Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keseluruhan proses atau kejadian yang dialami molekul obat mulai saat

masuknya obat ke dalam tubuh sampai keluarnya obat tersebut dari dalam

tubuh, disebut proses farmakokinetik. Farmakokinetik atau kinetika obat

adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik

mencakup 4 (empat) proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D),

metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan

ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif sebagai proses eliminasi obat (Noviani,

dkk., 2017).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke

dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat

adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.

Paling penting untuk diperhatikan adalah cara pemberian obat per oral,

dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki

permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280

cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili) (Noviani, dkk., 2017).

Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam

tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat yang

diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh

tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal

ini yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat

1
menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang

sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak

(Noviani, dkk., 2017).

B. Rumusan Masalah

Bagaimana proses absorpsi obat yang menjadi sebagai salah satu faktor

untuk menetapkan profil farmakokinetika obat?

C. Tujuan

Agar Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan proses absorpsi

obat sebagai salah satu faktor untuk menetapkan profil farmakokinetika obat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Absorpsi Obat ke Dalam Tubuh

Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke

dalam darah. Tempat pemberian obat adalah oral, kulit, paru, otot, dan lain-

lain. Tempat pemberian obat yang utama adalah per oral, karena mempunyai

tempat absorbsi yang sangat luas pada usus halus, yakni 200 m 2 (Indijah dan

Fajri, 2016).

Absorpsi obat adalah proses senyawa obat yang dipindahkan dari tempat

absorpsinya kedalam sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada

karakteristik tempat absorpsi, aliran aliran darah ditempat absorpsi, sifat fisika

kimia obat dan karakteristik produk (bentuk sediaan). Berbagai bentuk sediaan

obat dengan cara pemberiannya, menentukan tempat absorpsi obat. Terdapat

tujuh macam mekanisme absorpsi obat, tetapi pada umumnya dikelompokkan

menjadi dua yaitu mekanisme difusi, pasif dan transpor aktif atau transpor

dengan fasilitas (Aslam, dkk., 2003).

Proses absorbsi obat melewati membran sel terbagi menjadi beberapa

macam, yaitu (Indijah dan Fajri, 2016):

1. Difusi Pasif

Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif. Maka sebagai barier

absorbsi adalah membran sel epitel saluran cerna yang seperti halnya

semua membran sel tubuh kita merupakan lipid bilayer. Dengan demikian,

agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus mempunyai

3
kelarutan dalam lemak (setelah larut terlebih dahulu dalam air). Kecepatan

difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat

(selain kadar obat lintas membran yang merupakan driving force proses

difusi, dan dengan luasnya area permukaan membran tempat difusi).

Pemberian obat sublingual hanya untuk obat yang sangat larut dalam

lemak karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus

melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin.

2. Transport Aktif

Transport aktif merupakan transport yang difasilitasi oleh pembawa.

Karakteristik dari transport aktif adalah pemindahan obat melawan gradien

konsentrasinya di mana obat dengan dari tempat dengan konsentrasi

rendah dibawa ke daerah dengan konsentrasi tinggi, oleh karena itu

diperlukan energi untuk transport aktif. Transport aktif membutuhkan

carrier yang mengikat obat, membawanya melintasi membran dan

melepaskannya disisi lainnya. Molekul pembawa sangat selektif terhadap

molekul obat tertentu. Misalnya, transport aktif iodida dari darah ke koloid

kelenjar tiroid.

3. Difusi Difasilitasi

Difusi difasilitasi merupakan transport yang difasilitasi oleh

pembawa. Perbedaannya dengan transport aktif adalah obat bergerak

melalui gradien konsentrasi (dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah)

sehingga tidak memerlukan energi.

4
4. Transport Vesikular

Transport vesikular adalah proses penelanan partikel atau zat terlarut

oleh sel. Pinositosis dan fagositosis adalah bentuk dari transport vesikuler.

Selama pinositosis atau fagositosis membran sel mengelilingi material dan

menelannya dan melepaskan disisi lainnya. Transport vesikular digunakan

untuk absorbsi vaksin volio dan protein berukuran besar.

5. Pore Transport

Molekul yang sangat kecil, seperti urea, air, dan gula dapat dengan

cepat menembus membran bila membran memiliki pori-pori.

6. Pembentukan Ion Pair

Obat yang bersifat elektrolit kuat atau molekul yang terionisasi kuat,

seperti amin kuartener yang dapat mempertahankan muatannya dalam

semua pH fisiologis, dapat menembus membran dengan membentuk

ikatan dengan molekul dengan muatan yang berlawanan sehingga muatan

keseluruhan netral. Kompleks netral ini berdifusi dengan lebih mudah

melewati membran. Contoh propranolol yang membentuk pasangan ion

dengan asam oleat.

Mekanisme absorpsi obat melalui difusi pasif dipengaruhi oleh Pka obat.

pH tempat absorpsi dan fraksi obat yang tidak terionkan. Hal-hal yang dapat

mempercepat atau memperlambat perpindahan obat dari tempat absorpsi

kedalam sirkulasi sistemik juga akan mempengaruhi laju absorpsi obat,

misalnya kecepatan pengosongan lambung (apabila tempat absorpsinya pada

saluran cerna), peningkatan aliran darah yang disebabkan oleh peminjatan atau

5
panas (meningkatkan laju reaksinya). Sebalinya penurunan aliran darah,

disebabkan oleh obat-obat yang mampunyai efek vasokontriksi, syok, atau

penyakit lain dapat memperlambat absorpsi. Contoh lain yang mempengaruhi

laju absorpsi sebagai akibat dari faktor ionisasi adalah aspirin, aspirin bersifat

asam, dalam lambung dengan pH rendah, berada dalam bentuk yang tidak

terionkan sehingga absorpsi aspirin cepat (Aslam, dkk., 2003).

Pada awalnya, proses yang terjadi adalah disitegrasi, disolusi sehingga

obat berada dalam keadaan terlarut (pada bentuk sediaan padat). Dalam lumen

saluran cerna kemungkinan obat mengalami penguraian karena pH lambung,

enzim, flora pada saluran cerna dan komponen lainnya. Selanjutnya proses

penembusan obat kedinding saluran cerna (absorpsi) menuju sirkulasi

sistemik, pada tahap penembusan ini kemungkinan obat mengalami

metabolisme. Metabolisme obat pada proses absorpsi ini dapat terjadi di hati

melalui vena porta sebelum masuk kesirkulasi sistemik, peristiwa ini diberi

istilah first-pass effect (metabolisme lintas pertama). Berkurangnya obat

selama proses absorpsi sehingga menyebabkan jumlah obat yang sampai ke

sirkulasi sistemik berkurang dari dosis yang diberikan, dikatakan obat tersebut

mengalami eliminasi presistemik (Aslam, dkk., 2003).

Biovailabilitas (ketersediaan hayati) obat adalah merupakan ukuran laju

dan besarnya obat mencapai sirkulasi sistemik. Parameter farmakokinetika

yang menggambarkan laju absorpsi adalah Ka (tetapan laju absorpsi) tmaks

(waktu obat mencapai konsentrsi puncak) dan Cpmaks (konsentrasi obat

mencapai minimum), sedangkan parameter yang menggambarkan besarnya

6
obat yang mencapai sirkulasi sistemik adalah AUC (luas area di bawah kurva)

obat dalam plasma dan F (fraksi dosis terabsorpsi atau ketersediaan hayati)

absolut atau relative (Aslam, dkk., 2003).

Berkurangnya jumlah obat dikarenakan metabolisme lintas pertama

dapat disebabkan oleh pengaruh (Aslam, dkk., 2003):

1. Formulasi obat antara lain karakteristik pembawa, pH sediaan, ukuran

partikel, perbedaan bentuk kristal

2. Metode pabrikan (granulasi basah dan kering, lama pegadukan, lama

pemanasan, pembentukan dispersi).

3. Karakteristik tempat absorpsi (pH lingkungan, volume media, luas

permukaan tempat absorpsi, aliran darah dan kecepatan pengosongan

lambung

4. Karakteristik obat (kelarutan, disolusi, Pka, koefisien partisi, habit, dan

lain-lain

5. Mekanisme absorpsi obat

Berbagai bentuk sediaan obat, kaplet, kapsul, suspensi, larutan, atau

bentuk sediaan pemberian ekstra vaskuler lainnya kemungkinan mempunyai

ketersediaan hayati berbeda dikarenakan faktor satu dan faktor lainnya di atas

baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama (Aslam, dkk., 2003).

Sediaan bentuk oral merupakan sediaan yang paling banyak berada

dipasaran, selain pemakaiannya lebih mudah juga lebih praktis dibawa dan

mungkin juga lebih ekonomis. Kekurangan bentuk sediaan oral berupa

keterbatasannya dalam mengabsorpsi semua obat karena obat mempunyai

7
karakteristik yang berbeda, misalnya polaritasnya tinggi, berat molekulnya

besar, stabilitasnya pada saluran cerna, muntah akibat iritasi pada mukus

saluran cerna, ketidakteraturan absorpsi karena adanya makanan atau obat

lainnya (Aslam, dkk., 2003).

Injeksi parenteral (iv) mempunyai keuntungan dibandingkan sediaan oral

atau ekstra vaskuler lainnya. Ketersediaan hayati lebih dapat dipastikan,

sehingga mula kerja obat dan lama kerja obat juga lebih dapat ditegakkan.

Pada kasus gawat darurat pemberian parenteral lebih efisien, misalnya pada

keadaan pasien tidak sadar, tidak kooferatif atau tidak dapat menerima apapun

dari mulut. Obat dalam bentuk parenteral ini juga mempunyai kekurangan

antara lain asepsis harus dijaga, nyeri yang menyertai injeksi dan bagi pasien

tidak mungkin menggunakannya sendiri serta faktor biaya. Dibawah ini adalah

contoh karakteristik cara pemberian sediaan obat yang dapat disesuaikan

dengan keadaan pasien dan status penyakit (Aslam, dkk., 2003).

Tabel Karakteristik Berbagai Cara Pemberian Sediaan Obat

Rute Pola Absorpsi Kegunaan Keterbatasan

Intravena Tidak ada 1. Pada keadaan 1. Meningkatkan


absorpsi, gawat darurat. resiko efek
memberikan 2. Memungkinkan samping.
efek dengan titrasi dosis. 2. Harus
segera 3. Diperlukan untuk menginjeksikan
obat-obat peptida larutan dengan
dan protein perlahan-lahan.
dengan berat 3. Tidak sesuai
molekul tinggi. untuk larutan
yang berminyak
atau zat-zat yang
tidak larut.
Subkutan Cepat untuk 1. Sesuai untuk 1. Tidak sesuai
larut dalam air. larutan yang untuk larutan

8
Lambat untuk volumenya besar bervolume besar.
sediaan dan untuk zat 2. Kemungkinan
cadangan yang mengiritasi timbul rasa nyeri
bila dilarutkan. atau kematian sel
2. Sesuai untuk akibat zat-zat
suspensi yang yang mengiritasi.
tidak larut dan
untuk implantasi
lempengan
padat.
Intramuskular Cepat, untuk Sesuai untuk 1. Hindari selama
larutan dalam larutan yang pengobatan
air volumenya cukup dengan
Lambat, untuk besar (moderat), antikoagulan.
sediaan larutan yang 2. Dapat
cadangan berminyak dan mempengaruhi
larutan yang interpretasi
mengiritasi diagnostik
tertentu,
misalnya
creatine kinase.
Oral Tidak tetap Penggunaannya 1. Membutuhkan
tergantung mudah dan kerja sama
pada banyak ekonomis, biasanya pasien.
faktor lebih aman. 2. Ketersediaan
hayati obat-obat
yang sulit larut
tidak menentu
dan tidak
lengkap,
absorpsinya
lambat atau
dimetabolisme
secara luas oleh
hati dan atau
usus.

B. Pengaruh Terhadap Laju Disolusi

Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat

menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Disolusi secara singkat didefinisikan

sebagai proses melarutnya suatu solid. Bentuk sediaan farmasetik padat

9
terdispersi dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas

dari sediaannya dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan

absorpsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan

respons klinis (Maharani, 2017). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

laju disolusi ialah:

1. Pengaruh Faktor Fisika-Kimia Bahan Obat Terhadap Laju Disolusi

Sifat-sifat fisika-kimia zat aktif memiliki peranan dalam

pengendalian disolusinya dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam

air diketahui sebagai salah satu dari berbagai faktor yang menentukan laju

disolusi (Maharani, 2017). Sifat-sifat fisika-kimia obat yang

mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan zat aktif, bentuk kristal,

serta ukuran partikel (Mufti, 2018).

a. Kelarutan Zat Aktif

Kelarutan merupakan faktor fisikokimia penting yang

mempengaruhi penyerapan dan efektivitas terapi obat. Kelarutan

dalam air yang buruk dan laju disolusi obat dalam cairan

gastrointestinal yang rendah, akan menyebabkan bioavailabilitas obat

rendah pada tubuh (Kumar et al., 2009).

Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam

menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju

disolusi yang cepat (Maharani, 2017). Kelarutan merupakan faktor

yang penting dalam penghantaran obat secara oral. Untuk obat dengan

kelarutan yang rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, tahap penentu

10
absorpsi obat ditentukan oleh proses disolusi. Sehingga, diperlukan

suatu usaha untuk meningkatkan disolusi dengan meningkatkan

kelarutannya sehingga mempercepat proses absorpsi dan onset kerja

obat (Trianggani dan Sulistiyaningsih, 2018).

b. Bentuk Kristal

Bentuk dan struktur kristal dapat mempengaruhi sifat fisik

maupun sifat farmasetik suatu senyawa obat. Bentuk kristal dapat

mempengaruhi berbagai karakter farmasi suatu zat yaitu daya semprot

suspensi, perilaku materi saat proses pembuatan tablet antara lain sifat

alir, kompresibilitas dan disolusi materi kristal. Bentuk kristal lebih

sukar larut dibandingkan bentuk padat lainnya misalnya amorf karena

struktur molekul kristal yang teratur (Sari, 2008).

c. Ukuran Partikel

Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan

obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi

meningkat (Maharani, 2017).

2. Pengaruh Sifat Farmasetik Sediaan Terhadap Laju Disolusi

Sifat-sifat zat aktif dan excipient (bahan pembantu) dapat

dikombinasikan sehingga menjadi suatu sediaan farmasi yang aman,

berkhasiat, dan berkualitas (Sinala dan Junaedi, ).

Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang

mempengaruhi proses disolusi meliputi metode granulasi atau

prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif dan eksipien,

11
pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada laju disolusi

(Maharani, 2017).

Selain itu sifat suatu sediaan dapat dipengaruhi oleh faktor formulasi.

Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan meliputi (Maharani,

2017):

a. Efek Formulasi

Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur

dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur

yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat

yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan

tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.

b. Efek Faktor Pembuatan Sediaan

Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat

yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil

seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan

menambah laju disolusi.

3. Pengaruh Farmakokinetika Zat Aktif Terhadap Laju Disolusi

Parameter farmakokinetika adalah konstanta yang menunjukkan

profil obat yang dapat diperkirakan dari data – data percobaan. Parameter

farmakokinetika diperoleh dari profil kinetika dari obat yang dapat

diperoleh melalui kurva konsentrasi obat terhadap waktu. Konsentrasi obat

dapat diukur sebagai fungsi terhadap waktu di beberapa cairan tubuh

12
seperti darah, plasma, serum, saliva dan urin. Konsentrasi obat dalam

darah mencerminkan perubahan kinetika di sirkulasi sistemik.

Absorpsi menjelaskan mengenai perpindahan obat dari tempat

pemberian ke dalam sirkulasi sistemik (darah). Tetapi secara klinik, yang

lebih penting adalah bioavailabilitas. Bioavailabilitas merupakan

persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai

/ tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif setelah

pemberian obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya darah

terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (Indriyani, 2007). Studi

bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui

maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and

Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu

produk obat untuk dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat

tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan (Mufti, 2018).

Bioavailabilitas suatu obat dapat ditunjukan dengan data in vitro

yang dilakukan seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi

terbanding. Bioavailabilitas obat bergantung pada obat yang berada dalam

keadaan terlarut. Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji

pendahuluan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan

fabrikasi terhadap profil disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas

dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding (Mufti, 2018).

Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi

farmakokinetik, studi farmakodinamik komperatif, atau uji klinik

13
komparatif. Dokumentasi ekivalensi in vivo diperlukan jika ada resiko

bahwa perbedaan bioavailabilitas dapat menyebabkan inekivalensi terapi,

yaitu (Maharani, 2017):

a. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik.

b. Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk

bekerja sistemik.

c. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.

d. Kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah

satu zat aktifnya memerlukan studi in vivo.

e. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non-sistematik (oral,

nasal, okular, dermal, rektal, vaginal dsb) dan dimaksudkan untuk

bekerja lokal (tidak untuk diabsorbsi sistemik). Untuk produk

demikian, bioekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau

farmakodinamik, dermatofarmakokinetik komparatif dan/atau studi

in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah

masih diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat

adanya absorbsi yang tidak diinginkan.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan teori yang telah dibahas, adapun kesimpulan yang dapat

kita tarik yaitu absorpsi merupakan suatu proses pemindahan senyawa obat

dari tempat absorpsinya menuju sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada

karakteristik tempat absorpsi, aliran aliran darah ditempat absorpsi, sifat fisika

kimia obat dan karakteristik produk (bentuk sediaan).

Proses absorpsi obat merupakan salah satu faktor untuk menetapkan

profil farmakokinetika obat terutama para rute pemberian oral, karena pada

kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah masih diperlukan

dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorbsi yang tidak diinginkan.

B. Saran

Adapun saran dari makalah ini adalah untuk memperbanyak literatur

mengenai teori yang diangkat serta untuk pembaca agar dapat memberikan

kritik dan saran yang membangun mengenai kelengkapan isi dan penyusunan

makalah ini

15
DAFTAR PUSTAKA

Aslam, M., Tan, C., K., Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
Menuju Pengobatan Rasional dan Perhargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT
Gramedia.

Indijah, S., W., dan Fajri, P. 2016. Farmakologi. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Indriyani, V. 2007. Perbandingan Bioavailabilitas Antara Tablet Biogesic® dan


Tablet Pamol® dengan Tablet Paracetamol Generik Pada Kelinci Putih
Jantan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Maharani, I., R. 2017. Uji Disolusi Terbanding Tablet Floating Metformin HCl.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Mufti, R., H. 2018. Uji Disolusi Terbanding. Purwokerto: Universitas


Muhammadiyah Purwokerto.

Noviani, Nita dan Vitri Nurilawati. 2017. Farmakologi. Jakarta. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Sari, O., J. 2008. Kristalisasi dan Karakterisasi Kristal Paracetamol. Depok:


Universitas Indonesia.

Sinala, S., dan Junaedi. Farmasi Fisika. Makassar: Potekkes Kemenkes Makassar.

Trianggani, D., F., dan Sulitiyaningsih. Dispersi Padat. Bandung: Universitas


Padjadjaran. Volume 16 Nomor 1.

16

Anda mungkin juga menyukai