Anda di halaman 1dari 18

“CEDERA DAN KEMATIAN SEL”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Patologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit yang

disebabkan oleh karena ada perubahan struktur dan fungsi sel dan jaringan

tubuh. Patologi mempunyai tujuan utama yaitu mengidentifikasi penyebab

sebuah penyakit sehingga akan memberikan petunjuk pada program

pencegahan, pengobatan dan perawatan terhadap penyakit yang diderita

pasien. Istilah patologi berasal dari Yunani yaitu pathos artinya emosi, gairah

atau menderita sedangkan ology artinya ilmu. Jadi patologi adalah ilmu

penderitaan atau ilmu penyakit (Suyanto. 2016).

Cedera adalah kelainan yang terjadi pada tubuh yang mengakibatkan

timbulnya nyeri, panas, merah, bengkak, dan tidak dapat berfungsi baik pada

otot, tendon, ligamen, persendian, maupun tulang akibat aktivitas gerak yang

berlebihan atau kecelakaan (Fauzi, Ikhwan Bakri. 2017).

Pada dasarnya cedera dapat terjadi disebabkan karena faktor-faktor dari

dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) yang kurang dijaga dan

diperhatikan sehingga dapat menyebabkan terjadinya cedera baik pada otot

maupun rangka. Mengenai gejala yang timbul akibat cedera dapat berupa

peradangan yang merupakan mekanisme mobilisasi pertahan tubuh dan reaksi

1
fisiologis dari jaringan rusak baik akibat tekanan mekanis, kimiawi, panas,

dingin dan invasi bakteri (Fauzi, Ikhwan Bakri. 2017).

Kematian sel yang terprogram atau apoptosis ini merupakan suatu

kejadian yang normal pada perkembangan dan pemeliharaan kesehatan pada

organisme multiseluler. Sel yang mati ini merupakan respon terhadap

berbagai stimulus, dan selama apoptosis, sel ini dikontrol dan diatur; dan sel

yang mati kemudian di fagosit oleh sel makrofag (Purwaningsih, Endang.

2014).

Pada apoptosis, sel-sel yang mati memberikan sinyal yang diperantarai

oleh caspase. Gen caspase ini merupakan bagian dari cysteine protease yang

akan aktif pada perkembangan sel maupun sinyal aktif pada destruksi atau

kerusakan sel. Selain itu, apoptosis dapat dipicu/berhubungan dengan

terjadinya pemendekan telomer, suatu replikasi nukleotida di ujung

kromosom di dalam inti sel eukariotik (Purwaningsih, Endang. 2014).

Berdasarkan uraian diatas, kita perlu mengetahui lebih lanjut mengenai

tentang cedera dan kematian sel. Oleh karena itu, penulis akan membahas

seperti apa cedera yang menyebabkan kematian sel. Serta apa saja sel yang

diserang.

B. Rumusan Masalah

Berdarakan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan kita

bahas dalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana yang dimaksud organisasi seluler?

2. Apa yang dimaksud dengan Modalitas Cedera Seluler?

2
3. Apa saja Sel Yang Diserang ?

4. Bagaimana Perubahan Morfologik Pada Sel Yang Cedera Sub Letal ?

5. Apa yang dimaksud dengan Kematian seluler ?

6. Bagaimana nasib jaringan nekrotik ?

7. Bagaimana yang dimaksud dengan kalsifikasi patologik ?

8. Bagaimana yang dimaksud dengan kematian somatik ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan kajian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui tentang organisasi seluler

2. Untuk mengetahui tentang Modalitas Cedera Seluler

3. Untuk mengetahui tentang Sel Yang Diserang

4. Untuk mengetahui tentang Morfologik Pada Sel Yang Cedera Sub Letal

5. Untuk mengetahui tentang Kematian seluler

6. Untuk mengetahui tentang nasib jaringan nekrotik

7. Untuk mengetahui tentang kalsifikasi patologik

8. Untuk mengetahui tentang kematian somatik

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Organisasi Seluler

Sel dibatasi oleh membran sel, yang tidak saja memberi bentuk sel tetapi

juga melekatkannya pada sel lain. Bahkan yang lebih penting, membran sel

bekerja sebagai pintu gerbang dari dan ke sel, memungkinkan hanya zat-zat

tertentu saja lewat pada kedua jurusan, dan bahkan secara aktif mengangkut

beberapa zat secara selektif. Membran sel juga yang harus menerima tanda

pengaturan dari sekitar tubuh dan menghantarkan tanda ini ke bagian dalam sel

(Ahmad, Kadir, Abdul. 2012).

Di dalam sel terdapat nukleus, yang bertindak sebagai pusat pengaturan

karena ternyata bahwa DNA terpusat di dalamnya. Instruksi yang disandikan

dalam DNA nukleus sebenarnya dilaksanakan di dalam sitoplasma, bagian sel

yang di luar nukleus. Sitoplasma adalah medium berair yang mengandung

banyak struktur yang demikian kecilnya sehingga mereka hanya dapat dilihat

dengan mikroskop elektron. Organ-organ ultra mikroskopis ini disebut

organela dan fungsi mereka sangat khusus meskipun dalam batas sebuah sel.

Mitokondria adalah organela yang ditugaskan untuk produksi energi di dalam

sel (Ahmad, Kadir, Abdul. 2012).

1. Pengertian Sel

Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil

untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari

bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil. Makhluk hidup ada yang

4
tersusun oleh satu sel (uniseluler) ada juga makhluk hidup yang tersusun

oleh banyak sel (multiseluler). Setiap sel tersusun atas tiga komponen

utama yaitu membran sel, protoplasma, dan inti sel (Nur, Fahira, dkk.

2014).

2. Organisasi Sel

Telah diketahui bahwa sel adalah unit struktural dan fungsional

terkecil dari tubuh manusia. Kumpulan sel akan membentuk organ dan

jaringan sehingga kerusakan pada sel dapat berlanjut menjadi kerusakan

organ dan jaringan yang berakhir pada kegagalan system tubuh dalam

menjalankan fungsinya. Akhirnya akan nampak gangguan fungsi tubuh

manusia tersebut (Suyanto. 2016).

Sel mengandung struktur fisik yang terorganisir dinamakan organel

yang terdiri dari dua bagian utama yaitu inti (nucleus) dan sitoplasma

(cytoplasma). Keduanya dipisahkan oleh membrane inti. Agar lebih jelas

di bawah ini disajikan diagram sel dan bagian-bagiannya (Suyanto. 2016).

Sel mengadung dua bagian utama, inti dan sitoplasma. Inti

dipisahkan dari sitoplasma oleh mebran inti dan sitoplasma dipisahkan dari

cairan sekitarnya oleh membrane sel. Substansi yang menyusun sel

bersama – sama disebut protoplasma. Protoplasma terdiri atas lima zat

dasar yaitu air, elektroit, protein, lipid dan karbohidrat (Nur, Fahira, dkk.

2014).

Berikut ini akan dijelaskan berapa bagian sel penting dan

fungsinya yang harus Saudara diketahui (Suyanto. 2016) :

5
a. Retikulum endoplasma adalah bagian sel yang memiliki fungsi

mensintesa protein, lipid dan enzim.

b. Mitokondria adalah bagian sel yang memiliki fungsi memproduksi

energi dalam sel. Mengolah berbagai zat makanan untuk

menghasilkan tenaga penggerak bagi kegiatankegiatan lain dari sel.

c. Lisosom adalah bagian sel yang berfungsi sebagai organ pencernaan

sel.

d. Inti adalah bagian sel yang berfungsi sebagai pusat pengawasan atau

pengaturan sel dan pembawa gen.

B. Modalitas Cedera Seluler

Penyebab terjadinya cedera sel tentu sangat beragam. Penyebab atau faktor

terjadinya cedera sel yaitu :

a. Kekurangan Oksigen.

Sel-sel khususnya bergantung pada suplai oksigen yang kontinyu,

sebab energi dari reaksi-reaksi kimia oksidatiflah yang menggerakkan sel

dan mempertahankan integritas berbagai komponen sel. Karena itu, tanpa

oksigen berbagai aktivitas pemeliharaan dan sintesis sel berhenti dengan

cepat (Ahmad, Kadir, Abdul. 2012).

b. Kekurangan zat makanan penting

c. Agen fisik (Trauma, panas, dingin, radiasi, listrik)

Sebab yang penting yang dapat melukai sel adalah agen fisik, yang

sebenarnya menyangkut robeknya sel, atau paling sedikit adanya gangguan

hubungan spasial antara berbagai organela atau gangguan integritas

6
struktural dari salah satu organela atau lebih. Jadi, cedera akibat mekanik

dan suhu penting sebagai penyebab penyakit pada manusia (Ahmad,

Kadir, Abdul. 2012).

d. Agent infeksius (biologi)

Agen-agen menular yang hidup merupakan sebab cedera, dan

terdapat banyak cara di mana organisme tertentu menimbulkan cedera

pada sel (Ahmad, Kadir, Abdul. 2012).

e. Agen kimia dan obat-obatan

Agen kimia sering dapat melukai sel. Zat-zat toksik ini tidak saja

masuk ke dalam sel dari lingkungan melainkan merupakan akumulasi zat-

zat endogen (seperti "kesalahan" metabolisme yang ditentukan secara

genetik) dapat melukai sel-sel dengan cara yang sama (Ahmad, Kadir,

Abdul. 2012).

f. Reaksi imunologik

g. Kelainan genetik

C. Sel Yang Diserang

Efek pertama sel yang cedera adalah lesi biokimiawi, yaitu perubahan

reaksi kimia/metabolik didalam sel. Bila telah terjadi kerusakan biokimiawi,

maka sel dapat menyebabkan gangguan fungsi sel secara fisiologi. Namun,

sering kali sel dapat tetap bekerja tanpa gangguan fungsi.

Pada sel dengan kelainan biokimia dan kelainan fisiologi dapat

menyebabkan perubahan morfologik atau anatomi. Perubahan-perubahan yang

tampak pada pemeriksaan mikroskopik rutin umumnya adalah perubahan-

7
perubahan yang sudah lama, karena banyak kelainan biokimia dan kelainan

fisiologi mungkin sudah terjadi sebelum kelainan anatomis terjadi.

Suatu serangan terhadap sel tidak selalu mengakibatkan gangguan fungsi,

karena umumnya terdapat mekanisme adaptasi sel terhadap berbagai gangguan

stimulus.

Misalnya, suatu reaksi umum, pada sel otot yang mendapat tekanan terus-

menerus maka proses adaptasinya disebut hipertropi contoh umumnya yaitu

terjadi pembesaran jantung pada penderita hipertensi. Jadi sel-sel otot jantung

dari seorang dengan tekanan darah tinggi akan membesar untuk

menanggulangi tekanan memompa melawan tahanan yang meningkat.

Jenis adaptasi serupa terjadi juga pada tantangan kimiawi tertentu.

Barbiturat dan zat-zat tertentu lain biasanya dimetabolisme dalam sel-sel hati,

di bawah pengaruh sistem enzim yang terdapat dalam sel-sel ini dibantu oleh

retikulum endoplasma. Pada seseorang yang menelan barbiturat, sering terjadi

peningkatan pada jumlah retikulum endoplasma di dalam sel-sel hati, dan ini

berhubungan dengan kenaikan kandungan enzim dalam sel-sel ini dan

menambah kemam- puan untuk metabolisme obat ini. 

D. Perubahan Morfologik Pada Sel Yang Cedera Sub Letal

Apabila sel mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering sel-sel

tersebut menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat

dikenali. Secara potensial perubahan-perubahan subletal ini reversibel,

sehingga jika rangsang yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel

kembali sehat seperti semula.

8
Sebaliknya, perubahan-perubahan ini mungkin merupakan suatu langkah

ke arah kematian sel jika pengaruh yang berbahaya ini tidak dapat diatasi.

Perubahan subletal terhadap sel secara tradisional disebut degenerasi atau

perubahan degeneratif. Walaupun tiap sel dalam tubuh dapat menunjukkan

perubahan-perubahan semacam itu, tetapi pada umumnya sel yang terlibat

adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, seperti sel hati, ginjal dan jantung.

Perubahan-perubahan degeneratif cenderung melibatkan sitoplasma sel,

sedangkan nukleus mempertahankan integritas mereka selama sel tidak

mengalami cedera letal. Walaupun agen-agen yang menimbulkan luka atau

yang menyerang sel sangat banyak jumlahnya, kelainan morfologis yang

diperlihatkan oleh sel agak terbatas.

Bentuk perubahan degeneratif sel yang paling sering dijumpai adalah

penimbunan air di dalam sel yang bersangkutan. Cedera menyebabkan

hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Biasanya, dalam rangka

untuk menjaga kestabilan lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi

metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Ini terjadi pada tingkat

membran sel. Apapun yang mengganggu metabolisme energi dalam sel atau

sedikit saja melukai membran sel, dapat membuat sel tidak mampu memompa

ion natrium yang cukup. Akibat osmosis yang wajar dari kenaikan konsentrasi

natrium di dalam sel adalah masuknya air ke dalam sel.

Akibatnya adalah perubahan morfologis yang disebut pembengkakan sel.

Untuk perubahan ini dulu disebut pembengkakan yang keruh, mencerminkan

keadaan organ yang sel-selnya mengalami perubahan seperti setengah matang,

9
dan sel- sel yang terkena secara mikroskopis terlihat sitoplasmanya granular.

Bila air tertimbun di dalam sitoplasma, organela sitoplasma menyerap air ini,

menyebabkan pembengkakan mitokondria, pembesaran retikulum endoplasma,

dan sebagainya.

Perubahan yang lebih penting dari pembengkakan sel sederhana adalah

penimbunan lipid intrasel. Jenis perubahan ini sering dijumpai pada ginjal, otot

jantung dan khususnya hati.

Perubahan lemak secara potensial bersifat reversibel tetapi sering

mencerminkan kelainan hebat pada sel dan dengan demikian merupakan

langkah menuju kematian sel. Respon lain dari sel-sel yang terserang adalah

pengurangan massa, secara harafiah merupakan suatu penyusutan.

Pengurangan ukuran sel, jaringan, atau organ yang didapatkan semacam itu,

disebut atrofi.

Dalam perjalanannya menjadi atrofi, sel harus mengabsorpsi sebagian dari

unsur-unsurnya. Hal ini disebut otofagositosis atau otofagi, secara harafiah

merupakan proses memakan diri sendiri, di mana enzim- enzim mencernakan

bagian-bagian sel yang ada dalam vakuola sitoplasma.

E. Kematian Seluler

Apabila terdapat pengaruh berbahaya pada sebuah sel yang cukup hebat

atau kuat dan berlangsung cukup lama, maka sel akan mencapai titik di mana

sel tidak lagi dapat beradaptasi dan tidak dapat melangsungkan metabolism,

proses-proses ini menjadi ireversibel dan selanjutnya akan menyebabkan

kematian sel (Nekrosis).

10
Nekrosis merupakan kematian sel lokal. Perubahan morfologis pada

nekrosis umumnya yaitu perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik

yang dapat melibatkan sitoplasma sel, Oleh karena itu, bagian intilah yang

paling jelas menunjukkan perubahan-perubahan kematian sel.

Biasanya inti sel yang mati itu menyusut, batasnya tidak teratur, dan

berwarna gelap dengan zat warna yang biasanya digunakan oleh para ahli

patologi. Proses ini dinamakan piknosis dan intinya disebut piknotik.

Kemungkinan lain, inti dapat hancur, dan meninggalkan pecahan-pecahan

zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses ini disebut karioreksis.

Akhirnya, pada beberapa keadaan, inti sel yang mati kehilangan kemampuan

untuk diwarnai dan menghilang begitu saja, proses ini disebut kariolisis.

Perubahan morfologis paling jelas yang menunjukkan kematian sel adalah

perubahan morfologi pada inti yaitu :

1. inti normal

2. inti piknotik

3. inti karioreksis

4. inti yang sudah mengalami kariolisis.

Penampilan morfologis jaringan nekrotik berbeda-beda tergantung pada

akibat kegiatan litik dalam jaringan mati. Jika kegiatan enzim-enzim litik

dihambat oleh keadaan lokal, maka sel-sel nekrotik itu akan mempertahankan

bentuk mereka, dan jaringannya akan mempertahankan ciri-ciri arsitekturnya

selama beberapa waktu. Jenis nekrosis ini dinamakan nekrosis koagulativa dan

11
khususnya sering dijumpai bila nekrosis disebabkan oleh hilangnya suplai

darah.

Nekrosis koagulativa adalah jenis nekrosis yang paling sering dijumpai.

Dalam beberapa keadaan jaringan nekrotik sedikit demi sedikit mencair akibat

kerja enzim, proses ini dinamakan nekrosis liquefaktiva. Ini khususnya sering

terjadi pada daerah otak yang nekrotik, dan akibatnya secara harafiah adalah

lubang dalam otak yang terisi oleh cairan.

Pada keadaan lain sel-sel nekrotik itu hancur, tetapi pecahan-pecahan sel

yang terbagi halus itu tetap berada di daerah itu selama berbulan-bulan sampai

bertahun-tahun, jelas tidak dapat dicernakan. Jenis nekrosis ini disebut nekrosis

kaseosa karena kenyataan bahwa daerah yang terkena tampak seperti keju yang

hancur jika dilihat secara makroskopik.

Prototipe keadaan yang menimbulkan nekrosis kaseosa adalah

tuberkulosis, walaupun jenis nekrosis ini dapat ditemukan pada banyak

keadaan lain.

Gangren merupakan salah satu jenis nekrosis koagulativa, biasanya

disebabkan oleh tidak adanya suplai darah, disertai pertumbuhan bakteri

saprofit. Gangren timbul pada jaringan nekrotik yang terbuka terhadap bakteri

yang hidup.

Nekrosis lemak enzimatik (atau pankreatik) sebagian besar terbatas di

rongga abdomen karena merupakan daerah yang terbuka terhadap kebocoran

enzim pankreas. Jika jaringan adiposa di tempat lain menjadi nekrotik, ceceran

lipid dari sel-sel yang mati itu dapat menimbulkan respon peradangan, tetapi

12
tidak ada pembentukan endapan-endapan kuning berkapur, yang khas untuk

nekrosis lemak enzimatik.

Akibat nekrosis yang paling nyata adalah hilangnya fungsi daerah yang

mati itu. Jika jaringan yang nekrotik itu merupakan sebagian kecil dari organ

dengan cadangan yang besar (umpamanya, ginjal), mungkin tidak ada

pengaruh fungsional pada tubuh. Sebaliknya, jika daerah nekrosis merupakan

bagian otak, maka akibatnya adalah defisit neurologis yang hebat atau bahkan

mungkin kematian.

Selain itu, daerah nekrotik dalam beberapa keadaan dapat menjadi fokus

infeksi, merupakan medium pembiakan yang baik sekali bagi pertumbuhan

organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain dalam tubuh.

Tanpa terkena infeksi pun, adanya jaringan nekrotik di dalam tubuh dapat

menimbulkan perubahan sistemik tertentu, seperti demam, leukositosis, dan

berbagai gejala subyektif.

F. Nasib Jaringan Nekrotik

Jika daerah suatu jaringan mengalami nekrosis, biasanya dapat

menimbulkan respon peradangan pada bagian jaringan yang berdekatan.

Sebagai akibat dari respon peradangan ini, maka jaringan yang mati akhirnya

dihancurkan dan dihilangkan, membuka jalan bagi proses perbaikan yang

mengganti daerah nekrosis dengan sel-sel regenerasi yang sama dengan yang

hilang atau dalam banyak keadaan dengan jaringan parut.

Jika jaringan yang nekrosis terletak pada permukaan tubuh (misalnya,

sepanjang epitel permukaan saluran cerna), maka jaringan itu akan dengan

13
mudahnya mengelupas dan meninggalkan celah pada permukaan yang disebut

tukak.

Jika daerah yang nekrotik tidak dihancurkan atau dibuang, maka biasanya

daerah itu akan ditutup dengan kapsula jaringan penghubung fibrosa dan

akhirnya akan diisi dengan garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah

yang bersirkulasi di daerah nekrosis.

Proses kalsifikasi ini mengakibatkan daerah nekrosis mengeras seperti

batu dan menetap.

G. Kalsifikasi Patologik

Kalsifikasi patologis merupakan kondisi pengendapan garam-garam

kalsium yang tidak larut pada aliran darah, yang membuat jaringan kaku dan

keras.

Kalsifikasi Distrofik pada umumnya ialah jaringan yang terluka atau

jaringan nekrotik yang tidak secara cepat dihancurkan dapat menjadi tempat

kalsifikasi. Tempat kalsifikasi distrofik yang sering dijumpai adalah pada

dinding arteri yang sudah mengalami aterosklerotik. Dimana, pengerasan arteri

ini disebabkan oleh pengendapan kalsium. Garam-garam kalsium juga

cenderung mengendap, dengan berlanjutnya usia, di daerah yang sebelumnya

merupakan tulang tawan seperti rawan iga. Kalsifikasi distrofik yang

mengendap pada tempat-tempat ini dapat mengalami perubahan nyata menjadi

tulang, proses ini disebut osifikasi heterotropik.

Kalsifikasi Metastatik merupakan Garam-garam kalsium yang mengendap

dalam jaringan-jaringan lunak tubuh yang sebelumnya tidak dijumpai pada

14
kerusakan jaringan atau nekrosis. Proses ini terjadi bukan karena kelainan

jaringan, melainkan karena konsentrasi garam kalsium dan fosfor yang

abnormal di dalam sirkulasi darah.

Konsentrasi garam kalsium dan garam fosfat dipengaruhi oleh kegiatan

kelenjar paratiroid, fungsi ginjal, asupan kalsium dan vitamin D dalam

makanan, dan integritas rangka. Jadi, kalsifikasi metastatik dapat terlihat pada

hiperparatiroidisme, fungsi ginjal yang menurun, diet yang abnormal, dan lesi

destruktif sistem rangka, yang membebaskan garam kalsium dalam jumlah

besar.

H. Kematian Somatik

Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda-

tanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan gerakan pernapasan, suhu

badan menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada rekaman EEG.

Setelah dua jam, kematian somatik akan diikuti kematian biologik yang

ditandai dengan kematian sel (Tomuka, Djemi, dkk. 2013).

Kriteria kematian somatic yaitu (Hafiah, Indria. 2014) :

1. Terhentinya fungsi sirkulas secara ireversibel (denyut jantung)

2. Terhentinya fungsi pernafasan

3. Terhentinya fungsi otak (tidak ada reflex batang otak)

Setelah kematian tubuh actual terjadi, sel – sel individual tetap hidup di

waktu yang berbeda-beda. Perubahan yang tidak dapat pulih kemudian terjadi

pada sel organ. Perubahan postmortem mencangkup rigor mortis (menjadi

kaku), livor mortis (bercak biru kemerahan), algor mortis (tubuh menjadi

15
dingin), bekuan intravascular, autolysis (oleh enzim-enzim pencernaan) dan

putrefaksi (pembusukan) (Tambayong, Jan. 2000).

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari kajian diatas adalah Cedera

adalah kelainan yang terjadi pada tubuh yang mengakibatkan timbulnya nyeri,

panas, merah, bengkak, dan tidak dapat berfungsi baik pada otot, tendon,

ligamen, persendian, maupun tulang akibat aktivitas gerak yang berlebihan

atau kecelakaan.

Modalitas Cedera sel dapat terjadi akibat kekurangan oksigen, agen fiik,

agen infeksius, agen kimia,reaksi imunologik ataupun kelainan genetik. Saat

terjadi cedera, efek pertama atau sel yang di serang akan menimbulkan suatu

lesi biokimiawi. Perubahan yang paling mencolok saat terjadi cedera pada

suatu sel yaitu pada morfologia yang disebut pembengkakan sel. Adapun nasib

jaringan yang mengalami nekrosis yaitu adanya respon peradangan pada

bagian jaringan yang berdekatan. Kalsifikasi patologis merupakan kondisi

pengendapan garam-garam kalsium pada aliran darah. Perlu kita ketahui juga

bahwa Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati

tanda-tanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan gerakan pernapasan.

B. Saran

Adapun saran untuk penulis yaitu agar memperbanyak literature

mengenai teori yang diangkat serta untuk pembaca agar dapat memberikan

kritik dan saran yang membangun mengenai kelengkapan isi dan penyusunan

kajian teori ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kadir, Abdul. 2012. Cedera dan Kematian Sel. Poltekkes Kemenkes
Makassar : Makassar.

Fauzi, Ikhwan Bakri. 2017. Klasifikasi Cedera, Pemahman Penanganan, dan


Lokasi Cedera Pada Saat Latihan Penari Sanggar Omah Wayang
Kabupaten Klaten. Universitas Begeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Hafiah, Indria. 2014. Cedera Sel. Universitas Halu Oleo : Kendari.

Nur, Fahira, dkk. 2014. Organisasi Sel. Universitas Padjadjaran : Jatinagor.

Purwaningsih, Endang. 2014. Pemendekatan Telomer dan Apoptosis. Department


of Anatomy, Faculty of Medicine, YARSI University, Jakarta. JURNAL
KEDOKTERAN YARSI 22 (2) : 132-141 (2014).

Suyanto. 2016. Patologi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta


Selatan.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Tomuka, Djemi, dkk. 2013. Tinjauan Medikolegal Perkiraan saat Kematian.


Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret 2013, hlm.
S37-41.

18

Anda mungkin juga menyukai