Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, ada pelbagai macam permasalahan moral yang muncul dalam
kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya ialah masalah eutanasia. Tindakan
eutanasia mendapat penentangan dari pelbagai pihak, yang menilai bahwa
tindakan eutanasia merupakan perbuatan yang merusak moral hidup manusia.
Manusia tidak lagi menghargai hidupnya yang merupakan pemberian Allah yang
luhur. Manusia berupaya untuk melampaui kodratnya dengan merampas
kedaulatan Allah sebagai penguasa kehidupan setiap ciptaan-Nya.
Eutanasia merupakan salah satu permasalahan yang sering diperdebatkan
akhir-akhir ini. Ada golongan yang berupaya untuk menolak tindakan eutanasia,
ada pula golongan yang terus berupaya untuk melegalkan tindakan eutanasia.
Upaya legalisasi eutanasia di dasarkan pada suatu paradigma yang melihat bahwa
manusia selain mempunyai hak untuk hidup, mereka juga mempunyai hak untuk
mati “The right to die”.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita diperhadapkan dengan suatu pilihan yang
sulit mengenai permasalahan eutanasia ini. Di satu pihak, kita berusaha untuk
menjaga keluhuran hidup manusia yang diberikan oleh Allah, tapi di pihak lain
kita tidak tega melihat orang-orang yang kita sayangi terus menderita.
Praktek-praktek eutanasia yang dilakukan akhir-akhir ini mengindikasikan
suatu fakta bahwa terjadi kemerosotan moral dalam dunia saat ini. Teknologi
canggih yang terus berkembang dalam dunia dewasa ini seakan-akan telah
menjadi tuan atas manusia. Teknologi tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk

1
menunjang kualitas hidup manusia, tetapi sebaliknya manusia dipandang sebagai
“objek” dari kemuktahiran teknologi-teknologi.
Ajaran moral kristiani dengan tegas menolak segala bentuk eutanasia yang
dilakukan secara sadar, sengaja, dan langsung dengan alasan dan tujuan apapun.
Tindakan eutanasia yang demikian dipandang sebagai tindakan yang melawan
hidup dan dalam hal ini dianggap sebagai suatu pembunuhan. Tindakan eutanasia
merupakan tindakan yang melawan keluhuran hidup manusia yang diberikan oleh
Allah sebagai anugerah yang begitu besar. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
tindakan eutanasia membantu orang. Tetapi juga membunuh orang secara sengaja.
Gereja dengan keras menolak tindakan eutanasia yang dilakukan secara aktif.
Problema seputar permasalahan eutanasia ini merupakan permasalahan
moral yang menarik untuk dibahas. Dalam hal ini saya berusaha untuk mengkaji
persoalan eutanasia ini, dengan tujuan untuk memperluas pandangan para
pembaca mengenai persoalan eutanasia yang kerap kali membawa orang-orang
dalam sebuah dilema.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Jelaskan Pengertian Euthanesia ?
2. Jelaskan Jenis-jenis Euthanasia ?
3. Jelaskan Kewajiban dan Prinsip Etik Perawat Dalam Kasus Euthanasia ?
4. Jelaskan Aspek Euthanasia ?
5. Bagaimana Pandangan Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia ?
6. Bagaimana Menurut Hukum Diberbagai Negara Tentang Euthanasia ?

1.3 Metode Penulisan

2
Metode yang kami digunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul
“Euthanesia” ini adalah Berdasarkan metode literature (pustaka) dan
mengintisarikan buku-buku pustaka dan informasi didapat dari jaringan internet.

1.4 Tujuan Penulis


Tujuan penulisan makalah Agama manusia yang berjudul euthanesia ini adalah
untuk memberikan informasi kepada pembaca, sehingga pembaca memahami dan
mengetahui mengenai euthanesia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Euthanasia


Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa
penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya

4
bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan
panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan
hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya
dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka
menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan
sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu
kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional
seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini.
Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri
telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
1. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis,
hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
a. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang
pasien.
b. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk
memperpanjang hidup pasien
c. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas
permintaan atau tanpa permintaan pasien.
2. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan
dalam tiga arti:

5
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
b. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberinya obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
euthanasia adalah sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Sejarah Eutanasia
a. Sejarah umum
Eutanasia bukanlah merupakan suatu hal yang baru, karena
eutanasia sudah di kenal sejak zaman Yunani Kuno atau klasik. Pada
zaman Yunani-Romawi, penekanan terletak pada kehendak kematian
seseorang yang mau melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka
yang mengalami penyakit yang parah (seperti pemahaman modern saat
ini). Hal ini ditempuh agar tidak membebani orang lain. Hanya saja letak
perbedaan antara zaman modern ini dan pada masa itu, yakni adanya
tradisi kurban yang memungkinkan dilakukannya tindakan eutanasia
yang dapat dilakukan atas kehendak pribadi.
Tidak semua pemikir pada masa Yunani kuno setuju dengan
tindakan eutanasia aktif dan atas kehendak pribadi ini. Ia melihat bahwa
hidup manusia mempunyai nilai keabadian. Jadi, eutanasia merupakan

6
tindakan yang tidak menanggapi hidup manusia. Sementara itu, Plato
melawan tindakan bunuh diri, namun bersimpati terhadap tindakan
eutanasia pada kasus penderitaan yang berat. Ia menolak ide bahwa hak
untuk memelihara hidup ditempakan pada kebaikan itu sendiri, pada
kasus penderitaan orang yang berat. Aristoteles berlainan pandangan
dengan gurunya. Ia menolak eutanasia dengan alasan bahwa hidup
manusia itu bernilai luhur.
Selain dari dunia filsafat, dunia medis Yunani pun mempunyai
perhatian yang sangat besar terhadap pembelaan hidup manusia. Seorang
yang sangat berpengaruh dalam dunia medis yakni Hippokrates
mempunyai usaha yang gigih dalam memberikan pelayanan kesehatan
bagi manusia. Salah satu yang paling berpengaruh yaitu ia mengangkat
sumpah yang saat itu masih menjadi sumpah jabatan para dokter yang
dikenal dengan sumpah dokter.
Pada abad pertengahan juga ada upaya untuk membela kehidupan
manusia. Salah satu tokoh yang mempunyai perhatian terhadap masalah
eutanasia ini adalah Thomas More dari Inggris. Dan juga pada masa
pencerahan, David Hume dalam bukunya On Suicide menolak tindakan
eutanasia.
Pada tahun 1920, adas sebuah buku yang sangat populer dengan
judul The Permission to Destroy Life Unworthy of Life. Buku ini ditulis
oleh seorang psikiatri dari Universitas Freinburg yang bernama Alfred
Hoche, M.D. dan seorang profesor hukum dari Universitas Leipzig yang
bernama Karl Binding. Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu
orang yang mengalami kematian merupakan masalah etika tingkat tinggi
yang membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang pada dasarnya
merupakan suatu solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.

7
Permasalahan eutanasia juga mendapat tanggapan yang keras dan
luar biasa ketika Nazi Jerman menerapkannya bagi orang Yahudi pada
masa Perang Dunia II. Banyak orang mengecam tindaskan Hitler itu.
Tanggapan paling keras dilontarkan oleh Gereja Katolik. Pada tahun
1943, Paus Pius XII mengeluarkan ensiklik “Mystici Corporis”, sebagai
tanggapan atas pembantaian tersebut.
b. Tinjauan dari Sejarah Gereja
Sudah sejak awal Gereja sangat prihatin terhadap martabat hidup
manusia. Salah seorang tokohnya adalah Pastor Hermas (antara
140-155), ia melawan tindakan bunuh diri karena hal itu berarti melawan
kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. pandangan ini juga
berkembang dalam pemikiran St. Yustinus Martir yang mendasarkan
pemikirannya pada ajaran Kitab Suci bahwa manusia itu milik Allah
secara utuh.
Santo Agustinus menolak secara tegas tindakan bunuh diri.
Tindakan bunuh diri berarti melawan cinta Allah yang telah
mencurahkan cinta-Nya kepada manusia dengan memberi hidup. Hidup
manusia itu sangat bernilai karena merupakan pemberian Allah. Allah
menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Karena itu, hidup perlu
dijunjung tinggi.
Santo Thomas Aquinas mendasarkan argumentasinya pada
pemikiran filsafatnya. Ia menggunakan pemikiran Aristoteles dan
teologi Kristiani. Ia mengatakan bahwa tindakan bunuh diri merupakan
kekerasan terhadap cinta Allah sendiri dan juga komunitas. Thomas juga
melihat bahwa ada nilai universal dari karya cipta Allah. Menurut
Thomas, kasih Allah yang ditolak oleh manusia ini mendatangkan dosa,
yakni manusia jauh dari Allah dan tidak lagi hidup dalam kasih itu.

8
Pada masa renaisance ada juga argumentasi moral melawan
eutanasia. Pandangan itu disampaikan oleh seorang Yesuit bernama Juan
Kardinal de Lugo. De Lugo mendapat inspirasi janji keselamatan Allah
diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, manusia mempuin8ai
kewajiban untuk memelihara hidupnya, sebagai anugerah yang luhur.
Ajaran Gereja, yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII menganggapi
“eugenic euthanasia”, mengatakan hawa eutanasia merupakan tindakan
kekerasan melawan Allah. Hal ini karena melihat peristiwa Perang
Dunia II dan kurban pembantaian yang dilakukan oleh Hitler terhadap
orang Yahudi. Paus Pius XII mendasarkan pemikirannya pada cerita
Kitab Suci mengenai Kain yang membunuh Habel adiknya (Kej 4:10).
Beliau sangat memperhatikan keluhuran tubuh manusia seperti Yesus
yang telah hadir di tengah dunia menjadi sama dengan manusia.
Konsili Vatikan II juga mempunyai keprihatinan besar terhadap
masalah eutanasia yang makin besar dewasa ini. Para Bapa Konsili
menempatkan keprihatinan itu dalam dokumen tentang tindakan pastoral
menanggapi perkembangan dunia. Pandangan konsili dikeluarkan oleh
Kongregasi Suci Ajaran Iman untuk menanggapi masalah eutanasia.
Sikap Gereja ini ditegaskan kembali dalam ensiklik Paus Yohanes
Paulus II pada tahun 1995 yang diberi nama “Evangelium Vitae”. Ajaran
ini merupakan pandangan baru dari Paus untuk membela kehidupan
manusia yang mulai menolak secara tegas tindakan eutanasia. Di sini
Paus Yohanes Paulus II mengambil pendasaran teologi dari Kitab
Kejadian tentang Kain yang membunuh Habel.

2.2 Jenis-jenis Eutthanasia


Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya,
dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara

9
garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia
aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis
euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh
dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara
medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang
bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua
golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang
segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,
tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup
pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut
segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan
hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah
tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau
mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada
pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk

10
menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien
yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan.
Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga
mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh,
diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo
Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia
secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha
perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”.
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian
dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di
sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik
dan analgetika yang mungkin “de fakto” dapat memperpendek kehidupan
walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya
keluarga), atau atas keputusan pemerintah.

2.3 Kewajiban dan Prinsip Etik Perawat Dalam Kasus Euthanasia


1. Memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
2. Membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang
sedang dihadapinya
3. Mengoptimalkan system dukungan

11
4. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif
terhadap masalah yang telah dihadapi
5. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha
esa sesuai dengan keyakinannya.
Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu
sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk
membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan, atau
diijinkan dalam situasi tertentu.
a. Otonomi, yaitu kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri
sendiri, berarti menghargai manusia sehingga memperlakukan mereka
sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat serta mampu
menentukan sesuatu bagi dirinya.
b. Benefesience, yaitu prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak
merugikan pasien atau tidak menimbulkan bahaya bagi pasien.
c. Justice, yaitu prinsip moral untuk bertindak adil bagi semua individu,
setiap individu mendapat pperlakuan dan tindakan yang sama. Tindakan
yang sama tidak selalu identik tetapi dalam hal ini persamaan berarti
mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan hidup seseorang.
d. Veracity, yaitu prinsip moral dimana kita mempunyai suatu kewajiban
untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak membohongi orang lain /
pasien. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun
suatu hubungan denganorang lain. Kewajiban untuk mengatakan yang
sebenarnya didasarkan atau penghargaan terhadap otonomi seseorang dan
mereka berhak untuk diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
e. Avoiding Killing, yaitu prinsip yang menekankan kewajiban perawat
untuk menghargai kehidupan. Bila perawat berkewajiban melakukan hal-hal
yang menguntungkan (Benefisience ) haruskah perawat membantu pasien
mengatasi penderitaannya ( misalnya akibat kanker ) dengan mempercepat

12
kematian ? Kewajiban perawat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan
yang mempunyai konsekuensi untuk melindungi dan mempertahankan
kehidupan dengan berbagai cara.
f. Fedelity, yaitu prinsip moral yang menjelaskan kewajiban perawat untuk
tetap setia pada komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan
saling percaya antara perawat dan pasien. Kewajiban ini meliputi meenepati
janji, menyimpan rahasia dan “caring “.

2.4 Beberapa Aspek Euthanasia


1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat
dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia,
tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak
perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang
yang terdapat dalam KUHP Pidana.
2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak

13
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama Kristen
Beberapa penganut kristiani percaya bahwa bahwa jika mereka
berada dalam situasi yang unik untuk melepaskan kehidupan yang
diberikan dari Tuhan adalah suatu awal perjalanan menuju kehidupan
yang lebih baik. Namun, ada juga pemimpin gereja katolik dan protestan
mengakui bahwa tindakan mengakhiri kehidupan ini disahkan maka
berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, namun di masa yang akan
datang menjadi suatu racun bagi dunia kesehatan. Sejak awal cara
pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam melakukan tindakan ini,
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian kehidupan dari
Tuhan.

14
Dalam pandangan kitab suci, manusia berasal dari allah sendiri dan
pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi.
Misal dalam kitab Kel 20:13 berbunyi “Jangan Membunuh” dan dalam
kitab Rom 14:8;bdk. Fil 1:20 berbunyi “Kita adalah milik Tuhan”.
Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi
juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali kepada-Nya
(penebusan). Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar dan
dihancurkan, tetapi harus dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.
Euthanasia dan bunuh diri merupakan suatu penolakan pemberian
kehidupan yang diberikan oleh Allah. Dalam doa Israel kuno
menyebutkan “Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau membawa
kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali”
Pandangan perjanjian Lama
a. Istilah
Orang Israel menggunakan istilah “Khayyim” yang berarti
kehidupan yang bergerak. Yang bergerak itu dilawankan dengan yang
mati atau yang tidak bergerak (bdk. Kej 7:21 dan Mazmur 69:35).
Istilah jiwa atau nefesy atau nafas mempunyai arti hidup yang
dihembuskan oleh Allah (Im 21:11). Para penulis melihat bahwa
manusia adalah pemberian Allah dan pemberian Allah itu sungguh
besar, karena Allah menciptakan manusia secitra atau segambar
dengan Allah sendiri (Kej 1:26).
Hidup manusia terancam oleh bayang-bayang kematian.
Kematian itu diakibatkan oleh dosa. Dosa adalah putusnya hubungan
antara Allah dan manusia, karena manusia melawan perintah Allah.
Allah berulang kali berusaha memperbaiki hubungan dengan manusia
agar manusia dapat hidup dan mengharapkan manusia terus berjuang
di tengah hidup yang terancam oleh bayang-bayang kematian. Namun,

15
manusia berulang kali jatuh ke dalam dosa dan Allah tetap mencintai
manusia dengan melimpahkan pengampunan-Nya.
b. Allah adalah Allah yang hidup
Umat Perjanjian Lama mengakui bahwa Allah itu Allah yang
hidup. hal ini tampak dalam panggilan Musa. Allah memperkenalkan
diri-Nya sebagai Allah yang hidup, Allah Abraham, Allah Ishak, dan
Allah Yakub (Kel 2:23-4:17). Di sini Allah juga memperkenalkan
diri-Nya sebagai Allah yang peduli pada kehidupan manusia. Dalam
Kitab Bilangan dinyatakan dengan jelas bahwa Allah adalah Allah
yang hidup (Bil 14:21 dan 28), “Demi Aku yang hidup…” Hal ini
dapat dibandingkan juga dengan 1 Sam 14:39, “ Demi Tuhan yang
hidup…” Dari sini kita dapat melihat pemikiran umat Israel saat itu
bahwa Allah yang hidup itu dapat memberikan hidup yang
menyelamatkan umat-Nya.
Pandangan Perjanjian Baru
a. Bios dan Pneuma
Perjanjian Baru membicarakan hidup manusia secara lebih luas
sesuai dengan perspektif peristiwa Yesus yang mengalami penderitaan
dan wafat di salib, namun bangkit kembali. Di sini tekanan pada jiwa
atau roh semakin kuat. Hidup itu ada karena Allah memberikan Roh
Kehidupan. Apakah ini pengaruh dualisme? Tidak. Pandangan ini asli
dari pemikiran umat Yahudi setelah pembuangan dan berkembang
dalam zaman Yesus.
Istilah jiwa atau pneuma tampak dalam tulisan Lukas. Lukas
melihat bahwa Roh inilah yang memberi hidup dan hidup bukan
hanya hidup di dunia, tetapi juga pada hidup di akhir zaman. (Luk
9:25). Lukas memperlihatkan bahwa Roh yang memberikan hidup itu
tampak secara jelas dalam Injil mengenai masa kanak-kanak Yesus.

16
Roh Kudus akan turun atas Maria dan kuasa Allah yang mahatinggi
akan menaunginya (bdk. Luk 1:35). Elisabet juga dipenuhi oleh Roh
(Luk 1:41). Matius secara jelas mengatakan, “… Anak yang di dalam
kandungannya adalah dari Roh Kudus” (Mat 1:20). Roh memberikan
daya hidup bagi manusia. Di sini, Perjanjian Baru sebenarnya
meneruskan Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa manusia hidup
karena Roh Allah, “Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidupnya” (Kej 2:7).
Pandangan yang lain tentang hidup manusia ditemukan dalam
tulisan Yohanes. Dalam prolog Yohanes 1:1-18 dikatakan bahwa
manusia terdiri dari logos dan sarx. Pandangan ini berasal dari
Perjanjian Lama. Logos dapat diartikan sebagai “jiwa”, sedangkan
sarx tidak terpisahkan satu sama lain.
Para penulis Perjanjian Baru mempunyai tujuan tertentu dengan
hidup. hidup mempunyai fungsi sosial, artinya hidup untuk
kepentingan bersama. Yang ditekankan di sini adalah penyerahan
hidup demi kepentingan bersama. Yesus mengajar manusia untuk
saling mengasihi satu sama lain. Yesus mengatakan “Kasihilah
seorang akan yang lain” (Yoh 15:17). Paulus juga menekankan hal
memperhatikan hidup sebagai upaya hidup bersama (1 Tim 2:2).
Sementara surat pertama Yohanes menguatkan pandangan bahwa
hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga demi orang lain.
b. Perjanjian Baru meneruskan Perjanjian Lama
Perjanjian Baru sungguh mau meneruskan Perjanjian Lama, tetapi
dengan sudut pandang yang baru. Perjanjian Baru menyatakan bahwa
hidup manusia tergantung pada Allah. Manusia tidak dapat
memperpanjang atau memperpendek usianya (Mat 6:25 dan Luk
12:25 serta Yoh 4:15). Yohanes melihat bahwa hidup juga berarti

17
sehat atau sembuh (Yoh 4:50). Orang bersatu dengan Yesus akan
memperoleh kehidupan (Mrk 8:35; Yoh 12:25; 1Yoh 3:16; 2 Kor
12:15; Fil 2:30 dan Why 12:11).
Keluhuran Hidup Manusia
Sejak semula hidup manusia itu luhur. Hidup manusia merupakan
anugerah Allah yang diberikan secara cuma-cuma. Allah telah
memberikan diri-Nya kepada manusia melalui kehidupan itu. Oleh
karena itu hidup harus diperjuangkan dan diarahkan seluruhnya kepada
Allah yang telah memberikannya.
Hidup manusia itu bersifat sakral, karena pada kenyataannya hidup
manusia itu adalah milik Allah, dan bukan milik manusia. Oleh karena
itu hidup manusia harus sungguh-sungguh dihormati. “Salah satu
konsekuensi asal mula ilahi hidup ialah sifatnya yang tidak dapat
diganggu gugat, tidak dapat disentuh, yakni sakral”
“Hidup manusia berasal dari Allah. hidup itu karunia-Nya, gambar
dan materai-Nya, keikutsertaan dalam nafas kehidupan-Nya. Oleh
karena itu, Allah adalah satu-satunya Tuhan hidup itu: manusia tidak
dapat memperlakukannya sesuka hatinya”
Manusia adalah Imago Dei
“’Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
kita’,…Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan,
diciptakan-Nya mereka” (Kej 26:27).
Kitab Kejadian berbicara banyak tentang kisah penciptaan termasuk
penciptaan manusia. dikatakan dengan jelas bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Karena manusia adalah imago
Dei, maka manusia patut mensyukuri karunia ini dengan
mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah.

18
Tradisi Yudeo-Kristiani mengatakan bahwa manusia dipanggil
untuk memelihara hidupnya dan kepadanya diberikan kemerdekaan
untuk menanggapi panggilan Allah itu. Allah mengajak manusia turut
serta dalam upaya memelihara keseluruhan hidup. pandangan ini juga
terdapat dalam ajaran agama-agama lain.
Kematian
Kematian dalam Tradisi Kitab Suci
Kematian merupakan suatu peristiwa yang biasa. “Manusia
ditetapkan untuk mati satu kali saja” (Ibr 9:27). Dalam tradisi Kitab Suci,
ada penyamaan istilah antara mati dan maut. Peristiwa yang biasa itu
diterima begitu saja tanpa adanya pembantahan (Yoh 11:16). Dalam
tradisi Paulus, kematian atau maut adalah upah dari dosa (Rm 6:23).
Kematian dalam Pandangan Kristen
Pandangan Kristen mengenai kematian mengacu pada pemahaman
iman dari para penulis Kitab Suci. Kematian dapat dipandang sebagai
suatu perutusan, penebusan atau penghakiman, yang semuanya itu dapat
dilihat dan dipahami dalam tindakan Yesus sendiri. Yesus telah
memberikan diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi banyak orang, agar
semua orang boleh memperoleh keselamatan yang dijanjikan oleh Allah
bagi manusia.
Kematian merupakan bagian dari pengalaman eksistensial manusia;
artinya kematian merupakan bagian dari hidup manusia.“Maut itu
kenyataan hidup manusiawi yang tidak dapat dihindari”Pengalaman
Yesus dapat menjadi cermin bagi seluruh umat manusia dalam
menghadapi kematian. Penyerahan Yesus hingga wafat di kayu salib
menunjukkan kepada kita bahwa sesudah kematian ada kebangkitan.
Iman Kristen mengajarkan bahwa kematian bukan sesuatu yang
menakutkan, melainkan menjadi saat perjumpaan dengan Allah yang

19
penuh cinta. Kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari suatu hidup baru
dalam kasih Allah yang sungguh besar.
Kematian membawa kesadaran bagi manusia akan tujuan hidup
sejati. Hidup di dunia tidak abadi, melainkan hanya bersifat sementara
saja, sehingga kematian merupakan penyelesaian dari “pengembaraan”
manusia (bdk. Ibr 11:13; 1Ptr1:1;2:11). Penyerahan diri kepada Allah
pada saat kematian membawa orang untuk menerima kematian sebagai
saat penebusan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus
kepada umat-Nya.
Secara teologis, kematian berarti memasuki kehidupan yang baru,
kehidupan yang abadi bersama Kristus. Kasih Allah yang besar
dirasakan oleh manusia di dalam Kristus, Juru selamat manusia. Di
dalam Dia manusia dapat mengenal Bapa (bdk. Yoh 14:7). Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa manusia yang turut
mati bersama dengan Yesus akan dibangkitkan pula bersama Dia dan
akan memperoleh hidup yang baru (bdk. Rm 6:1-14). Di lain pihak
orang yang berdosa adalah orang yang tidak lagi dapat merasakan kasih
Allah yang begitu besar itu. Dosa memutuskan hubungan Allah dengan
manusia, dan dengan demikian komunikasi antara Allah dan manusia
terputus olehnya.

2.5 Pandangan Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia


Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan
yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344
KUHP.

20
1. Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
2. Pasal 338 KUHP
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun.
4. Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan
selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.
5. Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk
membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan
daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.

21
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan
euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang
memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan
dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.

2.6 Menurut Hukum Diberbagai Negara Tentang Euthanasia


Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia
serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss
dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol,
Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
1. Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang
yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif
berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi
Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat
disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana
Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban
para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri
berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter
yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan
dihukum.

22
2. Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat
pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh
diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995
Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally
ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh
keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan
demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak
dibenarkan.
3. Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak
dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul
suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia
( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah
satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa
seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
4. Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang
hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang

23
tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara
bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian
yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini
hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien
terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri,
jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali
secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali
secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan
bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan,
jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa
dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha
untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya
sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
5. Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan
memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan

24
sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu
suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri
sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan
untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
6. Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik
Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin
untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled
newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi
eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan
hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain
daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris
(British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang
eutanasia dalam bentuk apapun juga.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Masalah eutanasia berkaitan dengan masalah kehidupan. Hidup manusia


itu luhur karena merupakan anugerah Allah yang amat besar. Semua agama
mengajak umatnya untuk memelihara hidup dan menghantar manusia pada
keselamatan. Keselamatan dari Allah berarti hidup bersatu dengan Dia.
Dalam Gereja Katolik hidup manusia amat dijunjung tinggi. Hidup tidak

26
boleh dirampas begitu saja, karena itu merupakan wewenang dari Allah yang
Mahakuasa. Sama seperti perkataan St. Paulus bahwa hidup atau mati kita ini
adalah milik Tuhan (Rm 12:3-5).
Dewasa ini, prinsip ‘the right to die’ berkembang pesat. Akibatnya,
banyak negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia. Meskipun
demikian, masih ada banyak kalangan yang menentang tindakan eutanasia
dan berpegang teguh pada prinsip bahwa kehidupan dan kematian manusia
mutlak menjadi hak Allah. Hanya Allah yang berkuasa atas hidup dan mati
seseorang, yang hingga kini, hal ini masih menjadi misteri bagi manusia.
Manusia diberi kuasa dari Allah untuk mengembangkan hidup dan
bukan untuk meniadakannya. Dari sebab itu, tindakan eutanasia yang
dilakukan secara sadar, sengaja, dan langsung apapun alasan dan tujuannya,
tidak dapat dibenarkan. Manusia diharapkan agar dapat menyelami misteri
kehidupan ini untuk memperoleh keselamatan yang datang dari Allah sesuai
dengan janji-Nya.
Hukum di Indonesia secara tegas menolak tindakan eutanasia. Hukum
secara tegas pula menindaki orang-orang yang terlibat langsung dalam
tindakan eutanasia, karena dinilai telah melakukan tindakan pembunuhan,
dan untuk itu diberikan sanksi yang berat.
Di samping itu, Gereja pun menolak tindakan eutanasia ini, karena
merampas kehidupan manusia yang luhur. Hidup tidak lagi dihargai. Apapun
alasannya, tindakan eutanasia merupakan suatu kesalahan besar dan dapat
merusak moral manusia.
Sangat disayangkan, kenyataan yang ada di lapangan berbicara lain.
Dewasa ini kasus eutanasia semakin marak terjadi, bahkan di beberapa
negara tindakan eutanasia telah dilegalkan.
Para Bapa Konsili telah menegaskan posisi Gereja, yakni menolak
secara tegas tindakan eutanasia. Hidup manusia harus dibela, karena hidup

27
itu merupakan anugerah yang luhur dari Allah. Untuk itu, Gereja terlibat
aktif dalam tindakan pastoral pelayanan bagi mereka yang menderita, untuk
membawa manusia sampai memahami misteri karya keselamatan Allah.
3.2 Saran
Masalah eutanasia bukan masalah yang sederhana, melainkan masalah
yang rumit dan kompleks. Karena itu, setiap orang harus mendalami masalah
ini secara baik dan benar. Untuk itu, perlu ada keterlibatan dan kerja sama
dari pelbagai pihak yang bergerak dalam bidang medis dan riset, tokoh-tokoh
agama, politik, dan masyarakat luas. Pelbagai masukan dari pihak-pihak
yang terkait akan sangat membantu dalam proses pertimbangan dan dalam
menentukan sikap terhadap masalah eutanasia ini.
Masalah eutanasia merupakan masalah bersama. Sayangnya, saat ini
masalah eutanasia masih menjadi masalah yang ruang lingkup
pembahasannya hanya terbatas pada para petugas medis dan sebagian
cendekiawan saja. Sehingga, masalah eutanasia ini masih asing di telinga
orang-orang awam. Untuk itu, sosialisasi amat diperlukan. Harus ada
penjelasan yang jelas dan lengkap bagi seluruh masyarakat tentang masalah
eutanasia ini. Di samping itu, setiap orang hendaknya menyerukan
seruan-seruan untuk membela hidup manusia. Hidup manusia menjadi
tanggung jawab bersama.

28

Anda mungkin juga menyukai