Anda di halaman 1dari 53

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA DI UPTD PUSKESMAS JATIREJA

Praktikum Penyusunan Proposal Penelitian


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Praktikum Riset Keperawatan

Disusun Oleh:

TRIANA : AK.1.16.052

PROGRAM STUDI SARJANA FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pertumbuhan dan pekembangan anak dimulai dari perkembangan fisik,

intelektual maupun emosional. Salah satu kebutuhan yang harus terpenuhi antara lain

yaitu nutrisi. Dimana kebutuhan nutrisi ini sangat penting untuk mencegah

pertumbuhan penyakit dan juga malnutrisi pada anak.

Salah satu masalah yang akan muncul dikarenakan oleh faktor nutrisi adalah

stunting. Stunting atau kerdil adalah kondisi gagal tumbuh pada bayi yaitu usia 0-11

bulan dan anak balita 0-5 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kekurangan gizi kronis

terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan, sehingga menyebabkan anak tumbuh

lebih pendek dari seharusnya. Sebenarnya kekurangan gizi ini dimulai sejak bayi lahir

tetapi kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun.

Anak yang mengalami stunting akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan

rentan terhadap penyakit, anak dengan stunting akan memiliki tingkat keceerdasan

yang tidak maksimal juga akan beresiko menurunkan tingkat produktivitasnya dimasa

depan.

Stunting terjadi pada masa periode kritis dari proses tumbuh kembang janin.

Saat ini stunting di Indonesia diperkirakan ada 37,2% dari usia anak 0-59 bulan atau

sama dengan 9 juta anak dengan konidis stunting. Kondisi ini berlanjut sampai usia

sekolah 6-18 tahun (Dinkes, 2017).

Beberapa faktor penyebab stunting ini adalah, malnutrisi atau pemberian gizi

yang kurang baik kepada anak. Asupan gizi yang tidak seimbang yang dipengaruhi

oleh perilaku makan ibu dan anak. hal ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan ibu yang

kurang terhadap kesehatan gizi sebelum dan masa kehamilan dan juga setelah ibu

melahirkan.

Menurut UNICEF factor utama yang menyebabkan terjadinya stunting adalah


malnutrisi kronis dan penyakit berulang selama masa kanak-kanak.

Selain faktor nutrisi atau gizi stunting juga disebabkan oleh keadaan kesehatan

terkait penyakit infeksi. Faktor tidak langsungnya adalah dipengaruhi oleh sanitasi

lingkungan yang tidka baik, ekonimi seperti peresedian pangan yang terbatas, pola

asuh orang tua yang kurnag tepat dan pemanfaatan sarana kesehatan yang rendah.

Stunting merupakan salah satu permasalahn dunia yang harus menjadi perhatian

khusus teruatama Negara-negara miskin dan berkembang. Stunting menjadi

permasalahan karena dapat menyebabkan kondiis perkembangan otak yang suboptimal

sehingga perekmbangan motoric terganggu dan terhambatnya pertumbuhan mental.

Beresiko meningkatkan angka kesakitan dan kematian.

Banyak studi menunjukan bahwa resiko yang diakibatkan oleh stunting adalah

penurunan akdmik, meningkatnya resiko obesitas rentan terhadap penyakit tidak

menular dan peningkatan penyakit degeratif.

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu

masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22.2% atau

sekitar 150.8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah

mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2000 yaitu 32.6%.

Pada tahun 20017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia

(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) di afrika. Dari 83.6 juta balita stunting

di Asia, poporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (57.7%) dan proporsi paling

sedikit di Asia tengah (0.9%).

Riskesdas 2018 menunjuk adanya perbaikan pada status gizi buruk dan kurang

balita di Indonesia yaitu 19.6% (Riskesdas 2013) mejadi 17.7% (Riskesdas 2018).

Maka dapat dikatakan bahwa proporsi stunting di Indonesia karena kurang gizi kronik

menurun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (Riskesdas 2018).tetapi angka

penurunan ini tidaklah cukup, karena jika dilihat dari target WHO masih jauh dari

angka yang ditargetkan yaitu 20%.


Banyak peneltian yang dilakukan terkait dengan factor penyebab stunting

termasuk penelitian yang dilakukan oleh M. Irfan Hadi dkk pada penelitiannya

mengatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh tingkat asupan energy, riwayat durasi

penyakit infeksi, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan

keluarga.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di UPTD Puskesmas Jatireja

kecamatan Compreng kabupaten Subang, didapatan data sekitar 150 balita usia 5 tahun

mengalami kondisi stunting. Untuk mendapatkan data yang prevelansi kejadian

stunting maka peneliti melakukan studi banding dengan UPTD Puskesmas Compreng.

Dari hasil studi banding tersebut didapatkan bahwa UPTD Puskesmas Jatireja lebih

tinggi angka kejadian stunting dari pada UPTD Compreng. Menurut petugas

puskesmas UPTD Puskesmas Compreng.

Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti “HUBUNGAN

STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI UPTD

PUSKESMAS JATIREJA”.

1.2.Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian stunting pada balita. Di

UPTD Puskesmas Jatireja.

1.3.Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan status

gizi dengan kejadian stunting pada balita di UPTD Puskesmas Jatireja.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui apakah ada hubungan status gizi dengan stunting pad balita

di UPTD Pskesmas Jatireja.

b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan gizi ibu balita


c. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi terhadap kejadian stunting

pada balita.
BAB II

KONSEP TEORI

2.1.Konsep Tumbuh Kembang Balita

2.1.1. Definisi

Anak Balita sebagai masa emas atau "golden age" yaitu insan manusia yang

berusia 0-6 tahun (UU No. 20 Tahun 2003), meskipun sebagian pakar

menyebut anak balita adalah anak dalam rentang usia 0-8 tahun.

Kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan

yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik

(koordinasi motorik halus dan motorik kasar), kecerdasan (daya pikir, daya

cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap dan

perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan

tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang sedang dilalui oleh anak tersebut.

Pada setiap tahap perkembangan, terdapat beberapa aspek fisik dan

psikologis yang terjadi, misalnya pada masa bayi secara umum menunjukkan

bahwa anak sangat tergantung pada orang dewasa, sedangkan saat anak

memasuki awal masa kanak-kanak, ketergantungan mulai berkurang dan ada

harapan serta perlakuan tertentu dari kelompok sosial serta mulai tumbuh

kemandirian, yang akan berakhir saat anak mulai masuk sekolah dasar.

Perkembangan pada setiap aspek memiliki tingkat dan kecepatan yang berbeda-

beda baik, tergantung dari faktor individu maupun lingkungan yang

menstimulirnya. Seluruh perkembangan ini akan dilampaui anak dan setiap

aspek perkembangannya tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait satu sama

lain.

Perkembangan kemampuan dasar anak-anak berkolerasi dengan

pertumbuhan dan mempunyai pola yang tetap dan berlangsung secara


berurutan. Dalam rangka merangsang tumbuh kembang anak secara optimal

maka pengembangannya harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua

aspek kemampuan yang sesuai dengan pembagian kelompok umur.

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan

interselular. Berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagain atau

keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.

Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta

sosialisai dan kemandirian.

Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda

dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan

susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya.

1. Masa Perkembangan

Setiap orang akan mengalami periodisasi dalam perkembangannya, begitu

juga sebaliknya perkembangan masa anak-anak akan mengalami

periodisasi dari mulai lahir, bicara dan mulai merangkak. Menurut

Munorang tuar (1985), ditinjau dari sudut psikologi anak dibagi antara

lain:

a. Masa bayi, yaitu sejak lahir sampai akhir tahun kedua.

b. Masa anak awal atau masa kanak-kanak, yaitu permulaan tahun ketiga

sampai usia 6 tahun. Masa ini disebut pula masa anak prasekolah.

c. Masa anak lanjut atau masa anak sekolah, yaitu dari usia 6-12 tahun

atau 13 tahun, masa ini disebut pula masa anak usia sekolah dasar

pada usia ini biasanya anak duduk di sekolah dasar.

d. Masa remaja, yaitu dari usia 13-18 tahun.

Hurlock (1990), membagi periodisasi masa anak menjadi dua, yaitu : early

childhood pada usia 2-6 tahun dan late childhood pada usia 6 -12 tahun,
sedangkan usia 0-1 tahun merupakan masa bayi, dimana pada masing-masing

periode mempunyai ciri-ciri yang dapat membedakan pengertian anak dengan

orang dewasa. Lebih lanjut lagi Havighust (dalam Kasiram, 1994), membagi

masa anak menjadi dua juga, yaitu : 1-6 tahun sebagai masa kanan biologis

pada masa-masa ini berjalan pesat, tetapi secara sosiologis ia masih sangat

terikat oleh lingkungan dan keluarganya. Oleh karena itu , fungsionalisasi

lingkungan keluarga pada fase ini penting sekali untuk mempersiapkan anak

terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas terutama lingkungan sekolah.

Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami

perkembangan dengan baik adalah memulai apa yang disebut dengan tugas-

tugas perkembangan atau Development Task. Tugas perkembangan masa anak

menurut Munorang tuar (1985) adalah belajar berjalan, belajar mengambil

makanan yang padat, belajar berbicara, toilet training, belajar membedakan

jenis kelamin dan dapat kerja kooperatif, belajar mencapai stabilitas fisiologis,

pembentukan konsep-konsep yang sederhana mengenai kenyataan sosial dan

fisik, belajar untuk mengembangkan diri sendiri secara emosional dengan

orang tua, sanak saudara dan orang lain serta belajar membedakan baik dan

buruk.

1. Masa Bayi (0-2 Tahun)

Setiap aspek dalam tahap perkembangan bayi amat menarik untuk

diperhatikan. Entah itu saat dia mulai bisa tersenyum, tertawa, merangkak,

duduk, berdiri, berespon ketika diajak bicara, ataupun menunjukkan

kemampuan lain yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.

Walaupun setiap bayi memiliki keunikannya sendiri, namun pada

umumnya, setiap bayi memiliki tahapan perkembangan emosi yang dapat

diprediksi polanya.

Bayi yang berusia 0-3 bulan sudah mulai dapat beraksi terhadap
porang tuangan dan suara. Untuk beberapa detik, bayi sudah mulai bisa

melihat dan menata, bahkan memberikan respon jika diajak bicara atau

tersenyum. Bayi mungkin seringkali menangis, namun biasanya bisa

segera diatasi dengan memberinya rasa nyaman melalui pelukan, diberi

makan, diganti popoknya, digendong ataupun diajak bicara. Selain itu

mereka juga sudah mulai dapat mengenali orang-orang yang sering dilihat

atau berada di dekatnya.

Karena pada 3 bulan pertama ini bayi sepenuhnya bergantung pada

orang tua, maka kebutuhannya untuk mengatasi perasaan negatif yang

dialaminya, seperti stres, takut, frustrasi dan lain sebagainya juga

sepenuhnya berada pada orang tua. Pada saat ini, yang terpenting baginya

adalah merasakan bahwa orangtuanya selalu ada untuknya, setiap kali ia

membutuhkan. Dengan begitu, kepercayaannya terhadap orang tua pun

mulai terbentuk..

Untuk membantu perkembangannya, cobalah untuk melakukan

permainan kata atau mencoba membuat bunyi- bunyian bersama.

Kemudian doronglah dia untuk mencoba menirukan bunyi-bunyian yang

disukainya. Walaupun dia belum mengerti, Orang tua harus berusaha

untuk terus berinteraksi dengannya melalui obrolan, membacakan cerita

ataupun bernyanyi untuknya. Cara lain yang bisa Orang tua lakukan adalah

bermain si kecil di depan kaca. Rene mengatakan, Cara ini tak hanya dapat

memberinya porang tuangan yang lebih baik tentang dirinya tapi juga

dapat mendorong perkembangan emosi yang positif terhadap sosok yang

dilihatnya di cermin.

Pada usia 6-9 bulan, bayi yang diasuh dengan penuh cinta dan kasih

sayang yang konsisten sudah memiliki ikatan sosial emosi yang kuat

dengan orangtua dan pengasuh lain yang penting dalam hidupnya.


Semakin kuat ikatan, semakin kuat pula kepercayaan si kecil. Dalam

memorinya, ia pun telah membeda-bedakan orang di sekitarnya menjadi

dua yaitu, orang yang disukainya atau orang asing. Karena itu, ia pun

mulai menunjukkan rasa kehilangan dan protes yang kuat (separation

anxiety) jika berada jauh dari orang yang dekat dengannya.

Hillary Kruger MD, pakar perkembangan dan perilaku anak

menambahkan, bayi pada periode ini sudah dapat mengetahui jika

orangtuanya meninggalkan ruangan lalu kemudian mencarinya. Ketakutan

dan ketidaksukaannya terhadap orang asing pung semakin kuat

ditunjukkan (stranger anxiety), misalnya dengan menangis atau dengan

berlindung pada dewasa yang dikenalnya. Mereka juga sudah mulai

menunjukkan penolakan terhadap sesuatu hal yang tidak disukai. Saat

terbangun di malam hari, beberapa bayi pada usia ini berusaha mengatasi

ketidaknyamanannya dengan memegang atau menggigit mainan yang

disukai atau bahkan jarinya sendiri. Menginjak usia 8 bulan ke atas, bayi

mulai menyukai permainan petak umpet. Sembunyikanlah mainan

kesukaannya di bawah selimut, dan lihatlah bagaimana ia berusaha untuk

menemukannya.

Pada usia 9-12 bulan, rasa takut terhadap orang asing dan kelekatan

terhadap orang-orang yang memiliki arti khusus buatnya masih akan terus

berlanjut tapi akan berangsur-angsur berkurang. Ekspresi, gerakan tubuh

dan suara untuk menunjukkan perasaannya pun sudah berkembang

semakin kompleks. Interaksi sosialnya pun makin berkembang. Hal ini ini

ditunjukkan dengan ketertarikannya untuk mulai bermain dengan orang

lain.

Hillary mengatakan, mendekati usia satu tahun anak mulai

menikmati permainan yang bersifat resiprokal (berbalasan), seperti


menggelindingkan dan menangkap kembali bola. Sejalan dengan

pertumbuhan fisiknya yang memungkinkan dia untuk bergerak lebih bebas

ke sana-ke mari, ketertarikannya pun tumbuh semakin besar untuk

mengeksplorasi dunia sekitarnya. Menurut Hillary, hal itu biasanya

ditunjukkannya dengan menunjuk suatu objek yang menarik agar

orangtuanya pun ikut memberikan fokus dan perhatiannya.

Pada usia 13-15 bulan, begitu banyak hal baru yang mulai

dilakukannya, terutama berkaitan dengan fungsi motorik kasarnya. Salah

satu hal baru yang mulai dilakukan anak pada usia di atas 1 tahun ialah

keterampilan berjalan. Grafik Milestone mencatat pada umumnya anak

memulai proses belajar berjalan sejak usianya minimal 9 bulan sampai

maksimal 18 bulan.

Proses anak belajar berjalan antara lain ditandai dengan anak

merangkak, berjongkok, berdiri sendiri, menjaga keseimbangan dan mulai

berjalan sedikit demi sedikit. Namun jangan terkejut bila salah satu

implikasi dari proses ini anak akan sangat sulit digendong, dipangku atau

ditahan di satu tempat. Hal ini wajar, karena ia baru saja merasakan

kebebasan untuk menjelajah.

Tidak perlu terlalu panik apabila anak sering terjatuh, tahanlah

keinginan untuk segera bergegas mengangkat dan mengobatinya, kecuali

jika dia memang benar-benar terluka. Terjatuh sesungguhnya merupakan

bagian dari proses belajar berjalan itu sendiri. Bersabarlah dan sediakan

tempat yang aman bagi si kecil untuk bereksplorasi dalam kebebasan

barunya.

Ketika anak sudah bisa berjalan selama beberapa minggu atau

bahkan bulan, maka kepercayaan diri dan kemapanan anak pun semakin

bertambah tiap harinya. Biasanya pada usia ini anak mulai senang
memindahkan objek dari satu tempat ke tempat lain, sepertinya mereka

tidak pernah lelah mendorong kotak atau ember mengelilingi ruangan.

Bahkan anak akan mulai memanjat ke kursi atau meja. Antusiasmenya

dalam menjelajah bisa saja melebihi kemampuannya, jadi orang tua perlu

memonitor eksplorasinya dengan lebih waspada.

Anak mulai membiasakan diri menggunakan tangannya. Umumnya

pada usia ini anak menyukai pekerjaan tangan berupa memasukkan dan

mengeluarkan, misalnya meletakkan mainan ke dalam kotak lalu

melemparkannya kembali ke luar. Atau terkadang anak akan menyusun

menara kecil dari 2-3 kotak kecil kemudian meruntuhkannya. Anak sedang

mengasah indera perabanya terhadap berbagai macam sentuhan. Mereka

ingin menyentuh dan merasakan apapun dengan tangan mereka: hewan

peliharaan, tanaman di halaman rumah, atau kucuran air dari keran.

Memasuki usia 16-18 bulan tentunya akan ada hal-hal baru yang

dialami dan dipelajari oleh anak. Anak pada usia ini, rasa ingin tahunya

sangat besar. Umumnya mereka akan merebut benda apa saja yang ada di

sekitarnya, mengamati dengan cermat, memasukkan ke dalam mulut atau

membantingnya ke lantai. Umumnya anak juga berambisi untuk menguji

kemampuan mereka sendiri.

Menyadari dirinya sudah bisa berjalan, anak kemudian berusaha

untuk berjalan sambil membawa beban. Begitu pula jika anak sudah yakin

dia bisa memanjat ke atas sofa, ia akan berusaha memanjat ke kursi atau

meja yang letaknya lebih tinggi. Jika ambisi petualangannya ini tidak

diawasi dengan cermat, anak bisa terancam bahaya. Namun

petualangannya tersebut juga sebaiknya jangan dihalang- halangi, sebab

hal tersebut bermanfaat untuk mengasah keahlian anak dalam bergerak.

Pada rentang usia ini, anak mulai menunjukkan kecenderungannya,


lebih sering menggunakan tangan kanan atau tangan kiri. Oleh sebab itu,

pada usia ini pula Orang tua dapat mulai melatihnya membedakan fungsi

tangan kanan dan kiri. Yang perlu diingat, orangtua jangan terlalu keras

menegur dan memaksa anak untuk menggunakan tangan yang benar,

misalnya tangan kanan saat memegang makanan. Proses pemilihan tangan

untuk melakukan suatu aktivitas akan berjalan secara natural meskipun

pola pembiasaan juga berpengaruh. Tidak perlu bereaksi berlebihan

kalaupun anak Orang tua ternyata kidal dan lebih nyaman menggunakan

tangan kiri. Atas, bawah, depan, belakang, di luar, atau di dalam, anak

akan mulai belajar hal-hal ini sekitar usia ini. Untuk semakin

menstimulasinya, orang tua dapat membuat berbagai permainan sederhana,

misalnya menyuruh anak mencari suatu benda yang letaknya di bawah

meja di dalam kamar kemudian memintanya untuk memindahkan benda

itu ke atas kursi di bawah lukisan di ruang tamu, dan seterusnya.

Anak pada usia 19-21 bulan sepertinya semakin sulit dikendalikan,

terutama dengan kesukaannya memanjat serta mencorat-coret, tapi

sebenarnya dia sedang mulai melatih keseimbangan dan motorik halus.

Pada usia ini, anak sedang melanjutkan pengujian terhadap daya

penggeraknya. Dia akan semakin semangat berjalan ke belakang

(backward), menyamping, menaiki dan menuruni tangga. Dia juga akan

berusaha berlari ke sama kemari. Gerakan- gerakannya cenderung antusias

sehingga bisa terkesan grasak-grusuk dan membuat Orang tua tidak

tenang.

Akan tetapi hal ini sesungguhnya normal, termasuk jika ia sedikit

demi sedikit tersandung dan jatuh. Yang penting Orang tua menyediakan

tempat yang cukup nyaman dan aman baginya untuk berlari ke sana

kemari, mengingat kemampuannya untuk mengendalikan belum sempurna,


dia belum bisa memperkirakan kecepatan dan jarak yang ideal untuk

berlari maupun berhenti.

Yang sulit dikendalikan umumnya adalah kesukaannya untuk

mencorat-coret. Biasanya pada usia ini anak tertarik menggambar garis-

garis vertical dan horizontal, juga lingkaran. Meski terlihat sebagai bentuk-

bentuk sederhana, namun hal ini juga memiliki pengaruh baik bagi

perkembangan anak. Menggenggam krayon saat menggambar melibatkan

kerja motorik halus, serta koordinasi mata dan tangan, serta melatih

imajinasi anak.

Kita mungkin sebenarnya tidak memiliki keberatan apapun untuk

mendukung hobi baru anak ini, akan tetapi masalahnya seringkali anak

sangat suka mencorat-coret tembok dan wajar saja bila orang tua merasa

keberatan pada hal tersebut. Kita dapat memberi penjelasan secara

perlahan pada anak bahwa tembok bukanlah tempatnya dia berkreasi,

sediakan kertas, kanvas atau white board sebagai gantinya. Atau juga bisa

menyediakan space khusus di tembok (misalnya Orang tua berikan batas

bingkai dengan kayu atau kain) sebagai tempat anak bergraffiti.

Orang tua akan direpotkan dengan kebiasaan barunya yakni

memanjat dan menguji keseimbangan tubuh. Meski hal ini pasti membuat

Okhawatir, namun dengan menyediakan tempat yang aman baginya untuk

berlatih memanjat dan melatih keseimbangan sesungguhnya sangat baik

untuk menyalurkan energi anak dan mendukung perkembangan balita

secara fisik.

Menjelang dan memasuki usia 2 tahun beberapa hal ini dapat

ditemukan dalam tumbuh kembangnya. Jari-jari tangannya akan semakin

cekatan, dia akan belajar berpakaian sendiri, dan dia akan siap untuk Toilet

Training. Pada usia 22 bulan kemampuan motorik halus anak akan


semakin dilatih dan disempurnakan. Untuk mendukung perkembangan ini,

Orang tua dapat menyediakan berbagai mainan dengan bahan empuk yang

mudah dibentuk seperti bahan-bahan dough, clay atau lilin mainan. Si

kecil akan menikmati aktivitas yang menyibukkan jarinya seperti

menekan, meremas, atau menggulung.

Lebih jauh lagi, bukan hanya jari-jarinya yang akan terlatih. Seluruh

otot tangan dan pergelangan akan turut bergerak. Selain meningkatkan

kemampuan motorik halusnya, hal ini juga mendukung pertumbuhan fisik

dan mental anak. Misalnya saat akan menyusun balok menjadi suatu

bangunan, maka sebelumnya anak akan terlatih untuk berpikir kreatif

dalam menentukan bentuk bangunan yang akan disusun.

Sekitar usia 23 bulan, anak akan mulai ingin berpakaian sendiri.

Biasanya dia akan mulai dengan mencoba menepis tangan orang tuanya

dan membuka pakaiannya sendiri. Biarkan anak melakukannya, meskipun

dia akan menghabiskan waktu lebih lama. Perhatikan cara anak saat

melepaskan pakaiannya, karena dia bisa saja mengalami beberapa

kesulitan. Setelah bisa membuka pakaian, biasanya anak juga akan

mencoba memakai pakaiannya sendiri. Untuk memudahkan dia (dan orang

tua juga sebenarnya), pilih pakaian yang relatif lebih sederhana dan

mudah, misalnya dengan kancing yang besar dan tidak terlalu banyak, atau

dengan retsleting

Sebetulnya tidak ada patokan umur bagi seorang anak harus mulai

melakukan toilet training. Namun umumnya sekitar usia 2 tahun bisa

menjadi usia yang ideal untuk mencoba mengajari anak mengontrol BAB

dan BAK-nya, serta belajar menggunakan toilet untuk buang air. Jangan

terburu-buru dan terlalu memaksakan si kecil, karena toilet training adalah

proses yang memerlukan waktu yang tidak sama pada masing-masing


anak. Sebaliknya,

Orang tua justru harus memperhatikan kesiapan si kecil. Karena

bagaimanapun, itulah kunci utama keberhasilan toilet training. Semakin

siap anak maka akan semakin mudah juga untuk melatihnya.

Langkah paling sederhana bagi anak dalam belajar ialah melalui

imitasi. Biarkan anak mengamati orang tua saat ke kamar mandi dan

menggunakan toilet. Sebaiknya anak laki-laki melihat ayahnya dan

sebaliknya anak perempuan melihat ibu, agar mereka tidak dibingungkan

dengan perbedaan jenis kelamin.

2. Masa Anak Awal atau Kanak-kanak (2-6 Tahun)

Pada masa ini, perkembangan fisik anak meliputi perubahan-

perubahan dalam tubuh (seperti pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-

organ indrawi, pertambahan tinggi dan berat, hormon dll), dan perubahan-

perubahan dalam cara-cara individu dalam menggunakan tubuhnya

(seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual),

serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi

jantung, penglihatan dan sebagainya.

Masa kanak-kanak awal terjadi pada rentang usia 2-6 tahun, masa

ini sekaligus merupakan masa prasekolah, dimana anak umumnya masuk

Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak.

Pada masa kanak-kanak awal, rata-rata anak bertambah tinggi 6,25

cm setiap tahun, dan bertambah berat 2,5 – 3,5 kg setiap tahun. Pada usia 6

tahun berat harus kurang lebih mencapai tujuh kali berat pada waktu lahir.

Keterampilan umum yang sering dilakukan anak biasanya

menyangkut keterampilan tangan dan kaki. Keterampilan dalam aktivitas

makan dan berpakaian sendiri biasanya dimulai pada masa bayi dan

disempurnakan pada masa kanak-kanak awal. Kemajuan terbesar


keterampilan berpakaian antara usia 1,5 dan 3,5 tahun. Pada saat anak-

anak mencapai usia TK, mereka sudah harus dapat mandi dan berpakaian

sendiri, mengikat tali sepatu dan menyisir rambut dengan sedikit bantuan

atau tanpa bantuan sama sekali. Antara usia 5 dan 6 tahun sebagian besar

anak-anak sudah pandai melempar dan menangkap bola. Mereka dapat

menggunakan gunting, dapat membentuk tanah liat, bermain membuat

kue-kue dan menjahit, mewarnai dan menggambar dengan pensil atau

krayon. Mereka juga sudah dapat menggambar orang.

Keterampilan kaki dapat dilakuan anak dengan belajar gerakan-

gerakan kaki. Antar usia 3-4 tahun anak dapat mempelajari sepeda roda

tiga dan berenang. Keterampilan kaki lain yang dikuasai anak adalah

lompat tali, keseimbangan tubuh dalam berjalan di atas dinding atau pagar,

sepatu roda, bermain sepatu es, menari. Usia 5 atau 6 tahun anak belajar

melompot dan berlari cepat, dan mereka sudah dapat memanjat.

Pada masa kanak-kanak awal ini, anak berpikir konvergen menuju

ke suatu jawaban yang paling mungkin dan paling benar terhadap suatu

persoalan. Menurut teori Piaget, anak pada masa kanak-kanak awal berada

pada tahap perkembangan praoperasional (2-7 tahun), istilah

praoperasional menunjukkan pada pengertian belum matangnya cara kerja

pikiran. Pemikiran pada tahap praoperasional masih kacau dan belum

terorganisasi dengan baik, yang sering dikatakan anak belum mampu

menguasai operasi mental secara logis. Adapun ciri-ciri berpikir pada

tahap praoperasional adalah semakin berkembangnya fungsi simbolis,

tingkah laku imitasi langsung maupun tertunda, cara berpikirnya masih

egosentris, centralized atau terpusat pada satu dimensi saja, serta cara

berpikir yang tak dapat dibalik dan terarah statis.

Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode


“praoperasional” yang dalam menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui

tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda atau obyek yang

bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan

melalui cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi

dari lingkungan belum cukup tinggi untuk dapat menghasilkan

transformasi yang tepat.

Pada masa usia ini pula, perkembangan bahasa pada anak

dipengaruhi Teori Belajar sosial, yakni anak belajar bahasa dengan model-

model yang ada di lingkungannya. Melalu imitasi dan respon dari

lingkungan, akhirnya anak menguasai keterampilan bicara. Namun

menurut Chomsky, perkembangan bahasa anak juga terjadi karena faktor

pembawaan; bahwa anak lahir sudah disertai dengan LAD (Language

Aquisition Device) yang membuat anak sering mengekspresikan sesuatu

dengan kata yang tidak ditemukan dari lingkunganny.

Perkembangan sosial emosional terintegrasi dengan perkembangan

aspek lainnya seperti perkembangan kognitif dan perkembangan motorik.

Dalam bermain anak mengalami perubahan dari permaianan solitair,

paralel, sampai ke permainan asosiatif. Dari bermain, anak belajar

sejumlah peraturan sosial. Menurut teori perkembangan psikososial

Erikso, anak usia ini berada pada tahap perkembangan otonomi vs rasa

malu dan ragu-ragu, serta perkembangan inisiatif vs rasa bersalah.

Perkembangan diri diawali dari perasaan secara fisik kemudian

berkembang menjadi perasaan yang lebih bersifat psikologis.

Anak-anak populer terbukti memiliki keterampilan sosial lebih

tinggi dibanding dengan anak yang kurang populer. Anak yang populer

terlibat dalam hubungan dengan teman sebaya yang lebih kompleks, dan

hal ini lebih menguntungkan dan meningkatkan lagi bagi perkembangan


kognitifnya. Anak-anak yang mengalmi konflik dan tidak mampu

menyatakan secara verbal akan mencoba menyelesaikan konfliknya

dengan kekuatan fisik.

Anak masa kanak-kakak awal sering mengembangkan stereotipe

tentang gender yang salah, seperti anak perempuan tidak boleh menjadi

polisi. Pada tahap inilah orang tua mempunyai peran penting untuk

mengajarkan anak sadar akan gendernya sendiri, menentang

berkembangnya sterotipe tentang gender yang salah, serta mendorong

anak-anak bermain secara lintas gender.

Adapun tugas perkembangan pada masa anak-kanak awal ini antara lain:

1. Belajar berjalan

2. Belajar makan makanan padat

3. Belajar mengendalikan gerakan badan

4. Mempelajari peran yang sesuai dengan jenis kelaminnya

3. Memperoleh stabilitas fisiologis

4. Membentuk konsep sederhana tentang kenyataan sosial dan fisik

5. Belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang tua, kakak

adik dan orang lain

6. Belajar membedakan yang benar dan salah.

2.1.2. Factor-faktor perkembangan balita

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

bayi. Faktor tersebut terdiri dari 2 golongan, yaitu:

1. Faktor internal

a. Perbedaan ras/etnik atau bangsa

b. Keluarg

c. Umur

d. Jenis kelamin
e. Kelainan genetik

f. Kelainan kromosom

2. Faktor eksternal

a. Faktor pranatal : gizi, mekanis, toksin, endokrin, radiasi, infeksi, kelainan

imunologi, anoksia embrio dan psikologis ibu.

b. Faktor persalinan

c. Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, dan asfiksia dapat

menyebabkan kerusakan pada jaringan otak.

d. Pasca natal

e. Gizi, penyakit kronis/ kelainan congenital, lingkungan fisis dan kimia,

psikologis, endokrin (gangguan hormone), sosioekonomi, lingkungan

pengasuhan, stimulasi dan obat- obatan.

2.2.Kebutuhan Gizi pada Balita

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,

serta menghasilkan energi.

Menurut Drs. Joko Pekik Irianto M.Kes. didalam bukunya Panduan Gizi

Lengkap Keluarga dan Olahragawan (2007: 2), istilah gizi berasal dari bahasa arab

“ giza” yang berarti zat makanan. Didalam bahasa inggris dikenal dengan istilah

nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering diartikan ilmu gizi.

1. Factor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pada Balita

Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan

telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab

timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung,

akar masalah dan pokok masalah. Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi
Pangan dan Gizi nasional , penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang

mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan

yang kurang tetapi juga karena penyakit. Balita yang mendapat makanan yang baik

tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian

pada Balita yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah

dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit

secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan Balita, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan

pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh

anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan

adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan

dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik

fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah

tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh

seluruh keluarga.

Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan,

pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan

ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga,

makin baik pola pengasuhan Balita dan keluarga makin banyak memanfaatkan

pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan

pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan

kesehatan.

2.3.Masalah – Masalah Status Gizi Pada Balita

Masalah kesehatan yang biasa terjadi pada anak yang berhubungan dengan masalah

pemenuhan gizinya yaitu, diantara lain.


1. Anemia Defisiensi Besi

Keadaan ini terjadi karena terlalu sedikit kandungan zat besi dalam makanan,

terutama pada anak yang terlalu banyak mengonsumsi susu sehingga

menegendurkan keinginan untuk menyantap makanan lain. Untuk mengatasi

keadaan ini, disamping memberikan suplementasi zat besi (jika dokter

menganggap ini perlu), anak harus pula diberi dan dibiasakan menyantap

makanan yang mengandung banyak besi. Sementara itu, sebagian susu diganti

dengan air atau air jeruk. Meski tidak mengandung besi, air jeruk kaya akan

vitamin C yang dapat membantu penyerapan besi.

2. Penyakit Kronis

Penyakit yang tidak menguras cadangan energi sekalipun, jika berlangsung

lama dapat mengganggu pertumbuhan karena menghilangkan nafsu makan

anak. Di samping itu, ada pula jenis penyakit yang menguras cadangan

vitaminA.

3. Berat Badan Berlebih

Jika tidak tertasi, berat badan berlebih (apalagi jika telah mencapai obesitas)

akan berlanjut sampai remaja dan dewasa. Sama seperti orang dewasa,

kelebihan berat badan anak terjadi karena ketidakseimbangan antara energi

yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga, atau

keduanya. Berbeda dengan dewasa, kelebihan berat anak tidak boleh

diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi

yang diperlukan untuk pertumbuhan. Laju pertambahan berat selayaknya

dihentikan atau diperlambat sampai proposi berat terhadap tinggi badan

kembali normal. Perlambatan ini dapat dicapai dengan cara mengurangi makan

sambil memperbanyak olahraga.

4. Pica

Yaitu mengonsumsi sesuatu bukan makanan, semisal debu, tergolong ke dalam


pica. Perilaku tersebut tidak membahayakan hidup anak sejauh dia tidak

menyantap zat toksik. Pica harus dibedakan dengan “kebiasaan‟ anak, terutama

balita, memasukkan barang kedalam mulut. Pada masa balita, anak

menggunakan mulut untuk belajar, misal menggigiti kelereng, dan ini bukan

pica.

5. Televisi

Sesungguhnya bukan televisi yang menimbulkan masalah gizi, melainkan

dampak tayangnya, terlebih iklan yang dilakonkan oleh anak. Pemirsa anak

yang belum dapat berpikir kritis mudah terbujuk dan hampir seketika

menyukai, misalkan keripik kentang, permen, atau makanan lain yang “tak

bergizi” yang iklannya dibintangi oleh sebaya mereka. Iklan makanan anak

bergizi jarang sekali ditayangkan. Hal ini sulit sekali diatasi. Satu-satunya cara

yang efektif untuk menghindarkan tayangan “buruk” itu adalah dengan

mematikan TV atau memindahkan ke saluran lain, yaitu saluran yang tidak

menayangkan iklan ketika iklan yang tidak diinginkan itu tampil di layar TV.

Jika anak (besar) sudah dapat diajak berkomunikasi, berikan pengajaran

tentang dampak negative makanan yang diiklankan.

6. Berat Badan Kurang

Kekurangan berat yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh

merupakan masalah serius. Kondisi ini mencerminkan kebiasaan makan yang

buruk. Sama seperti masalah klebihan berat, langkah penanganan harus

didasarkan pada penyebab serta kemungkinan pemecahannya.

7. Alergi

Secara literal, alergi makanan diartikan sebagai respons tidak normal

terhadap makanan yang orang biasa dapat menoleransinya. Alergi makanan

tidak jarang terlihat pada anak (5-8%) dan dewasa (1-2%), terutama mereka

yang memiliki riwayat keluarga sebagai penderita alergi. Angka kejadian ini
akan terus meningkat sama seperti kasus alergi lain semisal atopic atau asma.

Bergantung pada jenis makanan yang disantap, alergi boleh jadi bersifat

sementara atau bahkan menetap. Alergi yang dipicu oleh susu, kedelai, telur,

dan tepung terigu dapat reda sendiri, sementara yang disebabkan oleh kacang,

ikan dan kerang cenderung menetap. Kebanyakan alergi susu muncul pada

tahun pertama kehidupan ketika anak diperkenalkan pada susu sapi atau susu

formula yang dibuat dari susu sapi. Alergi ini didapat mereda sejalan dengan

pertambahan usia, kecuali mereka yang memang bersifat atopik.

Prefalensi alergi terhadap telur diperkirakan sekitar 1,6-2,6% dari populasi

anak. Dikalangan penderita dermatitis atopic, angka ini lebih tinggi lagi.

Reaksi alergi terlihat kira-kira 30 menit setelah santap, yang termanifestasi

sebagai gangguan kulit (85%), saluran cerna saluran cerna (60%), dan

pernapasan (40%). Memasuki usia sekolah, sebagian anak (44%) kembali

dapat menikmati telur tanpa khawatir alergi, sementara sisanya (56%) tidak.

Angka prevasi terhadap kacang hanya menyentuk angka 0,6%. Gejala

yang muncul pada kali pertama menyantap kacang terjadi kurang dari 30 menit

(90%), bermanifestasi mulai dari gangguan kulit hingga pernapasan. Gejala

akan semakin berat (40% pada santapan berikutnya). Sementara 20% anak

yang tadinya alergi justru dapat mengunyah kacang dengan aman pada

santapan berikutnya.

2.4.Konsep Stunting

2.4.1. Definisi

Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pendek dan sangat pendek adalah status

gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi

badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek)

dan severely stunted (sangat pendek). Z-score untuk kategori pendek adalah -3 SD
sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek adalah <-3 SD (KEPMENKES RI,

2010, 5).

Berdasarkan penelitian Ramli, et al. (2009) Prevalensi stunting dan severe

stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%,

dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip dengan hasil

dari penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 24 –

59 bulan yang ditemukan berada dalam risiko lebih besar pertumbuhan yang

terhambat. Tingginya prevalensi stunting pada anak usia 24 – 59 bulan

menunjukkan bahwa stunting tidak mungkin reversible (Ramli, et al., 2009).

Selain itu, pada usia 3 – 5 tahun atau yang bisa juga disebut usia prasekolah

kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah melambat (Brown, 2008).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita

kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan

masa remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang

pesat, termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan

untuk terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena

pertumbuhan lebih banyak terjadi (Martorell, Khan & Schroeder, 1994).

Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3

tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara

kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas

modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang

diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan

kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan

dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia dibawah

5 tahun (UNSCN, 2008).

Stunting merupakan suatu Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang


berkaitan dengan adanya proses perubahan patologis. Malnutrisi dalam bentuk

stunting ini berhubungan dengan penurunan kapasitas fungsional, seperti

penurunan produktifitas fisik, daya tahan terhadap infeksi, performans anak

sekolah dan pada gilirannya berpengaruh pada penurunan kecerdasan (Sudiman,

2008). Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu yang mengalaminya,

tetapi juga berdampak terhadap roda perekonomi¬an dan pembangunan bangsa.

Hal ini karena sum¬ber daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah

dibandingkan dengan sumber daya manusia normal (Oktarina dan Sudarti, 2013).

Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa

resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting

adalah 1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan

resiko menjadi stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah

7,40 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting.

A. Factor – factor

1. Asupan Makan

Menurut Ramli, et al. (2009), Gizi yang cukup diperlukan untuk

menjamin pertumbuhan optimal dan perkembangan bayi dan anak.

Kebutuhan gizi sehari-hari digunakan untuk menjalankan dan menjaga

fungsi normal tubuh dapat dilakukan dengan memilih dan mengasup

makanan yang baik (kualitas dan kuantitasnya) (Almatsier, 2005).

Makanan merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau

aktifitas manusia. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan

adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar

manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat

makanan yang cukup pula kedalam tubuhnya. Manusia yang kurang

makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik atau daya

pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya


yang dapat menghasilkan energy (Suhardjo, 2003).

Terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, tercermin

dalam tinggi badan yang tidak sesuai dengan usia, merupakan contoh

adaptasi pada asupan energi rendah dalam waktu yang lama. Jika

kekurangan energi tidak terlalu lama, anak akan menunjukkan catch-up

growth. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan terdeteksi

sebagai gangguan pertumbuhan linier. Kekurangan gizi dan stunting

selama masa bayi dan anak usia dini telah secara konsisten ditemukan

mempengaruhi kesehatan individu baik jangka pendek dan jangka panjang

(Wahlqvist & Tienboon, 2011).

Dalam usaha menciptakan manusia yang sehat pertumbuhannya,

penuh semangat dan penuh kegairahan dalam kerja, serta tinggi daya cipta

dan kreatifitasnya, maka sejak anak- anak harus dipersiapkan. Untuk itu

energi harus benar-benar diperhatikan, tetap selalu berada dalam kondisi

cukup (Kartasapoetra & Narsetyo, 2001).

Menurut hasil penelitian di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa

tingkat asupan energi kelompok anak normal hampir sebagian tercukupi,

sementara pada kelompok anak stunting masih rendah (Astari, Nasoetion,

dan Dwiriani, 2006). Analisis data RISKESDAS tahun 2010 yang

dilakukan oleh Fitri (2012) menunjukkan ada hubungan yang signifikan

antara konsumsi energi dengan kejadian stunting pada balita usia 12 – 59

bulan di Sumatera. Pada penelitian di Kalimantan Barat dan Maluku,

diperoleh hasil bahwa konsumsi energi berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita (Damanik, Ekayanti, & Hariyadi, 2010 dan Asrar,

Hadi, & Boediman, 2009).

2. Asupan Protein

Protein merupakan zat pengatur dalam tubuh manusia. Pada balita


protein dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi

tubuh, dan untuk sintesis jaringan baru. Selain itu, protein juga dapat

membentuk antibodi untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap infeksi dan

bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh (Trahms & Pipes, 2000).

Perkiraan kebutuhan protein dalam pertumbuhan berkisar dari 1

sampai 4 g/kg pertambahan jaringan. evaluasi asupan protein anak harus

berdasarkan: (1) tingkat pertumbuhan, (2), kualitas protein dari makanan

yang diasup, (3) kombinasi makanan yang menyediakan asam amino

komplementer ketika dikonsumsi bersamaan, (4) asupan vitamin, mineral,

dan energi yang adekuat. Semua komponen tersebut penting dalam sintesis

protein (Trahms & Pipes, 2000).

Menurut WHO, kebutuhan protein adalah sebesar 10 – 15% dari

kebutuhan energi total (Almatsier, 2005). Asupan protein yang adekuat

telah menjadi perhatian dan kontroversi di komunitas gizi internasional

untuk 50 terakhir tahun. Protein sering dikonsumsi dalam hubungannya

dengan energi dan zinc. Zat gizi tersebut penting untuk fungsi normal dari

hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan demikian defisit dalam

zat gizi tersebut memiliki banyak efek klinis. Di sub-Sahara Afrika 38%

anak stunting dan 9% wasting, walaupun penyebab dari kelainan

antropometri adalah multifaktorial, namun beberapa anak-anak di daerah

tersebut, hidup dengan diet dengan asupan protein yang tidak memadai

(Assis et al., 2004).

Penelitian yang dilakukan pada pada anak sekolah di brazil

menunjukan tidak adekuatnya asupan protein berhubungan signifikan

dengan kejadian stunting (Assis et al., 2004). Penelitian yang dilakukan

oleh Stephenson et al. (2010) juga menyebutkan hal yang sama, pada anak

usai 2 – 5 tahun di Kenya dan Nigeria asupan protein yang tidak adekuat
berhubungan dengan kejadian stunting.

3. Defisiensi Vitamin A dan Zinc

Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, sehingga

juga meinpengaruhi pertumbuhan sel. Karena itulah maka, anak yang

menderita defisiensi vitamin A akan mengalami kegagalan pertumbuhan

(Almatsier, 2005). Kegagalan pertumbuhan pada anak, selain disebabkan

oleh defisiensi vitamin A, juga berhubungan dengan defisiensi zinc.

Dikatakan bahwa Manifestasi dari defisiensi zinc adalah gangguan

pertumbuhan linier pada balita yang ditunjukkan dengan status

stunting (Herman, 2007)

4. Penyakit Infeksi

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan

penyakit. Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara

jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang

dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu

sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang

meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu makan,

atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus. Kenyataannya, malnutrisi

dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat

meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan

malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi yang

daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi

semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan

penyakit dan sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition (Maxwell,

2011).

Berdasarkan penelitian Masithah, Soekirman, & Martianto (2005),

anak balita yang menderita diare memiliki hubungan positif dengan indeks
status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U). Penelitian lain juga

menunjukkan hal yang sama, penyakit infeksi menunjukan hubungan

signifikan terhadap indeks status gizi TB/U (Neldawati, 2006). Penyakit

infeksi seperti diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan

lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi

usia 6 – 12 bulan (Astari, Nasoetion, dan Dwiriani 2005). Penelitian lain di

Libya juga menyatakan bahwa penyakit diare menjadi faktor kejadian

stunting pada anak dibawah 5 tahun (Taguri, et al., 2007).

5. Pemberian ASI Ekslusif

ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi

anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup

selama 6 bulan pertama kehidupan. Kandungan gizi di dalam ASI sangatlah

lengkap diantaranya adalah karbohidrat berupa laktosa, lemak ASI

mengandung polyunsaturatedfatty acid (asam lemak tak jenuh ganda),

protein utamanya adalah lactalbumin yang sangat mudah dicerna, banyak

mengandung vitamin dan minersl, juga mengandung zat anti infeksi

(Arisman, 2004).

Kolostrum ialah ASI yang keluar pertama kali, berwarna jernih

kekuningan, dan kaya akan antibodi seperti (a) faktor bifidus, (b) SigA,

IgM, IgG, (c) faktor antistafilokokus, (d) laktoferin, (e) laktoperoksidase, (f)

komplemen; C3, C4, (g) interferon, (h) lisozim, (i) protein pengikat B12, (j)

limfosit, (k) magrofag, (l) faktor lipid, asam lemak, dan monogliserida.

Jumlah kolostrum yang tersekresi bervariasi antara 10-100 cc sehari.

Sekresi ASI akan meningkat secara bertahap dan mencapai komposisi

matang pada 30-40 jam setelah melahirkan (Arisman, 2004).

Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,

terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak


mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang

(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya sebagai

sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena molekul

yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki

manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit,

berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare,

konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,

serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek

terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit

untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian

ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan

anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak

(Henningham & McGregor, 2008). Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih

tinggi pada balita yang tidak diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan)

dibandingkan dengan balita yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan

Kam, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan

bahwa anak yang tidak mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi

terhadap stunting. Hal ini mungkin disebabkan karena kolostrum

memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak

menerima kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan keparahan

penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap

kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan pemberian kolostrum

pada bayi berhubungan dengan kejadian stunting (Kumar, et al., 2006).

Selain itu, durasi pemberian ASI yang berkepanjangan merupakan faktor

risiko untuk stunting (Teshome, 2009).

Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki

hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak


stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama

pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U

pada baduta.

6. Status Imunisasi

Imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan

baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi

(imunisasi pasif). Dalam hal ini, imunisasi aktif menstimulasi sistem imun

untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang dapat melawan

agen penginfeksi. Lain halnya dengan imunisasi pasif, imunisasi ini

menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang

diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin

(Peter, 2003 dalam Permata, 2009).

Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk

mengurangi risiko mordibitas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak

akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit-

penyakit tersebut antara lain: TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak,

hepatitis B, dan sebagainya (Narendra, 2002). Status imunisasi pada anak

adalah salah satu indikator kontak dengan pelayanan kesehatan. Karena

diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan kesehatan akan membantu

memperbaiki masalah gizi baru jadi, status imunisasi juga diharapkan akan

memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang (Yimer, 2000).

Penelitian yang dilakukan Neldawati (2006) menunjukkan bahwa

status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi

TB/U. Milman, et al. (2005), mengemukakan bahwa status imunisasi

menjadi underlying factor dalam kejadian stunting pada anak < 5 tahun.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak


lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada

anak usia < 5 tahun (Taguri, et al., 2007).

7. Usia Balita

Masa balita merupak usia paling rawan, karena pada masa ini balita

sering terkena penyakit infeksi sehingga menjadikan anak berisiko tinggi

menjadi kurang gizi. Pada usia prasekolah yaitu usia 2 – 6 tahun, anak

mengalami pertumbuhan yang stabil, terjadi perkembangan dengan aktifitas

jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses

berfikir (Narendra, et al., 2002). Pertumbuhan pada usia balita dan

prasekolah lebih lambat dibandingkan pada masa bayi namun

pertumbuhannya stabil. Memperlambatnya kecepatan pertumbuhan ini

tercermin dalam penurunan nafsu makan, padahal dalam masa ini anak-

anak membutuhkan kalori dan zat gizi yang adekuat untuk memenuhi

kebutuhan akan zat gizi mereka (Bown, 2008).

Penelitian Ramli, et al. (2009) di Maluku Utara prevalensi stunting

dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar

50% dan 24%, dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan

tersebut mirip dengan hasil dari penelitian di Bangladesh, India dan

Pakistan dimana anak-anak berusia 24 – 59 bulan yang ditemukan berada

dalam risiko lebih besar pertumbuhan yang terhambat. Penelitian lain

menyatakan pada anak-anak Sudan berusia 6-72 bulan yang berada dalam

kondisi stunting, anak-anak yang berusia 1-2 tahun lebih mungkin untuk

pulih dari stunting. Anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun lebih kecil

kemungkinannya untuk pulih dari stunting (Sedgh et al., 2000).

2.5.Kerangka Konseptual
BAB III

Metodelogi Penelitian

3.1. Paradigma

Anak Balita sebagai masa emas atau "golden age" yaitu insan manusia

yang berusia 0-6 tahun (UU No. 20 Tahun 2003), meskipun sebagian pakar

menyebut anak balita adalah anak dalam rentang usia 0-8 tahun.

Kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan

perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan motorik kasar), kecerdasan

(daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio-

emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang

khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang sedang

dilalui oleh anak tersebut.

Pada setiap tahap perkembangan, terdapat beberapa aspek fisik dan

psikologis yang terjadi, misalnya pada masa bayi secara umum menunjukkan

bahwa anak sangat tergantung pada orang dewasa, sedangkan saat anak

memasuki awal masa kanak-kanak, ketergantungan mulai berkurang dan ada

harapan serta perlakuan tertentu dari kelompok sosial serta mulai tumbuh

kemandirian, yang akan berakhir saat anak mulai masuk sekolah dasar.

Perkembangan pada setiap aspek memiliki tingkat dan kecepatan yang

berbeda-beda baik, tergantung dari faktor individu maupun lingkungan yang

menstimulirnya. Seluruh perkembangan ini akan dilampaui anak dan setiap


aspek perkembangannya tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait satu

sama lain.

Berdasarkan hal tersebut, maka tumbuh kembang anak serta

kemampuan mereka dapat diidentifikasi lebih awal, yang selanjutnya dapat

dikembangkan. Berbekal pemahaman tentang perkembangan anak balita

maka orang tua atau orang dewasa lainnya dapat mengetahui titik terpenting

untuk pengembangannya, dengan menitik beratkan pada masa belajar anak.

Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan anak balita tersebut perlu

diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan

perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta, sosio-emosional, bahasa,

komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

bayi. Faktor tersebut terdiri dari 2 golongan, yaitu:

1. Faktor internal

a. Perbedaan ras/etnik atau bangsa

b. Keluarg

c. Umur

d. Jenis kelamin

e. Kelainan genetik

f. Kelainan kromosom

2. Faktor eksternal

a. Faktor pranatal : gizi, mekanis, toksin, endokrin, radiasi, infeksi,

kelainan imunologi, anoksia embrio dan psikologis ibu.


b. Faktor persalinan

c. Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, dan asfiksia

dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak.

d. Pasca natal

e. Gizi, penyakit kronis/ kelainan congenital, lingkungan fisis dan kimia,

psikologis, endokrin (gangguan hormone), sosioekonomi, lingkungan

pengasuhan, stimulasi dan obat-obatan.

Menurut Drs. Joko Pekik Irianto M.Kes. didalam bukunya Panduan

Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan (2007: 2), istilah gizi berasal dari

bahasa arab “ giza” yang berarti zat makanan. Didalam bahasa inggris dikenal

dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering

diartikan ilmu gizi.

Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF

dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan

penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung,

tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Berdasarkan Soekirman

dalam materi Aksi Pangan dan Gizi nasional , penyebab kurang gizi dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan

makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Balita yang mendapat

makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat

menderita kurang gizi. Demikian pada Balita yang makannya tidak cukup
baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit.

Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama

merupakan penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga,

pola pengasuhan Balita, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan

pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik

mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan

waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan

kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana

pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.

Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan,

pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan,

pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat

ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan Balita dan keluarga

makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan

keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya

beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Berdasarkan penelitian Ramli, et al. (2009) Prevalensi stunting dan

severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50%

dan 24%, dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip

dengan hasil dari penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-
anak berusia 24 – 59 bulan yang ditemukan berada dalam risiko lebih besar

pertumbuhan yang terhambat. Tingginya prevalensi stunting pada anak usia

24 – 59 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak mungkin reversible (Ramli,

et al., 2009). Selain itu, pada usia 3 – 5 tahun atau yang bisa juga disebut usia

prasekolah kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah melambat

(Brown, 2008).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa

balita kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan,

dibandingkan masa remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk

pertumbuhan yang pesat, termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan

demikian, kesempatan untuk terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada

balita, karena pertumbuhan lebih banyak terjadi (Martorell, Khan &

Schroeder, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting, terjadi

terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan

cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi

serta infeksi.

3.2 Metode Penelitian

Menurut Sugiono 2017 Metode peneltian adalah suatu cara ilmiah

untuk mendapatkan data untuk tujuan tertentu. Cara ilmiah ini merupakan

kegiatan kegiatan penelitian yang didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yang

rasional, empiris, dan sistematis. Dapat disimpulkan bahwa metode penelitian

merupakan suatu cara ilmiah yang digunakan untuk memperoleh data sesuai

dnegan penelitian dengan tujuan dan manfaat tertentu.


Pada penelitian ini peneliti mengambil penelitian kuantitatif, metode

penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang

spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak

awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan

penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan

angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta

penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian

akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan

lainnya.

Menurut Sugiyono, metode penelitian kuantitatif dapat diartikan

sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,

digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik

pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan

data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat

kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan (Sugiyono, 2012: 7).

Penelitian ini merupakan penelitian korelasi, karena di dalam

penelitian ini bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara

status gizi dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian korelasi adalah

suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data

gunamenentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua

#ariabel atau lebih.Penelitian ini dilakukan, ketika kita ingin mengetahui

tentang ada tidaknya dan kuat lemahnya hubungan variabel yang terkait
dalam suatu objek atau subjek yang diteliti. Adanya hubungandan tingkat

#ariabel ini penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada,

penelitiakan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.

3.2.Hipotesis penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah


penelitian, dimanarumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Dikatakansementara karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relefan, belumdidasarkan pada fakta& fakta
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. 2lehkarena itu, setiap
penelitian yang dilakukan memiliki suatu hipotesis atau jawabansementara
terhadap penelitian yang akan dilakukan. Dari hipotesis tersebut akan
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah hipotesis tersebut
benar adanya atautidak benar.
3.2.1. Hipotesis Nol (H0)

Dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara status gizi

dengan kejadian stunting pada balita.

3.2.2. Hipotesis Alternative (Ha)

Dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara status gizi dengan

kejadian stunting pada balita.

3.4. Variable Penelitian

3.4.1. Variabel Independen

Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi atau

nilainya menentukan variable lain. Kegiatan yang dimanipulasi oleh

peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen.

Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk


diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variable lain

(Nursalam, 2017). Variabel Independen pada penelitian ini adalah

status gizi..

3.4.2. Variabel Dependen

Variabel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya

ditentukan oleh variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai

akibat dari manipulasi variabel-variabel (Nursalam, 2017). Variable

dependen pada penelitian ini adalah stunting

3.5.Definisi Konseptual dan Operasional

3.5.1. Definisi Konseptual

Menurut Singarimbun dan Efendi (2008: 43), definisi konseptual

adalah pemaknaan dari konsep yang digunakan, sehingga

memudahkan peneliti untuk mengoperasikan konsep tersebut di

lapangan. Menurut Sugiyono (2012: 31), definisi operasional adalah

penentuan konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi

variabel yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara

tertentu yang digunakan untuk meneliti dan mengoperasikan

konstrak, sehingga memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk

melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau

mengembangkan cara pengukuran konstrak yang lebih baik.

1. Status Gizi

Menurut Drs. Joko Pekik Irianto M.Kes. didalam bukunya

Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan (2007: 2),


istilah gizi berasal dari bahasa arab “ giza” yang berarti zat

makanan. Didalam bahasa inggris dikenal dengan istilah

nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering

diartikan ilmu gizi.

Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit

infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak

hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena

penyakit. Balita yang mendapat makanan yang baik tetapi

karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang

gizi. Demikian pada Balita yang makannya tidak cukup baik

maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang

penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara

bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di

keluarga, pola pengasuhan Balita, serta pelayanan kesehatan dan

kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan

keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota

keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola

pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan

waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan

sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah


tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar

yang terjangkau oleh seluruh keluarga.

2. Stunting

Stunting merupakan suatu Retardasi Pertumbuhan Linier

(RPL) yang berkaitan dengan adanya proses perubahan

patologis. Malnutrisi dalam bentuk stunting ini berhubungan

dengan penurunan kapasitas fungsional, seperti penurunan

produktifitas fisik, daya tahan terhadap infeksi, performans anak

sekolah dan pada gilirannya berpengaruh pada penurunan

kecerdasan (Sudiman, 2008). Dampak stunting tidak hanya

dirasakan oleh individu yang mengalaminya, tetapi juga

berdampak terhadap roda perekonomi¬an dan pembangunan

bangsa. Hal ini karena sum¬ber daya manusia stunting memiliki

kualitas lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya

manusia normal (Oktarina dan Sudarti, 2013).

Berdasarkan penelitian Ramli, et al. (2009) Prevalensi

stunting dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59

bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%, dibandingkan anak-anak

berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip dengan hasil dari

penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak

berusia 24 – 59 bulan yang ditemukan berada dalam risiko lebih

besar pertumbuhan yang terhambat. Tingginya prevalensi

stunting pada anak usia 24 – 59 bulan menunjukkan bahwa


stunting tidak mungkin reversible (Ramli, et al., 2009). Selain

itu, pada usia 3 – 5 tahun atau yang bisa juga disebut usia

prasekolah kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah

melambat (Brown, 2008).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita.

Pada masa balita kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya

dengan berat badan, dibandingkan masa remaja atau dewasa.

Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,

termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian,

kesempatan untuk terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar

pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak terjadi (Martorell,

Khan & Schroeder, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau

stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama

kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara

kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.


3.5.2. Deifinisi Operasional

No Variable Sub variable Definisi operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala Ukur

1. Independen Status Gizi Pada masa balita Kuesioner Nutrisi yang 1 = konsumsi

kebutuhan gizi lebih dionsumsi nutrisi rendah

besar, dalam kaitannya diukur dengan 0 = konsumsi

dengan berat badan, membandingkan nutrisi tinggi

dibandingkan masa jumlah nutrisi

remaja atau dewasa. yang

Kebutuhan gizi yang dikonsumsi

tinggi untuk sesuai dengan

pertumbuhan yang pesat, usianya dengan

termasuk pertumbuhan balita yang

pada masa remaja. kecukupan gizi

2. Dependen Stunting Stunting merupakan Antropom Dengan Interval


suatu Retardasi etri menggunakan

Pertumbuhan Linier WHO-

(RPL) yang berkaitan antropometri,

dengan adanya proses tinggi badan

perubahan patologis. atau panjang

Malnutrisi dalam bentuk badan

stunting ini berhubungan dibandingkan

dengan penurunan dengan standar

kapasitas fungsional, tinggi

seperti penurunan badan/panjang

produktifitas fisik, daya badan WHO

tahan terhadap infeksi, dengan

performans anak sekolah memperhatikan

dan pada gilirannya umur


berpengaruh pada

penurunan kecerdasan

(Sudiman, 2008)
3.6.Populasi dan Sample

3.6.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek / subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2018). Populasi dalam penelitian ini Balita di UPTD

Puskesmas Jatireja

3.6.2. Sampel

Sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2018). Teknik Sampling dalam penelitian

Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan oleh

peneliti adalah accidental sampling. Menurut Dahlan (2004), accidental

sampling adalah teknik penentuan responden berdasarkan siapa saja

yang secara kebetulan dipandang cocok sebagai sumber data (masuk

kriteria inklusi) maka akan diberikan kuesioner

3.7.Teknik Pengumpulan Data

3.7.1. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian untuk variable Independen status gizi peneliti

menggunakan skala interval dengan kuesioner berupa pertanyaan

terbuka dengan jawaban singkat.

3.7.2. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen

1. Uji Validitas

Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti


prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam,

2013). Dalam penelitian ini alat pengumpulan menggunakan

kuesioner.

2. Uji Reliabilitas.

Uji Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo,

2012). Untuk kuesioner yang digunakan di dalam penelitian ini telah

didukung validitas dan reabilitasnya (Buysse, 2008. Dalam Farhan).

3.8.Pengolahan Dan Analisa Data

Pengolahan dan Metode Analisa Data Setelah selesai proses pengumpulan

data, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah sebagai berikut:

4.4.1. Pengolahan Data

a. Editing

Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan pengisian kuesioner

mengenai karakteristik responden.

b. Coding

Peneliti memberikan kode atau nilai pada jenis data untuk

memudahkan pengolahan data. Pada penelitian ini peneliti

memberikan kode A untuk responden dengan status gizi baik dan kode

B untuk responden yang responden dengan status gizi buruk.

c. Entery Data

Disini peneliti melakuakan Entery data jika sudah yakin bahwa data

yang ada sudah benar, baik dari kelengkapan maupun pengkodeannya.


Berikutnya peneliti memasukan data satu persatu kedalam paket

program komputer untuk kemudian dilanjutkan dengan pengolahan

data.

d. Cleaning

Peneliti memeriksa data yang sudah dimasukan tadi. Peneliti

memeriksa apakah ada data yang tidak tepat yang masuk dalam paket

program komputer. Setelah peneliti yakin semua data telah

dibersihkan maka dilanjutkan dengan analisa data.

e. Tabulating

Dalam penelitian ini, peneliti membuat tabel karakteristik responden,

status gizi dengan stunting pada balita..

4.4.2. Analisa data

a. Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh

responden terkumpul. Kegiatan dalam analisa data adalah

mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,

mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden,

menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan

untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan

untuk hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono, 2018). Analisa

Univariat

Analisa Univariat adalah yang dilakukan terhadap tiap variabel dari

hasil penelitiannya, analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan


atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian

(Notoatmodjo, 2012).

1. Status Gizi

Untuk meneliti kualitas tidur Peneliti menggunakan kuesioner

dengan pertanyaan yang mengarahkan ke terpenuhinya status

gizi

2. Stunting

Untuk meneliti kejadian stunting peneliti juga menggunakan

kuesioner dengan pertanyaan yang mengalami stunting

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2012). Metode analisis

data yang dilakukan yaitu statistik non-parametris dengan metode

korelasi Spearman Rank dimana metode ini digunakan mencari

hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila

masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk interval, dan

sumber data antar variabel tidak harus sama (Sugiyono, 2018).


Daftar Pustaka

1. http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasa

n%20Stunting-1.pdf

2. https://www.unicef.org/indonesia/id/nutrisi

3. http://journal2.unusa.ac.id/index.php/MTPHJ/article/view/649

4. http://www.depkes.go.id/resources/download/info-

terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf

5. http://www.depkes.go.id/resources/download/info-

terkini/materi_rakorpop_2018/Evaluasi%202018%20dan%20Rencana

%20Tindak%20Lanjut%20Penurunan%20Stunting.pdf

6. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), 2018. STOP Stunting

dengan Konseling Gizi. Penebar Plus, Cibubur, Jakarta Timur

7. Hidayat Alimul Aziz. A. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk

Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika ; 2008

Anda mungkin juga menyukai