Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SYOK ANAFILAKSIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gawat Darurat

Dosen Pengampu :

Andi Budiyanto, S.Kep.,Ns.,M.Kep Ns Eva Yustilawati,S.Kep, M.Kep

Ns Ilhamsyah,S.Kep, M.Kep Ns. Musdalifah, S.Kep, M.Kep

Ns Ardian, S.Kep, M.Kep


Oleh:

KELOMPOK III KEPERAWATAN A

Sri windayanti (70300117013)

Hesti wulandari (70300117014)

Gita lestari (70300117015)

Adriana Febriani (70300117016)

Nely alfiani (70300117017)

Nurhikma (70300117018)

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS


ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena dengan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas keperawatan
yang berjudul “Makalah Syok Anafilaksis” yang disusun untuk memenuhi tugas
final mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Penyusun mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan lancar.
Tujuan suatu pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
membentuk sumber daya manusia yang handal dan berdaya saing, membentuk
watak dan jiwa sosial, berbudaya, berakhlak dan berbudi luhur, serta
berwawasan pengetahuan yang luas dan menguasai teknologi. makalah ini
dibuat oleh penyusun untuk membantu memahami materi tersebut. Mudah-
mudahan makalah ini memberikan manfaat dalam segala bentuk kegiatan belajar,
sehingga dapat memperlancar dan mempermudah proses pencapaian yang
telah direncanakan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, segala kritikan dan saran yang membangun akan saya terima dengan
lapang dada sebagai wujud koreksi atas diri penyusun yang masih belajar. Akhir
kata, semoga askep ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Samata, 21 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B.Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................3

A. Defenisi...................................................................................................3
B. Etiologi....................................................................................................3
C. Patofisiologi............................................................................................5
D. Manifestasi Klinis....................................................................................6
E. Klasifikasi................................................................................................8
F. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................9
G. Penatalaksanaan..................................................................................20

BAB IV PENUTUP.............................................................................................. 24

A. Kesimpulan.......................................................................................... 24

B. Saran.................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles
Richet dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe cepat yang melibatkan lebih dari satu sistem organ.
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat menyebabkan kematian. Di
amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan terdapat 150 kematian akibat
reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800 kematian setiap
tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2007-2010,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk
mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh obat
sebesar 63,9%.2,3. Salsabila, (2019).
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-
obatan berbeda beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan
prevalensi sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010,
pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang
sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak
27,8%. Smeltzer, (2012)
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan
terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak
terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi
seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.
Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis
karena tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan
laboratorium yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik.
Reaksi anafilaktik dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja
operasi, bahkan di rumah pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien

1
dan keluarga merupakan salah satu upaya preventif dalam kasus ini.
Salsabila,(2019).

B. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Defenisi Syok Anafilaksis.
2. Untuk Mengetahui Etiologi Syok Anafilaksis.
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Syok Anafilaksis.
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Syok Anafilaksis.
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi Syok Anafilaksis.
6. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Syok Anafilaksis.
7. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Syok Anafilaksis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Syok Anafilatik


Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata
lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).Syok
anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. ( Rehatta,2012)
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis
dan merupakan bagian dari syok distributif yang ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah
dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya
sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis
secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala
utamanya Salsabila, (2019).
B. Etiologi
Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle, dan Cheever (2012) Syok anafilaktik
disebabkan oleh reaksi alergi. Ketika pasien telah menghasilkan antibodi
terhadap antigen, antibodi tersebut berkembang menjadi menjadi reaksi
antobodi-antigen sistemik. Reaksi antibodi-antigen ini akan memicu sel mast
untuk melepaskan zat vasoaktif seperti histamin atau bradikinin. Hal ini akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah kapiler.
Menurut Porth dan Matfin (2010), Syok anafilaktik hasil dari reaksi
imunologi di mana zat vasodilator seperti histamin yang dilepaskan ke dalam
darah. Zat-zat ini menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula bersamaan
dengan permeabilitas kapiler. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat,
terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras.
Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan
antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies.
Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat

3
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain),
vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga,
kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat
menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau
racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.

Allergen Penyebab Anafilaksis


Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Am
photericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan
HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

4
C. Patofisiologi
Menurut Rehatta MN. (2012). Anafilaksis dikelompkkan dalam
Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type reaction) oleh Coombs dan Gell
(1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis
diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi
melalui 3 fase mekanisme:
1. Fase Sensitisasi Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas atau
saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian
terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basophil
2. Fase Aktivasi Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula
yang disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah
dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis. Banyak tanda dan
gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada reseptor
tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea,
takikardia dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor
berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane
sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi
pembuluh darah.

5
3. Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmokologik pada organorgan tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi, mucus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien
Patofisiologi reaksi anafilaksis

D. Manifestasi Klinis
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-
beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok
anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan
yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa
jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan
penderita. Sudoyo. (2012).
1. Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung
tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema
laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan

6
penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya
menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap
gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi.
Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme
merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
2. Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari
gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan
sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi
merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi
sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga
banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi
hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang
menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
3. Gangguan kulit
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan
nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
4. Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
5. Sistem saraf pusat
Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.

7
6. Lain-lain
Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.

E. Klasifikasi
Menurut Sudoyo (2012). Klasifikasi syok anafilaksis Dalam table dibawah
ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan dari gejala
klinis :

Grand Dirmal Abdominal Respiratory Rekomendasi


I Pruritus
flash
Urticaria
angiodema
II Pruritus Nausea Rhimorthoea Tachycardia “ > 20
Flush Cramping Hoaperiess bpm”
Urticaria Dyspnea Blood premure change
Angioedema “ > 20 mmHg “
“not mandatory” Arrhythmia
III Pruritus Vontiniting Laryngeal
Flush Devecation oedema Shock
Urticaria Diarrhoea bennchospasm
Angioedema cyanosis
“not mandatory”
IV Pruiritas Vontiniting respiratory
Flush Devecation arrest Cardiac arrest
urticaria diarhoea
Angioedema
“not mandatory”

Disamping table diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi


hipersentifitas/anafilaksis oleh brown 2004 yaitu:

1. Ringan “ hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit” seperti:


eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.

8
2. Sedang “melibatkan system respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal”
seperti: sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing “pre sincope”
3. Berat “hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis” seprti:
sianosis “SpO2 kurang lebih Sembilan puluh persen” hipotensi “SBP <
Sembilan puluh mmHg pada dewasa”, kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontenansia.

Reaksi dengan erajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut,


sedangkan untuk derajat sedang dan beratmerupakan gambaran klinis
anafilaksis.

F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang pada syok anafilaksis menurut ( stephen,
2011 ). yaitu :
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat
dugaan adanya reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
a. Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
b. Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-
80% pasien.
c. IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap
alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo
Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes
ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
d. Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi
reaksi anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel
mast. Triptase merupakan protease yang berasal dari sel mast.
e. Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik
dalam kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi
yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan

9
tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes tempel (patch test),
intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan
kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G
dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan.
Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika
dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara
menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.
f. Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala.
Adapun pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu :
a. Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun.
b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
2. pemeriksaan radiologi
a. X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

G. Penatalaksanaan
Menurut Fitria,C.N. (2010). Penatalaksanaan syok anafilaktik tindakan
segera yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain

10
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
karotis, atau femoralis segera lakukan kompresi jantung luar.

Sedangkan Menurut Salsabila, N.A. (2019). penatalaksanaan dengan


menggunakan obat-obatan dapat di lakukan melalui tahap seperti berikut :
1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return
sehingga tekanan darah ikut meningkat.

2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang


sangat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.

3. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan


utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan
tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai
sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler


yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian
secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl
fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin
tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi

5. sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan


mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi
obat tidak terjadi.

11
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme
belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan
perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi
melalui drips infus bila dianggap perlu.

7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah


adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5–20
mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason
5–10 mg IV atau hidrokortison 100–250 mg IV.

8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung


(cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus
dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat
kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
ada, maka sewajarnya di setiap ruang praktek seorang dokter tersedia
selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan
secepatnya.

9. (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.

Rencana Tindak Lanjut


Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis
serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga.
Konseling dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya
terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin,
anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan
mencoba menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada
riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat
lain yang lebih aman.
Kriteria Rujukan

12
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan
tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.

Peralatan
1. Infus set
2. Oksigen
3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial, deksametason
ampul
4. NaCl 0,9%

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
2. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat obatan, makanan,gigitan
serangga, bahan biologis
3. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE
pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator
inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme: sensitisasi,
aktivasi dan efektor
4. Tanda dan gejala berdasarkan klasifikasi
a. Ringan “ hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit” seperti:
eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
b. Sedang “melibatkan system respirasi, kardiovaskuler,
gastrointestinal” seperti: sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah,
pusing “pre sincope”
c. Berat “hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis” seprti:
sianosis “SpO2 kurang lebih Sembilan puluh persen” hipotensi
“SBP < Sembilan puluh mmHg pada dewasa”, kolaps, penurunan
kesadaran dan inkontenansia.
5. Adapun pemeriksaan penunjang yaitu :
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun.
2) Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. pemeriksaan radiologi
1) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus,
plug.
2) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
6. Penatalaksanaan
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,

14
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru
c. Cari bantuan ke rs terdekat
d. Segera injeksikan ephinephrin
e. Bila ada indikasi berikan oksigen 6-8 liter
f. Pasang infus dengan cairan NaCl 0,9 % 1-2 liter secara cepat
g. Lakukan RJK jika diperlukan
h. Monitor / observasi setiap 5-15 menit
B. SARAN
1. Dibutuhkan peran perawat untuk membantu menyelesaikan masalah
Syok anafilaksis
2. Dibutuhkan kerja sama antar petugas kesehatan untuk mendukung
keberhasilan intervensi asuhan keperawatan pada keperawatan gawat
darurat
3. Pelayanan keperawatan gawat darurat harus dikembangkan karena
keperawatan gawat darurat sangat di butuhkan
4. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia keperawatan dan dapat
dijadikan sebagai literatur

15
DAFTAR PUSTAKA

Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of


The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.

Fitria,C.N. (2010). Syok Dan Penanganannya.Gaster : Jurnal


Kesehatan,2010,7 .2 : 593-604

Porth, C. M., Martfin, G. (2010). Pathophysiology Concepts Of Altered Health


States. China: Lippincott Company.

Rehatta Mn. 2012. Syok Anafilaktik Patofisiologi Dan Penanganan. In : Update


On Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran
Universitas Airlangga Surabaya.

Salsabila, N.A. (2019). Analisis Pencegahan Dan Penanganan Anafilaksis Di


Masyarakat.INA-Rxiv June,5

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H. (2012). “Brunner &
Suddarth’s: Textbook Of Medical-Surgical Nursing, 12th
Edition”. China: Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams & Wilkins

Sudoyo. W Aru, Dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Iv. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Jakarta.

Timby, B. K., Smith, N. E. (2010). “Introductory Medica-Surgical Nursing, 10th


Edition”. China: Lippincott Williams & Wilkins

16

Anda mungkin juga menyukai