Dosen Pengampu :
Nurhikma (70300117018)
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
B.Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................3
A. Defenisi...................................................................................................3
B. Etiologi....................................................................................................3
C. Patofisiologi............................................................................................5
D. Manifestasi Klinis....................................................................................6
E. Klasifikasi................................................................................................8
F. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................9
G. Penatalaksanaan..................................................................................20
BAB IV PENUTUP.............................................................................................. 24
A. Kesimpulan.......................................................................................... 24
B. Saran.................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles
Richet dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe cepat yang melibatkan lebih dari satu sistem organ.
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat menyebabkan kematian. Di
amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan terdapat 150 kematian akibat
reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800 kematian setiap
tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2007-2010,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk
mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh obat
sebesar 63,9%.2,3. Salsabila, (2019).
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-
obatan berbeda beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan
prevalensi sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010,
pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang
sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak
27,8%. Smeltzer, (2012)
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan
terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak
terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi
seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.
Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis
karena tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan
laboratorium yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik.
Reaksi anafilaktik dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja
operasi, bahkan di rumah pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien
1
dan keluarga merupakan salah satu upaya preventif dalam kasus ini.
Salsabila,(2019).
B. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Defenisi Syok Anafilaksis.
2. Untuk Mengetahui Etiologi Syok Anafilaksis.
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Syok Anafilaksis.
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Syok Anafilaksis.
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi Syok Anafilaksis.
6. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Syok Anafilaksis.
7. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Syok Anafilaksis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain),
vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga,
kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat
menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau
racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
4
C. Patofisiologi
Menurut Rehatta MN. (2012). Anafilaksis dikelompkkan dalam
Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type reaction) oleh Coombs dan Gell
(1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis
diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi
melalui 3 fase mekanisme:
1. Fase Sensitisasi Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas atau
saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian
terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basophil
2. Fase Aktivasi Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula
yang disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah
dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis. Banyak tanda dan
gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada reseptor
tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea,
takikardia dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor
berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane
sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi
pembuluh darah.
5
3. Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmokologik pada organorgan tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi, mucus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien
Patofisiologi reaksi anafilaksis
D. Manifestasi Klinis
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-
beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok
anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan
yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa
jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan
penderita. Sudoyo. (2012).
1. Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung
tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema
laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan
6
penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya
menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap
gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi.
Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme
merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
2. Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari
gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan
sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi
merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi
sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga
banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi
hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang
menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
3. Gangguan kulit
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan
nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
4. Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
5. Sistem saraf pusat
Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.
7
6. Lain-lain
Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.
E. Klasifikasi
Menurut Sudoyo (2012). Klasifikasi syok anafilaksis Dalam table dibawah
ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan dari gejala
klinis :
8
2. Sedang “melibatkan system respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal”
seperti: sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing “pre sincope”
3. Berat “hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis” seprti:
sianosis “SpO2 kurang lebih Sembilan puluh persen” hipotensi “SBP <
Sembilan puluh mmHg pada dewasa”, kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontenansia.
F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang pada syok anafilaksis menurut ( stephen,
2011 ). yaitu :
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat
dugaan adanya reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
a. Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
b. Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-
80% pasien.
c. IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap
alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo
Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes
ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
d. Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi
reaksi anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel
mast. Triptase merupakan protease yang berasal dari sel mast.
e. Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik
dalam kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi
yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan
9
tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes tempel (patch test),
intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan
kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G
dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan.
Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika
dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara
menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.
f. Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala.
Adapun pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu :
a. Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun.
b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
2. pemeriksaan radiologi
a. X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
G. Penatalaksanaan
Menurut Fitria,C.N. (2010). Penatalaksanaan syok anafilaktik tindakan
segera yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
10
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
karotis, atau femoralis segera lakukan kompresi jantung luar.
11
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme
belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan
perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi
melalui drips infus bila dianggap perlu.
12
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan
tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Peralatan
1. Infus set
2. Oksigen
3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial, deksametason
ampul
4. NaCl 0,9%
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
2. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat obatan, makanan,gigitan
serangga, bahan biologis
3. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE
pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator
inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme: sensitisasi,
aktivasi dan efektor
4. Tanda dan gejala berdasarkan klasifikasi
a. Ringan “ hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit” seperti:
eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
b. Sedang “melibatkan system respirasi, kardiovaskuler,
gastrointestinal” seperti: sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah,
pusing “pre sincope”
c. Berat “hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis” seprti:
sianosis “SpO2 kurang lebih Sembilan puluh persen” hipotensi
“SBP < Sembilan puluh mmHg pada dewasa”, kolaps, penurunan
kesadaran dan inkontenansia.
5. Adapun pemeriksaan penunjang yaitu :
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun.
2) Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. pemeriksaan radiologi
1) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus,
plug.
2) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
6. Penatalaksanaan
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
14
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru
c. Cari bantuan ke rs terdekat
d. Segera injeksikan ephinephrin
e. Bila ada indikasi berikan oksigen 6-8 liter
f. Pasang infus dengan cairan NaCl 0,9 % 1-2 liter secara cepat
g. Lakukan RJK jika diperlukan
h. Monitor / observasi setiap 5-15 menit
B. SARAN
1. Dibutuhkan peran perawat untuk membantu menyelesaikan masalah
Syok anafilaksis
2. Dibutuhkan kerja sama antar petugas kesehatan untuk mendukung
keberhasilan intervensi asuhan keperawatan pada keperawatan gawat
darurat
3. Pelayanan keperawatan gawat darurat harus dikembangkan karena
keperawatan gawat darurat sangat di butuhkan
4. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia keperawatan dan dapat
dijadikan sebagai literatur
15
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H. (2012). “Brunner &
Suddarth’s: Textbook Of Medical-Surgical Nursing, 12th
Edition”. China: Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams & Wilkins
Sudoyo. W Aru, Dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Iv. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Jakarta.
16