Anda di halaman 1dari 15

KELOMPOK 3 NUTRISI PADA PASIEN KRITIS

Dosen Pengampu :
Ns. Pira Prahmawati, S.Kep., M.Kep

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3 : 
1. ANGGI YOHANA (142012018049)
2. CENDY SURYA ADELLA (142012018053)
3. ISTI FITRIA (142012018061)
4. MAYA AMELIA (142012018066)
5. MUKTI DINIATI (142012018069)
6. NABILA DWI AMBARWATI (142012018070)
7. OKTIN REKSA SIWI (142012018074)
8. VIFI OKTAVIANA (142012018088)
9. WAKIAH (142012018089)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2021
PENDAHULUAN

Latar belakang penelitian ini bahwa dukungan nutrisi merupakan bagian yang penting
dari perawatan pasien di Intensive Care Unit (ICU), baik dewasa maupun anak-anak.pasien
dengan penyakit kronis dan usia tua yang dirawat di ICU sering mengalami kekurangan gizi,
sehingga hal ini menjadi pertimbangan dalam pemberian nutrisi. Mengkritisi juga
berhubungan dengan kondisi akhir yang lebih buruk pada pasien. Oleh karena itu, penting
bagi seorang klinisi untuk memperhatikan status nutrisi yang cukup untuk pasien kritis di
ICU. Dukungan nutrisi yang adekuat dapat memberikan efek positif dalam penatalaksanaan
komprehensif pasien pasien di ICU.

Pada Sebagian besar kasus di ICU, pemberian NE lebih disukai dari pada nutrisi
parenta (NP). Beberapa sumber menjelaskan hal ini berkaitan karena biaya yang lebih rendah
dan tingkat komplikasi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan nutrisi parenteral. Nutrisi
internal bersifat lebih fisiologis karena memberikan Efek trofik untuk mempertahankan
fisiologi usus, mencegah atrofi Vili usus, mengurangi permeabilitas usus, merangsang fungsi
usus, menjaga imunitas usus, dan berhubungan dengan berkurangnya waktu perawatan dan
biaya rumah sakit.

Nutrisi internal menjadi rute pilihan utama untuk pasien kritis yang tidak dapat
menerima nutrisi oral yang memadai. Namun NE tidak dapat diberikan pada seluruh pasien.
Nutrisi internal dapat diberikan pada pasien dengan saluran pencernaan yang berfungsi secara
normal. Pada dasarnya NE memiliki beberapa keunggulan antara lain resiko terjadinya
komplikasi yang sangat minimal, namun memberikan NE juga memiliki komplikasi secara
metabolik, mekanis, dan patologi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas metode pemberian nutrisi pada pasien
pasien di ICU, khususnya dengan pemberian nutrisi internal (NE).

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yang bersifat
objektif, analisis, sistematis dengan pendekatan deskriptif eksploratif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu pemberian
Tidak ada penjelasan mengenai waktu yang optimal untuk memulai NE, namun ada
yang menyebutkan bahwa pemberian sebaiknya dilakukan dengan sedini mungkin, yaitu
dalam 24 hingga 48 jam Setelah masuk ke ICU. Saat ini inisiasi pemberian NE dalam waktu
kurang dari 48 jam Setelah masuk Icu telah dilakukan sebagai standar untuk dukungan gizi
pada pasien kritis di ICU. Dukungan nutrisi awal memiliki potensi untuk mengurangi
keparahan penyakit, mengurangi komplikasi, dan mengurangi lama perawatan di ICU.
(Kreymanna KG, 2006)

Pedoman ESPEN merekomendasikan agar pasien kritis yang secara hemodinamik


stabil dan memiliki fungsi saluran pencernaan baik harus diberi makan lebih awal (<lebih 24
jam) dengan jumlah yang tepat. Dijelaskan bahwa diet oral lebih dipilih daripada nutrisi
internal ataupun parenteral pada pasien kritis yang dapat makan, namun jika asupan oral tidak
memungkinkan, pemberian NE dini dalam waktu 48 jam pada pasien dewasa yang sakit kritis
lebih baik dilakukan/diinisiasi daripada menunda NE ataupun pemberian NP (Singer P,
2019).

Pemberian NE Dini dapat mempertahankan integritas dan fungsi pencernaan,


sehingga meminimalisirkan translokasi organisme. Karena efeknya yang menguntungkan
pada epitel usus dan bakteri komensal, serta manfaat dari pemberian dukungan kalori selama
fase katabolik awal penyakit kritis, maka banyak klinisi yang memulai NE sesegera mungkin
setelah pasien diresusitasi. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang menyebutkan bahwa
inisiasi NE dalam waktu 24 jam Setelah cedera atau masuk Icu akan menghasilkan penurunan
angka kematian yang sinigfikan. Penelitian lain menyebutkan adanya penurunan kejadian
pneumonia ketika NE dimulai dalam 24 jam (Zambelan P, 2011).

Pertimbangan lain dalam pemberian NE dini adalah keterlambatan dukungan nutrisi.


Pedoman praktek klinis merekomendasikan bahwa dukungan nutrisi sejak dini pada pasien
kritis, yang dalam praktiknya dicapai sekitar 50% dari pasien, karena perubahan
hemodinamik awal yang menjadi ciri pasien yang kritis, menghambat pemberian makan dini
dalam banyak kasus (Mehta NM, 2010). Serangkaian penelitian menunjukkan bahwa di
banyak ICU, NE tidak dimulai pada semua pasien yang memenuhi syarat dan ada
keterlambatan dalam waktu pemberiannya. Pedoman ESPEN menjelaskan bahwa terapi
nutrisi harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang dirawat di ICU, terutama selama
lebih dari 48 jam (Singer P, 2019).

Rute Pemberian
Nutrisi internal diberikan melalui pipa ke lambung (gastric tube), nasogastric tube
(NGT), ataupun jejunal, baik secara manual maupun pompa mesin (gastrostomi dan jejanul
perkutaneus). Tidak ada perbedaan yang penting dalam keberhasilan pemberian NE melalui
jurnal dibandingkan dengan melalui lambung. Ketika pemberian makanan melalui jurnal
dapat dengan mudah dilakukan (trauma pasca abdominal atau operasi abdominal elektif)
maka rute ini kemungkinan menjadi pilihan terbaik. Namun pada kasus lain pemberian nutrisi
internal melalui tube jejunal hanya setelah menunjukkan interaksi intoleransi terhadap
pemberian melalui lambung. Pemberiannya pun harus dalam pemantauan yang ketat
(Vignaud M, 2010).

Metode Pemberian

Terapi nutrisi dimulai setelah stabilsasi hemodinamik tercapai pada pasien. Nutrisi
internal dapat diberikan dengan metode kontinu dalam 16 sampai 24 jam atau metode bolus
intermitten dalam rentang waktu lebih dari 10 sampai 15 menit sebanyak 4 sampai 6 kali
perhari. (ZAMBERLAN p, 2011).

Dalam pedoman ESPEN disebutkan bahwa pemberian NE dengan metode kontinu


lebih baik daripada metode bolus. Hal ini ditunjukkan pada sebuah analisis yang menemukan
adanya penurunan yang signifikan Angka kejadian diare pada pemberian nutrisi enteral
metode kontinu dibandingkan dengan metode bolus. Selain itu, sebuah penelitian
observasional menyebutkan bahwa pemberian makan secara kontinu dapat mencapai target
penyembuhan lebih cepat daripada metode bolus (Khan L, 2010).

Gambar 1. Protokol manajemen nutrisi di ICU


Sumber: Barr J, 2004

Indikasi

Semua pasien yang tidak dapat dilakukan pemberian diet oral penuh dalam waktu 3
hari sebaiknya diberikan NE. Namun yang perlu diingat adalah Ne hanya dapat diberikan
pada pasien dengan fungsi saluran gastrointestinal yang normal (Byrnes MC, 2011). Untuk
pasien dengan penurunan kesadaran dan kemampuan menelan yang tidak memadai, tindakan
untuk mencegah aspirasi isi lambung mungkin berguna, termasuk mempertimbangkan
pemberian makan.

Gambar 2. Protokol pemberian NE


Sumber: Stanga Z, 2008

Kontra Indikasi

Tidak semua pasien dapat diberikan nutrisi secara enteral. NE harus ditunda dengan pasien
yang tidak stabil secara hemodinamik ( SINGER p, 2019). Pemberian NE pada pasien yang
cocok atau tidak di resume sitasi sepenuhnya dapat meningkatkan resiko iskemia atau
nekrosis usus. Hal ini masih diperdebatkan karena pada literatur lainnya disebutkan bahwa
nutrisi enteral terbukti meningkatkan aliran darah usus,meningkatkan fungsi usus,dan
berpotensi melindungi terhadap komplikasi terkait usus( Arbeloaa CS,2013)
Pemberian NE sebaiknya dihentikan pada pasien yang mengalami
hipoksemia,hiperkapnia,dan asidosis,untuk membatasi konsumsi oksigen dan produksi CO2.
Proses kelaparan akan memobilisasi simpanan endogen dan menguras energi. Asidosis
mungkin merupakan persistent dan berkontribusi pada disfungsi usus.mengidentifikasi dan
mengobati penyebabnya merupakan prioritas yang lebih penting daripada pemberian inisiasi
NE. Demikian pula pada hipoksemia dan hiperkapnia yang mengancam jiwa dan tidak
terkontrol, NE harus ditunda hingga gejalanya menghilang.

Komplikasi

Komplikasi dari pemberian NE kebanyakan bersifat ringan, walaupun terdapat beberapa


komplikasi serius. Komunikasi dapat dikategorikan berdasarkan masalah yang dihadapi.saat
pemasangan pipa dapat terjadi kesalahan penempatan pipa pada trakea atau paru,atau terjadi
epistaksis. Masalah saat pemberian dapat terkait dengan klinis atau metabolik, misalnya
refeeding syndrome, muntah, aspirasi, azotemia, hipernatremia, dehidrasi atau hiperglikemia,
dan masalah saat pemberian lainnya adalah terkait masalah gizi yaitu obstruksi pipa dan
kontaminasi bakteri.

Aspirasi
Tidak ada hubungan yang konsisten antara volume residu lambung (VRL) dan aspirasi.
Aspirasi dapat terjadi saat VRL rendah dan dapat lebih hebat ketika VRL tinggi. Pengaturan
head-of-bed dapat direkomendasikan, meskipun ketinggian 45° hingga 25° -30° tetap tidak
terbukti. Pemantauan VRL rutin pada pasien dengan ventilator untuk mencegah aspirasi
masih diperdebatkan.

Diare
Dalam 14 hari pertama di ICU setidaknya diare pada hari pertama teijadi pada 14%
pasien. Pemberian lebih dari 60% dari target energi oleh NE, antibiotik, dan anti jamur dapat
menjadi faktor risiko. Sekitar 89% kasus diare berlangsung selama 4 hari atau kurang.

Konstipasi
Paralisis saluran cerna bagian bawah menyebabkan peningkatan waktu transit feses (>5 hari).
Penggunaan opioid berhubungan dengan defekasi yang tertunda, oleh sebab itu penggunaan
profilaksis atau terapi laksatif dan / atau nutrisi enteral yang tinggi serat (prebiotik)
direkomendasikan. Laktulosa dan polietilen glikol lebih efektif merangsang defekasi
dibandingkan plasebo. Defekasi dini berhubungan dengan waktu rawat yang lebih pendek
(Arbelooa CS, 2013).

Refeeding Syndrome

Refeeding syndrome merupakan ha1 penting yang harus diperhatikan pada pasien kritis
karena terjadinya perubahan dari starved state menjadi fed state Secara cepat dengan
pemberian NE atau NP. Sindrom ini ditandai dengan perubahan metabolik dan biokimia
yang terjadi sebagai akibat dari pemberian makanan kembali setelah periode kehlaparan
atau puasa. Perubahan metabolik ini menyebabkan kelainan nonimmune-mediated yang
dapat terjadi secara ringan hingga berat (Tresley J, 2008).

Epidemiologi
Beberapa faktor risiko yang memungkinkan terjadinya refeeding syndrome adalah
anoreksia nervosa, hiperemesis, alkoholisme, kanker, dan orang-orang yang terlantar atau
korban kekerasan. Selain itu, pasien- pasien rumah sakit yang sudah diberikan nutrisi selama
7-10 hart juga berisiko. Studi multicenter melaporkan epidemiologi refeeding syndrome di
antara pasien anoreksia yang dirawat di ICU di Perancis, di mana insidensi refeeding
syndrome di antara pasien-pasien tersebut sebesar 10%. Di antara 7 pasien yang
meninggal, 5 di antaranya mengalami kegagalan multipel organ akibat gangguan metabolik
berat (Vignaud M, 2010).

Patofisiologi
Ketika terjadi kelaparan, kadar glukosa menurun dalam 24 hingga 72 jam. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi glukagon dan penurunan sekresi insulin. Kadar glukosa dipertahankan
dengan glikogenolisis. Setelah persediaan glikogen habis dalam lebih dari 72 jam, kebutuhan
glukosa dipenuhi dengan glukoneogenesis, dimana sumber non- karbohidrat dimetabolisme
menjadi glukosa. Protein yang paling penting dalam proses ini adalah alanin. Selain itu, asam
lemak yang dioksidasi di hepatosit menghasilkan badan keton yang kemudian dikonversi
menjadi asetil-koenzim-A yang menghasilkan energi melalui siklus Krebs. Produksi energi dari
laktat dan piruvat (hasil glikolisis) dan asam amino, terjadi via siklus Cori. Adaptasi metabolik
terjadi untuk memastikan metabolisme lemak tetap terjadi. Terdapat resultan kehilangan lemak
dan protein tubuh dan disertai deplesi kalium, fosfat, dan magnesium. Mekanisme homeostatik
mengatur konsentrasi ion- ion tersebut tetap di dalam intraselular sehingga kadar serum tetap
normal walaupun terdapat pengurangan dalam tubuh (Khan L, 2010). Pada Gambar 3
dijelaskan tentang patofisiologi starvation dan refeeding syndrome.

Pemberian kembali nutrisi pada individu yang kelaparan atau puasa berdampak pada
penghentian proses glukoneogenesis dan metabolisme anaerobik secara cepat. Hal ini
dimediasi oleh peningkatan serum insulin secara cepat yang terjadi ketika pemberian nutrisi
dilakukan kembali. Insulin menstimulasi pergerakan potasium ekstraselular, fosfat, dan
magnesium ke kompartemen intraselular. Pengosongan ion-ion intraselular dan gradien
konsentrasi yang luas menyebabkan perpindahan yang cepat dari ion-ion ekstraselular.
Reaktivasi jalur metabolisme carbohydrate-dependent membutuhkan tiamin, suatu kofaktor
yang dibutuhkan untuk reaksi enzimatik selular. Defisiensi fosfat, magnesium, potasium, dan
tiamin terjadi dalam berbagai derajat dan memiliki berbagai efek yang berbeda. Selain itu,
hiperinsulinemia akan menyebabkan penurunan eksresi sodium dan air oleh ginjal. Akibat
retensi tersebut, terjadilah ekspansi cairan di kompartemen ekstraseluler dan berpotensi
menyebabkan edema paru hingga gagal jantung kongestif(Khan L, 2010). Pada Gambar 3
dijelaskan tentang patofisiologi starvation dan refeeding syndrome.

Gambar 3. Patofisiologi Stawation dan Refeeding Syndrome


Gambaran Klinis
Gejala refeeding syndrome beragam, tidak terduga, dan mungkin terjadi tanpa peringatan.
Gejala-gejala muncul karena terjadi perubahan elektrolit sehingga terjadi perubahan
permeabilitas membran yang merusak fungsi se1 saraf, jantung, dan otot. Gejala yang ditimbulkan
sangat beragam seperti mual, muntah, letargi, insufisiensi pernafasan, gagal jantung, hipotensi,
aritmia, delirium, koma, hingga kematian (Stanga Z, 2008). Pada tabel 1 dijelaskan tentang
manifestasi klinis refeeding syndrome.

Tabel 1. Manifestasi klinis abnormalitas elektrolit pada refeeding syndrome


Tata Laksana dan Pencegahan
Tata laksana utama adalah mengoreksi abnormalitas biokimia dan ketidakseimbangan
cairan untuk mendekati normal. Waktu optimal untuk mengoreksi ketidakseimbangan
tersebut masih menjadi kontroversi dan tata laksana yang optimal masih belum
dikonfirmasi. Pemeriksaan elektrolit secara rutin dilakukan pada pasien-pasien yang
berisiko tinggi mengalami refeeding syndrome sebelum memulai pemberian nutrisi. Panduan
untuk penggantian elektrolit akan dijelaskan di Tabel 2.

Tabel 2. Penggantian elektrolit


Selanjutnya untuk pemberian nutrisi masih belum ada pedoman yang menjelaskan jumlah
kalori awal yang diberikan untuk pasien-pasien yang berisiko mengalami refeeding syndrome.
Oleh sebab itu, pada pasien yang mengalami sakit berat, sangat penting untuk menghitung
sumber energi dan kalorinya, seperti infus dekstrosa (Khan L, 2010).

Pemberian kalori awal yang dianjurkan adalah sebesar 20-75% dari perkiraan
kebutuhan harian untuk pasien dewasa dan anak, atau sekitar 5-20 kkal/kg/hari untuk pasien
dewasa tergantung keparahan kekurangan nutrisinya sebelum pemberian makanan Tatalaksana
yang ada saat ini umumnya merekomendasikan pemberian nutrisi secara perlahan dan jumlah
energi yang rendah, dan The National
Institute for Clinical Excellence (NICE) menyarankan peningkatan asupan energi secara
bertahap, dengan kenaikan berat badan mingguan 0,5-1 kg dimana masukan energi awal
adalah dibawah kebutuhan harian. Pemberian makanan kembali yang terlalu berhati-hati
dapat menyebabkan unrefeeding syndrome yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien sebagai akibat dari asupan yang tidak adekuat (Stanga Z, 2008). Pemberian nutrisi
menurut NICE akan dijelaskan di tabel 3.

Tabel 3. Pemberian Nutrisi Menurut NICE

Sebagai tambahan, pedoman pemberian suplementasi vitamin pada pasien-pasien yang


berisiko mengalami refeeding syndrome juga masih sedikit. Beberapa penulis
merekomendasikan pemberian tiamin 50-300 mg sebelum memulai pemberian makanan
dan dilanjutkan dengan dosis
100 mg per hari. Pada pasien anak-anak, suplementasi tiamin juga diberikan dengan dosis
10- 25 mg/ hari dan dilanjutkan dengan 5-10 mg/ hari sampai 1 bulan.

Ketika memulai pemberian makanan kembali, perlu juga diperhatikan kadar sodium dan
keseimbangan cairan. Beberapa studi merekomendasikan pemberian awal cairan yang

terbatas untuk mencegah gagal jantung kongestif. Kadar sodium perlu diperhatikan secara
ketat untuk mencegah hiponatremia yang dapat menyebabkan sekuele neurologis.

Tindakan preventif merupakan kunci kesuksesan penatalaksanaan re eeding syndrome.


Tindakan- tindakan yang perlu dilakukan meliputi anamnesis yang rinci, pemeriksaan klinis
dan identifikasi pasien- pasien yang berisiko tinggi mengalami sindrom ini dengan melibatkan
nutrisionis. Selain itu, perlu juga dilakukan pemantauan baik secara klinis maupun biokimia
terhadap pasien-pasien yang berisiko mengalami refeeding syndrome. Pemantauan klinis yang
dilakukan berupa identifikasi dini pasien-pasien yang berisiko tinggi mengalami sindrom ini,
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, mencatat frekuensi pemberian makanan,
mendokumentasikan asupan dan keluaran cairan, serta mencatat perubahan berat badan.
Sementara itu, pemantauan biokimia yang dilakukan meliputi kimia darah dan elektrolit, kadar
gula darah, EKG, serta sumber energi lainnya (Hoffer LJ, 2006).

PENUTUP

Kesimpulan
Nutrisi enteral merupakan rute pilihan utama dukungan nutrisi untuk pasien kritis yang
tidak dapat menerima nutrisi oral yang memadai. Dukungan nutrisi enteral secara dini
memiliki potensi untuk mengurangi keparahan penyakit, mengurangi komplikasi, dan
mengurangi lama rawat inap di ICU. Nutrisi enteral dapat diberikan kepada pasien ICU
melalui pipa ke dalam lambung, nasogastrik tube, atau jejunal. Nutrisi enteral dapat
diberikan dengan metode kontinu ataupun bolus. Namun tidak semua kasus dapat diberikan
nutrisi enteral. Nutrisi enteral dapat diberikan pada pasien dengan saluran gastrointestinal
yang berfungsi normal. Walaupun nutrisi enteral ini dianggap sebagai metode pemberian
nutrisi yang aman, namun komplikasi dalam penggunaannya juga dapat terjadi, seperti
refeeding syndrome.

Saran-Saran
Perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi yang berkelanjutan bagi para klinisi dan seluruh
tenaga kesehatan yang menangani pasien-pasien di ICU agar memiliki pemahaman yang
mendalam tentang
pentingnya pemberian nutrisi, khususnya nutrisi enteral.

DAFTAR PUSTAKA
Arbeloaa CS, Elsona MZ, Monzona LL, Boneta TM. Enteral Nutrition in Critical Care. J
Clin Med Res. 2013

Barr I, Hecht M, Flavin K. Outcomes in Critically Ill Patients Before and After the
Implementation of an Evidence-Based Nutritional Management Protocol. Chest. 2004

Blackburn GL, Wollner SA, Bistrian BR. Nutrition Support in the Intensive Care Unit.
Arch Surg. 2010

Byrnes MC, Stangens J. Refeeding in the ICU: An adult and pediatric problem. Division
of Surgical Critical Care. University of Minneasota. USA: Lippincott Williams &
Wilkins. 2011

Desai SV, McClave SA, Rice TW. Nutrition in the ICU; An Evidence-Based Approach.
American College of Chest Physicians. 2014

Gupta B, Agrawal P, Soni KD, Yadav V, et al. Enteral Nutrition Practices in The Intensive
Care Unit: Understanding of Nursing Practices and Perspectives. Journal of
Anesthesiology Clinical Pharmacology. 2012

Heyland DK, Stephens KE, Day AG, McClave SA. The Success Of Enteral Nutrition And
ICU-Acquired Infections: A Multicenter Observational Study. Clinical Nutrition.
2011

Hoffer LJ. “ Metabolic consequences of starvation” in Modern Nutrition in Health and


Disease, Shils M, Olson J.A., Shike M., Ross AC, Eds., Lippincott Williams and
Wilkins, Baltimore, Md, USA. 2006

Khan L, Ahmed I, Khan S, MacFie J. Refeeding Syndrome: A Literature Review. Hindawi


Publishing Corporation Gastroenterology Research and Practice. United Kingdom.
2010

Kreymanna KG, Bergerb MM, Deutzc NEP, Hiesmayr M. ESPEN Guidelines on Enteral
Nutrition. Intensive care. Clinical Nutrition. 2006
Mehta NM, McAleer D, Hamilton S, Naples E. Challenges to Optimal Enteral Nutrition in
a Multidisciplinary Pediatric Intensive Care Unit. Journal of Parenteral and Enteral
Nutrition. 2010

Ridley JE, Davies AR. Practicalities Of Nutrition Support In The Intensive Care Unit: The
Usefulness Of Gastric Residual Volume And Prokinetic Agents With Enteral
Nutrition. Nutrition. May;27(5):509-12. 2011

Singer P, Blaser AR, Berger MM, Alhazzani W. ESPEN Guideline On Clinical Nutrition
In The Intensive Care Unit. Clinical Nutrition. 2019

Stanga Z, Brunner A, Leuenberger M. Nutrition In Clinical Practice-The Refeeding


Syndrome: Illustrative Cases And Guidelines For Prevention And Treatment.
European Journal of Clinical Nutrition. 2008

Tuna M, Latifi R, El-Menyar A, Thani HA. Gastrointestinal Tract Access For Enteral
Nutrition In Critically 111 And Trauma Patients: Indications, Techniques, And
Complications. Eur J Trauma Emerg Surg. 2013

Tresley I, Shen P. Refeeding Syndrome: Recognition Is the Key to Prevention and


Management. Journal of American Dietetic Association. 2008

Vignaud M, Constantin JM, Ruivard M. Refeeding Syndrome Influences Outcome of


Anorexia Nervosa Patients In Intensive Care Unit: An Observational Study. Crit
Care. 2010

Williams TA, Leslie GD, Leen T, Mills L. Reducing Interruptions To Continuous Enteral
Nutrition In The Intensive Care Unit: A Comparative Study. Journal of Clinical
Nursing. 2013

Zamberlan P, Delgado AF, Leone C, Feferbaum R. Nutrition Therapy in a Pediatric


Intensive Care Unit: Indications, Monitoring, and Complications. Journal of
Parenteral and Enteral Nutrition. 2011
Zanten ARH, Sztark F, Kaisers UX, Zielmann S. High-Protein Enteral Nutrition Enriched
with Immune-Modulating Nutrients vs Standard High-Protein Enteral Nutrition and
Nosocomial Infections in the ICU. JAMA. 2014

Anda mungkin juga menyukai