1993, Physical Pharmacy, ed 4, Lea
&Febriger , Philadelphia

Nugroho, A.K., Martodihardjo, S., dan Yuwono, T., 1999, Pengaruh Propilen Glikol
Sebagai Enhancer Terhadap Permeabilitas Teofilin Melalui Membran Lipid Buatan,
Majalah Farmaseutik, 3(1) 14

Shargel L., and Yu. A.B.C., 1985, Biofarmasetika dan Farmakokinetik


Terapan,diterjemahkan oleh Fasich, Sjamsiah, dan Siti, Apleton Century Crofts,
Norwalk
Sejarah Revisi Penting Petunjuk Praktikum Biofarmasetika
FM-UAD-PMB-11-05/RO
SEJARAH REVISI PETUNJUK PRAKTIKUM

Nama Petunjuk Praktikum : Petunjuk Praktikum Biofarmasetika


Semester :V
Program Studi : Farmasi
Fakultas :Farmasi

REVISI TANGGAL URAIAN REVISI


KE REVISI
1 Agustus 2010 Penambahan materi uji inhibisi transport aktif
glukosa
2 Agustus 2011 Penambahan materi transport transdermal in vitro
3 Agustus 2012 Penambahan materi uji disolusi introinsik
4 Agustus 2013 Materi untuk uji mekanisme transport
menggunakan bahan obat Vitamin B1
(sebelumnya Glukosa), lebih rinci dijabarkan di hal
14.

Teori tentang permeabilitas semu kaitannya


dengan permeabilitas masing-masing lapis
membran, lebih rinci dapat dilihat di hal 21

Uji transport in situ tetrasiklin menggunakan pH


solven yang berbeda, sebelumnya dapar
phosphat pH 2 dan 7, diganti dengan dapar sitrat
pH 2,5; 4,5; dan 6;5.
5 Agustus 2014 Pembenahan materi uji absorpsi
Penggantian bahan obat pada uji absorbsi in vivo
6 Agustus 2016 Penulisan
Penggantian tujuan praktikum percobaan absorpsi
in vivo

Anda mungkin juga menyukai