Anda di halaman 1dari 6

V.

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan difusi pasif dengan metode usus terbalik.
Dimana percobaan ini memiliki tujuan untuk melihat pengaruh pemberian sediaan acetosal
dalam obat miniaspi dan obat aspilet. Difusi pasif sendiri merupakan berpindahnya molekul obat
melalui membran menuju saluran sistemik. Adapun faktor yang berpengaruh pada proses difusi
pasif yaitu adanya perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam membran (dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah).

Difusi pasif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat kimia bahan obat, keadaan
fisiologis dan patologis membran biologis (tepat absorbsi), sifat kimia (koefisien partisi)
berhubungan dengan kemampuan obat menembus lemak. Semakin mudah larut dalam lemak
maka akan semakin mudah menembus membran. Tempat absorbsi obat dalam saluran
pencernaan yang paling berperan adalah usus halus, hal ini disebabkan karena permukaan usus
halus lebih luas dengan adanya mikrovili dan lipatan-lipatan sub mukosa sehingga
memungkinkan terjadinya absorbsi yang optimal. pKa sediaan acetosal bersifat asam (3.49)
sedangkan pH intestin +/- 8. Bentuk tak terion cendrung bersifat liofilik sehingga mudah
melewati membran karena membran intestin terdiri dari lipid bilayer.

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat seri kadar larutan baku dari larutan
baku dengan 5 konsentrasi (30, 50, 70, 90, dan 110 ppm) dan diukur dengan spektrofotometri
UV vis, didapatkan hasil persamaan regresi linear y= 0,0460x-0,0457
Kurva Baku
0.5

0.4

Absorbansi
0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)

Selanjutnya dilakukan uji dengan metode usus terbalik dengan tikus sebagai hewan uji.
Dari tikus digunakan usus terbalik sebagai membran biologis. Usus dipotong 15 cm dari atas
dibuang kemudian digunakan 20 cm dibagi 2 untuk control dan sampel. Sebelumnya tikus
dipuasakan 18 jam, yang bertujuan meminimalkan jumlah pengotor dalam usus yang dapat
mengganggu proses absorbi obat. Usus yang dipotong dan dibersihkan dari pengotor yang masih
tersisa dengan cairan fisiologis NaCl 0,9%. Larutan dalam tabung Crane Wilson diisi dengan
cairan mukosa (larutan dapar fosfat pH 7,5) karena metode yang digunakan adalah metode usus
terbalik, hal ini dikarenakan lapisan dalam usus berada di luar dan bersentuhan langsung dengan
cairan dalam tabung dan cairan mukosa adalah cairan yang secara alamiah berada di dalam usus,
sehingga untuk mengkondisikan usus supaya sama seperti yang ada didalam tubuh. Bagian luar
usus berada di bagian dalam sehingga bagian dalam ini diisi dengan larutan serosa.

Pencuplikan dilakukan dengan mengambil obat yang terlarut dari dalam kanula. Untuk
menjaga kondisi sink, setelah cairan pada kanula diambil, kanula diisi larutan serosa kembali.
Hasil pencuplikan diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 271,5 nm.
Pencuplikan dilkukan pada menit ke 15, 30, 45, dan 60.

Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai absorbansi dari sampel tersebut dengan


mengurangkan nilai absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol. Harga C (konsentrasi)
menggunakan satuan mg% karena satuan tersebut digunakan untuk menunjukan suatu obat atau
zat yang terdapat dalam cairan biologis seperti darah. Lalu dilakukan perhitungan sampai di
peroleh harga Pm yang menunjukkan harga permeabilitas membran dari difusi pasif dalam
mm/menit dan lag time.
Adapun mekanisme difusi dipengaruhi oleh faktor fisiologis/biologis dan faktor fisika
kimia obat, meliputi:
1. Pengaruh faktor biologi/fisiologi pada praktikum difusi pasif acetosal

 luas permukaan tempat absorbsi (A)


Semakin besar luas permukaan tempat absorbsi (A), semakin banyak obat yang
diabsorbsi (Qkum). Pada praktikum didapatkan luas usus sebesar 1760 mm2 pada salep B
dan 1260 mm2 pada salep A.
 kecepatan pengosongan tempat absorbsi
Semakin cepat pengosongan tempat absorbsi, maka semakin baik absorbsinya karena
tidak terganggu dengan kotoran atau sisa-sisa makanan yang ada. Oleh karena itu pada
praktikum sebelum digunakan, usus harus dibersihkan dari kotoran.
 motilitas usus
Semakin besar motilitas usus (gerakan usus) di sepanjang saluran cerna, maka akan
mendorong terjadinya absorbsi (penembusan obat melalui membran), oleh sebab itu pada
praktikum ini pengambilan usus dari hewan uji tidak boleh mati karena akan berpengaruh
pada absorbsi obat.
 pH cairan tempat absorbsi
pH cairan tempat absorbsi ini berhubungan dengan faktor fisiko kimia obat yaitu pKa
obat yang akan diabsorbsi.

2. Pengaruh faktor fisikokimia obat pada praktikum difusi pasif acetosal

 koefisien partisi dan kelarutan obat


Koefisien partisi berhubungan dengan kelarutan obat dalam lipid dan dalam air. Semakin
tinggi koefisien partisi maka semakin tinggi kelarutan obat dalam lipid. Acetosal mudah
larut dalam pelarut non polar sehingga menunjukkan kemudahannya terlarut dalam lipid
(koefisien partisinya tinggi) dan obat acetosal ini relatif mudah mengalami proses difusi
pasif melalui membran usus.
 pKa obat
pKa obat asam akan lebih mudah terdifusi pada kondisi lingkungan pH asam, pKa obat
basa akan lebih mudah terdifusi pada lingkungan pH basa karena bila sesuai kondisi
maka akan lebih banyak obat dalam bentuk tidak terionkan. Pada praktikum digunakan
obat asetosal dengan Pka 3,49 yang bersifat asam sehingga akan lebih mudah terdifusi
pada kondisi asam, tetapi karena penggunaan asetosal memiliki efek samping perdarahan
lambung maka dibuat enteric coated yang akan pecah di usus.
 Stabilitas obat
Stabilitas obat berhubungan dengan kemampuan obat tersebut lebih banyak terion atau
tidak terion pada tempat absorbsi. Stabilitas obat yang tinggi menunjukkan semakin
banyak obat dalam bentuk tak terion (molekul), artinya semakin kecil reaksi peruraian
yang terjadi menjadi bentuk ion. Seperti pada penjelasan di faktor pKa bahwa asetosal
memiliki pKa asam tetapi karena penggunaan asetosal memiliki efek samping perdarahan
lambung maka dibuat enteric coated yang akan pecah di usus.

 Viskositas atau kekentalan obat


Konsentrasi zat aktif yang sangat tinggi dapat mengubah kekentalan pelarut. Kekentalan
dapat menghalangi difusi zat aktif, hal ini bergantung pada derajat interaksi zat aktif dan pelarut.
Pada praktikum ini karena acetosal dilarutkan dalam dapar sehingga faktor kekentalan tidak
berpengaruh.
Obat kemungkinan diabsorbsi dari sebagian besar daerah saluran cerna, tatapi daerah
duodenum menunjukkan absorbsi obat yang paling cepat karena adanya villi dan mikrovili yang
menyebabkan besarnya luas permukaan. Villi tidak terdapat pada daerah saluran cerna lain.
Tebal membran merupakan suatu tetapan bagi tempat-tempat absorbsi tertentu dan biasanya
berdifusi secara cepat melalui kapiler membran sel dalam kompartemen vaskular.
Pm (permeabilitas membran) merupakan kemampuan suatu membran untuk melewatkan
molekul obat. Pm dipengaruhi oleh ukuran molekul obat, koefisien partisi, koefisien difusi, luas
permukaan membran dan tebal membran. Obat dengan ukuran molekul besar akan sulit untuk
menembus membran sehingga nilai Pm nya akan semakin rendah. Bila molekul obat larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran akan terjadi lebih
mudah. Semakin besar luas permukaan maka kontak antara obat dengan membran semakin besar
sehingga absorbsinya juga lebih besar. Sedangkan pada ketebalan membran, bila semakin tebal
maka semakin banyak barrier yang harus dilewati sehingga absorbsinya semakin kecil. Hasil Pm
yang didapat obat A sebesar 3,346 x 10-5 dan obat B sebesar 2,546 x 10-5 yang berarti
permeabilitas membran pada obat A lebih baik daripada obat B.
Lag time merupakan waktu yang diperlukan untuk mulai menembus membran yang
mencerminkan penahanan awal zat aktif dalam membran. Semakin kecil nilai lag time maka
semakin baik obat tersebut karena untuk menembus membran hanya diperlukan waktu yang
singkat. Dari hasil percobaan, lag time obat A sebesar -0.6575 dan obat B sebesar 6 menit. Dari
data tersebut dapat dilihat bahwa obat B membutuhkan waktu yang singkat untuk menembus
membran. Dikarenakan hasil minus pada obat A jadi tidak dapat dibandingkan dengan obat B.
Dari hasil keseluruhan parameter pada praktikum maka dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi kecepatan difusi (Ka) obat maka semakin banyak obat yang ditranspor per satuan
luas permukaan tempat absorbsi (Qkum/A). Lag time berbanding terbalik dengan kecepatan
difusi. Semakin besar kecepatan difusi, nilai lag timenya (waktu yang diperlukan acetosal untuk
menembus membran) semakin kecil atau semakin singkat. Sedangkan nilai permeabilitas obat
(Pm) berbanding lurus dengan Ka dan Qkum/A. Semakin tinggi permeabilitas obat maka
semakin tinggi pula kecepatan difusi dan banyaknya obat yang ditransport.
Dikarenakan hasil minus pada obat lag time obat A jadi tidak dapat dibandingkan yang
lebih baik antara obat A dan obat B, bila dilihat dari nilai Pm maka obat A lebih baik daripada
obat B tetapi bila dilihat dari Ka maka obat B lebih baik daripada obat A karena kecepatan difusi
obat B lebih cepat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan pada hasil praktikum dapat disebabkan
karena penyebab umum seperti:
1. Masih adanya kotoran atau lemak yang masih terdapat pada usus yang disebabkan karena
pada saat membersihkan lemak yang menempel pada usus kurang bersih, sehingga akan
mengganggu proses absorbsinya.
2. Tebal membran intestine (h) yang tidak sama dari tiap tikus yang diambil ususnya.
3. Ada beberapa zat yang dapat masuk ke dalam usus sehingga mempengaruhi hasil kontrol
dan perlakuan.
4. Zat aktif Acetosal dari pabrik yang berbeda sehingga tidak mungkin memiliki
karakteristik yang sama persis.
VII. KESIMPULAN

1. Nilai Qkum/A (jumlah acetosal yang ditranspor persatuan luas) sebanding dengan nilai Ka
(kecepatan difusi). Semakin tinggi kecepatan difusi obat maka semakin banyak obat yang
ditranspor persatuan luas permukaan tempat absorbsi (intestine).
2. Lag time berbanding terbalik dengan kecepatan difusi. Semakin besar kecepatan difusi (Ka),
nilai lag timenya (waktu yang diperlukan acetosal untuk menembus membran) semakin kecil
atau semakin singkat.
3. lag time obat A sebesar -0.6575 dan obat B sebesar 6 menit. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa obat B membutuhkan waktu yang singkat untuk menembus membran. Dikarenakan
hasil minus pada obat A jadi tidak dapat dibandingkan dengan obat B.
4. Permeabilitas obat (Pm) berbanding lurus dengan Ka dan Qkum/A. Semakin tinggi
permeabilitas obat maka semakin tinggi pula kecepatan difusi dan banyaknya obat yang
ditransport. Hasil Pm yang didapat obat A sebesar 3,346 x 10-5 dan obat B sebesar 2,546 x 10-
5
yang berarti permeabilitas membran pada obat A lebih baik daripada obat B.
5. Dikarenakan hasil minus pada obat lag time obat A jadi tidak dapat dibandingkan yang lebih
baik antara obat A dan obat B, bila dilihat dari nilai Pm maka obat A lebih baik daripada obat
B tetapi bila dilihat dari Ka maka obat B lebih baik daripada obat A karena kecepatan difusi
obat B lebih cepat.

Anda mungkin juga menyukai