PERCOBAAN VI
Disusun Oleh :
SEMARANG
2019
ABSORBSI PERKUTAN OBAT
A. Tujuan Praktikum
Mengetahui pengaruh absorbsi perkutan asam salisilat dengan basis salep vaselin
dan PEG.
B. Dasar Teori
Transpor obat merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain yang disertai dengan penembusan membran seluler. Kecuali metabolisme, proses
farmakokinetika melibatkan transpor membran tersebut. Obat berpindah-pindah
dalam tubuh melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke molekul
dengan jarak yang pendek dan transfer beraliran misalnya dalam aliran darah.
Pada pemberian obat secara ekstravaskuler, molekul obat harus terlepas dari
vehikel (bahan pembawa) dan melarut di dalam cairan tubuh di daerah tempat
pemberian obat. Dalam hal pemberian obat oral, molekul harus melarut di dalam
cairan lumen usus sebelum terabsorbsi. Kecepatan dan jumlah yang terabsorbsi,
tergantung dari sifat fisiko-kimiawi obat(Ritschel & Kearns, 2004).
Membran sel mempunyai gugus yang dapat membentuk ikatan ionik atau
hidrogen dengan gugus yang sesuai dari suatu obat. Sehingga sifat dari suatu
membran adalah semipermeabel, mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan
mempunyai tegangan listrik (potensial membran).
Absorbsi merupakan proses perpindahan obat dari tempat aplikasinya menuju ke
sirkulasi sistemik. Absorbsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan
tempat atau sisi pemberian. Agar dapat diabsorbsi, obat harus dilepaskan dari bentuk
sediaannya.
Absorbsi topikal adalah terbatas karena struktur anatomi dari kulit yang
menyebabkan obak tidak optimal diabsorbsi. Kulit kurang permeabel dibandingkan
mukosa (mulut, gastrointestinal, rektal, dan paru). Bahkan area kulit hanya 1,73 m2,
sedangkan area permukaan absorbsi gastrointestinal 70 m2. Dengan pertimbangan
tersebut, banyak obat yang diberikan secara oral dengan harapan proses absorbsinya
terjadi di traktus gastrointestinal. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorbsi
obat :
1. Kecepatan Disolusi Obat
Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam
bentuk padatan dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas permukaan.
2. Ukuran Partikel
Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat
mempengaruhi. Obat-obat dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam
cairan dibandingkan partikel dengan ukuran yang besar.
3. Kelarutan dalam lipid atau air
Absorbsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi, sebgaian besar
membran sel bersifat lipofilik. Sehingga obat harus dapat larut dalam air atau
dalam lipid.
4. Ionisasi
Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya
dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk
yaitu bentuk terion yang lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan
yang mudah larut dalam lipid dan lebih mudah diabsorbsi.
5. Aliran darah pada tempat absorbsi
Aliran darah pada tempat absorbsi adalah penting karena membantu proses
absorbsi yaitu mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran
darah maka absorbsi juga semakin besar.
6. Pengaruh makanan atau pemberian obat lainnya
Beberapa makanan atau obat-obatan dapat mempengaruhi proses absorbsi
obat lainnya. Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas
sehingga mempengaruhi keefektifan absorbsi obat.
7. Cara pemberian
Cara pemberian obat dibedakan menjadi dua berdasarkan penempatannya
di saluran pencernaan, yaitu enteral dan parenteral. Pemberian enteral adalah
pemberian obat melalui saluran cerna atau dari rongga mulut sampai rektum.
Contohnya adalah per oral, sublingual, dan per rektal, sedangkan pemberian
parenteral adalah pemberian obat diluar saluran cerna misalnya topikal, suntikan
dan inhalasi. Pemberian oral merupakan cara pemberian obat dengan cara
ditempatkan di mulut, kemudian obat bergerak melalui slauran cerna(Dr. Agung
E.N, 2010).
Absorpsi Obat Perkutan
Absorpsi perkutan dapat didefinisikan sebagai absorpsi obat kedalam stratum
corneum (lapisan tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan dibawahnya serta
akhirnya obat masuk dalan sirkulasi darah.
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau
senyawa eksternal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat
dan pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topikal, obat berdifusi
dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan
sebrum) serta obat selanjutnya menembus epidermis. Penetrasi obat melalui kulit
dapat terjadi dengan 2 cara :
a. Rute transepidermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum.
b. Rute transfolikular, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan sebum.
Proses absorpsi perkutan terdiri atas tahap-tahap partisi obat ke dalam stratum
korneum dan sebum. Rute yang merupakan rute penting adalah rute transepidermal
sebab permukaan epidermis mempunyai luas beberapa kali luas dari rute
transfolikular.
KULIT
Kulit merupakan pembungkus elastis yang memiliki fungsi utama sebagai
pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan
ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk
secara terus-menerus, respirasi, pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat,
pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet
matahari, sebagai indra peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan
infeksi dari luar. Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis dan
jaringan subkutan atau hipodermis (Harahap, 2000 : 1).
Kulit dibentuk dari 3 lapisan berbeda yang berurutan dari luar ke dalam yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh
getah bening, ujung-ujung saraf dan lapisan di bawah kulit yang berlemak atau yang
disebut hipodermis. Kulit mempunyai aneksa, kelenjar keringat dan kelenjar sebum
(glandula sebaceous) yang berasal dari lapisan hipodermis atau dermis yang bermuara
pada permukaan yang membentuk daerah yang tidak berkesinambungan pada
epidermis (Aiache J.M, 1993: 444).
C. Analisis Bahan
1. Asam Salisilat
Asam organis ini berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3-6%
dalam salep. Di samping itu, zat ini berkhasiat bakteriostatis lemah dan berdaya
keratolitik, yaitu dapat melarutkan lapisan tanduk pada konsentrasi 5-10% (Tjay, Tan
Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007:105).
Merupakan hablur ringan tidak berwarna atau senyawa berwarna putih, hampir
tidak berbau. Larut dalam 550 bagian air, 4 bagian etanol 95%, mudah larut dalam
kloroform, eter, larut dalam ammonia asetat, dinatrium hydrogen fosfat, kalium sitrat
(Depkes RI, 1995:51).
b) Bahan :
1. Asam Salisilat
2. Asam Trikloroasetat (TCA) 10%
3. Aquadest
4. Basis Vaselin
5. Basis PEG
di vortex
di tambah 2.0 ml
TCA 20%
di centrifuge 15'
Salep di tutup dengan aluminium foil dan di balut dengan kain kasa
b. Deret Baku
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.0000 2.0000 4.0000 6.0000 8.0000 10.0000 12.0000 14.0000
Waktu
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖−𝑎
Kadar Terukur = 𝑏
Kadar Terukur
P = Kadar Sebenarnya x 100%
Kadar
Konsentrasi Abs
sebenarnya Kadar %P
4 4,1280 0,037 2,6875 65,10416667
6 6,1920 0,146 5,616875 90,71180556
8 8,2560 0,368 11,583125 140,2994792
10 10,3200 0,352 11,153125 108,0729167
12 12,3840 0,318 10,299375 83,16678779
1. Y= 0.037209302x - 0.0630 %P = 10416667
0,037= 0.037209302x - 0.0630
x= 2,6875
T
Abs PEG I
(menit) CP
0 -0,146 0
10 0,058 -3,15422524
20 -0,021 50,07067379
30 0,093 59,08884729
40 0,058 27,96730738
45 -0,097 13,99797981
60 0,254 -42,40981127
90 0,452 -8,1053866
120 0,181 33,62576918
T
Abs PEG II
(menit) CP
0 -0,699 0
10 0,38 10,28461425
20 0,494 1,266440758
30 0,146 22,13201865
40 -0,289 13,82115288
45 -0,398 -20,83692565
60 -0,222 63,50952057
90 -0,125 -60,0925044
120 -0,442 46,35730824
A. PEMBAHASAN
Setelah kelinci dicukur, dioleskan 1 gram salep asam salisilat dengan basis
vaselin album dan PEG pada bagian yang dicukur (sesuai pembagian kelompok).
Bagian yang diolesi salep ditutup dengan alumunium foil dan dibalut dengan dengan
kain kasa adalah untuk meningkatkan permeabilitas stratum korneum dan keadaan
hidratasi karena suhu permukaan kulit meningkat yang mengakibatkan pori-pori
akan melebar sehingga obat akan terserap dengan lebih mudah.
Pengambilan sampel darah dimulai pada t ke-0, 10, 20, 30, 40, 45, 60, 90, dan
120 menit di mana masing-masing darah diambil ± 500 𝜇𝐿 + 2 ml TCA 20%,
divortex, disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm kemudian
diambil beninganya (endapan yang terpisah berada dibagian bawah dan pada
supernatan terdapat cairan bening yaitu plasma darah) 1000 𝜇𝐿 (1mL) dimana
pengambilan supernatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengambil obat yang
bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada protein plasma tidak akan
aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik (dapat
menyebabkan data dari hasil pengamatan yang tidak valid) kemudian beningan yang
1,0 mL dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambah 3,0 mL aqua destilata kemudian
diukur absorbansinya pada spektrofotometer ultraviolet dengan panjang gelombang
231,3 nm. Data absorbansi diplotkan pada persamaan linier baku sehingga diketahui
kadar asam salisilat yang terabsorpsi dalam darah. Pada praktikum kali ini tujuan
dari penambahan TCA yaitu akan mengikat protein dan mengendapkannya saat
proses sentrifugasi sehingga keberadaan protein tidak mengganggu pembacaan
absorbansi. Mekanisme kerja TCA sebagai agen presipitasi yakni ion negatif dari
TCA akan bergabung dengan protein yang sedang berada pada kondisi sebagai
kation (pH larutan dalam kondisi asam hingga pH isoelektrik protein) hingga
membentuk garam protein. Beberapa garam yang dihasilkan tersebut tidak larut
dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk memisahkan protein dari
larutan.
Selain penetapan kadar asam salisilat dalam darah, juga dilakukan recovery
untuk mengetahui keakuratan metode yang digunakan karena recovery merupakan
salah satu parameter validasi yang menyatakan akurasi suatu metode analisis.
Akurasi merupakan ketepatan metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur
dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan.
Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu
pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel di mana pengujiannya
dengan membandingkan hasil pengukuran dengan kadar sebenarnya. Hasil recovery
menunjukkan bahwa pada kadar 6,288 ppm; 8,384 ppm; 12,576 ppm dihasilkan
recovery berturut-turut 98,52%; 106,64%; dan 99,96% di mana persyaratan recovery
adalah 75-90% atau lebih sehingga dari ketiga kadar tersebut memenuhi persyaratan.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa asam salisilat dengan basis vaselin
memiliki konsentrasi (AUC) yang lebih besar dibanding asam salisilat dengan
basis PEG. Semakin kecil nilai AUC menunjukkan semakin kecil konsentrasi
asam salisilat yang masuk ke saluran sistemik. Begitu pula sebaliknya, semakin
besar nilai AUC maka semakin besar konsentrasi asam salisilat yang masuk ke
saluran sistemik. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada bahwa vaselin
merupakan pembawa yang hanya bekerja lokal, dimana bahan obatnya tidak
terabsobsi ke dalam sistemik. Selain itu juga, sifat asam salisilat yang hidrofobik
(koefisen partisi oktanol/air =2.3) jika ditambah dengan basis vaselin putih yang
hidrofobik akan menyebabkan asam salisilat terikat kuat pada basis vaselin.
Akibatnya bahan obat sulit dilepaskan dan tidak terabsorpsi menembus kulit.
B. KESIMPULAN
(1041611069)
(1041611071)