Anda di halaman 1dari 27

ABSORPSI DAN SEKRESI OBAT

KELOMPOK 1

Chyara Egalita (2208109010035)


Faliandra Arya Bima (2208109010037)
Salsabila Necha (2208109010047)
Cut Muti Aulia (2208109010051)

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hukum nomor 36 tahun 2009 mengatur bahwa obat, zat, atau produk biologi
yang dimanfaatkan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau
kondisi patologis untuk keperluan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi pada manusia. Sebuah obat dapat ditargetkan
secara spesifik dan selektif untuk kondisi umum yang terlibat dalam fungsi organ,
jaringan, dan sel tubuh. Secara keseluruhan, obat bertindak dengan mempengaruhi
metabolisme sel penderita atau mikroorganisme serta parasit yang menjadi penyebab
penyakit (Depkes RI, 2009).
Pemberian sediaan farmasi memiliki empat jalur yang berbeda dalam pola
penyerapan. Pertama adalah melalui rute intravena, di mana sediaan farmasi yang
diberikan melalui jalur ini tidak mengalami penyerapan dan memberikan efek obat
secara langsung. Selanjutnya, melalui jalur subkutan dan intramuskular, di mana
penyerapan sediaan dapat terjadi dengan cepat. Terakhir, melalui rute oral,
penyerapan sediaan farmasi bisa berlangsung dengan cepat atau lambat, dipengaruhi
oleh beberapa faktor (Djarami, 2023).
Proses farmakokinetik seperti penyerapan, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi adalah faktor-faktor kunci yang mempengaruhi kecepatan dan durasi
keberadaan obat di dalam organ target. Setelah obat diserap dan menembus dinding
usus, ia akan disalurkan melalui darah porta menuju hati sebelum akhirnya masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Biasanya, hati memainkan peran penting dalam proses
metabolisme sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik. Obat yang masuk ke dalam
tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan
pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek (Limbong, 2016).
Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan
dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih
penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen
terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi
karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian
akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebahagian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui
organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas
pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat
demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorbsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai
sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan
cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin),
rektal, atau memberikannya bersama makanan (Limbong, 2016).
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju
organ ekskresi, proses ini diperlukan untuk proses detoksifikasi obat agar tidak
memberikan efek buruk terhadap tubuh (toksik). Organ yang terlibat dalam proses
ekskresi ialah hati, paru-paru, kulit, dan organ utama untuk proses ekskresi ialah
ginjal, obat akan diekskresikan melalui urin (Nugroho, 2015). Obat dikeluarkan dari
tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi
atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada
obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ
ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari proses, yakni
filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal (Limbong, 2016).
Dalam praktikum ini, digunakan Kalium Iodida, sebuah senyawa kimia yang
digunakan sebagai suplemen makanan atau obat-obatan untuk mengobati
hipertiroidisme. Fungsi obat ini adalah melindungi kelenjar tiroid saat pemberian
radiofarmaka. Saat ini, potassium iodide juga digunakan dalam pengobatan
sporotrikosis dan fikomikosis pada kulit. Kalium iodida dianggap sebagai garam
elektrolit yang dapat diserap dengan cepat melalui difusi pasif dan mencapai
konsentrasi maksimum. Setelah itu, obat ini masuk ke dalam darah dan terikat
dengan protein plasma, kemudian didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh.
Setelah digunakan, obat akan keluar dari jaringan dan masuk ke hati untuk diubah
menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu, serta diekskresikan melalui
urin oleh ginjal. Absorpsi dan ekskresi obat akan diamati dalam praktikum ini
melalui pengukuran urin dan saliva dari subjek yang mengonsumsi Kalium Iodida.

1.2 TUJUAN PERCOBAAN

 Memperlihatkan variasi kecepatan absorpsi obat yang diberikan secara


oral pada manusia melalui saliva
 Memperlihatkan variasi kecepatan ekskresi obat yang diberikan secara
oral pada manusia melalui urin
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmakokinetik Obat
Farmakokinetik adalah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari tentang
bagaimana tubuh manusia memproses obat setelah pemberian, meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat (ADME). Dalam farmakokinetik,
perhatian diberikan pada perubahan konsentrasi obat di dalam tubuh seiring waktu.
Proses farmakokinetik terdiri dari beberapa tahap:
1. Absorpsi: Penyerapan obat oleh tubuh dari tempat pemberian (misalnya, oral,
intravena, intramuskular, transdermal, dan lain-lain) ke dalam sistem
peredaran darah.
2. Distribusi: Penyebaran obat ke berbagai jaringan dan organ dalam tubuh
setelah penyerapan. Distribusi obat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
sirkulasi darah, permeabilitas membran, dan afinitas obat terhadap jaringan
tertentu.
3. Metabolisme: Proses biokimia di mana obat diubah menjadi metabolit yang
lebih mudah diekskresikan oleh tubuh. Metabolisme umumnya terjadi di hati
dan melibatkan enzim-enzim metabolik.
4. Eliminasi: Proses pembuangan obat dan metabolitnya dari tubuh, biasanya
melalui urin dan empedu. Eliminasi juga dapat melibatkan proses seperti
sekresi dalam air susu (laktasi) dan ekshalasi.
Farmakokinetik membantu dalam pemahaman tentang bagaimana obat bekerja
dalam tubuh, dosis yang efektif, interval dosis, dan interaksi obat. Pengetahuan
tentang farmakokinetik penting dalam pengembangan obat baru dan optimasi
penggunaan obat yang sudah ada (Brunton et al., 13th Edition).

Gambar 1. Proses Obat Dalam Tubuh


a. Absorbsi
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Obat dalam
pergerakannya hingga mencapai sirkulasi sistemik, melewati satu atau lebih
membran sel agar mencapai tempat kerjanya dan untuk dapat di
ekskresikan tubuh. Obat melintasi membran sel (trans membrane
transport) dapat secara pasif atau aktif (energy-dependent). Ada beberapa
macam transport obat melintasi sel membran (trans membrane transport)
atau permeasi, (Nardina, 2021) yaitu:
1. Difusi Pasif Obat dapat berdifusi sesuai kelarutannya di membran sel dan
gradien konsentrasinya melintasi membran. Semakin tinggi kelarutan obat
dalam lemak, semakin besar melintasi membran secara difusi. Sebagian
besar obat adalah asam atau basa lemah, dan dapat berada dalam bentuk
bermuatan (ionized) dan tidak bermuatan (non Ionized). Jumlah relatif
kedua bentuk tergantung pada pK obat dan pH di mana obat berada. Untuk
dapat melintasi membran sel diperlukan obat dalam bentuk tidak
bermuatan.
2. Berdifusi Difasilitasi Difusi ion atau senyawa organik melintasi
membran sel dapat difasilitasi oleh pembawa (membrane transporter).
Melalui cara transport ini tidak diperlukan energi, dan senyawa akan
bergerak sesuai gradien konsentrasi zat pembawa. Pergerakan akan
berhenti setelah potensial elektrokimia di kedua sisi membran mencapai
keseimbangan.
3. Endositosis dan Eksositosis Endositosis merupakan salah satu bentuk
transport senyawa kimia yang mempunyai molekul besar. Pada endositosis,
membran plasma akan menelan (engulfed) senyawa kimia (contoh vitamin
B6) untuk dimasukkan dalam vesikel tersebut. Sebaliknya, pada
eksositosis, vesikel di sitoplasma akan melakukan fusi dengan membran sel
dan selanjutnya isi vesikel (contoh nor epinepfrin) akan dilepaskan ke luar
sel.
b. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan di distribusi ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase
berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua
jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ
di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang
interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam
otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus
membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan
obat dengan protein plasma ditentukan oleh aktivitas obat terhadap protein,
kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan
berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
c. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses
ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut
dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi
melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada
obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat
yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim
biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih
lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan
dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam
sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma
halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-
mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam
sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel,
saluran cerna, dan plasma. Menurut Nugroho (2015) Metabolisme
merupakan suatu proses perubahan senyawa menjadi metabolit yang terjadi
pada sistem biologis. Tujuan adanya proses metabolisme yakni untuk
mempersiapkan proses ekskresi obat dari dalam tubuh. Organ utama proses
metabolisme ialah hati.
d. Ekskresi
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah)
menuju organ ekskresi, proses ini diperlukan untuk proses detoksifikasi
obat agar tidak memberikan efek buruk terhadap tubuh (toksik). Organ
yang terlibat dalam proses ekskresi ialah hati, paru-paru, kulit, dan organ
utama untuk proses ekskresi ialah ginjal, obat akan diekskresikan melalui
urin. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal
sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang.
Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau
interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur,
air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali
sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut
pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada
kedokteran forensik.
2.2 Proses Absorbsi Obat
Absorpsi obat adalah proses penyerapan obat dari situs pemberian ke dalam
aliran darah atau sistem peredaran limfatik. Proses ini memungkinkan obat untuk
memasuki sirkulasi sistemik dan berinteraksi dengan target biologis di dalam tubuh.
Absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk:
1. Sifat fisiko-kimia obat: Sifat obat seperti ukuran molekul, polaritas, dan
kelarutan dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat penyerapan. Misalnya,
obat dengan kelarutan lemah mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk
diserap.
2. Rute pemberian obat: Berbagai rute pemberian obat, seperti oral (melalui
mulut), intravena (langsung ke dalam pembuluh darah), intramuskular (ke
dalam otot), transdermal (melalui kulit), dan lain-lain, mempengaruhi
kecepatan dan efisiensi absorbsi obat.
3. Kondisi fisiologis individu: Faktor-faktor seperti pH lambung, motilitas usus,
aliran darah lokal di tempat pemberian obat, dan kondisi saluran pencernaan
dapat memengaruhi absorbsi obat.
4. Interaksi obat-makanan: Konsumsi makanan bersamaan dengan pemberian
obat dapat mempengaruhi absorbsi obat. Misalnya, beberapa obat mungkin
diserap lebih baik saat diminum dengan makanan tertentu, sementara
makanan lain dapat menghambat absorbsi obat.
5. Sistem penghantaran obat: Penggunaan formulasi khusus seperti
nanopartikel, mikroemulsi, atau sistem penghantaran obat lainnya dapat
meningkatkan absorbsi obat dengan meningkatkan kelarutan atau stabilitas
obat di dalam tubuh.
2.3 Proses Ekskresi Obat
Proses ekskresi obat adalah proses di mana obat dan metabolitnya
dikeluarkan dari tubuh. Ekskresi terjadi terutama melalui ginjal, dengan sebagian
kecil melalui saluran empedu dan usus. Proses ekskresi ini melibatkan beberapa
tahap:
1. Filtrasi: Obat yang terlarut dalam darah akan difiltrasi melalui glomerulus di
dalam ginjal ke dalam tubulus ginjal.
2. Reabsorpsi: Beberapa obat yang difiltrasi dapat di-reabsorpsi kembali ke
dalam sirkulasi darah melalui tubulus ginjal. Proses reabsorpsi ini dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pH urin dan kelainan ginjal.
3. Sekresi: Obat-obatan juga dapat disekresikan langsung dari darah ke dalam
tubulus ginjal melalui proses sekresi aktif. Proses sekresi ini membantu
menghilangkan obat-obatan yang tidak terfilter atau yang direabsorpsi
kembali.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses ekskresi obat meliputi:
1. Fungsi Ginjal: Gangguan pada fungsi ginjal, seperti gagal ginjal, dapat
menghambat proses ekskresi obat dan menyebabkan penumpukan obat dalam
tubuh.
2. pH Urin: pH urin dapat mempengaruhi tingkat ionisasi obat dan oleh karena
itu mempengaruhi kemampuan obat untuk direabsorpsi atau dikeluarkan.
3. Kecepatan Aliran Urin: Kecepatan aliran urin juga dapat mempengaruhi laju
ekskresi obat. Urin yang dihasilkan dalam jumlah banyak dan sering akan
mengurangi waktu kontak obat dengan dinding ginjal, mempercepat ekskresi.
4. Interaksi Obat: Beberapa obat dapat mempengaruhi metabolisme atau
ekskresi obat lain, mengubah laju eliminasi obat tersebut dari tubuh.
2.3 Fungsi Urin Dalam Ekskresi Obat
Urin adalah cairan limbah yang dihasilkan oleh ginjal sebagai hasil dari
proses penyaringan darah untuk mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme dan
zat-zat berbahaya dari tubuh. Urin terdiri dari air, urea, kreatinin, asam urat,
elektrolit, dan berbagai zat-zat lainnya yang diekskresikan oleh tubuh. Fungsi utama
urin adalah sebagai medium pembuangan limbah dan menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit, dan pH dalam tubuh.
Urin memiliki peran penting dalam proses ekskresi obat dari tubuh. Berikut
adalah beberapa fungsi utama urin dalam ekskresi obat:
1. Filtrasi Glomerulus: Proses awal ekskresi obat dimulai dengan filtrasi obat
dari darah ke dalam glomerulus ginjal. Glomerulus adalah jaringan pembuluh
darah yang berfungsi sebagai filter untuk memisahkan zat-zat terlarut,
termasuk obat-obatan, dari darah.
2. Reabsorpsi dan Sekresi Tubulus: Setelah proses filtrasi, beberapa obat yang
difiltrasi dapat di-reabsorpsi kembali ke dalam sirkulasi darah melalui tubulus
ginjal. Namun, sebagian obat juga dapat mengalami proses sekresi aktif dari
darah ke dalam tubulus ginjal. Proses ini membantu menghilangkan obat-
obatan yang tidak terfilter atau yang direabsorpsi kembali.
3. Pengaturan pH: pH urin juga memainkan peran penting dalam ekskresi obat.
Beberapa obat dapat terionisasi (mengalami perubahan struktur menjadi ion)
sesuai dengan pH urin. Perubahan ini dapat mempengaruhi kemampuan obat
untuk direabsorpsi atau dikeluarkan dari tubulus ginjal.
4. Pengeluaran Obat dan Metabolit: Setelah melalui proses filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresi, obat dan metabolitnya akhirnya diekskresikan dalam bentuk urin.
Proses ini membantu dalam menghilangkan obat dan metabolitnya dari tubuh,
menjaga keseimbangan kimia dan mengurangi toksisitas obat.
5. Pengeluaran Air dan Elektrolit: Selain ekskresi obat, urin juga merupakan
media untuk mengeluarkan air dan elektrolit dari tubuh. Proses ini penting
untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
3.1 ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a. Tabung reaksi (Iwaki)
b. Rak tabung reaksi
c. Pot urin
d. Pipet tetes
e. Labu ukur (Pyrex)
Bahan yang digunakan adalah :
a. Kalium iodide (Emsure)
b. Larutan kalium iodida 1% (Emsure)
c. Larutan natrium nitrit 10% (Emsure)
d. Larutan asam sulfat dilutes 10%
e. Laruta
3.2 METODE KERJA
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode
penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti kondisi objek
yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci untuk memperoleh data data
yang diteliti dilapangan (Sugiyono, 2016).
3.3 CARA KERJA

Tabung I

Dimasukkan 1ml Kalium Iodida 1% dan 1ml Amilum


1%

Diamati perubahan yang terjadi

Hasil

Tabung I
I
Dimasukkan 1ml Kalium Iodida 1% dan 1ml Amilum
1% dan 2-3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Hasil
Tabung I
II
Dimasukkan 1ml Kalium Iodida 1% + 1ml Amilum 1%
+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Hasil

Tabung
I Va
Dimasukkan urin kontrol + 1ml Amilum 1% + 2-3 tetes
NaNO2 10% + 2-3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Hasil

Tabung
I Vb
Dimasukkan saliva kontrol + 1ml Amilum 1% + 2-3
tetes NaNO2 10% + 2-3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Hasil
Probandus

Diminum Kalium Iodida

Saliva Urin

Penampungan saliva 30 menit Penampungan urin 30 menit


Penampungan saliva 60 menit Penampungan urin 60 menit
Penampungan saliva 90 menit Penampungan urin 90 menit
Penampungan saliva 120 menit Penampungan urin 120 menit

Tabung V (30 ITabung VI (30 Tabung VII (60 Tabung VIII (60 Tabung IX (90 Tabung X (90 Tabung XI (120 Tabung XII
menit) menit) menit) menit) menit) menit) menit) (120 menit)
1 ml urin + 1 ml saliva + 1 ml urin + 1 ml saliva+ 1 ml urin + 1 ml saliva+ 1 ml urin + 1 ml saliva +
+ 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes
Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit Natrium Nitrit
10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10%
+ 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4 + 3 tetes H2SO4
dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml dilutus + 1 ml
Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1% Amilum 1%

Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil

3.4 PERHITUNGAN DOSIS


Kalium iodida yang digunakan sebanyak 300 mg.
N
 DM = dosis dewasa
20
19
= x 500mg
20
= 475 mg
300
 % 1 kali pakai = mgx 100%
475
=63,15% aman)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 DATA HASIL PENGAMATAN
Tabung Perlakuan Pengamatan
I 1 mL KI 1% + 1 mL amylum 1% Larutan berwarna kuning pucat
II 1 mL KI 1% + 1 mL amylum 1% + Larutan bening dan terdapat endapan
2-3 tetes H2SO4 dilutus biru kehitaman
III 1 mL KI 1% + 1 mL amylum 1% + Terbentuk 2 fasa yaitu Larutan berwarna
2-3 tetes NaN02 10% + 2-3 tetes coklat dengan endapan hitam
H2SO4 dilutus
Urin
IV-A 1 mL urin kontrol + 1 mL amylum Larutan berwarna kuning dengan sedikit
1% + 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-3 gelembung udara dan terdapat endapan
tetes H2SO4 dilutus putih
V(30’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna kuning pekat dan
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum terdapat gelembung udara
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-3
tetes H2SO4 dilutus
VII(60’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna kuning dan terdapat
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum endapan biru keunguan
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5
tetes H2SO4 dilutus
IX(90’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna bening dan terdapat
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum sedikit endapan biru
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5
tetes H2SO4 dilutus
XI(120’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna biru keunguan dan
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum terdapan endapan berwarna ungu
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5 kehitaman
tetes H2SO4 dilutus

Saliva
IV-B 1 mL saliva kontrol + 1 mL amylum Terbentuk 2 fasa yaitu laruran berwarna
1% + 2-3 tetes Na2NO4 10% + 2-3 kuning keruh dan bening
tetes H2SO4 dilutus
VI(30’) 1 mL saliva subjek coba yang Larutan keruh dan terdapat endapan biru
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum keunguan
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-3
tetes H2SO4 dilutus
VIII(60’) 1 mL saliva subjek yang Larutan berwarna kuning pekat dan
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum terdapat endapan biru
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5
tetes H2SO4 dilutus
X(90’) 1 mL saliva subjek coba yang Terbentuk dua fasa, sedikit endapan biru
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum dan larutan berwarna bening dan jingga
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5
tetes H2SO4 dilutus
XII(120’) 1 mL saliva subjek coba yang Larutan berwarna kuning ke coklaktan
mengkonsumsi KI + 1 mL amylum dan sedikit endapan
1%+ 2-3 tetes NaNO2 10% + 2-5
tetes H2SO4 dilutus

4.2 PEMBAHASAN
Percobaan ini berjudul absorpsi dan ekskresi obat yang dilakukan dengan
menggunakan kalium iodida (KI) sebagai zat yang akan ditentukan kecepatan
absorpsi dan ekskresinya pada tubuh 2 orang subjek yang telah ditentukan yang akan
dilakukan secara oral. Sebelum dimulai, subjek terlebih dahulu diminta minimal 3
jam untuk mengosongkan kandung kemih dan masing-masing subjek coba
menampung urin dan saliva yang akan dijadikan sebagai urin dan saliva kontrol.
Selanjutnya subjek coba diminta untuk meminum 1 kapsul yang berisi KI sebanyak
300 mg dengan beberapa gelas air. Setelah subjek coba meminumnya, urin dan saliva
subjek coba akan ditampung kembali pada interval waktu 30 menit, 60 menit, 90
menit, dan 120 menit untuk diuji menggunakan beberapa bahan kimia berupa larutan
amilum 1%, larutan H2SO4 dilutus, dan larutan natrium nitrit 10%. Larutan amilum
1% berfungsi sebagai indikator percobaan yaitu jika iodium terurai maka nantinya
iodium akan berikatan dengan amilum dan menghasilkan warna biru menunjukkan
adanya KI pada urin dan saliva pada probandus. Larutan H2SO4 dilutus berfungsi
sebagai katalisator untuk reaksi yang dilakukan. Larutan natrium nitrit berfungsi
sebagai oksidator untuk memutuskan ikatan pada senyawa KI agar rantai kalium dan
iodida dapat diputuskan sehingga iodida dapat berikatan dengan amilum membentuk
kompleks berwarna biru.
Percobaan ini menggunakan 12 tabung reaksi. Tabung reaksi I diisi dengan 1
ml larutan KI 1% yang ditambahkan dengan 1 ml larutan amilum 1% menghasilkan
larutan berwarna kuning pucat. Tabung reaksi II diisi dengan 1 ml larutan KI 1%
yang ditambahkan dengan 1 ml larutan amilum 1% dan 3 tetes larutan H2SO4 dilutus
menghasilkan larutan bening dengan endapan biru kehitaman. Tabung reaksi III diisi
dengan 1 ml larutan KI 1% yang ditambahkan dengan 1 ml larutan amilum 1%, 3
tetes larutan H2SO4 dilutus dan 3 tetes larutan NaNO2 10% terbentuk 2 fasa yaitu
larutan berwarna coklat dengan endapan hitam. Tabung reaksi IV-A diisi dengan 1
ml urin kontrol, kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan amilum 1%, 3 tetes
H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO 2 10% menhasilkan larutan berwarna kuning
kehitaman dengan sedikit gelembung udara dan terdapat endapan putih. Tabung
reaksi IV-B diisi dengan 1 ml saliva kontrol, kemudian ditambahkan dengan 1 ml
larutan amilum 1%, 3 tetes H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO2 10% terbentuk larutan
dengan 2 fasa yang berbeda warna yaitu larutan kuning keruh dan bening. Pengujian
pertama pada urin dan saliva yang telah diberi perlakuan dilakukan setelah interval
waktu 30 menit. Tabung V diisi dengan 1 ml urin subjek coba yang mengonsumsi KI
setelah interval waktu 30 menit, kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan amilum
1%, 3 tetes H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO2 10%. Hasil yang terbentuk adalah
larutan menjadi berwarna kuning pekat dan terbentuk gelembung-gelembung gas
yang banyak. Tabung reaksi VI diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang
mengkonsumsi KI setelah interval waktu 30 menit dengan 1 mL amilum 1%, 3 tetes
NaNO2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus menghasilkan larutan berwarna keruh dan terdapat
endapan biru keunguan. Pengujian kedua pada urin dan saliva yang telah diberi
perlakuan dilakukan pada interval waktu 60 menit. Tabung reaksi VII diisi dengan 1
mL urin subjek coba yang mengkonsumsi KI setelah interval waktu 60 menit dengan
ditambahkan 1 mL amilum 1%, 3 tetes NaNO2 dan 3 tetes H2SO4 dilutus
menghasilkan larutan berwarna kuning dan terdapat endapan biru keunguan. Tabung
reaksi VIII diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang mengonsumsi KI setelah
interval waktu 60 menit dengan 1 mL amilum 1%, 3 tetes NaNO2, dan 3 tetes H2SO4
dilutus menghasilkan larutan berwarna kuning dan terdapat banyak endapan biru.
Pengujian pada interval waktu 90 menit. Tabung reaksi IX diisi dengan 1 mL urin
subjek coba yang mengkonsumsi KI setelah interval waktu 90 menit dengan
ditambahkan 1 mL amilum 1%, 3 tetes NaNO2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus
menghasilkan larutan berwarna bening dan terdapat sedikit endapan biru. Tabung
reaksi X diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang mengkonsumsi KI setelah
interval waktu 90 menit dengan 1 mL amilum 1%, 3 tetes NaNO2, dan 3 tetes H2SO4
dilutus terbentuk dua fasa, sedikit endapan biru, dan larutan berwarna bening dan
jingga. Pengujian terakhir pada urin dan saliva yang telah diberi perlakuan dilakukan
dilakukan setelah interval waktu 120 menit. Tabung reaksi XI diisi dengan 1 mL urin
subjek coba yang mengkonsumsi KI setelah interval waktu 90 menit dengan
ditambhakan 1 mL amilum 1%, 3 tetes NaNO 2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus
menghasilkan larutan berwarna biru keunguan dan terdapat endapan berwarna ungu
kehitaman. Tabung reaksi XII diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang
mengkonsumsi KI setelah interval waktu 90 menit dengan 1 mL amilum 1%, 3 tetes
NaNO2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus menghasilkan larutan berwarna kuning kecoklatan
dan sedikit endapan.
Hasil pada tabung I menunjukkan tidak terjadinya reaksi antara larutan KI 1%
dengan larutan amilum 1%. Hal ini disebabkan karena konsentrasi KI yang sangat
sedikit dan tidak terdapat oksidator dan katalisator pada reaksi tersebut, sehingga
reaksi berlangsung sangat lambat. Hasil pada tabung II menunjukkan terjadinya
reaksi cepat antara larutan KI 1% dengan amilum 1% yang ditandai dengan
terbentuknya endapan biru kehitaman. Hal ini disebabkan oleh peran katalisator
sehingga reaksi berlangsung cepat. Hasil pada tabung III juga menunjukkan
reaksinya berlangsung dengan cepat ditandai dengan terbentuknya 2 fasa yaitu
larutan coklat dengan endapan hitam yang disebabkan karena adanya penambahan
oksidator yang berperan memutuskan ikatan antara kalium dengan iodida sehingga
iodida dapat bereaksi dengan amium secara cepat. Hasil pada tabung VI-A dan VII-B
yang berisi urin dan saliva kontrol menunjukkan bahwa keduanya tidak mengandung
KI karena probandus masih dalam keadaan berpuasa dan belum meminum KI yang
ditandai dengan hasil larutan yang didapat tidak adanya larutan biru. Pengamatan
ekskresi KI melalui urin pada waktu 30 menit. Hasil pada tabung reaksi V
menunjukkan bahwa tahap ekskresi belum terjadi. Hal ini dikarenakan belum adanya
perubahan warna larutan menjadi biru, yang disebabkan oleh jumlah iodium yang
terlalu kecil saat diekskresikan sehingga tidak terbaca dan tidak terlalu terlihat pada
pengamatan, serta tingkat kelarutan yang sangat kecil pada kompleks iodium dan
amilum sehingga membutuhkan kecepatan mata untuk mengamati adanya perubahan
warna. Pengamatan ekskresi KI pada saliva terjadi lebih cepat yaitu telah terjadi pada
menit ke-30. Hal ini ditandai dengan adanya endapan biru pada larutan karena
kompleks antara iodium dan amilum. Sementara itu, ekskresi KI pada urin mulai
terjadi pada menit ke-60 yang ditandai dengan adanya endapan biru pada larutan.
Percobaan ekskresi KI memperlihatkan hasil bahwa ekskresi KI melalui saliva lebih
cepat dibandingkan ekskresi KI dalam urin, hal ini dapat diamati pada menit ke-30
pertama, yaitu tabung VI engan subjek saliva lebih dahulu tejadi perubahan warna
dari pada tabung V dengan subjek urin. Terlihat bahwa kepekatan warna larutan pada
ubjek saliva lebih pekat yang menandakan eksresi KI pada subjek saliva lebih
maksimal. Perbandingan antara onset dan urasi saliva dengan urine juga diketahui
lebih cepat pada subjek saliva karena memiliki lintas metabolismeyang lebih
sederhana dan sisa metabolismenya langsung dieksresikan elalui kelenjar saliva itu
sendiri tanpa melalui metabolisme melintas pertama (First past effect) dihepar. Hasil
percobaan pada setiap kelompok dapat terjadi perbedaan disebabkan oleh beberapa
faktor seperti faktor kelarutan obat, kemampuan difusi obat dalam melintasi
membrane el, konsentrasi obat, bentuk sediaan obat, cara pengunaan obat, dan
tingkat metabolisme tiap individu manusia berdasarkan fisiologis dan genetika
memiliki tngkat metabolisme yang berbeda beda.
Berdasarkan percobaan tersebut, dapat dilihat bahwa semakin lama interval
waktu yang digunakan, maka semakin pekat warna larutan yang diperoleh dari hasil
pengamatan. Iodium dan amilum akan menghasilkan reaksi dengan timbulnya warna
biru yang merupakan penanda untuk mengetahui adanya kandungan iodium pada
urin dan saliva yang diekskresikan. Iodium memiliki kecepatan yang sama apabila
diekskresikan melalui saliva dan urin. Kalium iodida (KI) yang dieksresikan melalui
urin dan saliva telah menunjukkan bahwa KI sudah diekskresi pada menit ke-30.
Oleh karena itu, semakin banyak KI yang diekskresikan pada menit ke-60, menit ke-
90, dan menit ke-120 yang ditandai dengan warna larutan yang menjadi semakin
keruh dan endapan semakin pekat. Hal ini menandakan bahwa semakin lama interval
waktu pada percobaan ini maka semakin banyak KI yang diabsorpsi dan dieksresi
melalui saliva dan urin.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka disimpulkan:


1. Kecepatan absorbsi obat didalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
stabilitas obat terhadap enzim- enzim dan mortalitas pencernaan
2. Kalium Iodida digunakan untuk melihat kecepatan absorbsi dan ekskresi obat yang
diberikan secara oral
3. Hasil yang didapatkan pada interval waktu 30 menit yaitu perubahan warna larutan
kuning pada sampel urin dan larutan warna ungu pada sampel saliva
4. Hasil yang didapatkan pada interval waktu 60 menit yaitu perubahan warna larutan
coklat pada sampel urine dan larutan warna putih pada sampel saliva
5. Hasil yang didapatkan pada interval waktu 90 menit yaitu perubahan warna
larutan coklat pada sampel urin dan larutan warna biru keruh pada sampel saliva
6. Hasil yang didapatkan pada interval waktu 120 menit yaitu perubahan warna
larutan abu-abu pada sampel urin dan larutan warna kuning pada sampel saliva
DAFTAR PUSTAKA

runton, R. Hilal-Dandan & C. B. Knollmann, eds. Goodman & Gilman's: The


pharmacological basis of therapeutics 13th Ed. :McGraw Hill Education,
p.507[Diakses Maret 2024].Available at:
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=2189&sectionid=165936845.

Depkes RI. (2009). UUD No 36 Th 2009 tentang kesehatan. undang-undang tentang


kesehatan, 2(5), 255. [Diakses Maret 2024].Available
at:https://rskgm.ui.ac.id/wp-content/uploads/2021/03/07.-Nomor-36-Tahun-
2009-Tentang-Kesehatan.pdf.

Jayanti Djarami. (2023). Penyuluhan tentang mekanisme kerja obat didalam tubuh di
desa Hila. Jurnal Pengabdian Ilmu Kesehatan, 1(3), 36–39. [Diakses Maret
2024].Available at: https://doi.org/10.55606/jpikes.v1i3.1409.

Katzung, B.G., Masters, S.B., & Trevor, A.J. (Eds.). (2021). Basic and clinical
pharmacology, 15th Ed. New York: McGraw-Hill Education.[ Diakses Maret
2024].Available at:https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=2988&sectionid=250593594.

Martalina Limbong.(2016). Farmakologi sosial dan pengelolaan obat. Yayasan


Kita.Menulis. [ Diakses Maret 2024].Available
at:http://repository.istn.ac.id/6185/1/Farmakologi-Sosial-Dan-Pengelolaan-
Obat.pdf.

Nuryati. ( 2017). Farmakologi 1th Ed. Pusat Pendidikan Sumber Daya Mnusia
Kesehatan.Jakarta: Indo.Kemkes.BPPSDM.

Sugiyono. (2006). Metode penelitian kualitatif, kuantitatif, dan RD.Bandung :


Alfabeta.
Tan, H.T & Kirana, R. (2017). Obat- obat penting khasiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya, 7th Ed. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2017). Principles of anatomy and physiology 15th
Ed.John Wiley & Sons.[ Diakses Maret 2024].Available
at:https://www.wiley.com/en-us/Principles+of+Anatomy+and+Physiology
%2C+15th+Edition+p-9781119320647.

Anda mungkin juga menyukai