TIM DOSEN
Lia Nurlianawati, S.Kep., Ners
Disusun:
Aaz Miraj AK.1.16.001
Dini Erika Sandi AK.1.16.012
Mia Aminah AK.1.16.0
N. Aneu Nur’aeni AK.1.16.040
Palma Alfira AK.1.16.042
Sandra Febriani AK.1.16.045
Kelas A, Kelompok 6
Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas
Rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Deficit Perawatan Diri”
yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa II.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat beberapa
kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan wawasan yang
penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena manusia
yang mau maju adalah orang yang mau menerima kritikan dan belajar dari suatu
kesalahan.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Deficit Perawatan Diri”
mendapat ridho dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya. Amiin....
Tim Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
BAB IV Penutup 59
4.1 Kesimpulan 59
4.2 Saran 59
Daftar Pustaka 60
ii
BAB I
PENDAHULUAN
10 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
(hipotermia) secara fisiologik kurang lebih 35°C, ini akan
mengakibatkan metabolisme yang menurun. Keterbatasan refleks
mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.
l. Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi: otot pernapasan mengalami
kelemahan akibat atropi, aktivitas silia menurun, paru kehilangan
elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri
menurun, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan
kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan
hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis, kemampuan
pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring
pertambahan usia.
m. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi: kehilangan gigi,
penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur
30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf
pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esofagus melebar, rasa
lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltiklemah dan biasanya
timbul konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil
dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
n. Sistem Perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang
merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui
urine, darah masuk keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari
ginjal yang disebut nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian
mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang, akibatnya,
kemampuan mengkonsentrasi urine menurun, berat jenis urine
menurun. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, sehingga
11 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan buang air
seni meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga
terkadang menyebabkan retensi urine.
o. Sistem Endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi: produksi
semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate),
dan daya pertukaran zat menurun. Produksi aldosteron menurun,
Sekresi hormon kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan
testoteron menurun.
p. Sistem Integumen
Perubahan pada sistem integumen, meliputi: kulit mengerut atau
keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit
cenderung kusam, kasar, dan bersisi. Timbul bercak pigmentasi,
kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya
elestisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari
menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat
berkurang.
q. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi: tulang kehilangan
densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut
dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil
sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor,
aliran darah keotot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak,
langkah kaki yang pendek, penurunan irama. Kaki yang tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah,
perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah atau
terlambatmengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset,
tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
12 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
2. Perubahan Psikososial Pada Lansia
a. Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya
bahwa lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang
dialami dapat berupa kesepian emosional, situasional, kesepian
sosial atau gabungan ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian
tersebut beberapa hal yang dapat memengaruhi perasaan kesepian
pada lansia diantaranya: a) merasa tidak adanya figur kasih
sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan atau
anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak
terintegrasi dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan
oleh sekumpulan teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar.
Hal itu disebabkan karena tidak mengikuti pertemuan-pertemuan
yang dilakukan di kompleks hidupnya; c) mengalami perubahan
situasi, yaitu ditinggal wafat pasangan hidup (suami dan atau
istri), dan hidup sendirian karena anaknya tidak tinggal satu
rumah.
b. Kecemasan Menghadapi Kematian
Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil
penelitiannya bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang kematian.
Tipe pertama lansia yang cemas ringan hingga sedang dalam
menghadapi kematian ternyata memiliki tingkat religiusitas yang
cukup tinggi. Sementara tipe yang kedua adalah lansia yang
cemas berat menghadapi kematian dikarenakan takut akan
kematian itu sendiri, takut mati karena banyak tujuan hidup yang
belum tercapai, juga merasa cemas karena sendirian dan tidak
akan ada yang menolong saat sekarat nantinya.
c. Depresi
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut
Jayanti, Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah: a)
13 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
jenis kelamin, dimana angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi
depresi dibandingkan lansia laki-laki, hal tersebut dikarenakan
adanya perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi
wanita dan laki-laki, serta model perilaku tentang keputusasaan
yang dipelajari; b) status perkawinan, dimana lansia yang tidak
menikah/tidak pernah menikah lebih tinggi berisiko mengalami
depresi, hal tersebut dikarenakan orang lanjut usia yang berstatus
tidak kawin sering kehilangan dukungan yang cukup besar
(dalam hal ini dari orang terdekat yaitu pasangan) yang
menyebabkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan
kesendirian; dan c) rendahnya dukungan sosial.
14 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto
dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh
akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut
penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup
dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).
Dalam komunikasi dengan lansia harus diperhatikan faktor fisik,
psikologi, lingkungan ketrampilan komunikasi yang tepat juga perlu
memperhatikan waktu yang tepat.
15 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
Ketika perawat mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan
klien sekecil apapun hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang
perubahan tersebut misalnya dengan mengajukan pertanyaan “Apa
yang sedang bapak/ibu pikirkan saat ini ”, “ apa yang bisa saya
bantu? ” berespon berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan
bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini akan
menciptakan perasaan tenang bagi klien
3. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten
terhadap materi komunikasi yang di inginkan. Ketika klien
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di
inginkan, maka perawat hendaknya mengarahkan maksud
pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena umumnya klien
lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak relevan
untuk kepentingan petugas kesehatan.
4. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik
maupun psikis secara bertahap menyebabkan emosi klien relative
menjadi labil perubahan ini perlu di sikapi dengan menjaga
kestabilan emosi klien lansia, misalnya dengan mengiyakan ,
senyum dan menganggukan kepala ketika lansia mengungkapkan
perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama lansia
berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien
lansia sehingga lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya dengan
demikaian di harapkan klien termotivasi untuk menjadi dan berkarya
sesuai dengan kemampuannya selama memberi dukungan baik
secara materil maupun moril, petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-
ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan kepercayaan
diri klien tanpa terkesan menggurui atau mengajari misalnya: “ saya
yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu
dapat melaksanakanya dan bila diperlukan kami dapat membantu”.
16 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
5. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering
proses komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi
dengan cara mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan
lebih dari satu kali perlu di lakukan oleh perawat agar maksud
pembicaraan kita dapat di terima dan di persepsikan sama oleh klien
“ bapak/ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi?”, “ bisa
minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya
sampaikan tadi?”
6. Sabar dan Ikhlas
Seperti di ketahui sebelumnya klien lansia umumnya
mengalami perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan
kekanak-kanakan perubahan ini bila tidak di sikapi dengan sabar dan
iklas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga
komunikasi yang di lakukan tidak terapeutik, salut namun dapat
berakibat komunikasi berlangsung emosional dan menimbulkan
kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.
17 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
6. Jangan berharap untuk berkomunikasi denagn cara yang sama
dengan orang yang tidak mengalami gangguan. Sebaliknya
bertindaklah sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi klien
untuk mengungkapkan perasaan dan pemahamannya.
7. Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan
kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana.
8. Bantulah kata-kata Anda dengan isyarat visual.
9. Serasikan bahasa tubuh Anda dengan pembicaraan Anda,
misalnya ketika melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan
yang menyatakan bahwa berita tersebut adalah bagus
seharusnya di buktikan dengan ekspresi, postur dan nada suara
Anda yang menggembirakan (misalnya dengan senyum, ceria
atau tertawa secukupnya).
10. Ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan
tersebut.
11. Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan Anda.
12. Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara
langsung, tahan keinginan Anda menyelesaikan kalimat.
13. Jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit
mendengarkannya.
14. Arahkan ke suatu topik pada suatu saat.
15. Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat ruangan
bersama Anda. Orang ini biasanya paling akrab dengan pola
komunikasi klien dan dapat membantu proses komunikasi.
18 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
2.2.3 Aa
2.2.4 Aa
2.2.5
2.3 Ndnsnfjndskja
2.3.1 Sds
2.3.2 Sdsd
2.3.3 Sdw
2.3.4 Sa
2.3.5 ss
2.4 Dnkjsnfn
2.4.1 Sas
2.4.2 Sds
2.4.3 Dsd
2.4.4 Dsd
2.4.5 Sd
2.5 Ndjsnjknf
2.6 Nfmdnsmnfjn
2.7 Nfmsndmn
2.8 Fns
2.9 Nnfjsdan
2.10 Nfjsn
2.11 Njfns
2.12 Nfkns
19 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
2.13 Fks
2.14
20 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peran perawat jiwa dalam deficit perawatan diri meliputi pemberian asuhan
keperawatan berupa penerapan strategi pelaksanaan defisit perawatan diri baik
kepada pasien langsung maupun kepada keluarga. Strategi pelaksanaan ini
mencakup cara melatih pasien perawatan kebersihan diri, melatih pasien dandan
dan berhias, melatih pasien makan dan minum dengan benar dan mengajarkan
pasien cara buang air besar dan buang air kecil yang benar. Sedangkan pada
keluarga mencakup melatih cara merawat dan membimbing pasien kebersihan diri,
berdandan, makan dan minum, buang air besar dan buang air kecil (Keliat,dkk,
2013).
DAFTAR PUSTAKA
21 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
1. Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13.
Jakarta: EGC
2. Keliat, Budi Anna, dkk. 2013. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan
Jiwa
3. Masyarakat. Jakarta : Badan PPSDM Kesehatan Kemenkes Republik
Indonesia
4. Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Graha Ilmu
5. Ah, Yusuf. Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
22 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i