Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ATRESIA

DUKTUS HEPATIKUS / ATRESIA BILIER

Disusun oleh:

Mita oktavia S. (20191660026)

Galuh ivani Aprilia P. (20191660149)

Nindy suci Kartika sari (20191660068)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syujur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya kami
dapat menyelesaikan tugas Asuhan Keperawatan Atresia Bilier ini dalam rangka melengkapi
tugas mata kuliah Keperawatan Anak II. Pada makalah ini kami akan membahas materi
mengenai bagaimana Asuhan Keperawatan pada anak dengan atresia duktus hepatikus atau
yang biasa disebut dengan atresia bilier yang kami susun dari berbagai sumber dan kami
rangkum pada laporan ini.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik
berupa ide-ide maupun yang terlibat langsung dalam pembuatan makalah ini. Kami juga
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua untuk dijadikan penunjang dalam mata
kuliah Keperawatan Anak II.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan atau kekurangan
kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat terbuka supaya laporan ini dapat diperbaiki dan
menjadi lebih baik lagi untuk berikutnya.

Surabaya, 14 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

1.1 LatarBelakang .......................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................
1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................................

BAB II STUDI LITERATUR....................................................................................................

2.1 Definisi ................................................


2.2 Etiologi ..............................................................................................................
2.3 Patofisiologi .......................................................................................................
2.4 Web of Caution ...........................................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis.........................................................................................................
2.6 Klasifikasi ....................................................................................................................
2.7 Komplikasi .........................................................................................................
2.8 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................
2.9 Penatalaksanaan ...........................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................

3.1 Pengkajian .....................................................................


3.2 Prioritas masalah ................................................................
3.3 Diagnosa keperawatan ....................................................................................
3.4 Intervensi keperawatan ..............................................................
BAB IV PENUTUP....................................................................................................................
4.1Kesimpulan ....................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia bilier merupakan suatu keadaan yang relatif jarang, dimana tidak terdapatnya
sebagian sistim bilier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu
yang mengakibatkan ikterus neonatorum. Kondisi ini pertama kali dideskripsikan oleh
John Thompson pada tahun 1892.
Atresia Bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis
saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi
obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).
Atresia bilier adalah penyakit yang berat, tetapi sangat jarang terjadi. Insiden di
Amerika kurang lebih 1: 10.000-15.000 kelahiran hidup. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya
antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalasi Rawat
Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati
didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab keberhasilan
pembedahan hepatoportoenterostomi (kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah
umur 2 bulan. Keberhasilan operasi sangat ditentukan terutama usia saat dioperasi, yaitu
bila dilakukan sebelum usia 2 bulan, keberhasilan mengalirkan empedu 80%, sementara
sesudah usia tersebut hasilnya kurang dari 20%. Bagi penderita atresia biliaris prosedur
yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain
itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita
atresia bilier. Penyuluhan meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar
pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota
keluarga pasien. Sesudah pembedahaan kasai, asuhan keperawatan yang akan dilakukan
sama dengan pada pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan
meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula
khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Priuritis
mungkin menjadi persoalan yang signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau
tindakan seperti mandi atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L.Wong, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi dari Atresia Bilier ?
2. Bagaimana etiologi dari Atresia Bilier ?
3. Bagaimana patofisiologi dari Atresia Bilier ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Atresia Bilier ?
5. Bagaimana klasifikasi dari Atresia Bilier ?
6. Bagaimana Komplikasi dari Atresia Bilier ?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Atresia Bilier ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Atresia Bilier ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari Atresia bilier ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari Atresia Bilier
2. Untuk mengetahui etiologi dari Atresia Bilier
3. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Atresia Bilier
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Atresia Bilier
5. Untuk mengetahui klasifikasi dari Atresia Bilier
6. Untuk mengetahui komplikasi dari Atresia Bilier
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Atresia Bilier
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Atresia Bilier
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari Atresia Bilier

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Meningkatkan pengetahuan penulis tentang asuhan keperawatan pada anak dengan
atresia duktus hepatikus atau yang biasa disebut dengan atresia bilier.
2. Bagi Masyarakat
Memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang penyakit atresia duktus hepatikus
atau atresia bilier sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan.
3. Bagi Perawat
Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan tingkat profesionalisme pelayanan
keperawatan yang sesuai dengan standart asuhan keperawatan.
BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Definisi
Atresia duktus hepatikus atau yang biasa disebut dengan atresia biliary merupakan
obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya
perkembangan janin, menyebabkan ikhterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi
dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta (Dorland 2002: 206).
Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal. Atresia bilier merupakan suatu efek congenital yang
merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan
mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung emepedu. Hal
ini yang bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati akan
berakibat fatal.
2.2 Etiologi
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu
didalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui secara pasti tetapi kemungkinan infeksi virus dalam
intrauterine. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran.
2.3 Patofisiologi
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantong empedu, dan usus. Menyebabkan terbentuknya sumbatan
yang mengakibatkan empedu balik ke hati ini menimbulkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis dan hipertensi portal sehingga
akan mengakibatkan gagal hati.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik, dan
hepatomegali. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
2.4 Web Of Caution

Atresia Bilier

Kelainan congenital Infeksi

Kerusakan progresif
Obstruksi saluran empedu Obstruksi saluran
pada ductus bilier
intra hepatik empedu ekstra hepatik

Saluran Inflamasi Progresif


Empedu kembali ke hati Ekskresi bilirubin
empedu tidak
Hipertermia
Gangguan terbentuk
Gangguan supply Proses
penyerapan lemak
darah pada sel peradangan
Obstruksi aliran dari
dan vitamin larut
hepar pada hati
hari ke dalam
Malnutrisi
Kerusakan Hepatomegali Lemak dan vitamin larut
ductus empedu Mual muntah lemak tidak dapat diabsorbsi
Distensi abdomen
sel hepatik
dan kebutuhan Risiko
Kekurangan vitamin
Kerusakan sel oksigen meningkat ketidakseimbangan
larut lemak
ekskresi cairan
Pola nafas tidak
Gangguan tumbuh
bilirubin efektif
kembang

Keluar aliran Deficit nutrisi


darah dan kulit

Priuritis

Ikterus

Keluar aliran
darah dan kulit

Gangguan integritas
kulit / jaringan
2.5 Manifestasi klinis
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu:
 Air kemih bayi berwarna gelap
 Tinja berwarna pucat
 Kulit dan sklera berwarna kuning
 Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
 Hati membesar
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
 Gangguan pertumbuhan
 Gatal-gatal
 Rewel
 Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus, dan limpe ke hati)
2.6 Klasifikasi
1. Tipe I: obliterasi dari duktus kholedekus, duktus hepatikus normal.
2. Tipe II: atresia duktus hepatikus dengan struktur kistik tampak pada daerah porta
hepatis.
3. Tipe III: lebih dari 90% pasien, atresia pada duktus hepatikus kiri kanan setinggi porta
hepatis. Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus biliaris intra
hepatal, yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.
2.7 Komplikasi
1. Cirosis hepatis
2. Gagal hati
3. Gagal tumbuh
4. Hipertensi portal
5. Varises esophagus
6. Asites
2.8 Pemeriksaan penunjang
1. Tes biokimia fungsi hati, pada atresia bilier memperlihatkan hiperbilirubinemia,
biasanya 6-12 mg/ dL, dengan 50% terkonjugasi. Transaminase dan alkali fosfatase
meningkat 2-3 kali nilai normal. Y-glutamil transeptidase biasanya tinggi dengan
nyata sekali. Dalam tes fungsi hati juga perlu memeriksa aminotranferase dan faktor
pembekuan: protombin time, partial thromboplastin time.
2. Pemeriksaan urine, pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Urobilin dalam urine negatif menunjukkan adanya bendungan
saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feces, warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Untrasonografi cepat, aman dan non-invasif bermakna pada evaluasi bayi dengan
ikterik. Pada atresia bilier, kandung empedu kecil atau tidak terlihat. Duktus bilier
tidak terlihat dan hepar mungkin mengalami peningkatan echogenicity. Sebagai
tambahan, munculnya anomali polisplenia (limpa multiple, vena porta preduodenal,
situs inversus, dan absensia vena cava intrahepatik) memberi kesan diagnostik.
5. Pencitraan hepatobilier menggunakan technetium-99m asam iminodiacetic (IDA),
bermanfaat untuk memisahkan obstruksi dari ikterus parenkimal. Pada atresia bilier,
khususnya yang dini, pengambilan nukleotida cepat, namun ekskresi kedalam usus
tidak ada, bahkan pada gambar yang tertunda. Pada ikterus hepatoseluler,
pengambilan isotop tertunda oleh penyakit parenkim dan ekskresi kedalam usus
mungkin tertunda atau tidak terlihat. Karena visualisasi isotop didalam usus
mengecualikan atresia bilier, namum kegagalan menunjukkan ekskresi usus adalah
non diagnostik. Fenobarbital, karena ia meningkatkan konjugasi dan ekskresi
bilirubin, dapat digunakan untuk meningkatkan pembedaan dengan pencitraan IDA.
6. Kolangiografi, adalah manuver diagnostik akhir, biasanya dilakukan sebagai langkah
pendahuluan sebelum melanjutkan portoenterostomi: melalui insisi kecil kuadran-
atas-kanan, kandung empedu yang berkerut ditampakkan. Biasanya kandung empedu
tidak memiliki lumen sama sekali, atau hanya berupa lumen mungil yang
mengandung beberapa tetes cairan bening. Bila lumen ada, kolangiogram diperoleh
dengan pengambilan jaringan hati.
7. Biopsi hati, untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.
2.9 Penatalaksanaan
Penanganan atresia bilier harus segera dilakukan laparotomi eksplorasi, sekaligus
dilakukan kolangiografi pada saat melakukan operasi untuk mengetahui adanya dan letak
obstruksi yang tepat. Tahap berikutnya tergantung dari jenis kalainan yang tampak, dapat
dikoreksi atau tidak dapat dikoreksi. Terhadap atresia yang dapat dikoreksi dilakukan
pemasangan salin, bila diduga tidak mungkin dilakukan tindakan koreksi harus dibuat
sendian beku, untuk menentukan adanya sisa saluran empedu dan besarnya penyempitan.
Dalam kasus demikian tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan bedah seperti
transeksi atai diseksi jaringan hepar sampai porta hepatic.
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu
ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur kasai. Pembedahan akan berhasil jika
dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
Terapi pengobatan yang dapat diberikan adalah feno barbital 5 mg/kgBB (dibagi 2
kali pemberian) dan kolesteramin 1gr/kgBB (dibagi 6 kali pemberian).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan data-data umum lainnya. Atresia bilier
ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Resiko atresia bilier pada anak perempuan
dan laki-laki adalah 2 : 1.
2. Keluhan utama
Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, perubahan warna kuning
pada kulit dan mata bayi yang baru lahir, hal ini disebabkan karena darah bayi
mengandung kelebihan bilirubin , pigmen berwarna kuning pada sel darah merah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, feses berwarna pucat,
distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan
tubuh. Selain itu dapat juga terdapat obstruksi empedu ektrahepatik, yang akhirnya
menimbulkan masalah dan menjadi faktor penyebab terjadinya atresia bilier ini.
5. Riwayat perinatal
a) Antenatal
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi
penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes melitus, dan infeksi virus rubella.
b) Intra natal
pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus
atau bakteri selama proses persalinan.
c) Post natal
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal
hygiene saat merawat bayinya.
6. Riwayat kesehatan keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah
menderita penyakit terkait imunitas HIV/AIDS , kanker, diabetes melitus, dan infeksi
virus rubella. Akibat dari penyakit yang diderita ibu ini, maka tubuh anak dapat
menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat
kemungkinan kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
7. Pemeriksaan tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku
pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris,
kebutuhan akan asupan nutrisinya juga menjadi kurang optimal karena terjadi
kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses
tumbuh kembangnya.
8. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Keadaan lingkungan yang yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola
kebersihan yang cenderung kurang.
9. Pola fungsi kesehatan
a) Pola aktivitas/ istirahat
Terjadi gangguan yaitu dtandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya
berupa letargi atau kelemahan.
b) Pola sirkulasi
Pola sirkulasi anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan takikardia,
berkeringan yang berlebih.
c) Pola eliminasi
Urine berwarna gelap dan pekat, feses berwarna pucat.
d) Pola nutrisi
Anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanann pembentuk gas dan
biasanya desertai reguritasi berulang.
e) Pola kognitif dan persepsi sensori
Pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyekit yang diderita klien.
f) Pola konsep diri
bagaimana persepsi orang tua terhadap pengobatan dan perawatan yang akan
dilakukan.
g) Pola hubungan peran
Biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak
dengan atresia biliaris.
h) Pola seksualitas
Biasanya pada anak penderita atresia biliaris tidak ada gangguan dalam sistem
reproduksi.
i) Pola mekanisme koping
Keluarga perlu memberikan dukungan dan semangat untuk sembuh bagi anak.
j) Pola nilai dan kepercayaan
Orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat sembuh
dengan cepat.

PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE


1. Kepala
 Inspeksi: wajah simetris
2. Mata
 Inspeksi: sclera ikterik
3. Hidung
 Inspeksi: kemungkinan terdapat pernafasan cuping hidung
4. Mulut dan tenggorokan
 Inspeksi: mukosa bibir kemungkinan terdapat ikterik
5. Dada dan axilla
 Inspeksi: asimetris , terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan pada otot
diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali)
 Palpasi: demyutan jantung teraba cepat
 Perkusi: jantung (dullness), paru (sonor)
 Auskultasi: tidak terdengan suara ronchi, kemungkinan terdengar suara wheezing
6. Abdomen
 Inspeksi: distensi abdomen
 Palpasi: dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: kemungkinan terjadi pada bising usus
7. Genitourinary
 Inspeksi: urine berwarna gelap, feces berwarna pucat atau putih
8. Integumen
 Inspeksi: terdapat pruritus (gatal disertai ruam), jaundice

ANALISA DATA
Data subjektif
 Iriabilitas (bayi menjadi rewel)
 Sulit untuk menenangkan bayi
Data objektif
 Ikterus
Terjadinya kekuningan pertama kali akan terlihat sklera dan kulit karena tingkat
bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Mungkin
terdapat sejak lahir. Biasanya tidak terlihat sampai usia 2-3 minggu.
 Urine berwarna gelap dan menodai popok. Urine gelap yang disebabkan oleh
penumpukan bilirubin (produk pemecah dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin
kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urine.
 Feses berwarna pucat atau berwarna putih atau coklat muda karena tidak ada
empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk kedalam usus untuk mewarnai
feses.
 Hepatomegali
 Hipertermia
 Pruritus (gatal disertai ruam)
 Asites
 Anoreksia
 Distensi abdomen
 Splenomegali
Keadaan ini menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal/ tekanan
darah tinggi pada vena portal (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus, dan limpa ke hati).
 Jaundice, disebabkan oleh oleh hati yang belum dewasa adalah umumnya pada
bayi lahir. Ini biasanya hilang dalam satu minggu pertama sampai 10 hari dari
kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir,
tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setalah lahir.

3.2 Prioritas Masalah

NO MASALAH TTD
1. Hipertermia
2. Deficit nutrisi
3. Risiko ketidakseimbangan cairan
4. Pola nafas tidak efektif
5. Gangguan integritas kulit / jaringan

6. Gangguan tumbuh kembang

3.3 Diagnosa Keperawatan

NO DIAGNOSA TTD
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit yang ditandai
dengan suhu tubuh diatas nilai normal
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient ditandai dengan berat badan menurun 10% dibawah
rentang ideal
3. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan obstruksi
intestinal
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru ditandai dengan penggunaan otot bantu
napas
5. Gangguan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan perubahan
pigmentasi ditandai dengan kerusakan jaringan / lapisan kulit

6. Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan efek


ketidakmampuan fisik ditandai dengan pertumbuhan fisik
terganggu

3.4 Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


o Keperawatan Hasil
1. Hipertermia Tujuan : Manajemen 1. Bertujuan untuk
berhubungan hipertermia dapat Hipertermia: mengetahui
dengan proses teratasi. penyebab
penyakit yang  Observasi : hipertermia
ditandai dengan Kriteria hasil : 1. Identifikasi 2. Pemberian cairan
suhu tubuh diatas Suhu tubuh penyebab bertujuan untuk
nilai normal membaik hipertermia menurunkan suhu
2. Monitor suhu tubuh
tubuh
 Terapeutik :
1. Berikan cairan
oral
2. Lakukan
pendinginan
eksternal
 Edukasi :
1. Anjurkan tirah
baring
 Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian cairan
dan elektrolit
intravena.

2. Defisit nutrisi Tujuan : status Manajemen nutrisi : 1. bertujuan untuk


berhubungan nutrisi membaik mengetahui
dengan  observasi : jumlah
ketidakmampuan Kriteria hasil : 1. identifikasi status pemasukan nutrisi
mengabsorbsi nutrisi dan kalori
nutrient ditandai  pola makan 2. monitor asupan 2. bertujuan untuk
dengan berat badan membaik makan memenuhi
menurun 10%  kesulitan makan 3. identifikasi kebutuhan nutrisi
dibawah rentang menurun kebutuhan kalori
ideal
dan jenis nutrient
 terapeutik :
1. berikan suplemen
makanan
2. berikan makanan
tinggi kalori dan
protein
 edukasi :
1. ajarkan diet yang
diprogramkan
 kolaborasi :
1. kolaborasi
dengan ahli gizi
2. kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan

3. Risiko Tujuan : Manajemen cairan : 1. Hasil


ketidakseimbangan keseimbangan laboratorium
cairan ditandai cairan membaik  observasi : bertujuan untuk
dengan obstruksi 1. monitor status mengetahui
intestinal Kriteria hasil : hidrasi fungsi organ dan
2. monitor berat memeriksa
 asupan cairan badan harian kondisi kesehatan
meningkat 3. monitor hasil secara
 asupan pemeriksaan keseluruhan
makanan laboratorium 2. Bertujuan untuk
meningkat  terapeutik : memenuhi
 dehidrasi 1. catat intake dan kebutuhan cairan
menurun output dan hitung 3. Mencatat intake
balance cairan 24 dan output
jam bertujuan untuk
2. berikan asupan mengetahui
cairan balance cairan
3. berikan cairan
intravena
 kolaborasi :
1. kolaborasi
pemberian
diuretic , jika
peru.

4. Pola nafas tidak Tujuan : pola nafas Manajemen jalan 1. Bertujuan untuk
efektif membaik napas: mengetahui
berhubungan  observasi apakah ada
dengan posisi Kriteria hasil: 1. monitor pola penggunaan otot
tubuh yang penggunaan otot napas bantu
menghambat
ekspansi paru bantu nafas 2. monitor bunyi 2. Posisi semi
ditandai dengan menurun napas tambahan fowler/ fowler
penggunaan otot 3. monitor sputum bertujuan untuk
bantu napas  Terapeutik mengurangi sesak
1. Pertahankan 3. Untuk memenuhi
kepatenan jalan kebutuhan
napas dengan oksigen
head tilt dan shin
lift
2. Posisikan semi
fowler atau
fowler
3. Berikan oksigen
 Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspetoran,
mukolitik jika
perlu

5. Gangguan Tujuan: integritas Perawatan integritas 1. Bertujuan untuk


integritas kulit / kulit dan jaringan kulit: mengetahui
jaringan meningkat penyebab
berhubungan  Observasi gangguan
dengan perubahan Kriteria hasil: 1. Identifikasi integritas kulit
pigmentasi ditandai penyebab
 Pigmentasi
dengan kerusakan gangguan
abnormal
jaringan/ lapisan integritas kulit
menurun
kulit  Kerusakan
jaringan kulit
menurun

6. Gangguan tumbuh Tujuan: status Perawatan 1. Bertujuan untuk


kembang perkembangan perkembangan: mengetahui
berhubungan membaik apakah bayi
dengan efek  Obsevasi sudah mencapai
ketidakmampuan Kriteria hasil: 1. Identifikasi tugas
fisik ditandai pencapaian tugas perkembangan
 Ketrampilan/
dengan perkembangan sesuai dengan
perilaku sesuai
pertumbuhan fisik anak usianya
usia meningkat
terganggu 2. Identifikasi
 Respon sosial isyarat perilaku
meningkat dan fisiologis
yang ditunjukkan
bayi
 Terapeutik
1. Pertahankan
lingkungan yang
mendukung
perkembangan
optimal
2. Pertahankan
kenyamanan anak
 Edukasi
1. Anjurkan orang
tua menyentuh
dan
menggendong
bayinya
2. Anjurkan orang
tua berinteraksi
dengan anaknya

3.5 Perencanaan pulang


1. Discharge planning Pre Op :
Menurut Kozier dan Erb (2009), diantaranya :
o Menjelaskan perlunya dilakukan pemeriksaan preoperasi
o Mendiskusikan persiapan usus bila diperlukan
o Mendiskusikan persiapan kulit termasuk daerah yang akan dilakukan operasi dan
mandi (shower preoperasi)
o Mendiskusikan pengobatan preoperasi bila diprogramkan
o Menjelaskan terapi individu yang diprogramkan oleh dokter
o Menjelaskan kunjungan ahli anetesi
o Menjelaskan perlunya pembatasan makanan atau minuman oral minimal 8 jam
sebelum pembedahan
o Menyediakan table waktu yang umum untuk periode preoperasi termasuk periode
pembedahan
o Menginformasikan kepada klien mengenai area operasi serta beritahu lokasi ruang
tunggu bagi individu pendukung
o Melengkapi daftar titik preoperasi
2. Discharge planning post op :
o Berikan pengajaran kepada orang tua tentang kebutuhan nutrisi dan hidrasi
o Berikan pengaraha kepada keluarga tentang penggunaan sistem fototerapi dirumah
o Berikan pengarahan kepada keluarga untuk mendapatkan tindak lanjut
pengukuran kadar bilirubin

Hasil yang diharapkan :

o Ikterus bayi dan kadar bilirubin akan menurun


o Bayi tidak akan mengalami cedera dari cahaya fototerapi
o Bayi akan tetap terhidrasi dengan baik
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Infeksi Menular Seksual (IMS ) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Infeksi Menular Seksual akan lebih beresiko bila melakukan seksual dengan
berganti ganti pasangan baik melalui vagina, oral, maupun anal.
Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu
orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Semua teknik hubungan seksual baik
lewat vagina, dubur, atau mulut baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama
jenis kelamin bisa menjadi sarana penularan ppenyakit kelamin. Sehingga kelainan
ditimbulkan tidak hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga didaerah
ekstra genital. Kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular IMS
adalah kelompok remaja sampai dewasa muda sekitar usia (15-24 tahun).

4.2 Saran
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat harus meningkatkan hubungan
kerja sama yang baik dengan tim kesehatan yang lainnya serta memandang klien sebagai
suatu kesatuan bio-psiko social dan spiritual.
Perlu meningkatkan kerjasama yang baik antara klien, keluarga, perawat, dan tim
kesehatan lainnya sehingga permasalahan kesehatan pada klien dapat terselesaikan
dengan baik. Dalam membuat rencana tindakan keperawatan, perawat harus
menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono.2007.Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Dr.Nursalam, M.Nurs, dan Kurniawati, Ninuk Dian. 2007. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional Penanganan INFEKSI


MENULAR SEKSUAL 2015.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Situasi dan Analisis Hepatitis.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Tim Pokja SKLI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Haryono Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Anda mungkin juga menyukai