Disusun oleh:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syujur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya kami
dapat menyelesaikan tugas Asuhan Keperawatan Atresia Bilier ini dalam rangka melengkapi
tugas mata kuliah Keperawatan Anak II. Pada makalah ini kami akan membahas materi
mengenai bagaimana Asuhan Keperawatan pada anak dengan atresia duktus hepatikus atau
yang biasa disebut dengan atresia bilier yang kami susun dari berbagai sumber dan kami
rangkum pada laporan ini.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik
berupa ide-ide maupun yang terlibat langsung dalam pembuatan makalah ini. Kami juga
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua untuk dijadikan penunjang dalam mata
kuliah Keperawatan Anak II.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan atau kekurangan
kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat terbuka supaya laporan ini dapat diperbaiki dan
menjadi lebih baik lagi untuk berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
PENDAHULUAN
STUDI LITERATUR
2.1 Definisi
Atresia duktus hepatikus atau yang biasa disebut dengan atresia biliary merupakan
obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya
perkembangan janin, menyebabkan ikhterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi
dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta (Dorland 2002: 206).
Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal. Atresia bilier merupakan suatu efek congenital yang
merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan
mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung emepedu. Hal
ini yang bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati akan
berakibat fatal.
2.2 Etiologi
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu
didalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui secara pasti tetapi kemungkinan infeksi virus dalam
intrauterine. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran.
2.3 Patofisiologi
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantong empedu, dan usus. Menyebabkan terbentuknya sumbatan
yang mengakibatkan empedu balik ke hati ini menimbulkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis dan hipertensi portal sehingga
akan mengakibatkan gagal hati.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik, dan
hepatomegali. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
2.4 Web Of Caution
Atresia Bilier
Kerusakan progresif
Obstruksi saluran empedu Obstruksi saluran
pada ductus bilier
intra hepatik empedu ekstra hepatik
Priuritis
Ikterus
Keluar aliran
darah dan kulit
Gangguan integritas
kulit / jaringan
2.5 Manifestasi klinis
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu:
Air kemih bayi berwarna gelap
Tinja berwarna pucat
Kulit dan sklera berwarna kuning
Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
Hati membesar
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan
Gatal-gatal
Rewel
Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus, dan limpe ke hati)
2.6 Klasifikasi
1. Tipe I: obliterasi dari duktus kholedekus, duktus hepatikus normal.
2. Tipe II: atresia duktus hepatikus dengan struktur kistik tampak pada daerah porta
hepatis.
3. Tipe III: lebih dari 90% pasien, atresia pada duktus hepatikus kiri kanan setinggi porta
hepatis. Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus biliaris intra
hepatal, yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.
2.7 Komplikasi
1. Cirosis hepatis
2. Gagal hati
3. Gagal tumbuh
4. Hipertensi portal
5. Varises esophagus
6. Asites
2.8 Pemeriksaan penunjang
1. Tes biokimia fungsi hati, pada atresia bilier memperlihatkan hiperbilirubinemia,
biasanya 6-12 mg/ dL, dengan 50% terkonjugasi. Transaminase dan alkali fosfatase
meningkat 2-3 kali nilai normal. Y-glutamil transeptidase biasanya tinggi dengan
nyata sekali. Dalam tes fungsi hati juga perlu memeriksa aminotranferase dan faktor
pembekuan: protombin time, partial thromboplastin time.
2. Pemeriksaan urine, pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Urobilin dalam urine negatif menunjukkan adanya bendungan
saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feces, warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Untrasonografi cepat, aman dan non-invasif bermakna pada evaluasi bayi dengan
ikterik. Pada atresia bilier, kandung empedu kecil atau tidak terlihat. Duktus bilier
tidak terlihat dan hepar mungkin mengalami peningkatan echogenicity. Sebagai
tambahan, munculnya anomali polisplenia (limpa multiple, vena porta preduodenal,
situs inversus, dan absensia vena cava intrahepatik) memberi kesan diagnostik.
5. Pencitraan hepatobilier menggunakan technetium-99m asam iminodiacetic (IDA),
bermanfaat untuk memisahkan obstruksi dari ikterus parenkimal. Pada atresia bilier,
khususnya yang dini, pengambilan nukleotida cepat, namun ekskresi kedalam usus
tidak ada, bahkan pada gambar yang tertunda. Pada ikterus hepatoseluler,
pengambilan isotop tertunda oleh penyakit parenkim dan ekskresi kedalam usus
mungkin tertunda atau tidak terlihat. Karena visualisasi isotop didalam usus
mengecualikan atresia bilier, namum kegagalan menunjukkan ekskresi usus adalah
non diagnostik. Fenobarbital, karena ia meningkatkan konjugasi dan ekskresi
bilirubin, dapat digunakan untuk meningkatkan pembedaan dengan pencitraan IDA.
6. Kolangiografi, adalah manuver diagnostik akhir, biasanya dilakukan sebagai langkah
pendahuluan sebelum melanjutkan portoenterostomi: melalui insisi kecil kuadran-
atas-kanan, kandung empedu yang berkerut ditampakkan. Biasanya kandung empedu
tidak memiliki lumen sama sekali, atau hanya berupa lumen mungil yang
mengandung beberapa tetes cairan bening. Bila lumen ada, kolangiogram diperoleh
dengan pengambilan jaringan hati.
7. Biopsi hati, untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.
2.9 Penatalaksanaan
Penanganan atresia bilier harus segera dilakukan laparotomi eksplorasi, sekaligus
dilakukan kolangiografi pada saat melakukan operasi untuk mengetahui adanya dan letak
obstruksi yang tepat. Tahap berikutnya tergantung dari jenis kalainan yang tampak, dapat
dikoreksi atau tidak dapat dikoreksi. Terhadap atresia yang dapat dikoreksi dilakukan
pemasangan salin, bila diduga tidak mungkin dilakukan tindakan koreksi harus dibuat
sendian beku, untuk menentukan adanya sisa saluran empedu dan besarnya penyempitan.
Dalam kasus demikian tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan bedah seperti
transeksi atai diseksi jaringan hepar sampai porta hepatic.
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu
ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur kasai. Pembedahan akan berhasil jika
dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
Terapi pengobatan yang dapat diberikan adalah feno barbital 5 mg/kgBB (dibagi 2
kali pemberian) dan kolesteramin 1gr/kgBB (dibagi 6 kali pemberian).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan data-data umum lainnya. Atresia bilier
ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Resiko atresia bilier pada anak perempuan
dan laki-laki adalah 2 : 1.
2. Keluhan utama
Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, perubahan warna kuning
pada kulit dan mata bayi yang baru lahir, hal ini disebabkan karena darah bayi
mengandung kelebihan bilirubin , pigmen berwarna kuning pada sel darah merah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, feses berwarna pucat,
distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan
tubuh. Selain itu dapat juga terdapat obstruksi empedu ektrahepatik, yang akhirnya
menimbulkan masalah dan menjadi faktor penyebab terjadinya atresia bilier ini.
5. Riwayat perinatal
a) Antenatal
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi
penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes melitus, dan infeksi virus rubella.
b) Intra natal
pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus
atau bakteri selama proses persalinan.
c) Post natal
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal
hygiene saat merawat bayinya.
6. Riwayat kesehatan keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah
menderita penyakit terkait imunitas HIV/AIDS , kanker, diabetes melitus, dan infeksi
virus rubella. Akibat dari penyakit yang diderita ibu ini, maka tubuh anak dapat
menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat
kemungkinan kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
7. Pemeriksaan tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku
pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris,
kebutuhan akan asupan nutrisinya juga menjadi kurang optimal karena terjadi
kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses
tumbuh kembangnya.
8. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Keadaan lingkungan yang yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola
kebersihan yang cenderung kurang.
9. Pola fungsi kesehatan
a) Pola aktivitas/ istirahat
Terjadi gangguan yaitu dtandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya
berupa letargi atau kelemahan.
b) Pola sirkulasi
Pola sirkulasi anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan takikardia,
berkeringan yang berlebih.
c) Pola eliminasi
Urine berwarna gelap dan pekat, feses berwarna pucat.
d) Pola nutrisi
Anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanann pembentuk gas dan
biasanya desertai reguritasi berulang.
e) Pola kognitif dan persepsi sensori
Pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyekit yang diderita klien.
f) Pola konsep diri
bagaimana persepsi orang tua terhadap pengobatan dan perawatan yang akan
dilakukan.
g) Pola hubungan peran
Biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak
dengan atresia biliaris.
h) Pola seksualitas
Biasanya pada anak penderita atresia biliaris tidak ada gangguan dalam sistem
reproduksi.
i) Pola mekanisme koping
Keluarga perlu memberikan dukungan dan semangat untuk sembuh bagi anak.
j) Pola nilai dan kepercayaan
Orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat sembuh
dengan cepat.
ANALISA DATA
Data subjektif
Iriabilitas (bayi menjadi rewel)
Sulit untuk menenangkan bayi
Data objektif
Ikterus
Terjadinya kekuningan pertama kali akan terlihat sklera dan kulit karena tingkat
bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Mungkin
terdapat sejak lahir. Biasanya tidak terlihat sampai usia 2-3 minggu.
Urine berwarna gelap dan menodai popok. Urine gelap yang disebabkan oleh
penumpukan bilirubin (produk pemecah dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin
kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urine.
Feses berwarna pucat atau berwarna putih atau coklat muda karena tidak ada
empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk kedalam usus untuk mewarnai
feses.
Hepatomegali
Hipertermia
Pruritus (gatal disertai ruam)
Asites
Anoreksia
Distensi abdomen
Splenomegali
Keadaan ini menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal/ tekanan
darah tinggi pada vena portal (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus, dan limpa ke hati).
Jaundice, disebabkan oleh oleh hati yang belum dewasa adalah umumnya pada
bayi lahir. Ini biasanya hilang dalam satu minggu pertama sampai 10 hari dari
kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir,
tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setalah lahir.
NO MASALAH TTD
1. Hipertermia
2. Deficit nutrisi
3. Risiko ketidakseimbangan cairan
4. Pola nafas tidak efektif
5. Gangguan integritas kulit / jaringan
NO DIAGNOSA TTD
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit yang ditandai
dengan suhu tubuh diatas nilai normal
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient ditandai dengan berat badan menurun 10% dibawah
rentang ideal
3. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan obstruksi
intestinal
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru ditandai dengan penggunaan otot bantu
napas
5. Gangguan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan perubahan
pigmentasi ditandai dengan kerusakan jaringan / lapisan kulit
4. Pola nafas tidak Tujuan : pola nafas Manajemen jalan 1. Bertujuan untuk
efektif membaik napas: mengetahui
berhubungan observasi apakah ada
dengan posisi Kriteria hasil: 1. monitor pola penggunaan otot
tubuh yang penggunaan otot napas bantu
menghambat
ekspansi paru bantu nafas 2. monitor bunyi 2. Posisi semi
ditandai dengan menurun napas tambahan fowler/ fowler
penggunaan otot 3. monitor sputum bertujuan untuk
bantu napas Terapeutik mengurangi sesak
1. Pertahankan 3. Untuk memenuhi
kepatenan jalan kebutuhan
napas dengan oksigen
head tilt dan shin
lift
2. Posisikan semi
fowler atau
fowler
3. Berikan oksigen
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspetoran,
mukolitik jika
perlu
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Infeksi Menular Seksual (IMS ) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Infeksi Menular Seksual akan lebih beresiko bila melakukan seksual dengan
berganti ganti pasangan baik melalui vagina, oral, maupun anal.
Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu
orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Semua teknik hubungan seksual baik
lewat vagina, dubur, atau mulut baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama
jenis kelamin bisa menjadi sarana penularan ppenyakit kelamin. Sehingga kelainan
ditimbulkan tidak hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga didaerah
ekstra genital. Kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular IMS
adalah kelompok remaja sampai dewasa muda sekitar usia (15-24 tahun).
4.2 Saran
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat harus meningkatkan hubungan
kerja sama yang baik dengan tim kesehatan yang lainnya serta memandang klien sebagai
suatu kesatuan bio-psiko social dan spiritual.
Perlu meningkatkan kerjasama yang baik antara klien, keluarga, perawat, dan tim
kesehatan lainnya sehingga permasalahan kesehatan pada klien dapat terselesaikan
dengan baik. Dalam membuat rencana tindakan keperawatan, perawat harus
menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Nursalam, M.Nurs, dan Kurniawati, Ninuk Dian. 2007. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SKLI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Haryono Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.