Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pola penularan HIV pada pasangan seksual berubah pada saat
ditemukan kasus seorang ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi
HIV. Bayi yang dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi
awal dari penambahan pola penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang
dikandungnya. Hal serupa digambarkan dari hasil survey pada tahun 2000
dikalangan ibu hamil di Provinsi Riau dan Papua yang memperoleh angka
kejadian infeksi HIV 0,35% dan 0,25%. Sedangkan hasil tes sukarela pada
ibu hamil di DKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai
data tersebut membuktikan bahwa epidemi AIDS telah masuk kedalam
keluarga yang selama ini dianggap tidak mungkin tertular infeksi.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2006)
Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500
anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006,
diprediksi 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia.
Saat ini diperkirakan 2320 anak yang terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis
HIV juga akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi
keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan
anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya dapat mempengaruhi
pertumbuhan mental anak.
Hal tersebut menyebabkan beban negara bertambah dikarenakan
orang yang terinfeksi HIV telah masuk kedalam tahap AIDS, yang ditularkan
akibat hubungan Hetero seksual sebesar 36,23%. Permasalahan bukan hanya
sekedar pada pemberian terapi anti retroviral (ART), tetapi juga harus
memperhatikan permasalahan pencegahan penularan walaupun sudah
mendapat ART (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2006). Berdasar
uraian masalah di atas maka, perlu dilakukan pembahasan tentang penularan
HIV/AIDS pada Anak, sehingga hal ini dapat menjadi upaya promotif dan
preventif.

1
B. Tujuan
Mahasiswa/i mampu :
1. Menjelaskan pengertian HIV/AIDS
2. Mengetahui anatomi fisiologi dari HIV/AIDS
3. Mengetahui etiologi dari HIV/AIDS
4. Mengetahui patofisiologi dari HIV/AIDS
5. Menyebutkan tanda dan gejala pada anak dengan HIV/AIDS
6. Menjelaskan penatalaksanaan pada anak dengan HIV/AIDS
7. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada anak dengan HIV/AIDS
8. Membuat asuhan keperawatan pada anak dengan HIV/AIDS

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV dimana virus tersebut dapat menyebabkan AIDS dengan
cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat
bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Kerusakan system kekebalan tubuh ini akan menimbulkan kerentanan
terhadap infeksi penyakit. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome merupakan sindrom defisiensi imun selular sebagai
akibat infeksi HIV. Kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV
yang dapat menyebabkan acquired immune deficiency syndrome (AIDA)
(Barhers, 2008). Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai
Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan. Secara garis besar, AIDS yang
memiliki makna yaitu:
Acquired :Didapat, Bukan penyakit keturunan
Immune :Sistem kekebalan tubuh
Deficiency :Kekurangan
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit
AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau
kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar (bukan dibawa
sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit
terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus.
AIDS sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan
ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan
imunosupresi dan berkaitan dengan pel bagi infeksi yang dapat membawa
kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.
Jadi, AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler
pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

B. Anatomi Fisiologi

3
1. Sistem Limfoid

Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang
merupakan tempat prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi,
mengalami pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari
prekursor bersama, yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial
adalah sel-sel embrionik yang dapat membentuk bermacam-macam sel
hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam
sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan semua
komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan
limfosit).

a. Organ Limfoid Primer


Walaupun terdapat di semua bagian tubuh, namun limfoid cenderung
terkonsentrasi di beberapa organ limfoid, termasuk sumsum tulang,
timus, limpa, kelenjar getah bening dan jaringan limfoid terkait organ.
Sumsum tulang dan timus dianggap sebagai organ limfoid primer.
b. Organ Limfoid Sekunder
Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan
jaringan tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul
adalah tonsil, adenoid dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina
propria (jaringan ikat fibrosa yang terletak tepat di bawah epitel
permukaan selaput lendir) dan di sub mukosa saluran cerna.

2. Imunitas Selular

Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama yaitu fungsi regulator
dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu
subset sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul
yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang
disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi
regulatornya. Sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses imun seperti
pembentukan imunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan
pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel
CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus,

4
sel tumor dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang
disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik sel CD4 dan CD8
menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar mengenal
fungsi.

Fungsi utama imunitas selular adalah :

a. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik.


b. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat
menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan.
c. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat.
d. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian
sel.

3. Imunoglobulin

Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua


protein dalam plasma darah, adalah produk utama sel plasma. Selain di
plasma darah, imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur,
sekresi mukosa saluran napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum.
Fungsi imunoglobulin adalah :

a. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen


antibodi.
b. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif
c. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu
antigen sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih
stabil).
d. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum)
e. Menyebabkan anafilaksis.
4. Imunitas ( Alami Dan Didapat)
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat
(akuisita). Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah
ditemukan pada saat lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas
spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas alami akan memberikan respon
nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan
komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata
berupa kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau

5
antara "diri sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam
ini mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan
respon inflamasi.
Imunitas di dapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit
atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang
bersifat protektif. Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang
terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi akan timbul respon imun
yang cukup kuat untuk mencegah terjadinya penyakit atau jangkitan
ulang. Ada dua tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif.
Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk
oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini
umumnya berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur
hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang
ditransmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah
menderita sakit atau menjalani imunisasi.

C. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus yaitu HTL II, LAV, RAV yang berupa agen viral
yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas
yang kuat terhadap limfosit T. Virus ini ditransmisikan melalui kontak intim
(seksual), darah atau produk darah yang terinfeksi (HIV). HIV pertama kali
ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun
1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberinama HIV-2. HIV-2
dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkan dengan HIV-1. Maka
untuk memudahkan keduanya disebut HIV.Transmisi infeksi HIV dan AIDS
terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela : Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut : Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik : Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
4. Supresi imun simtomatik : Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malamhari, diare, neuropati, lemah, rash, limfa denopati, lesi mulut.

6
5. AIDS : Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun
wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

1. Lelaki homo seksual atau biseks


2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
3. Orang yang ketagian obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
D. Patofisiologi HIV/AIDS
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans( selimun ) adalah sel-
sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan
terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sum-sum tulang. Human Immuno
deficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein
perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120.
Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang
terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nucleus sel T4 sebagai sebuah pro virus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper.
Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing,
mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit
T sitotoksit, memproduk silimfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap
infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Dengan menurunya

7
jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif.
Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel
T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat
tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun.
Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel
permldarah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3
tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala
infeksi ( herpes zoster dan jamuroportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian
menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus
berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
E. Tanda dan Gejala HIV/AIDS
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi
jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For
Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan
berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfa denopati generalisata
(didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area
tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak
yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala
ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi d icoba oleh studi the
European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka
menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda
dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih
rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi.
Kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak
terinfeksi adalah kandidiasiskronik, parotitis, limfadenopatipersistem,
hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare
kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi dari pada
bayi yang tidak terinfeksi.
1. Tanda pertama infeksi tidak nyata.
Pengalaman dari beberapa pusat penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang menjadi
gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan

8
gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan,
atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah
CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
2. Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa
derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik,
keterlambatan perkembangan, adenopatipersisten, atau hepatosplemegali.
Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan
hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan
berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS”
merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada
nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang
sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan sebagai catalog
kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-
masing dibahas secara singkat dibawah:
3. Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP).
PCP merupakan penyakit indicator AIDS paling sering, yang terjadi
pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk
munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya
sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat
cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini biasanya
merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala
subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP
sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena
trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroidintravena diberikan pada
awal perjalanan penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan,
lavesebronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi
beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis
yang tidak baik pada awal penelitian dengan kelangsungan hidup media 1
bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit yang lebih
ringan dapat terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama.
Profilaksin PCP dengan trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan
merupakan indikasi untuk bayi dengan kehilangan limfosit CD4 yang
signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda dengan
perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.

9
4. Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP).
Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan pada orang dewasa
yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20%
anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus
Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-
serbasiintermiten (sering selama infeksrespirasi yang terjadi di antara
infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X
sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang
dapat dipercaya untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai
terbawa selama beberapa tahun, dan beberapa perbaikan pada
kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV dapat
disertai prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok
gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis.
5. Infeksi Bakteri Rekuren.
Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren adalah
dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau
infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan
AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus
rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi.
Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering
pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan
bahkan bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode
demam pada anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak
dengan kondisi yang menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan
untuk menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan
membuat anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri
yang lebih serius. Profilaksis dengan immunoglobulin intravena dapat
mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.
6. Penyakit Neurologi Progresif.
Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat munculkan tanda infeksi
system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk
ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertama
dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganya, terjadi
ensefalopatiprogresif, dengan kehilangan kejadian yang penting
sebelumnya dan defisit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf

10
dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau
klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan
abnormalitas pencitraan sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis.
Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic
pada beberapa anak dengan deficit perkembangan saraf; kostikosteroid
juga menguntungkan pada laporanterisolasi.
7. Wasting Syndrome.
Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi pada
sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hampir selalu multifaktorial.
Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam
mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat
infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme
yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang
menjengkelkan ini.
8. Infeksi Oportunistik.
Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi AIDS,
meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah
esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks,
Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata
dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal,
rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen
yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu
ini, virus respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius,
jarang menyebabkan penyakit yang berkomplikasi.
9. Terkenanya organic lain.
Terkenanya heparpadi infeksi HIV pediatric sering mengambil bentuk
organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi.
Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang
terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati
dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau
HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksi uslain.
Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi
protenuria. Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah
diindentifikasi sebagai patologi yang paling sering terjadi pada anak
dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh anak

11
semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardio miopatisimtomatik
hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel
merupakan kelainan ekokardiografi yang paling sering ditemukan.
Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya
vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV
langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus
miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena auto
imun mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia.
Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada anak yang
terinfeksi HIV.

12
Pathways HIV/AIDS

13
F. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Penyakit AIDS belum di temukan cara penyembuhannya, yang perlu di
lakukan adalah pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk
mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), biasa
dilakukan dengan:
1. Melakukan hubungan kelamin/sex dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2. Melakukan pemeriksaan 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.
3. Menggunakan alat kontrasepsi atau pelindung jika berhubungan dengan
orang yang tidak jelas status HIV-nya.
4. Tidak melakukan pertukaran jarum suntik, jarum tato,dan sebagainya.
5. Melakukan pencegahan infeksi ke bayi baru lahir atau janin.

Jika terinfeksi HIV, maka pengendaliannya yaitu :

1. Terapi Infeksi Opurtunistik terapi ini bertujuan menghilangkan,


pemulihan pengendalian infeksi ,nasokomial, sepsis atau opurtunistik.
Melakukan pengendalian infeksi yang aman untuk pencegahan
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan
bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat
antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi
antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat
enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya<>3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3
3. Terapi Antiviral Baru beberapa antiviral baru yang meningkatkan
aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan
rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obatiniadalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
e. Vaksin dan RekonstruksiVirus .
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat

14
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
f. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
g. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T
dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji Virologis
Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik
(biasanya setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas
minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji
serologis. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak
berumur < 18 bulan.
Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan
darah plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia
HIV DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL)
mengunakan plasma EDTA.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk
diperiksa dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu
tercepat yang mampu laksana sesudahnya. Pada kasus bayi dengan
pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka terapi ARV harus
segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat
pelayanan, maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif
harus segera diikuti dengan inisiasi ARV.

15
2. Uji Serologis
Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal
99% dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur
dan standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada
pemeriksaan serologis dewasa. Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji
untuk menentukan ada tidaknya pajanan HIV. Umur >18 bulan –
digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada
umur 9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang
memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji virologis belum
tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang
pada usia 18 bulan. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda
diduga disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan
jika positif diikuti dengan uji virologis. Pada anak umur< 18 bulan yang
sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi uji virologis tidak
dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis
presumtif. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI,
prosedur diagnostik dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
Agar pelaksana di lapangan tidak ragu, berikut ini skenario klinis
dalam memilih perangkat diagnosis yang tepat.

Kategori Tes yang Tujuan Aksi


diperlukan
Bayi sehat, Uji Virologi Mendiagnosis HIV Mulai ARV bila
ibu terinfeksi umur 6 minggu terinfeksi HIV
HIV
Bayi- Serologi ibu Untuk identifikasi Memerlukan tes
pajanan HIV atau bayi atau memastikan virologi bila terpajan
tidak pajanan HIV HIV

16
diketahui
Bayi sehat Serologi pada Untuk Hasil positif harus
terpajan imunisasi 9 mengidentifikasi bayi diikuti dengan uji
HIV, umur 9 bulan yang masih memiliki virologi dan
bulan antibodi ibu atau pemantauan lanjut.
seroreversi Hasil negatif, harus
dianggap tidak
terinfeksi, ulangi test
bila masih mendapat
ASI
Bayi atau Serologi Memastikan infeksi Lakukan uji virologi
anak dg bila umur < 18 bulan
gejala dan
tanda
sugestif
infeksi HIV
Bayi umur > Uji virologi Mendiagnosis HIV Bila positif terinfeksi
9 - < 18 segera masuk ke
bulan tatalaksana HIV dan
dengan uji terapi ARV
serologi
positif
Bayi yang Ulangi uji Untuk mengeksklusi Anak < 5tahun
sudah (serologi atau infeksi HIV setelah terinfeksi HIV harus
berhenti ASI virologi) setelah pajanan dihentikan segera mendapat
berhenti minum tatalaksana HIV
ASI 6 minggu termasuk ARV

Bagan 1. Diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan pajanan HIV tidak
diketahui.

17
Catatan:

Idealnya dilakukan pengulangan uji virologi HIV pada


spesimen yang berbeda untuk konfirmasi hasil positif yang pertama.
Pada keadaan yang terbatas, uji antibodi HIV dapat dilakukan setelah
usia 18 bulan untuk konfirmasi infeksi HIV.

18
Bagan 1. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang
dari 18 bulan idealnya dilakukan pengulangan uji virologis HIV pada
spesimen yang berbeda untuk konfirmasi hasil positif yang pertama.

3. Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan


Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi
HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia,
tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan
cara DIAGNOSIS PRESUMTIF.

Catatan:

1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness


(IMCI):
a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa
yang normal atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak
merah di lidah, langit-langit mulut atau tepi mulut, disertai
rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan antifungal
topikal.
b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan
gambaran chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti
letargik atau penurunan kesadaran, tidak dapat minum atau
menyusu, muntah, dan adanya kejang selama episode sakit
sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan
tanda yang berat seperti bernapas cepat, chest indrawing,
ubun-ubun besar membonjol, letargi, gerakan berkurang, tidak
mau minum atau menyusu, kejang, dan lain-lain.

19
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus
dilanjutkan dengan 2 tes serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien
harus segera mendapat obat ARV.

4. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan

Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama


dengan uji HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang
masih mendapat ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat
diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6
minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi utama.
Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI
sebelum dilakukan diagnosis HIV.

20
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian

Menurut Wong (2004) hal-hal yang perlu dikaji pada anak dengan HIV
antara lain :

1. Lakukan Anamnesa
a. Data Subjektif, mencakup:
1) Pengetahuan klien tentang AIDS
2) Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
3) Dispneu (serangan)
4) Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
b. Data Objektif, meliputi:
1) Kulit, lesi, integritas terganggu
2) Bunyi nafas
3) Kondisi mulut dan genetalia
4) BAB (frekuensi dan karakternya)
5) Gejala cemas
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.
Gagal jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d. Pengkajian Respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea,
hipoksia, nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian Neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku,
nyeri otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor,
penurunan kesadaran, delirium, meningitis, keterlambatan
perkembangan.
h. Pengkajian Gastrointestinal
i. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan
menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis,
candidisiasis esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering,
pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare kronis,
pembesaran limfa.

21
j. Pengkajian Renal
k. Pengkajaian Muskuloskeletal
l. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m. Pengkajian Hematologik
n. Pengkajian Endokrin
3. Kaji status nutrisi
a. Kaji adanya infeksi oportunistik
b. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan
4. Dapatkan riwayat imunisasi

Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV
tetapi belum menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin
yang diperlukan (sesuai jadwal imunisasi nasional), termasuk BCG.
Berhubung sebagian besar anak dengan HIV positif mempunyai
respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya,
imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang
dianjurkan. Namun, jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi
HIV yang telah menunjukkan gejala. Berikan pada semua anak
dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala atau tidak)
tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang
dianjurkan pada umur 9 bulan.

5. Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor risiko terhadap


AIDS pada anak-anak:
a. Exposure in utero to HIV-infected mother

b. Pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan


hemofilia

c. Remaja yang menunjukkan perilaku risiko tinggi

6. Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak:

a. Gagal tumbuh

b. Limfadenopati

c. Hepatosplenomegali

7. Kajinya adanya infeksi bakteri berulang

22
a. Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii
(pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid
paru).
b. Diare kronis

8. Gambaran neurologis:

a. Pelambatan perkembangan

b. Kehilangan kemampuan motorik yang telah dicapai sebelumnya

c. Kemungkinan mikrosefali

d. Pemeriksaan neurologis abnormal

9. Bantu prosedur diagnostik dan pengujian misalnya tes antibodi

B. Diagnosa Keperawatan

Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan


pada anak dengan HIV antara lain:

1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret


sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)

3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan


penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan
nafsu makan dan diare

4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan


motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis
oral

C. Intervensi Keperawatan

23
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV
antara lain :

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi


sekret
Tujuan: Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi

a. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran


udara dan bunyi napas adventisius,

Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi


dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area
konsolidasi.

b. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta


gerakan dinding dada )
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak
simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan
atau cairan paru-paru
c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien
mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk
efektif sementara posisi duduk tinggi
Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum
paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk
mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya
napas lebih dalam dan lebih kuat
d. Penghisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara
mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk
tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi).
Tawarkan air hangat dari pada dingin

24
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan
mengeluarkan sekret
f. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas
(seperti bronchodilator)
Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan
memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan : Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi

a. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan


selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara
22o dan 24 oC

Rasional : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu


tubuh dengan cara radiasi

b. Beri antipiretik sesuai petunjuk

Rasional : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif


menurunkan demam

c. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan
secara tiba-tiba
Rasional : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan
kejang
d. Beri antimikroba/antibiotik jira disarankan
Rasional : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati
organismo penyebab.

e. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan


demam

Rasional : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui


cara konduksi

25
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan
dan diare
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil :
tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas
denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab dan
pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :

a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan


intra operasi.

Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam


mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan
pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.

b. Pantau tanda-tanda vital.


Rasional : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan
mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan.

c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan


pernapasan.

Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah


terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong
ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan
pada diafragma.

d. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.

Rasional : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah


mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk
penggantian cairan tambahan.

e. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau


plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika
diperluakan.
26
Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah
didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi
yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak
seimbangan.

4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan


motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan
kriteria, konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu
mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :

a. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan


faktor pencetus

Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan


mengkaji beratnya episode.

b. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur

Rasional : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan


laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.

c. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan

Rasional : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa


malu pasien

d. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya


sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks
susu)

Rasional : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus

e. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan hindari
minuman dingin

27
Rasional : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara
bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang, namun cairan
yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus

f. Berikan kolaburasi antibiotik

Rasional : Mengobati infeksi supuratif fokal

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis
oral

Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria


hasil anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup

Intervensi

a. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein

Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme


dan pertumbuhan

b. Beri makanan yang disukai anak

Rasional : Untuk mendorong agar anak mau makan

c. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu


bubuk atau suplemen yang dijual bebas

Rasional : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan

d. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan baik

Rasional : Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang


berharga bagi perawat maupun orang tua untuk memberikan
makanan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan

28
e. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak

Rasional : Dapat menarik minat anak untuk makan dan


menghabiskan porsi makanan yang disediakan

f. Pantau berat badan dan pertumbuhan

Rasional : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi


nutrisi tambahan dapat diimplementasikan bila pertumbuhan mulai
melambat atau berat badan turun

g. Berikan obat anti jamur sesuai instruksi

Rasional : Untuk mengobati kandidiasis oral

29
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyakit yang diakibatkan oleh infeksi
virus HIV dimana virus tersebut dapat menyebabkan AIDS dengan cara
menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan
kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar
(bukan dibawa sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari
keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human
Immunodefciency Virus. Anatomi fisiologi yang berkaitan erat dengan Hiv ialah
sistem limfoid, imunitas seluler, imunoglobulin, imunitas (didapat dan buatan).
Penyebab HIV yaitu golongan virus retro (HTL II, LAV, RAV) yang berupa agen
viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya
afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Human Immuno deficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian
virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut
dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi
sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang
juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi
virus dan sel yang terinfeksi. Gejala yang sering dialami oleh ODHA biasanya
demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfa denopati
generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih
area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Penyakit AIDS belum
di temukan cara penyembuhannya, yang perlu di lakukan adalah pencegahan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak,
bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain

30
adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase
chain reaction) atau PCR.

31
B. Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan
dalam tugas dapat dicapai

32
DAFTAR PUSTAKA

1. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)

2. Bracher, V.L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi pemeriksaan & manajemen.


Jakarta: EGC

3. Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis


Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI

4. Nursalam, dan Kurniawati, N.D. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS . jakarta: Salemba Medika

5. Wong, D.L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

6. Haryadi, R. 2011. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan HIV / AIDS.


Makalah.https://www.academia.edu/34884395/ASUHAN_KEPERAWATAN
_PADA_ANAK_DENGAN_HIV_AIDS. Diakses 19 mei 2019

33

Anda mungkin juga menyukai