Anda di halaman 1dari 37

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH TELUSUR JURNAL KEPERAWATAN ANAK


Hubungan Kepatuhan Tranfusi dan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap
Pertumbuhan Anak Dengan Thalasemia

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1 :

1. Afiayatul Jannah
2. Casiyu
3. Debie Widyagni
4. Dwi Lilik
5. Eliza
6. Evangeline
7. Linda Herlina
8. Maimunah
9. Nunung Nurjanah
10. Ristani

PROGRAM S1 NON REGULER PROFESI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah kami ini
membahas Telusur Jurnal Keperawatan mengenai Desferal pada Anak.

Makalah ini dibuat dengan mengumpulkan berbagai referensi dan


beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tugas ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah


ini. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun
dari pembaca. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.

Tangerang, 03 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................... 4
A. Definisi ................................................................................... 4
B. Tujuan .................................................................................... 4
C. Indikasi/Kontraindikasi .......................................................... 4
D. Standar Operasional Prosedur ................................................ 5
E. Konsep Yang Mendasari ........................................................ 10
E.1 Konsep Medis Thalasemia ................................................... 10
1. Definisi .......................................................................... 10
2. Klasifikasi ...................................................................... 10
3. Etiologi .......................................................................... 11
4. Gambaran Klinis............................................................ 13
5. Patofiologi ..................................................................... 14
6. Pemeriksaan Penunjang. ................................................ 15
7. penatalaksanaan Medis .................................................. 17
8. Komplikasi .................................................................... 18
9. pencegahan .................................................................... 18
E.2 Konsep Keperawtan Thalasemia .......................................... 21
1. Pengkajian ..................................................................... 21
2. Diagnosa keperaatan...................................................... 22
3. Intervensi ....................................................................... 23
BAB 3 ANALISA JURNAL .............................................................. 25
A, Jurnal Utama .......................................................................... 25
B. Jurnal Pendukung ................................................................... 28
ii
C. Analisa PICO ......................................................................... 28
BAB 4 PENUTUP ............................................................................... 30
A. Kesimpulan ............................................................................ 30
B. Saran ....................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai


oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010).
Penyakit Thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di
dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum
tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi
hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein
kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee &
Ganong, 2010).

Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih


7% dari penduduk dunia mempunyai gen Thalasemia dimana angka
kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi
karier Thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus
Thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653
kasus yang tercatat di tahun 2006 (Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan
dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, penyakit Thalasemia menduduki
peringkat pertama di ruang rawat inap anak. Jumlah penderita Thalasemia
pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun 2014 jumlah pasien
Thalasemia sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru, 2014).

Anak yang menderita Thalasemia sering mengalami gangguan


pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada
pasien Thalasemia adalah factor genetik dan lingkungan. Selain itu
hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan
tinggi, lebih kurang 10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka
gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty, 2008). Gangguan

1
pertumbuhan pada penderita Thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia
dan masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin ini dapat
mengganggu proses pertumbuhan anak penderita Thalasemia, sehingga
mengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti postur yang pendek
(Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009) menemukan
adanya masalah pertumbuhan pada anak penderita Thalasemia, yaitu
mengalami malnutrisi berat sebanyak 20 orang (67%) dan juga ditemukan
masalah perkembangan dimana anak penderita Thalasemia mengalami
suspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%). Penelitian yang
dilakukan Asadi- Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran adanya
hubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dan
kecepatan pertumbuhan.

Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin


9-10 g/dl (Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerus
akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim
hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping dari
tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph,
Hoffmand, & Rudolph, 2007). Pemberian tranfusi yang berulang
mengakibatkan kerusakan organ-organ tubuh seperti hati, limpa, ginjal,
jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang diberikan pada pasien yang
melakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi.

Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat


kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah
10-15 kali, dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban
besi akan terjadi apabila penderita Thalasemia dibiarkan tidak diterapi
sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda.
Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata (2009)
yang dilakukan pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung ditemukan sebanyak 25 (83%) anak kelompok dengan
Thalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan

2
seksual. Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi
besi sehingga jumlah besi di dalam tubuh akan berbeda-beda.

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4


Desember 2014 dengan mewawancarai 10 orang tua anak penderita
Thalasemia didapatkan bahwa semua orang tua anak penderita Thalasemia
mengatakan setiap bulan mereka membawa anaknya untuk ditranfusi, jika
anaknya tidak mendapatkan tranfusi maka kondisi anak akan mudah
lemah, tidak bertenaga, dan pucat. Data lain yang didapatkan dari studi
pendahuluan yaitu 6 anak mengkonsumsi kelasi besi secara teratur dan 4
anak lainnya tidak teratur mengkonsumsi kelasi besi. Hasil pengukuran
berat badan dan tinggi badan yang dilakukan peneliti, 3 dari 10 orang anak
Thalasemia mengalami masalah pertumbuhan seperti berat badan tidak
sesuai dengan usia anak (Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015).

B. Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah yakni untuk memenuhi tugas


kuliah mata ajar Keperawatan Anak II.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Desferal (deferoxamine) merupakan obat cair yang diberikan di
bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat
semacam “portable pump”. (Rakhmawati,2009).
Pemberian kelasi besi harus diberikan secara teratur agar
pertumbuhan anak dengan Thalasemia dapat optimal. Hingga saat ini,
terdapat tiga jenis obat kelasi besi, yaitu deferoksamin, deferiprone, dan
deferasirox. Deferoksamin digunakan dengan cara disuntikkan di bawah
kulit atau langsung ke pembuluh darah, sementara obat kelasi besi lainnya
digunakan dengan cara diminum. Pemberian dosis obat pada anak
Thalasemia harus sesuai dengan kebutuhan.

B. Tujuan
Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu
hemochromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis
(penumpukan Fe dalam organ). (Rakhmawati, 2009)

C. Indikasi/Kontraindiksi
Indikasi
1. Dilakukan pada klien dengan Thalasemia yang mendapatkan transfusi
darah secara rutin (berulang).
2. Kadar Fe≥ 1000 mg/ml.
3. Dilakukan 4-7 kali dalam seminggu post transfuse.
Kontraindikasi
Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal. (Rakhmawati, 2009)

4
D. Standar Operasional Prosedur
1. Pengkajian
a. Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya.
b. Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat
hemocromatosis & hemosiderosis (kadar Fe).
2. Persiapan
a. Mencuci tangan.
b. Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik
aseptic dan antiseptik.
Streril :
1) Syringe 10 cc
2) Wing needle
3) Alcohol swab
4) Aquadest steril
5) Obat yang diperlukan (desferal)
Tidak Steril :
1) Alas
2) Bengkok
3) Infus pump
4) Perban gulung/kantong infusa pump
5) Plester
6) Gunting plester
c. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan.
1) Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai
perencanaan.
2) Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien
Usia > 5 tahun = 1 gram (2 vial)
Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial)
Mengencerkan obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5
gram) obat desferal dioplous dengan aquadest 4-5 cc).

5
Membersihkan bagian atas botol aquadest dengan kapas
alcohol dan menarik cairan aquadest dari botol secukupnya
dengan menggunakan syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke
bengkok
3) Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas
alcohol dan membiarkan kering sendiri, membuang kapas
alkohol ke bengkok
4) Memasukkan jarum syringe 10 cc yang berisi aquadest
melalui karet penutup botol ke dalam botol

5) Kocok vial obat sampai mencampur rata


6) Memegang botol dengan tangan yang tidak dominan dan
tarik obat sejumlah yang diperlukan

7) Memeriksa adanya udara dalam syringe/spuit, bila ada


keluarkan dengan posisi tepat.
8) Mengecek ulang volume obat dengan tepat.
9) Menyambungkan syringe/spuit dengan wing needle.

6
10) Memeriksa kembali adanya udara dalam syringe/spuit &
wing needle, bila ada keluarkan dengan posisi yang tepat.
11) Menyiapkan infus pump .

d. Membawa peralatan ke dekat klien.


3. Melakukan pemasangan desferal
a. Mencuci tangan
Menggunakan sarung tangan bila pada pasien yang menderita
penyakit menular (AIDS, Hepatitis B)
b. Menjaga privacy dan kenyamanan klien.
1) Mendekati dan mengidentifikasi klien.
2) Jelaskan prosedur kepada klien dengan bahasa yang jelas.
3) Memasang sampiran (bila perlu)
c. Memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic
Mempersiapkan alat dan klien :
1) Menyiapkan plester untuk fiksasi.
2) Memasang alas/perlak.
3) Mendekatkan bengkok pada klien
d. Menyuntikkan desferal dengan teknik steril

7
1) Bersihkan lokasi injeksi dengan alkohol dengan teknik
sirkuler atau atas ke bawah sekali hapus.

2) Membuang kapas alkohol ke dalam bengkok.


3) Membiarkan lokasi kering sendiri
4) Menyuntikkan obat dengan tepat (subkutan : area m.deltoid)

5) Memfiksasi wing needle dengan plester

8
e. Mengatur obat desferal pada alat infus pump

Memfiksasi infusa pump dengan menggunakan perban gulung (a)


atau kantong infus pump (b dan c).

f. Mencuci tangan
4. Evaluasi
a. Melihat kondisi klien.
b. Memperhatikan respon klien selama tindakan dilakukan.
c. Menanyakan perasaan klien setelah tindakan dilakukan.
5. Mendokumentasikan tindakan
a. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dan respon klien selama
tindakan dan kondisi setelah tindakan
b. Mencatat dengan jelas, mudah dibaca, ditandatangani disertai nama
jelas
c. Tulisan yang salah tidak dihapus tetapi dicoret dengan disertai
paraf.

9
d. Catatan dibuat dengan menggunak ballpoint atau tinta.
(Rakhmawati, 2009)

E. Konsep yang mendasari:


E.1. Konsep Medis (Thalasemia)
1. Definisi
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 :
377).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. (Mansjoer, 2000 : 497).
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang
timbul akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta
(Hoffbrand, 2005).
Thalasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai
oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin. (Suriadi, 2001
: 23).
Thalasemia merupakan kelompok gangguan darah yang
diwariskan, dikarakteristikan dengan defisiensi sintetis rantai globulin
spesifik molekul hemoglobin(Muscari, 2005).
Thalasemia adalah sekelompok heterogen anemia hipopkromik
heriditer dengan berbagai derajat keparahan (Nelson, 1999).
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited)
dan masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang
disebabkan oleh gangguan system hemoglobin akibat mutasi didalam
atau dekat gen globin (Nurarif, 2013 : 549)

2. Klasifikasi
Secara klinik Thalasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a. Thalasemia mayor (memberi gejala klinik jelas)

10
b. Thalasemia minor (biasanya tidak memberi gejala klinik)
(Ngastiyah, 2001 : 377)

3. Etiologi
Penyakit Thalasemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan. Banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang
mengidap Thalasemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi,
2001 : 24). Thalasemia bukan penyakit menular melainkan penyakit
yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan
melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada
kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah
satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin
beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat Thalasemia-beta.
Seorang pembawa sifat Thalasemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan baik). Seorang pembawa sifat Thalasemia jarang memerlukan
pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom,
dinamakan penderita Thalasemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah
gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-
masing membawa sifat Thalasemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi
dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat
Thalasemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin
beta yang berubah (gen Thalasemia) dari bapak dan ibunya maka anak
akan menderita Thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat
sebelah gen Thalasemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa
penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin
beta normal dari kedua orang tuanya.

11
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit Thalasemia adalah
penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh
pasangan suami isteri yang mengidap Thalasemia dalam sel – selnya/
Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalasemia trait/pembawa
sifat Thalasemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan
Thalasemia trait/pembawa sifat Thalasemia atau Thalasemia mayor
kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai
darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalasemia
trait/pembawa sifat Thalasemia sedangkan yang lainnya tidak, maka
satu dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak
mereka akan menderita Thalasemia trait/pembawa sifat Thalasemia,
tidak seorang diantara anak-anak mereka akan menderita Thalasemia
mayor. Orang dengan Thalasemia trait/pembawa sifat Thalasemia
adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut
kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat
tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalasemia trait/pembawa sifat
Thalasemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita
Thalasemia trait/pembawa sifat Thalasemia atau mungkin juga
memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalasemia mayor.

12
Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel

4. Gambaran klinik
Pada Thalasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru
berumur kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah,
pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, berat badan
kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut
membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah
diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi
gerak pasien karena kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini
akan mudah ruptur hanya karena trauma ringan saja.
Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek
tanpa pangkal hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi
juga lebar. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan perkembangan
tulang muka dan tengkorak. (Gambaran radiologis tulang
memperlihatkan medula yang besar, korteks tipis dan trabekula kasar).
Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering
mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi
akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti
pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alat-
alat tersebut (hemokromatosis) (Ngastiyah, 1997 : 378).

13
5. Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida
rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta Thalasemia yaitu tidak
adanya atau kurangnya rantai beta Thalasemia yaitu tidak adanya atau
kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada
gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen. Ada suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan
hemoglobin defictive. Ketidakseimbangan polipeptida ini
memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan
sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada Thalasemia beta dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada Thalasemia alpa.
Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi
sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin
tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan
hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif.
Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar
kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan tidak
edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi
RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau
rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24)
Pada Thalasemia letak salah satu asam amino rantai poliper tidak
berbeda urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan
susunan asam amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-
A, sedangkan kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan
ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49)

14
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalasemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
a. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagai gangguan Thalasemia (Wiwanitkit, 2007).
1) Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat
dideteksi pada kebanyakkan Thalasemia kecuali Thalasemia
α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat
membawa kepada diagnosis Thalasemia tetapi kurang
berguna untuk skrining.
2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti
eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang
dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada
membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalasemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah
dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit,
2007).
3) Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari
tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta
kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika
dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).

15
4) Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalasemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa
rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW
x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC
tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan Thalasemia β (Wiwanitkit,
2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai
yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi
besi sedangkan <13 mengarah ke Thalasemia trait. Pada
penderita Thalasemia trait kadar MCV rendah, eritrosit
meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia
defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah
dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe
hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-
2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalasemia seperti pada
Thalasemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%,
Thalasemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalasemia mayor Hb F
10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis
bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit,
2007).
2) Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik
dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance

16
liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan
penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran
Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa
Thalasemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin
dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat
terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
3) Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalasemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat
menentukan tipe Thalasemia malah dapat juga menentukan
mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007)

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001:26) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara
lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi
dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secara intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang
berasal dari suplemen (transfusi).
c. Pada Thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani
transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat
yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi

17
yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk
yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum
tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.

8. Komplikasi
a. Fraktur patologi.
b. Hepatosplenomegaly.
c. Gangguan tumbuh kembang.
d. Difungsi organ, seperti : hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001 :
24)

9. Pencegahan
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya,
maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding
pengobatan. Program pencegahan Thalasemia terdiri dari beberapa
strategi, yakni :
a. Penapisan (skrining) pembawa sifat Thalasemia,
b. Konsultasi genetik (genetic counseling),
c. Diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan
retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa
sifat Thalasemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
18
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui
penelusuran keluarga penderita Thalasemia (family study). Kepada
pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang
keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik
untuk Thalasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan
prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus
dibedakan antara usaha program pencegahan di negara berkembang
dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih
mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.

a. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
1) Karena karier Thalasemia β bisa diketahui dengan mudah,
penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa
dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir,
pasangannya bisa diperiksa dan bila termasuk karier,
pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan Thalasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan,
dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah
anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun
tertulis mengenai hasil penapisan Thalasemia (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit,
bila MCV dan MCH sesuai gambaran Thalasemia, perkiraan

19
kadar HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Thalasemia
β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan
Thalasemia αo(-/αα) dan Thalasemia α+(-α/-α), pada kasus
pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo
homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah
memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal
dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Thalasemia α non
delesi atau Thalasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini
dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA.
Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini
untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, &
Ugrasena, 2006).

b. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Thalasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian
sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan
menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun
pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis
DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion
villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini
berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada
janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik
CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini.
Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari
DNA janin menggunakan restriction fragment length
polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage
atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan
dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan

20
mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat
ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β
dari Thalasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan
oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka
jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan
kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya
diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang
diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region gen globin β
melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1
jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada
diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification
refractory mutation system), berdasarkan pengamatan bahwa pada
beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat
ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu
pada DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika
menggunakan RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena,
2006).

E.2. Konsep Keperawatan Thalasemia


1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
1) Pucat.
2) Ikterus.
3) Gagal tumbuh.
4) Hepatosplenomegali
5) Tranfusi kronis/ terapi pendekatan.

21
b. Pemeriksaan fisik
1) Kulit, mukosa oral, konjungtiva, telapak kaki, dan/atau telapak
tangan pucat.
2) Sclera ikterus atau kulit ikterus.
3) Keterlambatan pertumbuhan atau perkembangan.
4) Saturasi oksigen rendah via oksimetri nadi.
5) Perubahan tingkat kesadaran.
6) Hepatoslpenomegali.
7) Penonjolan frontal (dahi).

c. Uji laboratorium dan Diagnostik


1) Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin F
dan hanya hemoglobin A2.
2) DPL dan usapan perifer menunjukkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit secara signifikan, penonolan sel target,
hipokromia, mikrositosis, dan anisokritosis serta poikilositosis
ekstensif (variasi dalam ukuran dan bentuk SDM, secara
berturut-turut).
3) Kadar zat besi dan bilirubin meningkat (Kyle & Carman,
2014).

2. Diagnosis Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin.
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

22
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi

Perfusi peifer tidak efektif NOC : NIC :


b/d penurunan konsentrasi 1. Circulation status 1. Monitor TTV
hemoglobin. 2. Neurologic status 2. Monitor AGD, ukuran pupil,
3. Tissue Prefusion : ketajaman, kesimetrisan dan
cerebral reaksi
Setelah dilakukan 3. Monitor adanya diplopia,
asuhan selama 3x24 pandangan kabur, nyeri kepala
jam perfusi perifer 4. Monitor level kebingungan dan
tidak efektif teratasi orientasi
dengan kriteria hasil: 5. Monitor tonus otot pergerakan
1. Tekanan systole dan 6. Monitor tekanan intrkranial dan
diastole dalam rentang respon nerologis
yang diharapkan 7. Catat perubahan pasien dalam
2. Tidak ada ortostatik merespon stimulus
hipertensi 8. Monitor status cairan
3. Komunikasi jelas 9. Pertahankan parameter
4. Menunjukkan hemodinamik
konsentrasi dan 10. Tinggikan kepala 0-45o
orientasi tergantung pada konsisi pasien
5. Pupil seimbang dan dan order medis
reaktif
6. Bebas dari aktivitas
kejang
7. Tidak mengalami nyeri
kepala
23
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi
Risiko infeksi b/d efek NOC : NIC :
prosedur infasif 1. Immune Status  Pertahankan teknik aseptif
2. Knowledge : Infection  Batasi pengunjung bila perlu
control  Cuci tangan setiap sebelum dan
3. Risk control sesudah tindakan keperawatan
Setelah dilakukan  Gunakan baju, sarung tangan
tindakan sebagai alat pelindung
keperawatan selama  Ganti letak IV perifer dan dressing
3x24 jam pasien sesuai dengan petunjuk umum
tidak mengalami  Gunakan kateter intermiten untuk
infeksi dengan menurunkan infeksi kandung
kriteria hasil: kencing
1. Klien bebas dari tanda  Tingkatkan intake nutrisi
dan gejala infeksi  Berikan terapi
2. Menunjukkan antibiotik:.................................
kemampuan untuk  Monitor tanda dan gejala infeksi
mencegah timbulnya sistemik dan lokal
infeksi  Pertahankan teknik isolasi k/p
3. Jumlah leukosit dalam  Inspeksi kulit dan membran
batas normal mukosa terhadap kemerahan,
4. Menunjukkan perilaku panas, drainase
hidup sehat  Monitor adanya luka
5. Status imun,  Dorong masukan cairan
gastrointestinal,  Dorong istirahat
genitourinaria dalam  Ajarkan pasien dan keluarga tanda
batas normal dan gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam

24
BAB III
ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal
“Hubungan Kepatuhan Tranfusi dan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap
Pertumbuhan Anak Dengan Thalasemia”
2. Nama Peneliti
Rosnia Safitri,
Juniar Ernawaty,
Darwin Karim.
3. Tempat dan Waktu
Bulan April sampai Juni 2015 di Pusat Thalasemia Rumah Sakit Arifin
Achmad Pekanbaru.
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kepatuhan tranfusi
pada anak dengan Thalasemia; mengidentifikasi kepatuhan konsumsi
kelasi besi pada anak dengan Thalasemia; mengidentifikasi pertumbuhan
anak dengan Thalasemia; mengidentifikasi kepatuhan tranfusi dan
mengkonsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan Thalasemia.
5. Populasi dan sampling
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 56 anak
Thalasemia.
6. Teknik sampling
Metode pengambilan sampel yaitu total sampling..
7. Metode Penelitian.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi dengan pendekatan cross-sectional.

25
8. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan peneliti untuk mengukur kepatuhan tranfusi dan
konsumsi kelasi besi adalah lembar kuesioner. Pengukuran pertumbuhan
anak dengan Thalasemia menggunakan grafik IMT/U.
9. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat menggambarkan karakteristik responden
berdasarkan umur, jenis kelamin, lama menderita, pendidikan,
tingkat pertumbuhan, kepatuhan tranfusi dan kepatuhan
mengkonsumsi kelasi besi.
1) Karakteristik Responden.
Bahwa mayoritas responden berusia 6-11 tahun sebanyak 25
responden (44,6%). Responden mayoritas berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 32 responden (52,1%). Lama responden menderita
penyakit dengan kategori lama (≥5 tahun) dan singkat (≤5
tahun) adalah sama yaitu sebanyak 28 respoden (50%). Tingkat
pendidikan responden mayoritas adalah SD sebanyak 20
responden (35,7%).
2) Pertumbuhan Responden
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pertumbuhan
didapatkan data bahwa mayoritas responden dengan
pertumbuhan normal yaitu sebanyak 39 responden (69,6%).
3) Kepatuhan Tranfusi Darah
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kepatuhan tranfusi
didapatkan data bahwa mayoritas responden patuh menjalani
tranfusi yaitu sebanyak 36 responden (64,3%).
4) Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kepatuhan konsumsi
kelasi besi didapatkan data bahwa mayoritas responden patuh
mengkonsumsi kelasi besi yaitu sebanyak 39 responden
(69,6%).

26
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat menggambarkan hubungan kepatuhan tranfusi
terhadap pertumbuhan anak dengan Thalasemia dan hubungan
kepatuhan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan
Thalasemia.
1) Kepatuhan Tranfusi Terhadap Pertumbuhan
Responden yang patuh menjalani tranfusi darah dan mempunyai
pertumbuhan normal yaitu sebanyak 26 orang (46,4%). Hasil uji
statistik menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p
value=0,038 < α 0,05 maka Ho gagal ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepatuhan tranfusi dengan pertumbuhan anak dengan
Thalasemia
2) Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan.
Responden yang patuh mengkonsumsi kelasi besi mempunyai
pertumbuhan normal yaitu sebanyak 31 orang (55,4%). Hasil uji
statistik menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p
value=0,035 < α 0,05 maka Ha gagal ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepatuhan mengkonsumsi kelasi besi dengan pertumbuhan anak
dengan Thalasemia.
10. Uji Statistik
Menggunakan Chi-square, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kepatuhan transfusi terhadap
pertumbuhan (nilai p = 0,038> α 0,05) dan hubungan yang signifikan
antara kepatuhan mengonsumsi khelasi besi dengan pertumbuhan (nilai p
= 0,035 <α0,05).
11. Hasil Penelitian
Bahwa kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi mempunyai hubungan
dengan pertumbuhan anak dengan Thalasemia. Pemberian kelasi besi
harus diberikan secara teratur agar pertumbuhan anak dengan Thalasemia

27
dapat optimal. Jenis kelasi besi yang sering diberikan kepada penderita
Thalasemia adalah defepron (Ferriprox) dan deferasiroks (Exjade).
Pemberian dosis obat pada anak Thalasemia harus sesuai dengan
kebutuhan.
.
B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal
“Hubungan Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi Setelah Transfusi Dengan
Pertumbuhan Pada Anak Thalasemia Usia Sekolah di RSU Harapan Bunda
Jakarta Timur 2017.”
2. Peneliti
Dewi Fitriani,
Novi Nuranisa Indah.
3. Hasil
Kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat kepatuhan anak Thalasemia
dalam mengkonsumsi kelasi besi setelah transfusi maka semakin tinggi
pula anak Thalasemia yang memiliki pertumbuhan normal, dikarenakan
bahwa obat kelasi besi sangat mempengaruhi sistem organ pertumbuhan.

C. Analisa PICO

1. Patient, Population, Problem


Populasi yang diambil yaitu pasien anak dengan Thalasemia dengan
(problem) penimbunan zat besi pada berbagai organ tubuh akibat
transfusi, yang dapat menghambat pertumbuhan pada anak Thalassemia.

2. Intervention
Kepatuhan pemberian atau mengkonsumsi kelasi besi setelah transfusi.
Jenis kelasi besi yang sering diberikan kepada penderita Thalasemia
adalah defepron (Ferriprox) dan deferasiroks (Exjade).

28
3. Comparisson
a) Jurnal pembanding pada pada analisa ini adalah
“Efek Kelasi Ekstrak Etanol Daun Mangifera Foetida pada Feritin
Serum Penderita Talasemia di RS Cipto Mangunkusumo, Tahun
2012”
b) Peneliti :
Anggi P.N. Pohan,
Erni H. Purwaningsih,
Adisti Dwijayanti.
c) Hasil penelitian:
Ekstrak etanol daun Mangifera Foetida L. dosis 0,5 mg dan 0,75
mg memiliki efek kelasi pada feritin serum pasien penderita
Thalasemia.
4. Outcome
Bahwa semakin tinggi tingkat kepatuhan anak Thalasemia dalam
mengkonsumsi kelasi besi setelah transfusi maka semakin tinggi
pula anak Thalasemia yang memiliki pertumbuhan normal,
dikarenakan bahwa obat kelasi besi sangat mempengaruhi sistem
organ pertumbuhan.
Pemberian kelasi besi harus diberikan secara teratur agar
pertumbuhan anak dengan Thalasemia dapat optimal. Jenis kelasi
besi yang sering diberikan kepada penderita Thalasemia adalah
defepron (Ferriprox) dan deferasiroks (Exjade). Pemberian dosis
obat pada anak Thalasemia harus sesuai dengan kebutuhan.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Desferal (deferoxamine) merupakan obat cair yang diberikan di bawah
kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam
“portable pump”. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi
secara reguler adalah terapi kelasi besi.
Semakin tinggi tingkat kepatuhan anak Thalasemia dalam mengkonsumsi
kelasi besi setelah transfusi maka semakin tinggi pula anak Thalasemia yang
memiliki pertumbuhan normal, dikarenakan bahwa obat kelasi besi sangat
mempengaruhi sistem organ pertumbuhan.
Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kadar
feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali,
dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Pemberian kelasi besi harus
diberikan secara teratur agar pertumbuhan anak dengan Thalasemia dapat
optimal. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita Thalasemia
dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian
usia muda. Hingga saat ini, terdapat tiga jenis obat kelasi besi, yaitu
deferoksamin, deferiprone, dan deferasirox. Deferoksamin digunakan dengan
cara disuntikkan di bawah kulit atau langsung ke pembuluh darah, sementara
obat kelasi besi lainnya digunakan dengan cara diminum.
Pemberian dosis obat pada anak Thalasemia harus sesuai dengan kebutuhan.

B. Saran
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh ilmu keperawatan sebagai
evidence based dan sumber informasi tentang kepatuhan tranfusi dan
mengkonsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan Thalasemia,
dapat menjadi acuan masyarakat khususnya orang tua anak penderita
Thalasemia agar menjaga kondisi kesehatan anaknya, dan patuh menjalani

30
tranfusi serta mengkonsumsi kelasi besi secara teratur agar pertumbuhan
anaknya dapat normal seperti anak-anak lainnya, diharapkan petugas
kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan dan health education
kepada pasien karena Thalasemia merupakan penyakit herediter yang
kemungkinan besar dapat mengalami gangguan berbagai aspek yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan anak dengan Thalasemia, dan penelitian ini
dapat dijadikan sebagai evidence based dan tambahan informasi untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan anak dengan Thalasemia selain kepatuhan
tranfusi dan konsumsi kelasi besi.

31
DAFTAR PUSTAKA

Kyle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediatri. Jakarta:
EGC.

Safitri, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). HUBUNGAN KEPATUHAN


TRANSFUSI DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP
PERTUMBUHAN ANAK DENGAN THALASEMI. JOM , II, 1474-
1483.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Hoffband, A, dkk. 2005. Kapita selekta Hematologi. Jakarta: EGC

Hartoyo, Edi, dkk. 2006. ”Standar Pelayanan Medis. Bajarmasin:


Fakultas KedokteraanUnlam / RSUD Ulin

Kuncara, H.Y, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran E d i s i k e - 3


J i l i d 2 . J a k a r t a : Media Aesculapius Fkul.
Merenstein, Gerald B. 2001. Buku pegangan pediatric. Ed. 17. Jakarta: Widya
Medika
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan pediatric. Jakarta: EGC
Nelson, Waldo E. 1999. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol. 2. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit , Edisi I. Jakarta: EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta:
MediaCtion Publishing
Nanda International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC

32
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp. 2001. Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I.
Jakrta: PT Fajar Interpratama.
Supardiman, I, 2002. Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit alumni
Wilkinson, Judith M. and Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC
Rakhmawati, Windy. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pemasangan Desferal.
Bagian Ilmu Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjadjaran. [online]. Available at : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf .(diakses pada tanggal
30 Novemver 2019)
Anggi P.N. Pohan, Erni H. Purwaningsih, Adisti Dwijayanti, 2012. Efek Kelasi
Ekstrak Etanol Daun Mangifera foetida pada Feritin Serum Penderita
Talasemia di RS Cipto Mangunkusumo, Tahun 2012. [online]. Available
at : http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/view/1595 (diakses pada
tanggal 30 Novemver 2019).
Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty, Darwin Karim, 2015. HUBUNGAN
KEPATUHAN TRANFUSI DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP
PERTUMBUHAN ANAK DENGAN THALASEMI. [online]. Available at :
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/view/8326.(diakses
pada tanggal 30 Novemver 2019).
Dewi Fitriani, Novi Nuranisa Indah, 2017. HUBUNGAN KEPATUHAN
KONSUMSI KELASI BESI SETELAH TRANSFUSI DENGAN
PERTUMBUHAN PADA ANAK THALASSEMIA USIA SEKOLAH DI
RSU HARAPAN BUNDA JAKARTA TIMUR 2017. [online].Available at :
http://openjournal.wdh.ac.id/index.php/edudharma/article/view/29.(diaks
es pada tanggal 30 Novemver 2019).

33

Anda mungkin juga menyukai