Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak
negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam
pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder &
Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna
terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional
(Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah
pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi
42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada usia
lanjut. Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40%
orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30% orang
berusia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat
pencahar. Di Australia, sekitar 20% dari populasi berusia di atas 60 tahun
mengeluh mengalami konstipasi dan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang berusia diatas
65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26 % pria yang mengeluh
konstipasi (Pranaka, 2009).
Konstipasi mempengaruhi 2% hingga 27% (rata-rata 14,8%) dari populasi
orang dewasa di Amerika Utara sekitar 63 juta orang. Konstipasi lebih
mempengaruhi perempuan dari pada laki-laki dan kulit hitam lebih sering dari
pada kulit putih. Hal ini terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering
terjadi pada mereka yang berusia lebih dari 65 tahun dan umur dibawah 4 tahun
(Orenstein, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1
1. Konsep terapi komplementer
2. Konsep dasar konstipasi
3. Konsep Tanaman Pepaya
4. Jurnal mengenai terapi komplementer terhadap konstipasi

1.3 Tujuan Peulisan


Tujuan dibuatnya makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas
Terapi Komplementer. Juga agar mahasiswa dapat memahami mengenai
pentalaksanaan terapi komplementer terhadap klien dengan gangguan system
pencernaan: Konstipasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Komplementer


a. Definisi
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang
digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah
penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et al.,
1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips &
Taylor, 2001).
Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan
pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang
mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan
individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan
fungsi (Smith et al., 2004). Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer
dan alternatif sebagai sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan
yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori
dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and alternative
medicine/CAM Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder &
Lindquis, 2002).
Terapi komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh
praktik dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan atau
pengobatan penyakit atau promosi kesehatan dan kesejahteraan. Definisi
tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang
mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan
spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji

3
klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai
dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk
yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).Prinsip holistik pada
keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat dalam menguasai
berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer.
Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu
kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya
teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka, kompleks,
mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan
pengobatan tradisional yang menggunakan energy misalnya tai chi,
chikung, dan reiki.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat
dalam mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural
yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi,
dan lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan Florence
Nightingale yang telah menekankan pentingnya mengembangkan
lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam
proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan
kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder &
Lindquis, 2002).
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak
dan tidak dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang
berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk
meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan,
mempercepat penyembuhan luka, dan memberi kontribusi positif pada
perubahan psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage)
pada bayi yang lahir kurang bulan dapat meningkatkan berat badan,
memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan terapi
pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga
dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan
menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope, 2004).
4
Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level
plasma prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005). Hasil lainnya yang
dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah satu aromaterapi
berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi
bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh
bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberculosis (Smith et al., 2004).
Tanaman lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat
membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008).
Dr. Carl menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh
dan berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan imagery (Smith et al.,
2004). Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai
oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas
gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005). Hasil-hasil
tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu paradigma baru
(Smith et al., 2004).
Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini
beragam sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi
kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara menyeluruh dan
mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan
pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999). Terapi komplementer
dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai level pencegahan
penyakit. Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan,
pencegahan penyakit ataupun rehabilitasi.
Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup
dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi
sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan kesehatan
tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat pencegahan
primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun
kelompok misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif
(Hitchcock et al., 1999).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai
5
manfaat selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga
lebih murah. Terapi komplementer terutama akan dirasakan lebih murah
bila klien dengan penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan dana.
Dasar Hukum Pelayanan Pengobatan Komplementer-Alternatif
antara lain :
a. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
1) Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan
dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris
yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat
2) Pasal 48 Pelayanan kesehatan tradisional
3) Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisonal
b. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1076/Menkes/SK/2003 tentang
pengobatan tradisional.
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1109/Menkes/Per/IX/2007
tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di
fasilitas pelayanan kesehatan.
d. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan hiperbarik.
e. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode
pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
f. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan hiperbarik.
g. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode
pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di
fasilitas pelayanan kesehatan.

6
b. Jenis-Jenis Terapi Komplementer
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi
komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang
menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif
seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi
biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi,
refleksi, reiki, rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999).
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM)
membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima
kategori.
Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi
dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang
mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan
(imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai
chi, dan terapi seni.
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda
dari Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan
asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy.
Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu
natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini
didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan
kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta
hidroterapi.
Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi
dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya
terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet.
Klasifikasi kategori kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa
7
kombinasi antara biofield dan bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis,
2002). Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup
(pengobatan holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi);
manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur, refleksi, massage);
mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color healing,
hipnoterapi).
Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang
dibutuhkan. Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya
seperti meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan
kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan
dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999).
Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu
mengetahui pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui
terapi komplementer diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat
kesehatan dan kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar tentang terapi
komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang
reliabel, memberi rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi
sejumlah terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Selain itu,
perawat juga harus membuka diri untuk perubahan dalam mencapai tujuan
perawatan integratif (Fontaine, 2005).
Jenis-jenis terapi komplementer sesuai PERMENKES No :
1109/MENKES/Per/IX/2007, antara lain :
1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions)
meliputi : Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan
yoga.
2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif meliputi : akupuntur,
akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, Ayurveda.
3. Cara penyembuhan manual meliputi : chiropractice, healing touch,
tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut.
4. Pengobatan farmakologi dan biologi meliputi : jamu, herbal, gurah.

8
5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan meliputi: diet
makro nutrient, mikro nutrient.
6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan meliputi : terapi ozon,
hiperbarik, EECP.
c. Peran Perawat
Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi
komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti,
pemberi pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat.
Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya,
konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun
sebelum mengambil keputusan.
Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi
perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia
dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips &
Taylor, 2001).
Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan
berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based
practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung
misalnya dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi
terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002).
Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran
koordinator dalam terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat
mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang merawat dan unit
manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk
memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin
diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).
1. Peran Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan
Didukung oleh teori keperawatan berdasarkan Teori Orem (1971).
Tujuan keperawatan adalah untuk merawat dan membantu klien
mencapai perawatan diri secara total. Nightingale (1860) Tujuan
9
keperawatan untuk pasilitasi proses penyebuhan tubuh dengan
memanipulasi lingkungan klien. Rogers (1970) Untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan,mencegah kesakitan, dan merawat serta
merehabilitasi klien yang sakit dan tidak mampu dengan pendekatan
humanistic keperawatan.)
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan
perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang
dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis
keperawatan agar bisa direncakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat
sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat
dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan
ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
2. Peran Sebagai Advokat (Pembela) Klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga
dalam menginterpretasikan berbagia informasi dari pemberi pelayanan
atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas
tindakan keperawatan berkaitan dengan terapi komplementer yang
diberikan kepada pasiennya, juga dapat berperan mempertahankan dan
melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-
baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak
untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi
akibat kelalaian.
3. Peran Edukator
Didukung oleh Teori Peplau (1952). Tujuan keperawatan untuk
mengembangkan interaksi antara perawat dan klien. King (1971), tujuan
keperawatan untuk memanfaatkan komunikasi dalam membantu klien
mencapai kembali adaptasi secara positif terhadap lingkungan. Peran
ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan mengenai terapi komplementer, gejala penyakit

10
bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku
dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran Researcher
Mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan
keperawatan.
Pengembangan kebijakan, praktik keperawatan, pendidikan, dan riset.
Apabila isu ini berkembang dan terlaksana terutama oleh perawat yang
mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang terapi komplementer,
diharapkan akan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga kepuasan
klien dan perawat secara bersama-sama dapat meningkat. Perawat secara
holistic harus bisa mengintegrasikan prinsip mind-body-spirit dan modalitas
(cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan sehari-hari
dan praktek keperawatannya. Terapi komplementer menjadi salah satu cara
bagi perawat untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik dengan
menggunakan diri sendiri sebagai alat atau media penyembuh dalam rangka
menolong orang lain dari masalah kesehatan. Terapi komplementer digunakan
bersama-sama dengan terapi medis konvensional.

2.2 Konstipasi
a. Definisi
Kata konstipasi berasal dari bahasa latin constipare yang artinya
‘bergerombol bersama’. Sembelit atau konstipasi adalah sulit buang air
besar secara rutin, dan feses dalam usus besar kering mengeras, sehingga
sulit keluar dari anus. Jika feses terhalang, tidak bisa keluar selama berhari-
hari, terjadilah gejala konstipasi yang bisa mengganggu kesehatan.
Konstipasi adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar kurang
dari tiga kali seminggu atau tiga hari tidak buang air besar, dan diperlukan
mengejan yang berlebihan saat buang air besar. Konstipasi dapat terjadi
pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak maupun usia
lanjut. Pada umumnya, banyak yang menganggap konstipasi adalah hal
biasa. Akan tetapi, jika tidak segera diatasi dapat menimbulkan

11
divertikulosis, kanker kolon, dan hemoroid.
Konstipasi adalah keadaan dimana terjadi suatu penurunan frekuensi
pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan
defekasi. Pada keadaan normal dalam 24 jam kolon harus dikosongkan
secara teratur dan normalnya defekasi dilakukan 1-3 kali sehari.
Konstipasi merupakan masalah kesehatan yang sering di alami
orang di dunia. Di Amerika Serikat terdapat 2,5 juta orang yang mengalami
konstipasi dan salah satu alasannya adalah jarang memakan buah-buahan,
sayuran dan makanan sehat lainnya, serta jarang meminum air putih dalam
jumlah yang cukup sehingga asupan serat kurang. Kebiasaan makan
makanan yang tidak mengandung banyak serat dapat mengakibatkan rasa
sakit saat buang air besar akibat tinja yang keras yang akhirnya bisa
menyebabkan konstipasi.
Konstipasi dapat menimbulkan stres berat bagi penderita akibat
ketidaknyamanan. Penyebab konstipasi bersifat multifaktorial, beberapa
faktor yang mempengaruhi yaitu faktor organik (fungsi organ dan sistem
syaraf serat), diet, usia, kurang asupan cairan, kebiasaan buang air besar
yang tidak teratur, kurang berolahraga, obat-obatan, stres, konsumsi kopi,
dan posisi saat buang air besar.
Kesulitan buang air besar kebanyakan dialami oleh orang berusia
lanjut. Ini karena gerakan peristaltik usus besar sudah melemah dan cairan
tubuh relatif berkurang. Di samping itu orang yang mengalami konstipasi
biasanya karena menu utama lebih dominan daging daripada sayuran dan
buah yang mengandung serat yang tinggi.
Kolon memiliki fungsi utama mengabsorbsi air dan elektrolit dari
kimus dan penimbunan bahan feses sampai feses tesebut dapat dikeluarkan.
Motilitas yang berlebihan dapat menyebabkan absorbsi menurun sehingga
feses lebih cair atau diare. Sebaliknya bila motilitas buruk akan
menyebabkan absorbsi lebih besar sehingga feses keras dan timbul
konstipasi. Meskipun konstipasi merupakan suatu gejala penyakit dan
biasanya berlangsung singkat, namun bila konstipasi akut ini tidak ditangani
12
dengan baik maka konstipasi akan berlangsung terus menerus disertai
dengan rasa nyeri saat defekasi dan sehingga timbul keinginan untuk
menahan defekasi dengan akibat lebih lanjut terjadi konstipasi kronik yang
dapat menyebabkan komplikasi seperti divertikulosis, kanker kolon, dan
hemoroid.
Penanganan konstipasi dapat dilakukan dengan pemberian obat
pencahar atau laksansia seperti obat-obatan golongan bulk-forming
laxatives, laksatif osmotik, laksatif stimulan, dan enema. Akan tetapi bila
obat-obatan tersebut digunakan secara berlebihan dapat mengganggu
absorpsi zat gizi pada usus halus dan mencegah sintesis vitamin di usus
besar. Oleh karena itu, diperlukan penanganan alternatif yang aman dan
efektif dengan efek samping yang lebih rendah serta lebih ekonomis
dibandingkan laksansia atau obat pencahar sintesis.
Konstipasi berdasarkan lamanya keluhan dibagi dua jenis yaitu
konstipasi akut dan konstipasi kronis. Konstipasi sedang adalah keluhan
susah buang air besar berlangsung kurang dari 4 minggu, sedangkan bila
konstipasi telah berlangsung lebih dari 4 minggu disebut konstipasi kronik.
Penyebab konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan (Kasdu,
2005).
b. Epidemiologi Konstipasi
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada
usia lanjut. Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-
40% orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30%
orang berusia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan
obat pencahar. Di Australia, sekitar 20% dari populasi berusia di atas 60
tahun mengeluh mengalami konstipasi dan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang
berusia diatas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26 % pria
yang mengeluh konstipasi (Pranaka, 2009).
Konstipasi mempengaruhi 2% hingga 27% (rata-rata 14,8%) dari
populasi orang dewasa di Amerika Utara sekitar 63 juta orang. Konstipasi
13
lebih mempengaruhi perempuan dari pada laki-laki dan kulit hitam lebih
sering dari pada kulit putih. Hal ini terjadi pada semua kelompok umur tetapi
lebih sering terjadi pada mereka yang berusia lebih dari 65 tahun dan umur
dibawah 4 tahun (Orenstein, 2008).
Konsensus menyimpulkan bahwa konstipasi kronis memiliki
estimasi prevalensi 5-21% di wilayah Amerika latin, dengan rasio
perempuan dan laki-laki 3:1. Individu dengan Konstipasi, 75%
menggunakan beberapa jenis obat. (Weissermann, 2008).
c. Etiologi
1. Pola Hidup
a. Diet rendah serat : Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang
pada feses sehingga menghasilkan produk sisa yang tidak cukup
untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat
seperti ; beras, telur dan daging segar bergerak lambat di saluran
cerna. Meningkatnya asupan cairan dengan makanan seperti itu
meningkatkan pergerakan makanan tersebut (Siregar, 2004).
Diet rendah serat : Dietary Reference Intake (DRI) serat berdasarkan
National Academy of Sciences (Drummond and Brefere, 2007):
a. Anak-anak
1. 1 – 3 tahun : 19 gram/hari
2. 4 – 8 tahun : 25 gram/hari
b. Pria
1) 9 – 13 tahun : 31 gram/hari
2) 14 – 18 tahun : 38 gram/hari
3) 19 – 30 tahun : 38 gram/hari
4) 30 – 50 tahun : 38 gram/hari
5) >50 tahun : 30 gram/hari
c. Wanita
1. 9 – 13 tahun : 26 gram/hari
2. 14 – 18 tahun : 26 gram/hari
3. 19 – 30 tahun : 25 gram/hari
14
4. 30 – 50 tahun : 25 gram/hari
5. >50 tahun : 21 gram/hari.
b. Kurang cairan/minum
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang kolon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari
normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan
chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningktakan reabsorbsi
dari chyme (Siregar, 2004).
c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan
konstipasi adalah kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks
defekasi yang normal dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini
terkondisi untuk menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan
diabaikan, keinginan untuk defekasi habis. Anak pada masa
bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa
mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan. Klien
yang dirawat inap bisa menekan keinginan buar air besar karena
malu menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang
tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan
dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi
adalah membiasakan BAB teratur dalam kehidupan (Siregar,
2004).
2. Obat – obatan
Banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi.
Beberapa di antaranya seperti ; morfin, codein sama halnya dengan
obat-obatan adrenergik dan antikolinergik, melambatkan pergerakan
dari kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat.
15
Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya seperti: zat besi,
mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada
mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga
mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada
sebagian orang (Siregar, 2004).
3. Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,
magakolon.
4. Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes
mellitus.
5. Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati
otonom.
6. Disfungsi otot dinding dasar pelvis.
7. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis
8. Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi (Djojoningrat, 2009).

d. Patofisiologi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantar feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
merenggangkan ampula dari rekum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi
refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar
pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan
keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot-otot levator
ani (Pranaka, 2009).
Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil
dan keras. Konstipasi akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi
tekanan yang berlebihan dalam usus besar (kolon) keluar dari otot,
membentuk kantong kecil yang disebut divertikula. Hemoroid juga bisa
16
sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi (Wardlaw,
Hampl, and DiSilvestro, 2004). Hampir 50% dari pasien dengan
penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya, menyangkal
mengalami konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini
memiliki gejala ketegangan atau jarang defekasi (Basson, 2010).
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebab multipel mencakup
beberapa faktor yaitu:
a) Diet rendah serat , karena motalitas usus bergantung pada volume
isi usus. semakin besar volume akan semakin besar motalitas.
b) Gangguan refleks dan psikogenik. Hal ini termasuk (1) fisura ani
yang terasa nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus sfingter
ani sehingga semakin meningkatnya nyeri; (2) yang disebut
anismus (obstruksi pintu bawah panggul), yaitu kontraksi
(normalnya relaksasi) dasar pelvis saat rektum terenggang.
c) Gangguan transport fungsional, dapat terjadi karena kelainan
neurogenik, miogenik, refleks, obat-obatan atau penyebab iskemik
(seperti trauma atau arteriorsklerosis arteri mesentrika).
d) Penyebab neurogenik. Tidak adanya sel ganglion di dekat anus
karena kelainan kongenital (aganglionosis pada penyakit
Hirschsprung) menyebabkan spasme yang menetap dari segmen
yang terkena akibat kegagalan relaksasi reseptif dan tidak ada
refleks penghambat anorektal (sfingter ani internal gagal membuka
saat rektum mengisi).
e) Penyakit miogenik. distrofi otot, sklerosisderma, dermatomiosistis
dan lupus eritamatosus sistemik.
f) Obstruksi mekanis di lumen usus (misal, cacing gelang, benda
asing, batu empedu).
g) Pada beberapa pasien konstipasi dapat terjadi tanpa ditemukannya
penyebabnya. Stress emosi atau psikis sering merupakn faktor
memperberat keadaan yang disebut irritable colon (Silbernag,
2006).
17
e. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang berhubungan dengan konstipasi adalah :
1. Kesulitan memulai atau menyelesaikan buang air besar.
2. Mengejan keras saat buang air besar.
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar.
4. Perasaan tidak tuntas saat buang air besar.
5. Sakit pada daerah rektum saat buang air besar.
6. Adanya pembesaran feses cair pada pakaian dalam.
7. Menggunakan bantuan jari- jari untuk mengeluarkan feses.
8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa buang air besar
(Pranaka, 2009).
f. Diagnosis
1) Anamnesis terperinci merupakanhal terpenting untuk
mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor penyebab. Kriteria
Rome-III untuk diagnosis konstipasi fungsional
2) Harus mencakup dua atau lebih hal berikut :
a. Mengedan 25% dari buang air besar.
b. Tinja lunak atau keras 25% dari buang air besar.
c. Rasa tidak lampias 25% dari buang air besar.
d. Rasa tersumbat 25% dari buang air besar.
e. Menggunakan bantuan manual 25% dari buang air besar
(misalnya mengeluarkan tinja dengan jari atau dengan menopang
dasar panggul).
f. Buang air besar kurang dari tiga kali per minggu.
3) Mencret jarang terjadi tanpa menggunakan obat pencahar.
4) Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Inspeksi perineal mencari lesi yang nyeri dan lain-lain.

18
b. Pemeriksaan rektal perhatikan tonus anus, tekanan menjepit dan
apakah rektum kosong atau terisi dan penuh dengan feses.
c. Pemeriksaan abdomen untuk melihat ada massa atau jaringan
parut.
d. Pemeriksaan neurologik.
e. Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi adanya rektokel.
5) Sigmoidoskopi untuk mencari lesi lokal
6) Pemeriksaan darah lengkap, LED
7) Urea, elektrolit, kalsium darah, tes fungsi tiroid.
8) Radiologi
a. Foto otot polos penting pada kecurigaan adanya obstruksi.
b. Barium enema merupakan indikasi pada semua kasus (Cooper).
g. Penatalaksanaan
1. Diet dan Hidrasi Pada pasien dengan gejala yang menggangu,
langkah pertama adalah mengoptimalkan asupan serat dan cairan.
2. Obat-obat pencahar, ada 4 tipe golongan obat pencahar
a. Memperbesar dan melunakkan masa feses, antara lain : Cereal,
Methyl Selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contoh Minyak Kasto,
Golongan docusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain :
Sorbitol, Lactulose, Glycerin.
d. Merangsang peristaltik sehingga meningkatkan motilitas usus
besar (Pranaka, 2009).

2.3 Daun Pepaya


a. Morfologi dan Taksonomi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko bagian
19
selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Tanaman ini menyebar ke
Benua Afrika dan Asia serta India. Dari India, tanaman ini menyebar ke
berbagai negara tropis, termasuk Indonesia di abad ke-17 (Setiaji, 2009).
Menurut Kalie (1996), suku Caricaceae memiliki empat marga,
yaitu Carica, Jarilla, Jacaranta, dan Cylicomorpha. Ketiga marga pertama
merupakan tanaman asli Meksiko bagian selatan serta bagian utara dari
Amerika Selatan, sedangkan marga keempat merupakan tanaman yang
berasal dari Afrika. Marga Carica memiliki 24 jenis, salah satu
diantaranya adalah papaya. Kedudukan taksonomi tanaman pepaya
dalam Suprapti (2005) adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Bangsa : Caricales
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L.
Bentuk dan susunan tubuh bagian luar tanaman pepaya termasuk
tumbuhan yang umur sampai berbunganya dikelompokkan sebagai
tanaman buahbuahan semusim, namun dapat tumbuh setahun lebih.
Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang
tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih
menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman
(Suprapti, 2005).
Batang tanaman berbentuk bulat lurus, di bagian tengahnya
berongga, dan tidak berkayu. Ruas-ruas batang merupakan tempat
melekatnya tangkai daun yang panjang, berbentuk bulat, dan berlubang.
Daun pepaya bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau-tua,
sedangkan warna permukaan bagian bawah hijau-muda (Suprapti, 2005).
Pohon ini biasanya tidak bercabang, batang bulat berongga, tidak
berkayu, terdapat benjolan bekas tangkai daun yang sudah rontok. Daun
20
terkumpul di ujung batang, berbagi menjari. Buah berbentuk bulat hingga
memanjang tergantung jenisnya, buah muda berwarna hijau dan buah tua
kekuningan / jingga, berongga besar di tengahnya; tangkai buah pendek
(dapat dilihat di Gambar 1). Biji berwarna hitam dan diselimuti lapisan
tipis (Muhlisah, 2007).
Sunarjono (1987) menyatakan bahwa buah pepaya sangat populer
karena banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta rasanya
manis. Di Eropa dandi negara maju lainnya, pepaya dimakan sebagai
buah segar atau sari buahnya diminum pada pagi hari sebelum sarapan
dengan maksud memperlancar pencernaan. Bagian dari buah pepaya
yang dapat dimakan adalah sebesar 75% dari seluruh buah pepaya.
Komposisi buah dan daun pepaya dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 1. Analisis Komposisi Buah dan Daun Pepaya
Unsur Komposisi Buah Masak Buah Mentah Daun Pepaya
Energy (kalori) 46 26 79
Air (g) 86,7 92,3 75,4
Protein (g) 0,5 2,1 8
Lemak (g) - 0,1 2
Karbohidrat (g) 12,2 4,9 11,9
Vitamin A (IU) 365 50 18.250
Vitamin B (mg) 0,04 0,02 0,15
Vitamin C (mg) 78 19 140
Kalsium (mg) 23 50 353
Besi (mg) 1,7 0,4 0,8
Fosfor (mg) 12 16 63
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (1979) dalam Kalie (1996)

b. Kandungan Kimia Tanaman Pepaya


Tanaman pepaya mengandung bahan kimia yang bermanfaat baik itu
pada organ daun, buah, getah, maupun biji dan kandungan kimia dari
tanaman pepaya (Carica papaya L) dalam Dalimartha (2003) dapat
21
dilihat pada Tabel.
Kandungan kimia tanaman papaya
No. Organ Kandungan Senyawa
1. Daun enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-
karpaina, glikosid, karposid dan saponin,
sakarosa, dekstrosa, dan levulosa. Alkaloid
karpaina mempunyai efek seperti digitalis
2. Buah β-karotena, pektin, d-galaktosa, l-arabinosa,
papain, papayotimin papain, serta fitokinase
3. Biji glukosida kakirin dan karpain. Glukosida
kakirin berkhasiat sebagai obat cacing, peluruh
haid, serta peluruh kentut (karminatif
4. Getah papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin,
dan siklotransferase
Sumber : Dalimartha (2003)

c. Kandungan Aktif Daun Pepaya


Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang
dapat meningkatkan kekuatan total antioksidan di dalam darah dan
menurunkan level perooxidation level, seperti papain, chymopapain,
cystatin, α-tocopherol, ascorbic acid, flavonoid, cyanogenic
glucosides dan glucosinolates (Seigler, 2002).
Kandungan aktif daun pepaya menurut Trizelia (2001), yaitu
enzim papain. Papain merupakan suatu protese sulfihidril dari getah
pepaya. Enzim papain biasanya ditemukan di batang, daun, dan buah
pepaya. Selain enzim papain, terdapat beberapa senyawa-senyawa
yang dapat dibuktikan melalui uji fitokimia. Uji fitokimia dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya komponenkomponen bioaktif yang
terdapat pada sampel uji. Dari uji fitokimia yang dilakukan oleh
Astuti (2009) daun pepaya mengandung flavonoid, saponin, dan
alkaloid. Namun pada pengujian fitokimia yang dilakukan Julaily,
22
dkk. (2013), ekstrak daun pepaya mengandung berbagai golongan
senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, polifenol,
kuinon, dan terpenoid. Senyawa-senyawa ini yang dipercaya
mampu membunuh serangga hama.

1. Alkaloid
Merupakan golongan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan dalam tumbuhan. Alkaloid merupakan senyawa yang
menyerupai basa, terbukti dari asal namanya alkali (basa) dan oid
(menyerupai). Dalam struktur dasarnya alkaloid banyak mengandung
gugus atom N. Sebagian besar terbentuk dari gugusan asam amino

23
(Trubus Vol 8, tanpa tahun).
Alkaloid memiliki aktivitas terapeutik yang menonjol. Isolasi murni
alkaloid dan derivatnya digunakan untuk sebagai bahan medis
dasar karena efek analgesik, antispasmodik dan antibakteri
(Stray, 1998). Senyawa yang bersifat sitotoksik seperti alkalod
dapat mempunyai efek imunosupresif pada dosis tinggi.
Imunosupresif dapat menghambat proliferasi sel imun,
sitotoksiksitas, dan menghambat produksi limfosit sel T
(Hargono, 1996).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sanoesi (2008),
pemberian ekstrak daun pepaya dengan konsentrasi 100%
dapat menurunkan jumlah makrofag pada ikan mas yang
diinduksi oleh A. hydrophila.
2. Flavonoid
Hasil metabolisme sekunder yang termasuk dalam
senyawa fenolat terdiri dari beragam senyawa dengan
struktur molekul yang heterogen. Yang terkenal dalam dunia
pengobatan dan farmasi adalah kelompok flavonoid dan
tanin. Sudah ada kurang lebih 2.000 macam flavonoid yang
berhasil diidentifikasi. Flavonoid bertanggung jawab
melindungi tanaman dari pengaruh buruk sinar ultra violet
dan berperan sebagai pemberi warna pada tanaman (Trubus
Vol 8, tanpa tahun).
Flavonoid mempunyai bermacam-macam efek, yaitu
efek antitumor, immunostimulant, antioksidan, analgesik,
antiradang, antivirus, antibakteri, dan anti fungi. Penelitian
membuktikan bahwa senyawa flavonoiddapat meningkatkan
aktivitas IL-2 dan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit
akan mempengaruhi sel CD4+, kemudian menyebabkan sel
Th1 teraktivasi (Baratawidjaja, 2002). Sel Th1 yang
teraktivasi akan mempengaruhi SMAF (Spesific Makrofag

24
Activating Factor), yaitu molekul molekul multipel termasuk
IFN γ yang dapat mengaktifkan makrofag, sehingga
makrofag mengalami peningkatan angka metabolik,
motilitas dan aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih
efisien dalam membunuh bakteri, atau mikroorganisme
patogen lainnya (Paul, 2003).
Diantaranya jenis flavonoid, yaitu flavonol, flavone,
dan glikosida sering terdapat di daun atau di bagian luar dari
tanaman, kecuali pada bawang. Aktivitas biologi flavonoid
telah baru-baru ini diketahui. Dari banyak hasil studi
menunjukkan bahwa flavonoid memiliki banyak manfaat
untuk kesehatan manusia karena kapasitas antioksidan dari
flavanoid dan kemampuannya dalam :
a. memodulasi enzim yang berbeda.
b. interaksi dengan reseptor spesifik.
c. efek vasodilatasi.
d. berikatan dengan ion logam seperti Cu dan Fe(Pietta
dan Paolo, 1999)
Sifat antiinflamasi dari flavonoid telah terbukti
secara in vivo maupun in vitro, sedangkan mekanisme
flavonoid dalam menghambat terjadinya inflamasi melalui
dua cara, yaitu:
a. Menghambat pelepasan asam arakidonat dan sekresi
enzim lisosom dari sel neutrofil dan sel endotelial.
b. Menghambat fase proliferasi dan fase eksudasi dari
proses inflamasi. Landofi et al (Sabir, 2003),
melaporkan bahwa konsentrasi tinggi dari beberapa
senyawa flavonoid dapat menghambat pelepasan
asam arakidonat dan enzim lisosom dari membran
dengan jalan memblok jalur siklooksigenase, jalur
lipoksigenase, dan fosfolipse A2, sementara pada
25
konsentrasi rendah hanya memblok jaringan
lipoksigenase. Terhambatnya pelepasan asam
arakidonat bagi jalur siklooksidase dan lipooksidase
pada akhirya akan menekan jumlah prostaglandin,
prostasiklin, endoperoksida, asam
hidrosiekosatetrainoat, leukotrin disisi lainnya
(Sabir, 2003).
3. Vitamin C
Dalam 100 gram daun pepaya segar terdapat 140 mg
vitamin C (LIPI, 2009).Vitamin C dapat berbentuk sebagai
dan asam L-dehidroaskorbat, keduanya mempunyai
keaktifan sebagai vitamin C. Kekurangan vitamin C
menyebabkan kerapuhan dinding-dinding kapiler, gusi
berdarah, gigi mudah tanggal, sariawan, dan penyakit pada
sendi tulang (Anonim, 2009).
Vitamin C termasuk vitamin yang larut dalam air,
berpengaruh penting dalam pembentukan kolagen,
komponen penting pembentuk jaringan ikat dalam tubuh.
Sintesis kolagen yang adekuat perlu untuk ligamen yang
kuat, tendon, dentin kulit, pembuluh darah, dan tulang, dan
untuk proses penyembuhan luka (Economos, 1999).
Vitamin C mempunyai sifat sebagai antioksidan yang
dapat melindungi molekul-molekul yang sangat diperlukan
oleh tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat dan asam
nukleat dari kerusakan oleh radikal bebas dan reaktif
oksigen spesies (Higdon, 2004).
Beberapa fungsi vitamin C dipercaya berhubungan
dengan konversi reaksi reduksi-reduksi di dalam jaringan
tubuh. Beberapa zat dalam makanan, ddalam tubuh
dihancurkan atau dirusak jika mengalami oksidasi.
Seringkali zat tersebut dihindari dari oksidasi dengan
26
menambahkan antioksidan. Suatu oksidan adalah zat yang
dapat melindungi zat lain dari oksidasi dimana dirinya
sendiri yang dioksidasi.
Vitamin C, karena memiliki daya antioksidan, sering
ditambahkan pada makanan untuk mencegah perubahan
oksidatif. Dalam penelitian Goldenberg (2003), vitamin C
dapat melindungi aktivtas fagositosis dari auto-oksidasi,
meningkatkan produksi interleukin-1 dan TNF-α, dan
meningkatkan fagositosis sel NK dan sel makrofag. Selain
itu,vitamin C juga menghambat terjadinya kerusakan
jaringandengan menghambat produksireactive oxygen
speciesi (ROS) secara berlebih (Arifin, et al, 2007).

2.4 Hasil Pencarian Jurnal


Jurnal yang didapatkan merupakan jurnal mengenai terapi
komplementer terhadap klien dengan konstipasi, yaitu jurnal mengenai
bahan herbal seperti daun papaya, dan juga jurnal dengan EBN, yaitu Self
Management berupa Abdomen Massage dan Stretching Abdomen. Berikut
merupakan tbael hasil analisa dari isi jurnal yang telah dilampirkan dalam
makalah ini.

27
No Author AIM Study Partic Methods Main
&Title Design ipan Result
1. Yuliati, Untuk non- 39 Penelitian ini adalah Sebelum pemberian air
Najma kuasi eksperimen, pre- rebusan daun pepaya.
mengetahui probability orang
S. A
(2016) pengaruh sampling lansia. test, post-test tanpa Lansia yang mengalami
“Pengar kelompok kontrol konstipasi kronis
air rebusan
uh Air
yang diberlakukan sebanyak 26 orang
Rebusan daun
Daun pada suatu kelompok (66.7%).
papaya
Pepaya intervensi. Sesudah pemberian air
Terhada terhadap
rebusan daun pepaya,
p
penurunan
Konstip Lansia yang mengalami
asi konstipasi konstipasi kronis
Lansia
pada lansia. sebanyak 11 orang
Studi
Kasus di (28.2%).
Panti
Kejadian sebelum
Werdha
Budi diberikan air rebusan
Mulya daun pepaya diperoleh
02
data lansia yang
Cengkar
eng” mengalami konstipasi
kronis sebanyak 26 orang
66.7% dan kejadian
konstipasi sesudah
diberikan air rebusan
daun pepaya diperoleh
data lansia yang
mengalami konstipasi
sedang 28 orang 72.8%.
Pemberian air rebusan
daun pepaya berpengaruh
terhadap penurunan
kejadian konstipasi pada
lansia

28
2. Weny Tujuan dari Evidance Dalam Prosedur dalam didapatkan bahwa
EBN ini penera penerapan EBN ini ratarata
Amelia Based
adalah pan dilakukan skor CAS pada
(2017) mengidenti Nursing EBN dengan kelompok intervensi
fikasi ini, memperhatikan setelah dilakukan
“Evidan
efektivitas pasien konsisi klinis pasien, intervensi self-
ce Based self- yang mengkaji data dasar management
manageme terlibatpasien yang meliputi (SM) adalah 3,2
Nursing
nt (SM) adalah umur, berat badan, dengan standar
Self terhadap tinggi badan, IMT, deviasinya
sebany
penurunan dan adalah 0,447 dengan
Manage
konstipasi ak 10 protokol atau agen skor terendah 3 dan
ment pada kemoterapi, skor
orang
pasien mengkaji BAB tertinggi 4. Sedangkan
untuk
pasien. pasien (normal atau pada kelompok kontrol
kanker
Mengur konstipasi), rata-rata skor CAS
payudara dilakukan adalah 7,6 dengan
angi
pengukuran skor standar
Konstip CAS sebelum deviasi 0,548 dengan
pelaksanaan skor terendah 7 dan
asi pada
intervensi, skor
Paisen tertinggi 8.
melakukan SM (pijat
Kanker
perut,
Payudar
a yang
Menjala
ni
Kemoter
api

29
BAB III
JURNAL DAN EVIDANCE BASED NURSING

PENGARUH AIR REBUSAN DAUN PEPAYA TERHADAP


KONSTIPASI LANSIA STUDI KASUS DI PANTI SOSIAL TRESNA
WERDHA BUDI MULYA 02 CENGKARENG
Yuliati 1, Najma S.A2
1
Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas. Esa Unggul, Jakarta
²Prodi Ners-FIKES, Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jalan Arjuna Utara Tol Tomang-Kebon Jeruk
yuliati@esaunggul.ac.id

Abstract
Constipation is a decrease in the frequency of bowel movements
accompanied by an extension of time and trouble movement of feces. This
study aimed to analyze the effect of papaya leaves boiled water for
constipation in the elderly. Research the sample used is Elderly nobility were
39 elderly people with non-probability sampling techniques and types of
purposive sampling. the method used is a quasi-experimental, pre-test, post-
test without control group. Research the statistical test paired t-test value
constipation before giving water boiled papaya average value (mean) of 7.95
and after the water decoction of leaves of papaya value - average (mean) of
5.74 with p = 0.001 (p <0.05). Papaya leaves boiled water efficacious to
reduce the incidence of constipation in the elderly

Keywords: fiber, water decoction of leaves of papaya, constipation elderly

Abstrak
Konstipasi pada lansia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain asupan
serat, intake cairan, aktivitas fisik, depresi, penggunaan obat-obatan,
gangguan metabolik. Konsumsi serat yang cukup dapat memperlancar proses
defekasi. Salah satu serat yang dapat mempermudah proses defekasi terdapat
pada daun pepaya. Penelitian ini bertujuan menganalisis Pengaruh Pemberian
Air Rebusan Daun Pepaya Terhadap Konstipasi pada Lansia. Penelitian
dilakukan pada 39 orang lansia dengan teknik non probability sampling dan
jenis purposive sampling. Metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen,
pre tes, post test tanpa kelompok control. Hasil uji statistik paired t-test nilai
konstipasi sebelum pemberian air rebusan daun pepaya nilai rata-rata (mean)
7.95 dan sesudah pemberian air rebusan daun pepaya nilai rata-rata (mean)
5.74 dengan nilai p=0.001 (p<0.05). Air rebusan daun pepaya berkhasiat
untuk mengurangi kejadian konstipasi ada lansia di panti sosial tresna werdha
budi mulia 02 cengkareng.

Kata kunci : serat, air rebusan daun pepaya, konstipasi lansia.

30
Pendahuluan
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran
dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Proses menua
akan terjadi perubahan-perubahan baik anatomis, biologis , fisiologis, maupun psikologis
(Juniarti,2008). Motilitas usus besar yang melemah pada lansia, dapat menyebabkan
absorbsi air dan elektrolit meningkat, sehingga feses menjadi lebih keras yang
menyebabkan sulit buang air besar, hal itu merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia
(Darmojo & Martono, 2006). Menurut Abdul Ghofar tahun 2012 dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa semua orang dapat mengalami konstipasi terlebih pada lanjut usia akibat
gerakan peristaltik lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Konstipasi pada lansia
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain asupan serat, intake cairan, aktivitas fisik, depresi,
penggunaan obat-obatan, gangguan metabolik (hiperkalsemia, hipotiroid) (Stanley, 2007
dan Leuecknotte,2000). Konsumsi serat yang cukup dapat memperlancar proses defekasi.
Serat pangan dibagi atas dua golongan besar, yaitu serat pangan larut air dan serat pangan
tidak larut air. Daun pepaya mengandung enzim papain. Enzim proteolytic dan serat kasar
tinggi yang dapat melancaran defekasi. Daun pepaya mengandung selulosa untuk
merangsang otot-otot usus. Vitamin C yang tinggi, saposin, serta senyawa alkaloid dalam
daun bisa mencegah berkembangnya sel kanker pada usus besar (Mangan, 2009).

Pengertian Lansia
Menurut Wahyudi Nugroho tahun 2008 mengatakan bahwa menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk mengganti diri dengan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan dari jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk,gerakan-gerakan lambat, dan postur tubuh yang tidak proforsional.
Pada lansia terdapat perubahan fungsi anatomis dan fisiologis, termasuk perubahan pada
system gastrointensinal. Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam
saluran gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Banyak masalah-masalah
gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia erat dihubungkan dengan gaya hidup mereka.

Pengertian Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses melalui anus secara berkala, yang sebelumnya
disimpan di dalam rektum. Usus besar mengeluarkan zat sisa kearah rektum dan gerakan
peristaltik yang disebut refleks gastrokolik dan terjadi setelah makan. Gerakan peristaltis
dari otot-otot dinding usus besar menggerakkan tinja dari saluran pencernaan menuju ke
rektum. pada rektum terdapat bagian yang membesar (ampulla) yang menjadi tempat
penampungan tinja sementara. Otot-otot pada dinding rektum dipengaruhi oleh system
saraf sekitarnya dapat membuat satu rangsangan untuk mengeluarkan tinja keluar tubuh.
Jika tindakan pembuangan terus ditahan atau dihambat maka tinja dapat kembali ke usus
besar yang menyebabkan air pada tinja kembali diserap, dan tinja menjadi sangat padat.
Jika buang air besar tidak dapat dilakukan untuk masa yang agak lama dan tinja terus
mengeras, konstipasi dapat terjadi (Brooker C.,2005). Konstipasi merupakan gejala, bukan
penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran
proses yang lama atau keras dan kering (Perry & Potter, 2006). Defekasi merupakan proses
pengeluaran zat sisa metabolisme secara berkala jika proses alami ini terhambat akan
menyebabkangejala,seperti konstipasi.

Pengertian Konstipasi
31
Konstipasi berdasarkan lamanya keluhan dibagi dua jenis yaitu konstipasi akut dan
konstipasi kronis. Konstipasi sedang adalah keluhan susah buang air besar berlangsung
kurang dari 4 minggu, sedangkan bila konstipasi telah berlangsung lebih dari 4 minggu
disebut konstipasi kronik. Penyebab konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan
(Kasdu, 2005). Faktor-Faktor yang mempengaruhi konstipasi pada Lansia menurut Dudek
tahun 1997, dalam Leueckenotte, 2000 kejadian konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu:

Asupan serat
Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna
secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan
(Almatsier, 2005). Menurut Listiyaningsih tahun 2011 bahwa 33,3% asupa serat
mempengaruhi terjadinya konstipasi pada lansia. Asupan serat, Insoluble fibre bersifat
menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair.
Salah satu serat terbaik untuk melancarkan defekasi ialah serat yang mengandung enzim
papain yang berfungsi melunakaan feses dalam usus. Salah satunya enzim papain terdapat
dalam tanaman papaya.

Intake cairan
Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang
memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari total berat badan tubuh.
Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari tubuh. Sumber air yang tinggi
terdapat pada sebagian besar buah dan sayuran mengandung sampai dengan 95% air,
sedangkan daging, ayam, dan ikan sampai70-80%. Air juga dihasilkan di dalam tubuh
sebagai hasil metabolisme energi. Ketidakseimbangan air dapat berakibat buruk bagi
kesehatan, seperti konstipasi dan dehidrasi. Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan
kenyang.

Daun Pepaya
Daun pepaya bertulang menjalar (palmineus) dengan warna hijau tua pada bagian
atasnya dan hijau muda pada bagian bawahnya.
Gambar 1.

Daun Pepaya
Sumber: www.rumahbunda.com

Tabel 1
Komposisi kandungan daun pepaya
per 100 gram
No. Kandungan Gizi

1 Energi (kcal) 79
2 Protein (gram) 8
32
3 Lemak (gram) 2
4 Karbohidrat (gram) 11,9
5 Kalsium (mg) 353
6 Fosfor (mg) 63
7 Fe (mg) 1
8 VitaminA(SI/mg) 18250
9 Vitamin B (mg) 0,15
10 Vitamin C (mg) 140

Sumber : Wikipedia 2013

Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang dapat meningkatkan


kekuatan total antioksidan di dalam darah dan menurunkan level perooxidation level,
seperti papain, chymopapain, cystatin, α-tocopherol, ascorbic acid, flavonoid,
cyanogenic glucosides dan glucosinolates. Daun pepaya mengandung enzim
papain, alkaloid karpain, lisozim, khimoprotein untuk melancarkan sistem pencernaan.
(Seigler, 2002).

Pengaruh air rebusan daun pepaya dengan defekasi pada lansia


Daun pepaya memiliki getah berwarna putih yang mengandung enzim pemecah
protein atau yang biasa disebut dengan enzim proteolitik. Enzim ini berperan dalam
meningkatkan nafsu makan. Daun papaya juga mengandung enzim papain yang memiliki
fungsi melancarkan buang air besar. Enzim papain juga memiliki peran dalam memecah
protein menjadi arginin. Arginin adalah salah satu asam amino yang dalam kondisi normal
tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Papain terbentuk di seluruh bagian buah pepaya, baik
kulit, daging buah, maupun bijinya,namun kandungan enzim papain dalam daun papaya
lebih besar. (Mangan, 2009 & Rizky, 2013).

Metode air rebusan daun papaya


Air rebusan daun pepaya ialah hasil dari rebusan daun pepaya dengan air. Metode
air rebusan daun pepaya yaitu
  Ambil 4 lembar daun pepaya (100 gr)
  Kemudian dicuci lalu dikeringkan setengah kering (layu)
  Potong-potong dan rendam dengan air sekitar 2 liter air didalam panci
 Rebus air dan daun pepaya, dan didihkan tanpa ditutup sampai air rebusan
 berkurang setengah nya.
 Lalu saring cairan, dan simpan ke dalam wadah botol. Air rebusan daun pepaya
diberikan sebanyak 250 cc sehari sekali,selama 3 hari berturut-turut.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah kuasi eksperimen, pre-test, post-test tanpa kelompok kontrol
yang diberlakukan pada suatu kelompok intervensi.

33
R 01 X1 02

Keterangan:
R : Responden penelitian
semua mendapat perlakuan atau
intervensi.
01 : Pre test pada kelompok
 perlakuan.
02 : Post test setelah perlakuan
X1 : intervensi pada kelompok

Hasil Penelitian Analisa Univariat Karakteristik Responden

Tabel. 2
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Usia (n=39)

Usia F Mean %
60-74 31 68.3 79.5
75-90 8 20.5
‘ Jumlah 39 100.0

Rata-rata lansia berusia 68,3 tahun. Sebagian besar responden berusia 60-74 tahun
sebanyak 31 orang (79.5%).
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin F %
Wanita 26 66.7
Laki-laki 13 33.3
Jumlah 39 100.0

Sebagian besar berjenis kelamin wanita sebanyak 26 orang 66.7%.

Kejadian konstipasi sebelum pemberian air rebusan daun papaya


Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kejadian
Konstipasi Responden Pra Pemberian
Air Rebusan Daun Pepaya

Jenis Konstipasi F %

34
Konstipasi Kronis 26 66.7%
Konstipasi Sedang 13 33.3%
Jumlah 39 100.0

Sebelum pemberian air rebusan daun pepaya. Lansia yang mengalami konstipasi
kronis sebanyak 26 orang (66.7%).

Deskripsi kejadian konstipasi sesudah pemberian air rebusan daun pepaya


Sesudah pemberian air rebusan daun pepaya, Lansia yang mengalami konstipasi
kronis sebanyak 11 orang (28.2%).
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Kejadian
Konstipasi Sesudah Pemberian Air
Rebusan Daun Pepaya

Jenis Konstipasi F %
Konstipasi Kronis 11 28.2
Konstipasi Sedang 28 72.8
Jumlah 39 100.0

Analisa Bivariat
Nilai rata-rata (mean) hasil uji konstipasi sebelum diberikan air rebusan daun
pepaya, memiliki nilai rata-rata (mean) = 7.95 dan sesudah diberikan air rebusan daun
pepaya, memiliki nilai rata-rata (mean) = 5.74, sedangkan berdasarkan hasil p value
sebesar 0.001, ini menunjukan bahwa nilai p ≤ 0.05 sehingga dapat dikatakan Ho ditolak
berarti ada pengaruh pemberian air rebusan daun pepaya terhadap konstipasi pada lansia.

Tabel 6
Hasil Uji T-Test Konstipasi Sebelum-Sesudah Pemberian Air Rebusan Daun
Pepaya
Variabel Mean SD SE P value
Hasil Uji Konstipasi pra 7.95
intervensi 0.923 0.148 0.001
Hasil Uji Konstipasi 5.74
post intervensi

Usia memberikan gambaran bahwa semakin tua seseorang, semakin menurun


pula fungsi sistem tubuh orang tersebut. Perubahan struktural dan fungsional pada lanjut
usia dapat menghambat eliminasi secara sempurna. (Smeltzer & Bare, 2008). Kejadian
konstipasi pada wanita empat kali lebih besar di banding laki-laki, penyebab wanita
mengalami konstipasi ialah kekuatan sfingter dan otot perut wanita yang lebih lemah dari
laki-laki. (Wikipedia, 2014).
Menurut Mangan tahun 2009 dan Rizky tahun 2013, daun pepaya memiliki getah
berwarna putih yang mengandung enzim pemecah protein atau yang biasa disebut dengan
enzim proteolitik. Enzim ini berperan dalam meningkatkan nafsu makan. Daun papaya

35
juga mengandung enzim papain yang memiliki fungsi melancarkan buang air besar,
selain papain enzim karpain pada daun pepaya dapat membasmi mikroorganisme pada
usus besar yang akan ikut terbuang bersama feses. Menurut Lukas tahun 2007, daun
pepaya dalam berkhasiat memudahkan pengeluaran feses, mencegah konstipasi dan
kanker perut. Pemberian air rebusan daun pepaya yang mengandung enzim papain yang
dapat melunakan feses sehingga dapat meminimalkan kejadian konstipasi pada lansia.

Kesimpulan
Karakteristik responden berusia 60-74 tahun sebanyak 79.5% dan jenis kelamin sebagian
besar wanita sebanyak 66.7%. Kejadian sebelum diberikan air rebusan daun pepaya
diperoleh data lansia yang mengalami konstipasi kronis sebanyak 26 orang 66.7% dan
kejadian konstipasi sesudah diberikan air rebusan daun pepaya diperoleh data lansia yang
mengalami konstipasi sedang 28 orang 72.8%. Pemberian air rebusan daun pepaya
berpengaruh terhadap penurunan kejadian konstipasi pada lansia.

Daftar Pustaka
Akmal, M. Zely, I. (2010). Ensiklopedi kesehatan untuk umum. Jogjakarta: Ar-
ruzz Media
Almatsier, S. (2005). Prinsip Dasar Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Audrey B., Shirlee J., Barbara K., et al., (2009). Pengkajian Kesehatan Pada Oran
Dewasa. Jakarta : EGC
Darmojo, R.B & Martono, H.H. (2006). Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut (Edisi
Ketiga).Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hidayat, A.A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan Buku 1, Jakarta: Salemba Medika
Juniarti N. (2008) .Gambaran Jenis dan Tingkat Kesepian Pada Lansia di Balai Panti
Sosial Tresna Werdha Pakuntandang Ciparay Bandung
LeMone, P. Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing.Critical
th
Thinking in Client Care (4 Edition), New Jersey: Prentice Hall
Health
Lucknotte, AG. (2000). Gerontologic Nursing (2nd). St Louis: Mosby

Situs Internet:
Herbal Treatment used to heal indigestion. (2014) http://www.thecompleteherbalguid
e.com. (diakses 20 November 2014)
Metode perebusan air daun papaya (2014) http://www.carakhasiatmanfaat.co m/artikel
khasiatmanfaat-daun-pepaya.html#sthash.lhndlDdL.dpu f (diakses 20 Desember 2014)

36
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017

EVIDENCE BASED NURSING SELF-MANAGEMENT UNTUK


MENGURANGI KONSTIPASI PADA PASIEN KANKER PAYUDARA
YANG MENJALANI KEMOTERAPI

Weny Amelia1

STIKes Mercubakti jaya Padang1


Kutipan: Amelia, Weny. (2017). Evidence Based Nursing Self-Management Untuk
Mengurangi Konstipasi Pada Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah,2 (1)

INFORMASI ABSTRACT

Self-management (SM) is one applications of Evidence Based


Nursing (EBN) to reduce constipation in breast cancer patients due
Korespondensi to chemotherapy who received antiemetic 5-hydroxytryptamine
wa@gmail.com (serotonin; 5HT3 is ondansentron). SM consists of abdominal
massage, abdominal streching, and proper bowel position
education. The aim of this EBN is to identify the effectiveness of
self-management (SM) on decreasing constipation in breast cancer
patients. Constipation score is measured using constipation
assessment scale (CAS). In the application of EBN it is found that
SM can reduce constipation marked by a decrease in CAS score.
Keywords: Breast
SM can be used as one of the non-pharmacological therapies to
cancer, chemotherapy,
constipation, self-
reduce constipation, easy to do, safe and technically practical to
management reduce constipation in breast cancer patients because it does not
require special skills or training to do so.

ABSTRAK

Self-management (SM) adalah salah satu penerapan Evidence Based Nursing (EBN) untuk mengurangi konstipasi
pada pasien kanker payudara akibat kemoterapi yang mendapatkan antiemetik 5-hydroxytryptamine (serotonin;
5HT3 yaitu ondansentron). SM terdiri dari abdominal massage, abdominal streching, dan pendidikan posisi buang
air besar yang tepat. Tujuan dari EBN ini adalah mengidentifikasi efektivitas self-management (SM) terhadap
penurunan konstipasi pada pasien kanker payudara. Skor konstipasi diukur menggunakan constipation assessment
scale (CAS). Dalam penerapan EBN ini didapatkan bahwa SM dapat mengurangi konstipasi ditandai dengan
penurunan skor CAS. SM dapat digunakan sebagai salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi konstipasi,
bersifat mudah dilakukan, aman dan secara teknis praktis untuk mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara
karena tidak dibutuhkan keterampilan atau pelatihan khusus untuk melakukannya.
Kata Kunci : Self-management, konstipasi, kemoterapi, kanker payudara

37
Penatalaksanaan yang diberikan pada
pengobatan kanker payudara pada dasarnya
PENDAHULUAN
sama dengan kasus kanker lainnya yaitu
Kanker payudara merupakan penyebab angka meliputi pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi
kesakitan dan kematian yang tertinggi di dan terapi pengubahan respon biologis yang juga
seluruh dunia termasuk Indonesia. mungkin digunakan pada berbagai waktu selama
Berdasarkan data GLOBOCAN, International proses pengobatan (Lamas, 2011). Kemoterapi
Agency for Research on Cancer (IARC) pada merupakan salah satu modalitas pengobatan
tahun 2012 diketahui bahwa kanker payudara kanker yang sering dan dipilih terutama untuk
adalah persentase kasus baru penyakit kanker mengatasi kanker stadium lanjut lokal maupun
yang tertinggi (43,3%), dan juga merupakan metastase (Desen, 2011 ). Sel kanker tumbuh dan
peresentase kematian tertinggi (12,9%) pada membelah sangat cepat, sehingga kemoterapi
perempuan di dunia. Di Amerika Serikat bekerja
terdapat 288.133 kasus baru kanker payudara dengan cara menghentikan atau memperlambat
yang didiagnosis pada wanita setiap tahunnya pertumbuhan sel kanker tersebut (Lamas, 2009).
(ACS 2011 dalam Lengacher, Kip, Reich, Efek samping dari kemoterapi sangat banyak,
Craig, Mogos, Ramesar & Pracht, 2015). salah satunya adalah konstipasi pada pasien
Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun kanker payudara
2013, prevalensi kanker payudara di Indonesia yang mendapatkan antiemetic 5-
berkisar 0,5 per 1000 perempuan (Kemenkes hydroxytryptamine (serotonin; 5HT3) (Hanai,
RI, 2014). Ishiguro, Sozu, Tsuda, Arai, Mitani, et al.,
2016).
Ada beberapa faktor risiko yang berperan dalam
penyakit kanker payudara, diantaranya yaitu Konstipasi adalah pengurangan dalam
jenis kelamin dan usia. Perempuan mempunyai frekuensi tinja atau kesulitan dalam buang air
peluang 100 kali lebih besar mengalami kanker besar (McKay, Sherry L, Fravel, Michelle, &
payudara dibandingkan dengan laki-laki dan Scanlon, Cathy, 2012). Konstipasi adalah
insiden tersebut meningkat seiring dengan adanya gangguan buang air besar yang
bertambahnya usia (LeMone & Burke, 2008). ditandai dengan berkurangnya frekuensi
Menurut American Cancer Society (2004), defekasi (kurang dari 3 kali dalam satu
kanker payudara lebih banyak terjadi pada minggu), adanya sensasi tidak puas dalam
kelompok usia 50 tahun ke atas (ACS, 2004 buang air besar, ada rasa sakit pada perut dan
dalam Smeltzer & Bare, 2008). Prevalensi perlu proses mengedan atau feses yang keras
penyakit kanker tertinggi yaitu pada umur 75 untuk mengeluarkannya. (Bharucha A E,
tahun keatas (5,0%), dan prevalensi terendah 2007).
yaitu pada umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun
Insiden konstipasi pada pasien kanker
(0,1%). Terjadi peningkatan yang cukup tinggi
payudara akibat dari antiemetik 5HT3 selama
pada umur 25-34 tahun dan 45-54 tahun
menjalani kemoterapi yaitu sebesar 84%.
(Kemenkes RI, 2015).
Kombinasi antagonis reseptor 5HT3 dan
Penanganan yang dilakukan untuk mencegah kortikosteroid dianjurkan sebagai profilaksis
agar tidak terjadi peningkatan pada pasien antiemetik pada pasien dengan risiko muntah
kanker payudara adalah dengan melakukan sedang dan tinggi, sedangkan 5HT3 tidak
deteksi dini dan bagaimana upaya untuk selalu diberikan pada pasien dengan resiko
menurunkan angka kejadian tersebut muntah rendah (Hanai, et al., 2016). Dampak
(American cancer society, 2014). dari konstipasi meliputi perubahan fisik
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
38
dengan gejala berikut : anoreksia, Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
inkontinensia urine, kebingungan, mual dan
Pemberian pendidikan kesehatan tentang cara
muntah, disfungsi kemih, impaksi, fisura,
buang air besar yang tepat dan benar adalah
prolaps dubur, wasir, obstruksi usus, dan
posisi jongkok. Salah satu faktor yang
sinkop dan dapat juga dapat menyebabkan
berperan pada proses buang air besar adalah
kecemasan dan isolasi sosial (Koch & Hudson,
sudut anorektal. Pada posisi jongkok, sudut
2000 dalam Folden , 2002).
anorektal menjadi lebih lurus sehingga akan
Perlunya intervensi untuk mengurangi mempermudah dalam buang air besar. Hal ini
konstipasi pada pasien kanker payudara yang juga mengurangi tenaga pada proses buang air
menjalani kemoterapi yang mendapatkan besar dan dapat mencegah serta mengatasi
antiemetik 5HT3. Selain mendapatkan terapi konstipasi. Pada beberapa penelitian
farmakologis, penanganan konstipasi dapat menyatakan bahwa posisi jongkok dapat
dilakukan secara non farmakologi. Salah satu mengurangi periode waktu buang air besar dan
terapi nonfarmakologi yang dapat digunakan episode ketegangan pada proses buang air
yaitu self-management (SM). SM terdiri dari besar (Hanai et al, 2016).
abdominal massage, abdominal streching, dan
SM dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
pendidikan posisi buang air besar yang tepat
intervensi pertama yang diberikan pada pasien
(Hanai , et al., 2016). Abdominal massage
yang sedang menjalani kemoterapi yang
telah terbukti efektif menguragi konstipasi
mendapatkan antiemetik 5HT3 yaitu
(Lamas, 2011). Manfaat lain dari abdominal
ondansentron. Beberapa bukti atau hasil
massage dan abdominal streching adalah
penelitian melaporkan bahwa latihan atau pijat
mudah dipelajari, dan biayanya yang murah
efektif untuk mengurangi jenis konstipasi
(Wan & Yin , 2015).
lainnya, walaupun sebelumnya tidak ada bukti
Menurut beberapa penelitian yang RCT bahwa program SM dapat membantu
ditemukan bahwa abdominal massage dan mengurangi konstipasi akibat penggunaan
abdominal streching dapat meningkatkan antiemetik 5HT3. Pasien juga melaporkan
peristaltik sehingga dapat meningkatkan bahwa SM dapat meningkatkan kesejahteraan
frekuensi buang air besar dan dapat mengurangi secara psikologis. Menurut sebuah penelitian
konstipasi kronik (Sinclair, 2011). Abdominal sebelumnya, peningkatan aktivitas fisik atau
massage dan abdominal streching tidak boleh keterampilan SM dapat merangsang fungsi fisik,
dilakukan dalam keadaan demam, menderita seperti volume tinja, mengurangi terjadinya
penyakit kulit menular, menderita penyakit gejala depresi berat, dan meningkatkan
infeksi menular, dan gangguan jantung seperti kesejahteraan emosional (Rhee, Pothoulakis,
radang pembuluh darah atau trombosis serta Mayer, 2009; Penedo, Dahn, 2005). Oleh karena
tidak boleh juga dilakukan kepada yang itu, program SM yang sederhana, efektif,
mempunyai varises, luka baru, luka memar, dan nyaman, dan biaya yang rendah dalam
tulang sendi yang meradang atau bergeser mengurangi konstipasi akibat antiemetik ini
(McClurg, 2011). Selain itu abdominal massage mungkin berlaku untuk jenis pasien kanker atau
dan abdominal streching tidak boleh dilakukan pasien lain yang menderita konstipasi jenis lain,
pada penderita riwayat obstruksi usus ganas, seperti penggunaan opioid atau yang mengalami
riwayat penyakit radang usus, spactic colon konstipasi kronik.
akibat sindrom iritasi usus besar, cedera tulang
PENERAPAN EBN
belakang yang tidak stabil, jaringan parut, dan
lesi kulit (Lindley, 2014). Penerapan EBN ini diawali dengan
menemukan fenomena di ruangan yang
120

39
dirumuskan ke dalam bentuk pertanyaan klinis Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
dengan format PICO (Problem, Intervention,
peregangan otot perut, dan menerapkan posisi
Comparation and Outcome) dan dilakukan
BAB yang benar dan tepat) selama menjalani
pencarian terhadap artikel yang sesuai yang
kemoterapi, dan dilakukan pengukuran skor
dapat menjawab pertanyaan klinis. Kemudian
CAS kembali setelah dilakukan intervensi SM.
dipilih salah satu artikel dan dilakukan critical
appraisal untuk mengetahui artikel tersebut Langkah-langkah SM yang dilakukan adalah:
layak atau tidak dijadikan sebagai dasar dalam Pijat perut menggunakan dua atu tiga jari,
penerapan EBN. Setelah itu dilakukan diusap ke perut searah jarum jam, dilakukan
penyusunan proposal Dan kemudian semua selama kira-kira 1 menit dan diulang sebanyak
perlengkapan yang dibutuhkan disiapkan yaitu 10 kali; 2) Peregangan otot perut dilakukan
booklet panduan self-management dan minyak dengan cara : a) Wind-relieving pose : pasien
zaitun. meletakkan kedua tangannya pada satu lutut dan
menariknya kearah dada dengan lemah lembut
Penerapan EBN dilakukan di ruangan rawat
kemudian menarik kepalanya kearah lutut. Posisi
inap teratai dan melati Rumah Sakit Kanker
ini dilakukan selama 15-30 detik, dalam keadaan
Dharmais Jakarta pada tanggal 17 April sampai
yang tenang pasien disuruh tarik nafas dalam
28 April 2017. Dan dilakukan identifikasi
secara perlahan-lahan. Hal yang sama dilakukan
subjek yang dilibatkan dalam penerapan EBN
pada lutut yang berlawanan. Posisi ini dilakukan
ini dengan kriteria inklusi pasien yang
10 kali perhari. b) Knees-to-chest-pose : pasien
menjalani kemoterapi dan
berbaring kemudian mengangkat lutut ke arah
mendapatkan antiemetik 5HT3
dada dengan meletakkan kedua tangan pada
(ondansentron), pasien yang memiliki skala
lutut. Posisi ini dilakukan 10 kali perhari. c)
ECOG 0 atau 1, pasien yang memiliki
Reclined Spinal Twist: pasien disuruh berbaring
kemampuan buang air besar normal sebelum
di tempat tidur kemudian memutar pinggul
menjalani kemoterapi, dan pasien yang
kearah kanan atau kiri sehingga kaki dalam
bersedia ikut serta dalam pelaksanaan EBN
keadaan menekuk hingga membentuk sudut 90°.
dan telah menandatangai informed consent,
Posisi ini dilakukan 10 kali perhari.
sedangkan kriteria ekslusi adalah pasien yang
3) Posisi buang air yang tepat adalah dengan
mengalami kesulitan berkomunikasi karena
semi jongkok. Outcome utama yang diukur
gangguan mental, gangguan kognitif, atau
adalah penurunan skor konstipasi dengan SM
cacat fisik, pasien yang mendapatkan morfin,
yang diukur menggunakan Constipation
pasien yang mendapatkan agen kemoterapi
Assessment Scale (CAS).
FAC, pasien hamil, pasien yang memiliki
keterbatasan dalam melakukan exercise atau Hasil Penerapan EBN
latihan, dan pasien yang menolak jadi
responden penelitian. Dalam penerapan EBN ini, pasien yang
terlibat adalah sebanyak 10 orang pasien.
Prosedur dalam penerapan EBN ini dilakukan Karakteristik dan hasil penerapan EBN
dengan memperhatikan konsisi klinis pasien, yang dilakukan pada pasien
mengkaji data dasar pasien yang meliputi umur,
berat badan, tinggi badan, IMT, dan protokol
atau agen kemoterapi, mengkaji BAB pasien
(normal atau konstipasi), dilakukan pengukuran
skor CAS sebelum pelaksanaan intervensi,
melakukan SM (pijat perut,

121

40
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017

Berdasarkan tabel 3.3 didapatkan bahwa rata-


rata skor CAS pada kelompok intervensi
setelah dilakukan intervensi self-management
(SM) adalah 3,2 dengan standar deviasinya
adalah 0,447 dengan skor terendah 3 dan skor
tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol
rata-rata skor CAS adalah 7,6 dengan standar
deviasi 0,548 dengan skor terendah 7 dan skor
Berdasarkan tabel 3.1 diatas, lebih dari separuh
tertinggi 8.
pasien (70%) tidak mempunyai riwayat kanker
PEMBAHASAN
dalam keluarga. Agen kemoterapi yang
digunakan yang paling banyak adalah TC Mekanisme abdominal massage dan abdominal
(Paclitaxel-Cisplatin) sebesar 60% dan AC streching bisa mengurangi konstipasi adalah
(Doxorubicin-Cychlosphamide) sebesar 40%. dapat mendorong feses dengan adanya
Stadium kanker payudara terdapat 60% stadium peningkatan tekanan pada inta abdominal. Pada
II dan 40% stadium III. Dan siklus kemoterapi beberapa kasus neurologi, abdominal massage
sebagian besar siklus 2 yaitu sebanyak 50%, dan abdominal streching dapat memproduksi
siklus 3 terdapat 30%, dan siklus 4 sebanyak gelombang rektum yang menstimulasi atau
20%. merangsang refleks somato-autonomik yang
memberikan sensasi pada usus besar. Abdominal
massage dan abdominal streching dapat
menurunkan waktu transit kolon, merangsang
atau menstimulasi gerakan peristaltik,
meningkatkan frekuensi buang air besar pada
pasien yang mengalami konstipasi, dan dapat
mengurangi perasaan tidak nyaman pada saat
Berdasarkan tabel 3.2 diatas terlihat bahwa
buang air besar, serta dapat membantu
rata-rata umur pasien yang terlibat dalam EBN
mempercepat perbaikan konstipasi kronis
ini adalah 48,30 tahun dengan standar deviasi
fungsional. Pada umumnya abdominal massage
2,214 tahun. Umur yang paling rendah adalah
dan abdominal streching dapat menstimulasi
45 tahun dan yang paling tua adalah 52 tahun.
metabolisme seluler dan meningkatkan distribusi
Rata-rata IMT pada pasien adalah 20,3 kg/m2 nutrisi ke sel dan jaringan. Pada saat nutrisi telah
dengan standar deviasi 1,21 kg/m2. digunakan, tubuh akan mengenali kebutuhan
nutrisi dan akhirnya meningkatkan nafsu makan
setelah melakukan latihan tersebut. Selain itu
secara

41
mekanik abdominal massage dan abdominal Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
streching dapat mendorong sisa pencernaan ke
konstipasi. Pada beberapa penelitian
usus, tetapi juga dapat memicu sistem syaraf
menyatakan bahwa posisi jongkok dapat
simpatik yang meningkatkan aktivitas
mengurangi periode waktu buang air besar dan
pencernaan sehingga dapat meningkatkan rasa
episode ketegangan pada proses buang air
lapar (Braun & Simonson, 2005; Liu, 2005;
besar (Hanai et al, 2016).
Sinclair, 2011).
SM dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
Tujuan dari penerapan EBN SM ini adalah untuk
intervensi pertama yang diberikan pada pasien
mengurangi konstipasi akibat antiemetik
yang sedang menjalani kemoterapi yang
(ondansentron) selama menjalani kemoterapi
mendapatkan antiemetik 5HT3 yaitu
pada pasien kanker payudara. Dalam penerapan
ondansentron. Beberapa bukti atau hasil
EBN ini tidak terdapat kendala yang berarti dan
penelitian melaporkan bahwa latihan atau pijat
efek yang merugikan. Penerapan EBN ini
efektif untuk mengurangi jenis konstipasi
dilakukan terhadap 10 orang pasien kanker
lainnya, walaupun sebelumnya tidak ada bukti
payudara yang menjalani kemoterapi di ruangan
bahwa program SM dapat membantu
rawat inap.
mengurangi konstipasi akibat penggunaan
Hasil yang didapatkan dalam penerapan EBN ini antiemetik 5HT3. Pasien juga melaporkan
adalah terdapat penurunan skor konstipasi bahwa SM dapat meningkatkan kesejahteraan
selama menjalani kemoterapi dengan rata-rata secara psikologis. Menurut sebuah penelitian
skor konstipasi pada kelompok intervensi setelah sebelumnya, peningkatan aktivitas fisik atau
dilakukan SM adalah 3,2 dan rata-rata skor keterampilan SM dapat merangsang fungsi fisik,
konstipasi pada kelompok kontrol adalah 7,6. seperti volume tinja, mengurangi terjadinya
Sesuai dengan penelitian yang mengatakan gejala depresi berat, dan meningkatkan
bahwa tidak konstipasi apabila skor CAS nya kesejahteraan emosional (Rhee, et al.,2005).
kurang dari 5 (Hanai et al, 2016). Penelitian lain Oleh karena itu, program SM yang sederhana,
mengemukakan bahwa abdominal massage efektif, nyaman, dan biaya yang rendah dalam
efektif dalam mengurangi konstipasi dengan mengurangi konstipasi akibat antiemetik ini
nilai p=0,003 (Lamas, et al., 2009). Menurut mungkin berlaku untuk jenis pasien kanker atau
beberapa penelitian yang RCT ditemukan bahwa pasien lain yang menderita konstipasi jenis lain,
abdominal massage dan abdominal streching seperti penggunaan opioid atau yang mengalami
dapat meningkatkan peristaltik sehingga dapat konstipasi kronik.
meningkatkan frekuensi buang air besar dan
Dengan dilakukannya penerapan EBN ini dan
dapat mengurangi konstipasi kronik (Sinclair, ditunjang oleh penelitian-penelitian yang telah
2011). dilakukan, maka seorang perawat spesialis dapat
melaksanakan penerapan SM sehingga dapat
Pemberian pendidikan kesehatan tentang cara mengurangi konstipasi pada pasien yang
buang air besar yang tepat dan benar adalah mendapatkan antiemetik 5HT3 selama menjalani
posisi jongkok. Salah satu faktor yang kemoterapi pada pasien kanker payudara dan
berperan pada proses buang air besar adalah akan membuat pasien merasakan kenyamanan
sudut anorektal. Pada posisi jongkok, sudut serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
anorektal menajdi lebih lurus sehingga akan Selain itu, EBN ini dapat dijadikan sebagai salah
satu intervensi keperawatan yang sederhana,
mempermudah dalam buang air besar. Hal ini
murah, aman , mudah diterapkan dan tidak
juga mengurangi tenaga pada proses buang air memiliki efek samping serta dapat memperkaya
besar dan dapat mencegah serta mengatasi intervensi keperawatan pada area onkologi
khususnya dalam mengurangi konstipasi
123 akibat

42
mengganggu kenyamanan bagi pasien
antiemetik 5HT3 selama menjalani kanker payudara. Pasien yang mengalami
kemoterapi pada pasien kanker payudara. konstipasi sangat terkait dengan peran
perawat dalam memberikan asuhan
Dalam penerapan EBN ini dapat di keperawatan dalam mengurangi
integrasikan dengan penerapan teori konstipasi pasien. Intervensi terapi non
peaceful end of life pada pasien kanker farmakologi merupakan intervensi
yang termasuk ke dalam praktik
keperawatan berbasis bukti-bukti ilmiah. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
Dan sesuai dengan konsep utama teori
PEOL ini adalah pasien merasakan penting untuk menjamin perawatan yang
kenyamanan. EBN ini adalah salah satu berkualitas tinggi. Beberapa hasil penelitian
cara untuk membuktikan bahwa seorang telah melaporkan bahwa intervensi SM
perawat mempunyai pengetahuan yang merupakan metode yang mudah dilakukan dan
tinggi dan keterampilan yang sangat efektif dalam mengurangi konstipasi
profesional. pada pasien kanker payudara sehingga dapat
meningkatkan kenyamanan pasien dan
Selama melakukan penerapan EBN, meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
kendala yang ditemukan penulis dalam yang diberikan.
pelaksanaan intervensi adalah beberapa
pasien tidak paham dengan kegunaan dan
manfaat dilakukannya self-management,
hal ini terlihat pada saat penjelasan
informed consent, pasien tampak sedikit
ragu dalam mengikuti EBN ini
dikarenakan takut dan cemas akan SARAN
dampak dari intervensi ini, walaupun a. Intervensi SM dapat direkomendasikan
penulis sudah sangat rinci menjelaskan sebagai pedoman bagi perawat dalam
manfaat dan dampak EBN tersebut melakukan terapi non farmakologi untuk
kepada pasien. mengurangi konstipasi pada pasien kanker
payudara.
Solusi yang dilakukan penulis adalah b. Intervensi SM hendaknya dapat menjadi
lebih membina hubungan saling percaya suatu standar prosedur operasional sebagai
antara penulis dan pasien dengan intervensi keperawatan dalam mengurangi
menjelaskan manfaat dan kegunaan dari konstipasi pada pasien kanker khususnya
penerapan self-management ini secara kanker payudara yang menjalani
berulang-ulang serta penulis juga kemoterapi yang mendapatkan antiemetic
berkoordinasi dengan kepala ruangan, 5HT3.
CCM, dan perawat di ruangan untuk c. Intervensi SM dapat dijadikan evidence
lebih meyakinkan bahwa dengan based practice dalam praktek keperawatan
penerapan self-management akan medikal bedah.
membantu pasien dalam mengatasi
masalah konstipasi yang dirasakannya
setelah menjalani kemoterapi dengan REFERENSI
pemakaian antemetik ondansentron
sehingga pasien dapat meningkatkan American Cancer Society. (2011). Breast
kenyamananannya selama kemoterapi. Cancer, p.2-4,61. Philadelphia.
Setelah melakukan solusi diatas, maka
pasien yang akan diikutsertakan dalam American Cancer Society (2014). Breast
penelitian ini sangat kooperatif dan Cancer Facts & Figures.
sangat bersedia untuk terlibat dalam
penerapan EBN ini. American Nurses Association, 2004. handle
with care. ANA American Nurses
KESIMPULAN Association.
Konstipasi merupakan masalah yang
43
Braun MB, SimonsonSJ. Introduction to Constipation. www.nht.nhs.uk/
Massage Therapy. Baltimore: documentHandler.cfm?dld=2250
Lippincott, Williams and Wilkins; &pflag=docm93jijm4n2250 (Last
2005. accessed: June 25 2014.
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1) 2017
Desen, Wan. (2011). Patologi Tumor. Dalam:
Japaries, W, ed. Buku Ajar Onkologi Liu Z. Mechanism of Abdominal Massage for
Difficult Defecation in a Patient with
Myelopathy. J Neurol. 2005;252(10):
Klinis ed 2. Jakarta: Balai Penerbit
1280-82.
FK UI.
McClurg D, Lowe-Strong A. Does Abdominal
Hanai A, Ishiguro H, Sozu T, Tsuda M, Arai Massage Relieve Constipation?. Nursing
H, Mitani A, et al. (2016). Effect of a Times. 2011; 107(12): 20-2.
self-management program on
antiemetic-induced constipation McKay, Sherry L, MSN, ARNP,G.N.P.,
during chemotherapy among breast F.A.A.N.P., Fravel, Michelle,PharmD.,
cancer patients: a randomised B.C.P.S., & Scanlon, Cathy, MS,R.D.,
controlled clinical trial. Breast L.D. (2012). Management of
Cancer Research and Treatment constipation. Journal of Gerontological
155:99-107. Nursing, 38(7), 9-15.
doi:http://dx.doi.org/10.3928/00989134-
International Agency for Research on Cancer 20120608-01.
(IARC). (2012). Monographs on the
Evaluation of Carcinogenic Risks to Penedo FJ, Dahn JR (2005) Exercise and well-
Humans; Vol. 100D. A Review of being: a review of mental and physical
Human Carcinogens. Part D: health benefits associated with physical
Radiation/IARC Working Group on the activity. Curr Opin Psychiatry 18:189–
Evaluation of Carcinogenic Risks to 193
HumansWHO, Lyon, France
Rhee SH, Pothoulakis C, Mayer EA (2009)
Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Principles and clinical implications of
Indonesia Tahun 2013. Jakarta: the brain-gut-enteric microbiota axis.
Kemenkes RI. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 6:306–
314
Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Sinclair M. The Use of Abdominal Massage to
Kemenkes RI. Treat Chronic Constipation. J Bodyw
Mov Ther. 2011; 15(4): 436-45.
Koch T, Hudson S. Older people and laxative
use: literature review and pilot study Smeltzer & Bare. (2008). Textbook of Medical
report. J Clin Nurs 2000; 9: 516-525 Surgical Nursing Vol.2. Philadelphia:
Linppincott William & Wilkins.
Lamas K, Lindholm L, Stenlund H et al. (2009).
Effects of abdominal massage in
management of constipation–A
randomized controlled trial. Int J Nurs
Stud 46:759–767.
LeMone, P, Burke, Karen. (2008). Medical
Surgical Nursing, Critical Thinking
in Client Care (4th Edition). New
Jersey: Prentice Hall Health.
Lindley A (2014) Abdominal Massage as Part
of the Management of Chronic
44
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu
kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Penerapan
EBN juga dapat dijadikan sebagai acuan dan pembaruan mengenai terapi
alternative yang dapat dilakukan pada klien dengan konstiapasi.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanisius. 1989. Tanaman Obat Tradisional 1. Yogyakarta: IKAPI


2. Hayes, Peter C. 1997. Buku Saku Diagnosis dan Terapi. Jakarta: EGC
3. Suandi, IKG. 1998. Diit pada Anak Sakit. Jakarta: EGC
4. Widyatuti. 2008. Terapi Komplementer dalam Keperawatan (UI).http://e-
journal.uajy.ac.id/10244/3/2BL01155.pdf (Diakses pada 30 Oktober 2018
pukul 8.38 WIB)
5. Weny Amelia. 2017. Evidance Based Nursing Self-Management untuk
Mengurangi Konstipasi pada Pasien Kanker Payudara yang Mnejlani
Kemoterapi.http://journal.umsurabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/
1090 (Diakses pada 12 Oktober 2018 pukul 11.28 WIB)
6. Yuliati, Najma. 2016. Pengaruh Air Rebusan Daun Pepaya Terhadap
Konstipasi Lansia Studi Kasus di Panti Werdha Budi Mulya.
http://ejr.stikesmuhkudus.ac.id/index.php/ijp/article/view/275 (Diakses
Pada 13 Oktober 13.38 WIB)

46

Anda mungkin juga menyukai