PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan difusi pasif dengan metode usus terbalik.
Dimana percobaan ini memiliki tujuan untuk melihat pengaruh pemberian sediaan acetosal
dalam obat miniaspi dan obat aspilet. Difusi pasif sendiri merupakan berpindahnya molekul obat
melalui membran menuju saluran sistemik. Adapun faktor yang berpengaruh pada proses difusi
pasif yaitu adanya perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam membran (dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah).
Difusi pasif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat kimia bahan obat, keadaan
fisiologis dan patologis membran biologis (tepat absorbsi), sifat kimia (koefisien partisi)
berhubungan dengan kemampuan obat menembus lemak. Semakin mudah larut dalam lemak
maka akan semakin mudah menembus membran. Tempat absorbsi obat dalam saluran
pencernaan yang paling berperan adalah usus halus, hal ini disebabkan karena permukaan usus
halus lebih luas dengan adanya mikrovili dan lipatan-lipatan sub mukosa sehingga
memungkinkan terjadinya absorbsi yang optimal. pKa sediaan acetosal bersifat asam (3.49)
sedangkan pH intestin +/- 8. Bentuk tak terion cendrung bersifat liofilik sehingga mudah
melewati membran karena membran intestin terdiri dari lipid bilayer.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat seri kadar larutan baku dari larutan
baku dengan 5 konsentrasi (30, 50, 70, 90, dan 110 ppm) dan diukur dengan spektrofotometri
UV vis, didapatkan hasil persamaan regresi linear y= 0,0460x-0,0457
Kurva Baku
0.5
0.4
Absorbansi
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)
Selanjutnya dilakukan uji dengan metode usus terbalik dengan tikus sebagai hewan uji.
Dari tikus digunakan usus terbalik sebagai membran biologis. Usus dipotong 15 cm dari atas
dibuang kemudian digunakan 20 cm dibagi 2 untuk control dan sampel. Sebelumnya tikus
dipuasakan 18 jam, yang bertujuan meminimalkan jumlah pengotor dalam usus yang dapat
mengganggu proses absorbi obat. Usus yang dipotong dan dibersihkan dari pengotor yang masih
tersisa dengan cairan fisiologis NaCl 0,9%. Larutan dalam tabung Crane Wilson diisi dengan
cairan mukosa (larutan dapar fosfat pH 7,5) karena metode yang digunakan adalah metode usus
terbalik, hal ini dikarenakan lapisan dalam usus berada di luar dan bersentuhan langsung dengan
cairan dalam tabung dan cairan mukosa adalah cairan yang secara alamiah berada di dalam usus,
sehingga untuk mengkondisikan usus supaya sama seperti yang ada didalam tubuh. Bagian luar
usus berada di bagian dalam sehingga bagian dalam ini diisi dengan larutan serosa.
Pencuplikan dilakukan dengan mengambil obat yang terlarut dari dalam kanula. Untuk
menjaga kondisi sink, setelah cairan pada kanula diambil, kanula diisi larutan serosa kembali.
Hasil pencuplikan diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 271,5 nm.
Pencuplikan dilkukan pada menit ke 15, 30, 45, dan 60.
1. Nilai Qkum/A (jumlah acetosal yang ditranspor persatuan luas) sebanding dengan nilai Ka
(kecepatan difusi). Semakin tinggi kecepatan difusi obat maka semakin banyak obat yang
ditranspor persatuan luas permukaan tempat absorbsi (intestine).
2. Lag time berbanding terbalik dengan kecepatan difusi. Semakin besar kecepatan difusi (Ka),
nilai lag timenya (waktu yang diperlukan acetosal untuk menembus membran) semakin kecil
atau semakin singkat.
3. lag time obat A sebesar -0.6575 dan obat B sebesar 6 menit. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa obat B membutuhkan waktu yang singkat untuk menembus membran. Dikarenakan
hasil minus pada obat A jadi tidak dapat dibandingkan dengan obat B.
4. Permeabilitas obat (Pm) berbanding lurus dengan Ka dan Qkum/A. Semakin tinggi
permeabilitas obat maka semakin tinggi pula kecepatan difusi dan banyaknya obat yang
ditransport. Hasil Pm yang didapat obat A sebesar 3,346 x 10-5 dan obat B sebesar 2,546 x 10-
5
yang berarti permeabilitas membran pada obat A lebih baik daripada obat B.
5. Dikarenakan hasil minus pada obat lag time obat A jadi tidak dapat dibandingkan yang lebih
baik antara obat A dan obat B, bila dilihat dari nilai Pm maka obat A lebih baik daripada obat
B tetapi bila dilihat dari Ka maka obat B lebih baik daripada obat A karena kecepatan difusi
obat B lebih cepat.