Anda di halaman 1dari 14

Topic 3 dan 4

(kelompok 3)
Esther Irshafira (4411417042)
Yoga hardyanto (4411417040)

3. NASIB RACUN DALAM TUBUH (PENDAHULUAN, MEKANISME ABSORB,


MEKANISME DISTRIBUSI)

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari keracunan-keracunan yang ditimbulkan oleh


bahan-bahan kimia terutama yang disebabkan karena pemberian obat. Dalam ilmu Toksikologi
dipelajari penyebab penyebab keracunan, cara pengobatannya, serta tindakan tindakan yang
diambil untuk mencegah keracunan. Dalam kehidupan moderen sekarang, banyak dipakai
insektisida, pestisida, zat pengawet makanan yang mungkin dapat menyebabkan keracunan,
sehingga peranan Toksikologi sangat penting.

Kali ini akan dibahas mengenai fase kerja obat Farmakokinetik.

A. Farmakokinetik

Keseluruhan proses atau kejadian yang dialami molekul obat mulai saat masuknya obat ke
dalam tubuh sampai keluarnya obat tersebut dari dalam tubuh, disebut proses
farmakokinetik.Jadi melalui berbagai tempat pemberian obat, misalnya pemberian obat melalui
alat cerna atau diminum (peroral), otot-otot rangka (intramuskuler), kulit (topikal), paru-paru
(inhalasi), molekul obat masuk ke dalam cairan intra vaskuler setelah melalui beberapa dinding
(barrier) dan disebarkan ke seluruh tubuh serta mengalami beberapa proses. Pada umumnya obat
baru dikeluarkan (ekskresi) dari dalam tubuh setelah mengalami biotransformasi di hepar.
Ekskresi obat dapat melalui beberapa tempat, antara lain ginjal (urin) dan kulit (keringat). Untuk
lebih jelasnya mari kita pelajari dengan seksama tentang “Farmakokinetik”. Farmakokinetik
atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik
mencakup 4 (empat) proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan
ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif
sebagai proses eliminasi obat (Gunawan, 2008).
Proses kerja obat yang dibahas dalam bidang Farmakokinetik ini secara berurutan adalah
absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi. Keterangan untuk masing-masing proses tersebut
akan diterangkan sebagai berikut:

1. Absorbsi
Sebelum membahas lebih jauh tentang absorbsi obat, akan dibahas tentang rute
pemberian obat, yang terkait dengan cara masuknya obat ke dalam tubuh. Rute
pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat dan tujuan dari penggunaan obat sehingga
dapat memberikan efek terapi yang tepat.
Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. Enteral adalah
rute pemberian obat yang nantinya akan melalui saluran cerna seperti oral, rektal,
sublingual. Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk
melalui saluran cerna, dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran
cerna. Pemberian parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar
dan dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang cepat. Pemberian parenteral
memberikan kontrol paling baik terhadap dosis yang sesungguhnya dimasukkan kedalam
tubuh, seperti intravena, intramuscular dan subkutan.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Paling penting untuk diperhatikan
adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus
halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi
(panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2008).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui
jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi
melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi absorsi obat adalah metode absorpsi seperti Transport pasif dan
Transport aktif. Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses
difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Transport pasif dapat terjadi selama molekulmolekul kecil
dapat berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi
membran seimbang. Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari
daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi.
Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke
seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini
yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik,
jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.
2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan
dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor yaitu:
a) Aliran darah.
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan
jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar adalah jantung, hepar,
dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak, dan otot lebih
lambat
b) Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan
struktur obat.
c) Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein
dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat
bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan
berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein.
3. Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh mengubah komposisi
obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat
dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu: a) menjadi metabolit inaktif kemudian
diekskresikan; dan menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
bisadimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah
dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).Metabolisme obat terutama terjadi di hati,
yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat
metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan
kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian dapat berubah
menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme adalah sebagai berikut.
a) Kondisi Khusus. Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi
metabolisme, antara lain penyakit hepar seperti sirosis.
b) Pengaruh Gen. Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang
dapat memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
c) Pengaruh Lingkungan. Lingkungan juga dapat mempengaruhi
metabolisme, contohnya: rokok, keadaan stress, penyakit lama, operasi,
dan cedera
d) Usia.Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, yaitu usiabayi
versus dewasa versus orang tua.
4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi atau pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar
obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat juga dapat dibuang melalui
paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan traktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau
bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 (tiga) proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus, dan
reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-
12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Organ ke dua yang berperan
penting, setelah ginjal, untuk ekskresi obat adalah melalui empedu ke dalam usus dan
keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik
umum (Gunawan, 2008).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik adalah sebagai berikut.
a) Waktu Paruh. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga
setengah dari obat dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu
paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu paruh penting
diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b) Onset, puncak, dan durasi kerja obat. Onset adalah waktu dari saat obat
diberikan hingga obat terasa kerjanya. Waktu onset ini sangat tergantung
pada rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak, adalah waktu di
mana obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma. Setelah tubuh
menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh
semakin meningkat sehingga mencapai konsentrasi puncak respon. Durasi
kerja obat adalah lama waktu obat menghasilkan suatu efek terapi atau
efek farmakologis.

4. MENGETAHUI NASIB RACUN DALAM TUBUH

Nasib Racun dalam Tubuh: Metabolisme/


Biotransformasi zat racun & Ekskresi zat racun

4.1 Metabolisme/ Biotransformasi zat racun

Pada umumnya reaksi biotransformasi merubah xonobitika lipofil menjadi


senyawa yang lebih polar sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam tubuh
organinsme. Karena sel pada umumnya lebih lipofil dari pada lingkungannya, maka
senyawa-senyawa lipofil akan cendrung terakumulasi di dalam sel. Bioakumulasi
xenobiotika di dalam sel pada tingkat yang lebih tinggi yang dapat mengakibatkan
keracunan sel (sitotoksik), namun melalui reaksi biotransformasi terjadi penurunan
kepolaran xenobiotika sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam sel, oleh sebab
itu keracunan sel akan dapat dihindari. (Benet,dkk2004)

Pada prinsipnya senyawa yang hidrofil akan dengan mudah terekskresi melalui
ginjal. Ekskresi ini adalah jalur utama eliminasi xenobiotika dari dalam tubuh, oleh sebab
itu oleh tubuh sebagian besar senyawa-senyawa lipofil terlebih dahulu dirubah menjadi
senyawa yang lebih bersifat hidrofil, agar dapat dibuang dari dalam tubuh. Pada awalnya
toksikolog berharap melalui berbagai proses reaksi biokimia tubuh akan terjadi
penurunan atau pengilangan toksisitas suatu toksikan, sehingga pada awalnya reaksi
biokimia ini diistilahkan dengan reaksi ”detoksifikasi”.

Pada umumnya proses reaksi detoksifikasi /metabolisme akan mengakhiri efek


farmakologi dari xenobiotika (detoksifikasi / inaktivasi). Namun pada kenyaaanya
terdapat beberapa xenobiotika, justri setelah mengalami reaksi detoksifikasi/metabolisme
terjadi peningkatan aktivitasnya (bioaktivasi), seperti bromobenzen melalui oksidasi
membentuk bentuk bromobenzen epoksid. Bromobenzen epoksid akan terikat secara
kovalen pada makromlekul jaringan hati dan mengakibatkan nekrosis hati. Oleh sebab itu
dalam hal ini istilah detoksifikasi kurang tepat digunakan. Para ahli menyatakan lebih
tepat menggunakan istilah biotransformasi untuk menggambarkan reaksi biokimia yang
dialami oleh xenobiotika di dalam tubuh. Biotransformasi belangsung dalam dua tahap,
yaitu reaksi fase I dan fase II. Rekasi-reaksi pada fase I biasanya mengubah molekul
xenobiotika menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau
memfungsikan suatu kelompok fungsional (-OH, -NH2, -SH, - COOH), melibatkan
reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Kalau metabolit fase I cukup terpolarkan, maka ia
kemungkinannya akan mudah diekskresi. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak
segera dieliminasi dan mengalami reaksi berikutnya dengan suatu subtrat endogen,
seperti: asam glukuronida, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino ditempelkan pada
gugus polar tadi. Oleh sebab itu reaksi fase II disebut juga reaksi pengkopelan atau reaksi
konjugasi.

Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak spesifik


terhadap substrat. Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase) umumnya terikat
pada membran dari retikulum
endoplasmik dan sebagian terlokalisasi
juga pada mitokondria, disamping itu
ada bentuk terikat sebagai enzim
terlarut (seperti esterase, amidase,
sulfoterase). (Schmold A,2003)
Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya terdapat di dalam retikulum
endoplasmik halus, sedangkan sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase II sebagian
besar ditemukan di sitosol. Disamping memetabolisme xenobiotika, sistem enzim ini juga
terlibat dalam reaksi biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid,
biliribun, asam urat, dll). Selain organ-organ tubuh, bakteri flora usus juga dapat
melakukan reaksi metabolisme, khususnya reaksi reduksi dan hidrolisis.

4.1.1 Reaksi Fase I

Reaksi fase I ini juga disebut dengan reaksi fungsionalisasi, sebab melalui reaksi fase ini
(oksidasi, reduksi atau hidrolisis) menghasilkan suatu gugus fungsi, yang selanjutnya pada fase
ke II akan terkonjugasi.

a. Reaksi oksidasi

Reaksi oksidasi mempunyai peranan penting pada biotransformasi, khususnya


reaksi-reaksi yang melibatkan sistem enzim oksidase, monooksigenase dan dioksigenase.
Oksidase mengoksidasi melalui masuknya oksigen (elektron). Melalui mono-oksigenase
akan dimasukkan satu atom oksigen ke dalam xenobiotika dan molekul oksigen yang
lainnya akan direduksi menjadi air. Berbeda dengan dioksigenase, kedua atom oksigen
akan dimasukkan ke dalam xenobiotika. Sistem enzim yang yang mengkatalisis rekasi
oksigenase ini memerlukan sistem sitokrom P-450 dan NADPHsitokrom P-450
reduktase, NADPH dan molekul oksigen.

b. Reaksi reduksi

Dibandingkan dengan reaksi oksidasi, rekasi reduksi mempunyai peran minor


dalam biotransformasi. Gugus karbonil melalui alkoholdehidrogenase atau citoplasmik
aldo-ketoreduktase direduksi menjadi alkohol. Pemutusan ikatan azo menjadi amin
primer melalui pembentukan hidrazo melibatkan banyak enzimenzim, diantaranya:
NADPH-CYP-450-reduktase. Reduktif dehalogenasi sangat beperan penting dalam
detoksifikasi dari senyawa-senyawa alifatis halogen (Cl, Br dan I), seperti: Senyawa
karbon tetraklorida atau halotan.
c. Biohidrolisis

Banyak xenobiotika yang mengandung ikatan jenis ester dapat dihidrolisis,


diantaranya ester, amid dan fosfat. Reaksi-reaksi biohidrolisis yang penting adalah: -
Pemutusan ester atau amida menjadi asam karboksilat dan alkohol (atau amin) melalui
esterase atau amidase. - Perubahan epoksida menjadi vicinalen diol melalui enzim
epoksidihidratase - Hidrolisis dari acetylen (glikosida) melalui enzim glikosidase. Ester
atau amida dihidrolisis oleh enzim yang sama, namun pemutusan ester jauh lebih cepat
dari pada amida. Enzim-einzim ini berada di intradan juga extra selular, baik dalam
keadaan terikat dengan mikrosomal maupun terlarut. Enzim hidrolitik terdapat juga di
saluran pencernaan. Enzim-enzim ini akan menghidrolisis metabolit fase II (bentuk
konjugat menjadi bentuk bebasnya). Selanjutnya bentuk bebas ini dapat kembali
terabsorpsi menuju sistem peredaran darah. Proses ini dikenal dengan siklus
enterohepatik.

4.1.2 Reaksi fase II

Reaksi fase II melibatkan beberapa jenis metabolit endogen yang mungkin membentuk
konjugat dengan xenobiotika atau metabolitnya. Pembentukan konjugat memerlukan adanya
pusat-pusat reaktif dari substrat, biasanya gugus - OH, -NH2 dan -COOH. Reaksi-reaksi penting
pada fase II adalah kunjugasi dengan: - teraktivasi asam glukuronat, - teraktivasi sulfat, - asam
amino (khususnya glisin), - oligopeptida dan ikatan dengan turunan asam merkapturat, -
teraktivasi asam asetat, - metilasi. Hasil reaksi konjugasi bersifat sangat polar, sehingga sangat
cepat tereksresi melalui ginjal bersama urin dan / atau melalui empedu menuju saluran cerna.
Pada umumnya melalui reaksi fase II, xenobitika atau metabolit fase I mengalami deaktivasi.
Namun belakangan ini telah dilaporkan beberapa metabolit fase II justru mengalami aktivasi,
seperti morfin-6-glukuronida mempunyai aktivitas antianalgesik yang lebih poten dari pada
morfin.
4.2 Ekskresi zat racun

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud proses
eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi suatu
xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika
melalui ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar
mamai, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi
melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal (Siahaan, I. H,2016)

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh, xenobiotika/tokson dapat dikeluarkan


dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam bentuk asalnya maupun sebagai
metabolitnya. Jalus ekskresi utama adalah melalui ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru
juga merupakan alat ekskresi penting bagi tokson tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi
lain yang kurang penting seperti, kelenjar keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar mamai.

a. Ekskresi urin

Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi baik senyawa eksogen
(xenobiotika) maupun seyawa endogen, yang pada umumnya tidak diperlukan lagi oleh tubuh.
Proses utama ekskresi renal dari xenobiotika adalah: filtrasi glumerula, sekresi aktif tubular, dan
resorpsi pasif tubular. Pada filtrasi glumerular, ukuran melekul memegang peranan penting.
Molekul-molekul dengan diameter yang lebih besar dari 70 Å atau dengan berat lebih besar dari
50 kilo Dalton (k Da) tidak dapat melewati filtrasi glumerular. Oleh sebab itu hanya senyawa
dengan ukuran dan berat lebih kecil akan dapat terekskresi. Xenobiotika yang terikat dengan
protein plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal. Resorpsi pasiv tubular ditentukan
oleh gradien konsentrasi xenobitika antara urin dan plasma di dalam pembuluh tubuli. Berbeda
dengan resorpsi tubular, sekresi tubular melibatkan proses transpor aktif. Suatu tokson dapat juga
dikeluarkan lewat tubulus ke dalam urin dengan difusi pasif. (Fitriana, A. N. 2015)

b. Ekskresi empedu.
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi xenobiotika, terutama untuk
senyawa-senyawa dengan polaritas yang tinggi (anion dan kation), kojugat yang terikat pada
protein plasma, dan senyawa dengan berat molekul lebih besar dari 300. Umumnya, begitu
senyawa tersebut terdapat dalam empedu, mereka tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan
dikeluarkan lewat feses. Namun terdapat pengecualian konjugat glukuronida, dimana konjugat
ini oleh mikroflora usus dapat dipecah menjadi bentuk bebasnya dan selanjunya akan diserap
kembali menuju sistem sirkulasi sistemik. Peran pentingnya ekskresi empedu telah ditunjukkan
oleh beberapa percobaan, dimana toksisitas dietilstibestrol meningkat 130 kali pada tikus
percobaan yang saluran empedunya diikat.

c. Ekskresi paru-paru.

Zat yang pada suhu badan berbentuk gas terutama diekskresikan lewat paruparu. Cairan
yang mudah menguap juga mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang sangat mudah larut
lemak seperti kloroform dan halotan mungkin diekskresikan sangat lambat, karena mereka
tertimbun dalam jaringan lemak dan 23 karena keterbatasan volume ventilasi. Ekskresi
xenobiotika melalui paru-paru terjadi secara difusi sederhana lewat membran sel.

d. Jalur lain.

Jalur ekskresi ini umumnya mempunyai peranan yang sangat kecil dibandingkan jalur
utama di atas, jalur-jalur ekskresi ini seperti, ekskresi cairan bersama feses, ekskresi tokson
melalui kelenjar mamai (air susu ibu, ASI), keringan, dan air liur. Jalur ekskresi lewat kelenjar
mamai menjadi sangat penting ketika kehadiran zat-zat racun dalam ASI akan terbawa oleh ibu
kepada bayinya atau dari susu sapi ke manusia. Karena air susu bersifat agak asam, maka
senyawa basa akan mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma, dan
sebaliknya untuk senyawa yang bersifat asam. Senyawa lipofilik, misalnya DDT dan PCB juga
mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu karena kandungan lemaknya dalam susu yang
relatif tinggi.

PERTANYAAN PRESENTASI 24 MARET 2020

“NASIB RACUN DALAM TUBUH”

Anggota : Esther Irshafira 4411417042


Yoga hardiyanto 4411417040

F.Ayuningtyas (4411417060)

Pertanyaan : ijin bertanya, contoh dari toksikan yang tidak terionisasi apa saja?

Jawaban : Izin menjawab, contohnya yang terionisasi adalah racun metil merkuri, yang
mudah memasuki otak dan toksisitas utama yang terletak di sistem saraf pusat.
Sebaliknya, senyawa merkuri anorganik tidak larut lemak (tidak terionisasi), tidak
mudah masuk ke otak, dan memberi efek yang merugikan utamanya bukan pada
otak tetapi pada ginjal.

Desy (4411417002)

Pertanyaan : kesimpulan pada Biotransformasi toksikan itu terjadi pada saat kondisi tubuh yg
seperti apa?

Jawaban :biotransformasi itu bisa ada dua tipe di aktivasi atau di detoksifikasi,nah dua
duanya tergantung enzyme yang spesifik,kalau zat toksik mekanisme tubuh akan
mendetoksifikasi,jikalau obat obatan maka akan diaktivasi.jadi tergantung tubuh
sedang menelan zat toxic atau obat maka ada mekanisme biotransformasi
senyawa xenobiotik tersebut

Selliana MWK (4411417038)

Pertanyaan : Toksikan dikeluarkan dari tubuh salah satunya ASI. Nah, berarti ASI itu toksikan
yg bagaimana ya? Berkaca dgn ASI adalah salah satu nutrisi untuk bayi.

Jawaban : perlu diketahui terlebih dahulu bahwa toksikan adalah sebuah zat beracun yang
diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, kecuali zat buatan manusia yang
diciptakan melalui proses artifisial.

ASI tidak beracun asall sang ibu tidak merokok atau minum alcohol.Menurut
para ahli, sebagian kecil nikotin yang terdapat pada rokok dapat masuk ke dalam
ASI. Hal ini pun dikhawatirkan bisa membuat kualitas ASI menjadi
menurun.Selain itu kebiasaan merokok saat menyusui, terlebih jika dilakukan
dekat dengan bayi, juga dapat membuat kesehatannya terganggu karena
terpapar oleh asap rokok.

Previanda arditama (4411417071)

Pertanyaan : Dalam prosesnya biotransformasi berarti menyesuaikan dengan jenis


xenobiotik yg masuk ke dalam tubuh sehingga di ekskresikan sesuai jalurnya, apa
benar begitu ? Lalu apakah ada xenobiotik yang mempengaruhi berbagai jalur
adsorbsi dan eksresinya sehingga dalam detoksifikasi dilakukan dari berbagai
bagian seperti di ginjal, lambung, usus, hati ?

Jawaban : menurut saya begitu prep,setiap xenobiotik yang masuk dalam tubuh memiliki
struktur yang beragam,karena itu pasti proses dengan enzym yang spesifik,untuk
organ yang berperan tergantung enzym tersebut terdapat dimana contohnya ini
ya ada senyawa Xenobiotik,akan dikonjugasikan dengan sulfat yang dikatalisis
oleh sulfotransferase (enzim) yang menghasilkan ester asam sulfurat yang sangat
hidrofil. Kosubstrat sulfasi adalah PAPS. Konjugasi sulfat melibatkan transfer
sulfonat dari PAPS ke xenobiotik. Meskipun begitu, sulfasi juga berperan dalam
mengubah xenobiotik menjadi metabolit tumorigenik. Umumnya konjugat
xenobiotik sulfat dieksresikan melalui urin

Rhismayanti (4411417053)

Pertanyaan : Mohon maaf rhisma izin bertanya. Saya pernah mendengar tentant toksik yg
bersifat biomagnifikasi? Bisakah anda menjelaskan biomagnifikasi berdasarkan
materi anda?

Jawaban : wah kelompok kami ga mendalami itu rhis Biomagnifikasi merupakan proses
perpindahan polutan yang tidak dapat diuraikan oleh lingkungan, biasanya
berupa pestisida dengan tingkat bahaya yang tinggi misalnya DDT,  yang
mengikuti arah dari rantai makanan yang dimulai dari produsen dan akhirnya
akan terakumulasi pada karnivora tingkat paling atas atau manusia,tapi
pengertiannya ini

M.helmi eka nugraha (4411417066)

Pertanyaan : untuk zat xenobiotik pada tubuh responya bergantung jenis zatnya ketika
bersifat obat akan diaktivasi ketika bersifat racun akan di detoksifikasi,
pertanyaanya bagaimana apabila konsumsi obat secara berlebihan ( melewati
dosis ) apakah zat dalam tubuh akan terus diaktivasi ? Kaitanya dengan dogma
setiap zat adalah racun. Terimakasih

Jawaban : Izin menjawab, menurut saya maka dari itu kita dianjurkan untuk meminum
obat sesuai dg resep dokter. Alasannya apa, ya memang semua zat adalah toksik.
Namun dalam hal ini kita melaksanakan atau mengikuti dosis karena dosis
merupakan batasan agar suatu zat masih memiliki efek menyembuhkan bukan
sbg zat toksik, nah jika melewati dosis zat trsbut akan berubah menjadi toksik
dan mau tidak mau akan didetoksifikasi

Naeli T qonita (4411417065)

Pertanyaan : Lalu bagaimana korelasinya dengan kasus orang yang ginjalnya mengalami
kerusakan karena kelebihan dosis ataupun kesalahan dalam meminum obat
karena obat tersebut tidak sesuai dengan keluhannya

Jawaban :Memang beberapa obat terdapat efek samping khusus pada ginjal,kenapa?
karena pada dasarnya ginjal memfiltrasi darah.Contoh Obat NSAID (Non
steroidal Anti Inflammatory Drugs) biasanya digunakan untuk mengobati
demam, pembengkakan dan nyeri sendi. Salah satu cara kerja obat ini adalah
dengan melebarkan pembuluh darah. Namun efeknya akan mengurangi aliran
darah ke ginjal dan berpotensi menimbulkan kerusakan. NSAID juga bisa
langsung melukai jaringan ginjal. Obat NSAID menjadi penyebab kerusakan ginjal
adalah ibuprofen, celecoxib, naproxen dan indometasin.
DAFTAR PUSTAKA

Benet, L.Z., Kroetz D.L. And Sheiner L.B., (2004), “Pharmacokinetics The Dynamics Of Drug
Absorption, Distribution, And Elimination”, In Hardman J.G., Goodman Gilman A..,
Limbird L.E., “Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics”, 9th
Edn, Mcgraw-Hill, New York P. 3-27. 2.

Fitriana, A. N. (2015). Forensic Toxicology. Jurnal Majority, 4(4).

Gunawan, I.W.G., Gede Bawa, I.G.A., dan Sutrisnayanti, N.I., 2008, Isolasi Dan Identifikasi
Senyawa Terpenoid Yang Aktif Antibakteri Pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri
linn), Jurnal Kimia (2) 1 : 31-39.

Schmold A. (2003), “Wirkungsbedingunen Von Giften“, In Madea, B. Und Brinkmann B.,


“Handbuch Gerichtliche Medizin, Band 2.“, Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New
York. S. 14-30.

Siahaan, I. H., Tobing, T. C., Rosdiana, N., & Lubis, B. (2016). Dampak Kardiotoksik Obat
Kemoterapi Golongan Antrasiklin. Sari Pediatri, 9(2), 151-6.

Anda mungkin juga menyukai