Anda di halaman 1dari 33

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

REAKSI ANAFILAKSIS

Pembimbing :
dr. Vincentius Donnie Pramudita, Sp.PD

Mahasiswa :
Gusti Ayu Teja Devi Megapuspita (1302006027)
Ida Ayu Cindy Agririsky (1302006074)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH
TAHUN 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan yang berjudul “Reaksi Anafilaksis” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar.

Dalam penyusunan responsi kasus ini, penulis banyak memperoleh


bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:

1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Departemen/KSM Ilmu


Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar,
3. dr. Vincentius Donnie Pramudita, Sp.PD selaku pembimbing yang
senantiasa memberikan informasi dan masukan dalam penyusunan laporan
ini,
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna.Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.Semoga laporan
ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan.

Denpasar, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
2.1 Definisi .................................................................................................... 2
2.2Etiologi ..................................................................................................... 2
2.3 Patofisiologi ............................................................................................ 3
2.4 Diagnosis ................................................................................................. 5
2.5 Tatalaksana.............................................................................................. 7
2.6 Diagnosis Banding ............................................................................... 10
BAB III. LAPORAN KASUS ............................................................................. 11
3.1.Identitas ................................................................................................. 11
3.2.Anamnesis ............................................................................................. 11
3.3.Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 13
3.4. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 15
3.5. Diagnosis .............................................................................................. 17
3.6.Penatalaksanaan .................................................................................... 17
BAB IV. KUNJUNGAN LAPANGAN .............................................................. 19
4.1 Alur kunjungan lapangan ................................................................................ 19
4.2 Identifikasi Masalah ........................................................................................ 19
4.3 Analisa Kebutuhan .......................................................................................... 19
4.4 Saran dan KIE ................................................................................................. 24
4.5 Denah Rumah .................................................................................................. 26
4.6 Foto Kunjungan ............................................................................................... 26
Simpulan ............................................................................................................... 27
Daftar Pustaka .................................................................................................... 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN
Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis
merupakan salah satu kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada
definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan
untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.1
Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan
mediator inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan
juga kemokin.2 Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus,
vasodilatasi, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan
gambaran urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi.3

Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasarkan gejala


yang dimiliki pasien.1 Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang dapat
mengaktivasi sel mast dan basofil, namun pada umumnya terdapat beberapa alergen
seperti makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari hewan, latex, dan injeksi
alergen saat immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak ditemukan
adanya pencetus.2-5

Kasus alergi, terutama di Inggris tergolong banyak, dimana menjangkit


sekitar 30% dewasa dan 40% anak-anak.6 Insiden anafilaksis sendiri kurang dapat
diperkirakan karena tidak adanya definisi pasti sehingga sering menimbulkan
diagnosis yang kurang tepat. Namun berdasarkan literatur American College of
Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis kejadian
anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan kini diperkirakan semakin meningkat.7,8
Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana sebagian kasus kematian muncul
dalalm waktu satu jam setelah paparan alergen yang disebabkan oleh edema saluran
pernafasan bagian atas dan spasme bronkus, ataupun hipotensi dan kegagalan
sirkulasi.9-12 Meskipun angka mortalitas dari anafilaksis rendah, namun penanganan
yang cepat dan tepat sangat diperlukan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1

Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan


dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara
tunggal, namun dalam praktek sehari-hari sering ditemukan adanya dua atau lebih
jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan.13

Reaksi anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala
muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh.13 Terdapat berbagai definisi
mengenai anafilaksis, namun pada umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis
merupakan keadaan darurat yang potensial dan dapat mengancam nyawa. Gejala
yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi dikenal dengan reaksi anafilaktik,
sedangkan reaksi yang tidak melalui reaksi imunologik disebut reaksi anafilaktoid,
namun karena gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan,
maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.14

2.2 ETIOLOGI

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE


ataupun melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari
anafilaksis, terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.14

Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan


pada orang dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan
menjadi pemicu, namun beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga

2
obat seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi
penyebab tersering dari anafilaksis.15

Tabel 1.Jenis Alergen pada Kasus Anafilaksis.15,16

Sengatan hewan T a w o n , l e b a h
Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang almond, kacang brazil, hazel
M a k a n a n Susu sapi, telur, ikan, lobster, kepiting, udang, cumi-cumi, buncis, krustasea, pisang, siput, daging ayam, daging kalkun, daging babi
Antibiotik Penisilin, cephalosporin, amphotericin, ciprofloxacin, vancomycin
Obat anestesi Suxamethonium, atracurium, obat -obat an induksi
Obat lainnya NSAID, ACEI, gelatin, protamin, vitamin K, etoposide, acetazolamide, pethidine, anestesi lokal, diamorphine, streptokinase
K o n t r a s Iodinated, technetium, fluorescein
L a i n n y a L a t e x , c a t r a m b u t , h y d a t i d

2.3 PATOFISIOLOGI

2.3.1 Reaksi tipe I

Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh.
Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh fagosit, diproses
dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan melepas sitokin
dan merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan diikat oleh sel yang
memiliki reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar
ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang
berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel
mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang
akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin, mediator
lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul gejala
beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala yang segera muncul setelah paparan
alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.13

3
2.3.2 Reaksi tipe II

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG
atau IgM karena paparan antigen.Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat
mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri
juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor antibody
dependent cell cytotoxicity.Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel darah
merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian kerusakan
jaringan pada penyakit autoimunseperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga
timbul melalui mekanisme ini.13

2.3.3 Reaksi tipe III

Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya
endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.Antibodi
yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks tersebut akan
mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan berbagai mediator terutama
macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut
nantinya akan merusak jaringan sekitar. Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi
kuman patogen yang persisten seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora
jamur, atau bahkan dari jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun.13

2.3.4 Reaksi tipe IV

Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan hi antigen, sehingga
disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi
Delayed Type Hypersensitivity(DTH) yang terjadi melalui peran CD4+ dan T cell
mediated cytolysis dengan peran CD8+.13

Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai
sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan pada
reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk makrofag yang teraktivasi seperti enzim
hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi.

4
Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi
granuloma.13

Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh


karena itu reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana
kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari CD8+ yang langsung membunuh sel
target. Sebagai contoh pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat
sitopatik namun kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon limfosit T sitotoksik
terhadap hepatosit yang terinfeksi.13

2.4 DIAGNOSIS

Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup beberapa organ, dimana


gejala-gejala dapat dilihat pada Tabel 2. Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan
berdasarkan pada tanda klinis dan gejala yang timbul dimana kriteria Sampson yang
telah dipublikasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Dari Anafilaksis.17


K u l i t Urtikaria,Angioedem , Eritema,Pruritus
G a s t r o i n t e s t i n a l Mual, Muntah,Nyeri perut,Diare
Saluran Napas Bagian Atas Kongesti, Suara serak , Bersin , Batuk ,
Orofaringeal atau laringeal edema
Saluran Napas Bagian Bawah Spasme bronkus , Mengi ,Dada terasa terikat

N e u r o l o g i Kepala terasa ringan, Pusing, Bingung

O r a l Gatal, Gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau palatum


K a r d i o v a s k u l e r Hipotensi, Pusing, Sinkop, Takikardia
L a i n n y a A n s i e t a s

Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari


anafilaksis.Informasi mengenai manifestasi klinis seperti urtikaria, angioedema,
obstruksi jalan nafas, dan juga paparan alergen sebelum gejala seperti makanan,
obat, ataupun gigitan serangga perlu diperoleh melalui anamnesis. Tidak adanya
manifestasi pada kulit menimbulkan keraguan dalam diagnosis anafilaksis, namun
tidak adanya manifestasi tersebut tidak dapat secara langsung menyingkirkan
diagnosa anafilaksis.17

5
Penyebab dari munculnya suatu anafilaksis dapat diketahui dengan
pemeriksaan IgE in vitro atau skin test. Diagnosis klinis dari reaksi ini dapat
didukung dengan adanya peningkatan konsentrasi sel mast dan juga mediator
basofil seperti histamin pada plasma atau tryptase total baik dalam serum atau
plasma.17

Tabel 3. Kriteria Klinis Untuk Anafilaksis.18

Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah ini, sangat mendukung diagnosa anafilaksis.
1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir-lidah-uvula).
D i t a m b a h d e n g a n m i n i m a l s a t u d a r i :
 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*, hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia, sinkop, inkontinensia)
2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang dicurigai (menit-beberapa jam)
 Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan, bengkak pada bibir-lidah-uvula)
 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*, hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia, sinkop, inkontinensia)
 Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya
 Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik menurun >30%**
 Dewasa: sistolik <90mmHg atau penurunan sistolik >30% dari baseline

* P E F : P e a k E x p i r a t o r y F l o w
* * D e f i n i s i t e k a n a n d a r a h s i s t ol i k ya n g r e n d a h u n t u k a n a k - an a k
 1 b u l a n - < 1 t a h u n : < 7 0 m m H g
 1-10 tahun: kurang dari (70mmHg + [2 x usia])
1 1 - 1 7 t a h u n : < 9 0 m m H g

6
2.5 TATALAKSANA

Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan


Airway, Breathing dan Circulation. Saat seorang pasien memenuhi kriteria,
pemberian epinephrine harus segera diberikan karena merupakan terapi utama
anafilaksis.18 Epinephrine 1:1000 diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,01
mg/kg untuk anak-anak dengan dosis maksimum 0,5mg atau 0,3-0,5mg untuk
dewasa, dapat diulang setiap 5-15 menit bila dibutuhkan.18,19 Dosis tersebut
direkomendasikan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah.
Pemberian melalui rute intra muskuler terutama pada anterolateral paha dikatakan
dapat meningkatkan konsentrasi epinephrine dalam darah dengan waktu yang lebih
cepat bila dibandingkan dengan rute subkutan ataupun intra muskuler pada
deltoid.Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi khusus seperti hipotensi yang
berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada pemberian intra
muskuler ataupun resusitasi cairan. Dosis epinephrine intra vena dapat diberikan
secara bolus 5-10ug (0,2ug/kg) pada kasus hipotensi dan 0,1-05mg pada henti
jantung. Pemberian secara intra vena harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat
menyebabkan aritmia sehingga pemasangan monitor jantung
sangatdirekomendasikan. Infus epinephrine dosis rendah yang diberikan secara
kontinyu merupakan pilihan yang sangat aman dan efektif apabila pemberian
dengan rute intra vena harus dilakukan.18

Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau hipoksemia,


dianjurkan pemberian oksigen melalui sungkup non rebreathing ataupun
endotracheal tube. Beta 2 agonis yang diberikan secara inhalan, seperti albuterol,
dapat berguna untuk mengatasi spasme bronkus yang refrakter terhadap
epinephrine.18

Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif (10-20ml/kg) apabila


kondisi hipotensi tidak teratasi dengan pemberian epinephrine.Pemberian kristaloid
dalam volume besar diperlukan pada 5-10menit pertama, dan dapat dilanjutkan
dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti noradrenalin, vasopressin, atau
metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang tidak dapat terkoreksi
dengan pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan.18

7
Terapi lini kedua untuk anafilaksis adalah antihistamin (H1 dan H2
antagonis), dimana obat ini memiliki waktu kerja yang lebih lambat dari
epinephrine, dan hanya memiliki efek minimal dalam tekanan darah.Pemberian
antihistamin sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria,
angioema, ataupun pruritus.Dipenhydramine dapat diberikan secara intra vena atau
intra muskuler dengan dosis 25-50mg, sediaan oral dapat diberikan untuk kasus
ringan. Kombinasi dari H1 dan H2 antagonis akan memiliki hasil yang lebih efektif
dalam penanganan manifestasi pada kulit. Ranitidin dan cimetidine merupakan obat
pilihan dari golongan H2 antagonis.18

Efektivitas pemberian kortikosteroid yang tinggi pada kasus alergi lainnya


membuat para klinisi menggunakan obat ini sebagai terapi pada anafilaksis untuk
mencegah reaksi berkepanjangan ataupun reaksi bifasik. Metilprednisolone dapat
diberikan 1-2mg/kg setiap 6jam atau dapat dipertimbangkan pemberian prednison
oral 1mg/kg dengan dosis maksimal 50mg pada serangan ringan.18

Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, observasi satu hingga


72jam terhadap pasien harus dilakukan untuk mencegah fase bifasik yang muncul
karena efek epinephrine yang sudah mulai hilang.Munculnya fase bifasik pada
anafilaksis dilaporkan pada 1-20% kasus, terutama serangan berat. Keterlambatan
pemberian epinephrine ataupun diperlukannya dosis ekstra untuk mengontrol
serangan awal memiliki hubungan dengan munculnya fase ini.18

8
Algoritma Penanganan Reaksi Anafilaksis

Reaksi Anafilaksis?

Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure

Diagnosis:
- Onset akut
- Kondisi airway dan/atau breathing yang mengancam jiwa, dan/atau
masalah pada sirkulasi
- Biasanya terdapat perubahan pada kulit
-

- Panggil bantuan
- Baringkan pasien di media datar
- Elevasi tungkai pasien

Adrenalin

Ketika kemampuan penolong dan peralatan memadai :


- Amankan jalan napas
- Berikan oksigen
- Resusitasi cairan intravena
- Chlorpeniramine
- Hydrocortisone
Monitoring:
- Pulse Oksimetri
- EKG
- Tekanan Darah

9
2.6 DIAGNOSIS BANDING

Tabel 4. DiagnosisBanding Anafilaksis.19

P r e s e n t a s i D i a g n o s i s B a n d i n g
H i p o t e n s i S y o k s e p t i k
R e a k s i v a s o v a g a l
S y o k k a r d i o g e n i k
S y o k h i p o v o l e m i k
Gangguan pernapasan dengan wheezing atau stridor Corpus allienum pada saluran nafas
Asma atau eksaserbasi PPOK
Sindrom disfungsi pita suara
P o s t p r a n d i a l c o l l a p s e Corpus allienum pada saluran nafas
Konsum si m onosodium gl ut am a t
K o n s u m s i s u l f i t e
Keracunan ikan scombroid
Kemerahan (flushing) C a r c i n o i d
Postmenopausal hot flushes
S i n d r o m r e d m a n ( v a n c o m yc i n )
L a i n n y a S e r a n g a n p a n i c
Systemic mastocytosis
Angioedema herediter
Leukemia dengan produksi histamin berlebih

10
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.Identitas Pasien

Nama :NKK

Umur : 28 tahun

Jenis kelamin :Perempuan

Agama : Hindu

Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. By Pass Ngurang Rai No. 340

No RM : 17045157

Tanggal MRS : 04-11-2018 pukul 11.12 WITA

Tanggal Pemeriksaan : 04-11-2018 pukul 11.30 WITA

3.2.Anamnesis
Keluhan Utama: Bengkak pada bibir

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang sadar dengan keluhan utama bengkak pada bibir.
Keluhan dirasakankurang lebih 2,5 jam SMRS. Bengkak mulai muncul
setelah pasien meminum obat yang didapat dari dokter praktek umum.Kurang
lebih 2 jam setelah pasien meminum obat tersebut, bibir pasien mulai
bengkak. Bengkak kemudian juga muncul pada kedua mata pasien. Bengkak
pada mata dan bibir dirasakan sudah mulai berkurang saat ini.

Sebelum keluhan bengkak pada bibir muncul, pasien mengeluh gatal-gatal


pada kulit telapak tangan dan kaki.Rasa gatal dirasakan sejak 2 jam setelah
meminum obat batuk dari dokter praktek umum. Gatal pada kulit tangan dan
kaki juga disertai warna kemerahan pada area kulit tersebut.Bentol-bentol
pada kulit tidak ada.

11
Pasien juga mengeluh sesak napas.Sesak dirasakan seperti rasa berat di dada
saat pasien bernapas.Sesak dirasakan berbarengan dengan bengkak pada bibir
dan mata.Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan tidak membaik dengan
perubahan posisi.

Pasien juga mengeluh demam sejak pagi SMRS (4/11/2018) namun tidak
diukur suhunya.Riwayat batuk dan pilek dirasakan pasien sejak 2 minggu
yang lalu.Batuk tidak disertai dahak dan pilek dengan sekret berwarna
bening.Pasien juga mengeluh nyeri perut bagian atas yang dirasakan pasien
sejak 2 minggu yang lalu.Nyeri dirasakan hilang timbul dan terasa menusuk-
nusuk, nyeri dirasakan tidak menjalar hanya pada satu tempat saja. Nyeri
perut dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu.Nyeri perut juga diertai rasa mual
dan nafsu makan menurun.Pasien juga mengeluh sempat muntah 3 hari yang
lalu.Muntah dirasakan sehabis pasien makan.Muntahan berisi sisa
makanan.Riwayat muntah darah tidak ada.BAB dikatakan normal, BAB
terakhir 1 hari SMRS, tidak ada riwayat BAB cair maupun BAB bercampur
darah dan BAB hitam.BAK dikatakan normal.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan:


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.Pasien juga
menyangkal memiliki riwayat alergi obat-obatan atupun makanan
sebelumnya.Riwayat berobat ke dokter praktek umum dan diberikan
parasetamol, ondansentron dan bufanticid forte yang sudah diminum sejak
tanggal 28/10/18. Pada tanggal (4/11/18) pasien kembali berobat dan
mendapat tambahan obat yaitu Braxidin (chlordiazepoxide, clidinium
bromide) yang baru pertama kali diminum oleh pasien dan setelah meminum
obat tersebut sekitar 2 jam kemudian pasien merasa gatal pada tangan dan
kaki disertai bengkak pada kedua mata dan bibir disertai sesak.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal oleh pasien. Anak
pasien dikatakan memiliki riwayat asma.Riwayat alergi dan asma pada
anggota keluarga lainnya dikatakan tidak ada.Riwayat penyakit sistemik
seperti penyakit jantung dan hipertensi disangkal oleh pasien.

12
Riwayat Sosial:
Pasien bekerja sebagai pegawai di salah satu restoran di daerah sanur.Pasien
merantau ke Denpasar dan tinggal di rumah kos bersama suami dan anaknya
yang berusia 8 tahun. Pasien menyangkal adanya riwayat minum minuman
beralkohol dan merokok.

3.3. Pemeriksaan Fisik (4-11-2018 pukul 11.30 WITA)


Tanda-tanda Vital
KeadaanUmum : Baik
Kesadaran/GCS : E4V5M6
TekananDarah : 110/80 mmHg
Nadi : 88x/menitreguler
LajuPernafasan : 20x/menit
Suhu Aksila : 37,5oC
SkorNyeri : 0/10
Berat Badan : 63 kg
TinggiBadan : 160 cm
BMI : 24,6 kg/m2
Status Gizi : Gizi Lebih

PemeriksaanUmum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtivaanemis (-/-), ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm, edema palpebral
(+/+)
Leher : JVP 0 cm H2O, pembesarankelenjargetahbening (-)
THT
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-), pendengaran normal
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)

13
Mulut : Gusi berdarah (-) ulkus lidah (-), papillidahatrofi (-),
bibir pucat (-), edema (+)
Thoraks : Simetrissaatstatisdandinamis
Cor
Inspeksi : Iktuskordistidaktampak
Palpasi : Iktuskordisterabapada ICS V midclavicular line
sinistra, kuatangkat (-), thrill (-)
Perkusi :
Batas kananjantung : parasternal line dekstra
Batas kirijantung : midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetrissaatstatisdandinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N/Menurun, pergerakansimetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler+ + Rhonki - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), scar (-), urtikaria (-)
Auskultasi : Bisingusus (+) normal
Palpasi : Hepar, lien, danginjaltidakteraba, nyeritekan (-)
Perkusi : Pembesaran hepar lien (-), nyeri tekan (-), nyeri ketuk
(-)
Ekstremitas : Hangat + + Edema - -
+ + - -
Urtikaria (-)

14
3.4.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah lengkap (4 November 2018 pukul 12.28 WITA)

Parameter H a s i l U n i t Nilai Rujukan K e t e r a n g a n

W B C1 8 . 2 8 103/µL 4 . 1 – 1 1 . 0T i n g g i
- N E 6% 6 . 3 1 % 4 7 – 8 0
- L Y 2 %7 . 7 1 % 1 3 – 4 0
- M O 5% . 2 6 % 2.0 – 11.0
- E O 0% . 2 1 % 0.0 – 5.0
- B A 0% . 5 1 % 0.0 – 2.0
- N E 1# 2 . 1 2 103/µL 2 . 50 – 7. 5 0T i n g g i
- L Y 5#. 0 7 103/µL 1 . 00 – 4. 0 0T i n g g i
- M O0 #. 9 6 103/µL 0.10 – 1.20
- E O 0#. 0 4 103/µL 0.00 – 0.50
- B A 0#. 0 9 103/µL 0.0 – 0.1
R B C5 . 2 8 106/µL 4 . 5 – 5 . 9T i n g g i

H G B1 4 . 0 5 g / d L 12.0 – 16.0
H C T4 6 . 4 3 % 3 6 .0 – 46 . 0T i n g g i
M C V8 7 . 9 5 f L 80,0 – 100,0
M C H2 6 . 6 1 P g 26.00 – 34.00

M C H C3 0 . 2 5 g / d L 31.00 – 36.00 R e n d a h
R D W1 1 . 7 4 % 11.6 – 14.8
P L T1 2 7 . 4 0 103/µL 1 4 0 – 4 4 0R e n d a h
M P V6 . 5 2 f L 6 . 8 – 1 0 . 0R e n d a h
Glukosa sewaktu 123 mg/dL 7 0 - 1 4 0

15
2. Pemeriksaan Kimia Darah + Elektrolit(4 November 2018 pukul
12.28 WITA)

Parameter H a s i lU n i t Nilai Rujukan K e t e r a n g a n


A S T / S G O T1 8 U / L 11.00 – 27.00
A L T / S G P T1 9 . 3 0 U / L 11.00 – 50.00
A l b u m i n4 . 4 0 g / d L 3.40-4.80
B U N8 . 4 0 mg/dL 8.00 – 23.00
K r e a t i n i n0 . 7 2 mg/dL 0.70 – 1.20
N a1 3 9 mmol/L 136 – 145
K 3 . 4 4 mmol/L 3 . 5 0 – 5 . 1 0R e n d a h
C l1 0 0 . 2 Mmol/L 9 6 – 1 0 8

3. Pemeriksaan Penunjang Rontgen Thorak (4/11/2018)

Kesimpulan:
Cor: bentuk dan kesan normal
Pulmo: tak tampak infiltrate/ nodul. Corakan bronkovaskuler
normal
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang: tak tampak kelainan
Kesan :
Cor dan Pulmo tak tampak kelainan

16
4. Pemeriksaan Penunjang EKG(4/11/2018)

Interpretasi:

Irama : sinus
HR : regular 120 x/menit
Axis : normal
Gel P : p mitral
PR interval ; normal (5mm)
QRS complex : normal (0,04 s)
Sv2 + Rv5 : normal (15 mm)
Rasio R/S di V1 :normal (1/4)
Kesimpulan : irama sinus takikardi 120x/menit regular

3.5 DIAGNOSIS KERJA


1. Reaksi Anafilaksis ic suspek drug induced Braxidin (chlordiazepoxide,
clidinium bromide)
2. Dyspepsia syndrome
3. ISPA

3.6 PENATALAKSANAAN

Planning terapi :

- Hindari obat pencetus


- Adrenalin 0,3 cc IM
- O2 nasal canule 3-4 lpm
- Infus NaCl 0,9 % 20 tpm
- Dipenhidramine 10 mg tiap 8 jam IM
- Hidrokortison 100 mg tiap 8 jam IV

17
- Omeprazole 40 mg tiap 12 jam IV
- Sukralfat 15 ml tiap 8 jam PO
- Azytromicin 500 mg tiap 24 jam PO
- N-acetylcystein 200 mg tiap 8 jam PO
- Diet : hindari produk laut, bumbu siap saji, penyedap

Planning Diagnostik :
- IgE total
Monitoring :
- Tanda vital
- Keluhan

BAB IV

KUNJUNGAN LAPANGAN

18
4.1Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan lapangan dilakukan pada tanggal 10 November 2018, bertempat


di rumah kos pasien Jl. By Pass Ngurah Rai No. 340 Sanur, Denpasar. Penulis
meminta izin dan membuat janji terlebih dahulu dengan pasien sebelum
dilakukannya kunjungan.Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan dan mengamati kondisi pasien secara langsung, menemukan
permasalahan yang ada, bersama-sama mencari bentuk penyelesaian, dan juga
untuk memberikan edukasi.Pada saat kunjungan dilakukan, pasien mengatakan
bahwa kondisinya sudah jauh lebih baik. Adapun intervensi yang dilakukan adalah:

a. Edukasi pada pasien untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit


yang dialami.

b. Menyadarkan pasien akan pentingnya mengenali faktor pencetus dan tindakan


yang dapat dilakukan apabila terjadi reaksi alergi terutama anafilaksis.

c. Memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan pasien dengan


memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik.

4.2Identifikasi Masalah

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam


hal menghadapi penyakitnya adalah:

1. Pasien masih kurang mengerti mengenai penyakitnya, terutama mengenai


perjalanan penyakit, faktor risiko, gejala, komplikasi yang mungkin timbul, serta
penanganannya.

2. Pasien belum bisa mengenali dengan jelas hal-hal apa saja yang dapat memicu
timbulnya reaksi alergi.
4.7 Analisis Kebutuhan Pasien
a. Kebutuhan Fisik-Biomedis
Kecukupan Gizi

19
Sehari-harinya pasien makan dengan frekuensi 2-3 kali per hari. Komposisi
makanan setiap kali makan dikatakan tidak selalu sama, bergantung pada
makanan yang tersedia ketika itu. Dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-
hari pasien biasanya memasak sendiri makanannya dan terkadang membeli di
warung makan sekitar tempat kosnya.Porsi makan pasien terbilang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pasien. Satu porsi yang dimakan pasien biasanya
dengan lauk-pauk seperti daging ayam, sayuran, dan tempe. Sesekali di antara
waktu makan, pasien gemar mengonsumsi buah-buahan, seperti pepaya dan
semangka.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

 Berat badan ideal (Rumus Broca)


90% x (TB cm-100) x 1kg = 90% x (160-100) x 1 kg = 54 kg
 Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien,
diperoleh bahwa berat badan pasien saat ini adalah 63 kg dan termasuk
dalam rentang berat badan lebih.
 Status gizi
IMT = 24,6 kg/m2= BB lebih dengan risiko
 Jumlah kebutuhan kalori per hari =
o Kebutuhan kalori basal (perempuan)
BB ideal x 25 kalori/kgBB = 54 x 25 = 1.350kalori
o Koreksi Kebutuhan aktivitas (ringan)
20% x Kebutuhan kalori basal =20% x 1.350kalori = 270 kalori
o Total kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu:
= kebutuhan basal + koreksi tingkat aktivitasa
= 1.350 kalori + 270 kalori
= 1620 kalori

Distribusi makanan:

20
Total kebutuhan kalori pasien per harinya dibagi dalam 3 posi makan utama
dan 2 porsi makanan selingan, sebagai berikut:

1. Karbohidrat 60% = 60% x 1620 kalori = 972 kalori dari karbohidrat.


2. Protein 20% = 20% x 1620 kalori = 324 kalori dari protein.
3. Lemak 20% = 20% x 1620 kalori = 324 kalori dari lemak.
Total kebutuhan kalori pasien per harinya dibagi dalam 3 posi makan utama dan 2
porsi makanan selingan, sebagai berikut:
a. Makan pagi : 20% x 1620 kal =324kalori

b. Makan siang : 30% x 1620 kal = 486kalori

c. Makan malam : 25% x 1620kal = 405kalori

d. Selingan makan pagi dan siang : 15% x 1620 kalori = 243kalori

e. Selingan makan siang dan malam : 10% x 1620 kalori = 162kalori

Adapun distribusi makanan berdasarkan komponen makanan, sebagai berikut:


Waktu Makan Jumlah Karbohidrat Protein L e ma k
( 6 0 % ) ( 2 0 % ) ( 2 0 % )
P a g i 324kalori 194,4kalori 64,8kalori 64,8kalori
S i a n g 486kalori 291,6kalori 97,2kalori 97,2kalori
M a l a m 405kalori 243kalori 81kalori 81kalori
Selingan 1 243kalori 145,8kalori 48,6kalori 48,6kalori
Selingan 2 162kalori 97,2kalori 32,4kalori 32,4kalori
T O T A L 972kalori 324kalori 324kalori

Pemilihan Jenis Makanan


Dengan penghitungan tersebut, maka dicoba untuk memberikan suatu gambaran
pola makanan yang mencakup jenis makanan dan jumlah makanan.Pemilihan jenis
makanan disesuaikan dengan makanan yang tersedia dan terjangkau bagi pasien
serta disesuaikan dengan kondisi hipersensitivitas pasien yakni menghindari
makanan olahan laut.

W a k t u J u m l a h J e n i s
M a k a n P a g i ± 20% dari total asupan harian - Nasi putih (100 gr setara 175 kal)

21
(324kalori) - Telur dadar (60 gr setara 40 kal)
- Tempe dan tahu (50 gr setara 110 kal)
S e l i n g a n I ± 10% dari total asupan harian - Bakpia / kue (50 gr setara 136 kal)
(243 kalori)
- Semangka (300 gr setara 100 kal)
Makan Siang ± 30% dari total asupan harian - Nasi putih (150 gr setara 263 kal )
(486 kalori)
- Ayam goreng (100 gr setara 160 kal)
- Sup/ sayur bayam(50 gr setara 65 kal)
Selingan Siang ± 15% dari total asupan harian - Es buah (100 gr setara 162 kal)
(162 kalori)
Makan malam ± 25% dari total asupan harian - Nasi putih (100 gr setara 175 kal)
(405 kalori)
- Daging panggang (50 gr setara 120 kal)
- Tahu (100 gr setara 110 kal)

Kegiatan Fisik
Pasien memiliki aktivitas yang cukup padat yaitu bekerja sebagai pegawai di
restoran.Pasien biasanya bekerja selama 10 jam selama satu shift. Jika ada
jam lembur pasien bisa bekerja hingga 12 jam. Diluar jam kerjanya pasien
melakukan tugas sebagai ibu rumah tangga seperti mencuci, memasak dan
membersihkan rumah.

Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan


Tempat kos pasien berada di By Pass Ngurah Rai dekat dengan sebuah klinik
kesehatan yang jarak tempuhnya kurang lebih 5 menit menggunakan motor.
Tempat Kos pasien ke RSUP Sanglah memerlukan waktu tempuh 20 menit
menggunakan sepeda motor.

Lingkungan
Pasien tinggal sendiri di sebuah kamarkos yang ditinggalinya hampir 5 tahun.
Atap rumah kospasien terbuat dari genteng, dinding rumah pasien terbuat dari
batako yang di cat putih, dan lantai rumah terbuat dari keramik. Rumah kos
pasien sendiri terdiri dari 3 kamar. Ukuran kamar pasien ± 3x3 m dengan
kamar mandi dan dapur diluar.Kebersihan kamar tidur pasien terbilang
cukup, ventilasi kamar kurang sehingga kamar terasa pengap. Kamar mandi

22
pasien merupakan kamar mandi yang digunakan oleh penghuni kost lain
sehingga kebersihannya kurang terjaga. Dapur pasien merupakan dapur
darurat yang ada diluar kamarnya hanya berisi meja dan kompor.Pasien
menggunakan sumber air PAM untuk MCK, dan mencuci. Pasien
mengkonsumsi air galon untuk keperluan minumnya.

b. Kebutuhan Bio-Psikososial
Lingkungan biologis

Dalam keseharian, pasien dikatakan cukup memperhatikan kebersihan dan


kondisi tubuhnya.Pasien mandi sekitar dua kali dalam sehari, dan selalu
mengganti pakaiannya apabila dirasa sudah kotor.Kecukupan gizi pasien
tergolong gizi lebih, dimana pola makan perlu diperhatikan.

Faktor Psikologi
Pasien adalah anak ke 4 dari 4 bersaudara.Saat ini sudah menikah selama 7
tahun dan tinggal bersama suami serta anaknya di sebuah kos. Selama
keadaan sakit dan menjalani terapi pasien mendapat dukungan sepenuhnya
dari suami dan anaknya.Suami pasien selalu mendampngi pasien dari sejak
awal pasien masuk rumah sakit hingga pulang.Suami pasien selalu
mengingatkan untuk rutin minum obat serta makan makanan yang bergizi dan
teratur.

Faktor Sosial dan kultural

Pasien meupakan warga asli Karangasem dan merantau ke Denpasar untuk


mencari nafkah.Pasien tinggal di rumah kos yang dalam satu rumah ditinggali
beberapa orang. Pasien bekerja sebagai karyawan di salah satu restoran di
Sanur. Orang-orang sekitar kamar pasien dan teman kerja pasien mengerti
dengan keadaan pasien sehingga memaklumi jika pasien tidak bekerja selama
beberapa hari. Tidak ada anggapan negatif tentang penyakit yang diderita

23
oleh pasien.Pasien mendapat dukungan dari lingkungan sekitar.Kerabat
pasien juga menjenguk selama pasien dirawat di RSUP Sanglah.

Faktor Spiritual

Pasien serta keluarganya beragama Hindu, pasien taat beribadahdan


mendekatkan diri dengan Tuhan yang Maha Esa, karena dengan begitu dapat
menjauhkan pasien dari pikiran-pikiran negatif tentang penyakitnya.

4.8 Saran dan KIE


Adapun edukasi yang diberikan kepada pasien saat melakukan kunjungan ke tempat
tinggalnya antara lain:
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang ia derita.
a. Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi imunitas yang patologik yang
terjadi akibat respon tubuh yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh. Respon ini dapat dipicu oleh berbagai jenis alergen yang
berbeda-beda pada setiap individu.

b. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi 4 macam, tipe I adalah reaksi yang


sangat cepat (anafilaktik), tipe II, tipe III dan tipe IV yang terjadi sangat lama
(Delayed Type Hypersensitivity), sehingga harus diwaspadai rentang waktu
setelah paparan alergen hingga terjadinya reaksi hipersensitivitas tersebut.

c. Penatalaksanaan terbaik dari hipersensitivitas adalah dengan menghindari


alergen karena bila terpapar kemudian terjadi reaksi, terutama syok anafilaktik
maka pertolongan harus segera diberikan karena mengancam nyawa pasien.

2. Pada pasien, reaksi alergi atau reaksi anafilaksis yang muncul dicurigai
dicetuskan oleh konsumsi obat yang mengandung chlordiazepoxide, clidinium
bromide.Oleh sebab itu pasien harus menghindari mengkonsumsinya agar tidak
terjadi reaksi hipersensitivitas.

3. Pasien disarankan untuk mengenali hal-hal lain yang dapat memicu timbulnya
reaksi alergi.

24
4. Pasien disarankan untuk memberitahukan kepada keluarga tentang alergi yang ia
miliki sehingga selain dari diri sendiri, keluarga juga dapat membantu pasien untuk
menghindari paparan alergen yang dapat memicu alergi pada pasien ini.

4.9 Denah Rumah

4 3 2 1

2 2

Keterangan:

1. Kamar Kos Pasien


2. Kamar Kos Lain
3. Kamar Mandi
4. Dapur
5. Pelinggih

4.10 Foto Kunjungan

Gambar1. Foto Bersama Pasien Gambar2. Foto Bersama Pasien

25
Gambar 3.Kamar Tidur Pasien Gambar 4. Kamar Mandi Pasien

Gambar 5. Dapur Pasien

26
BAB V
SIMPULAN

Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan
yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.Reaksi
anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul segera
setelah alergen masuk ke dalam tubuh.Faktor pencetus reaksi anafilaksi dapat
berupa obat yang menjadi penyebab tersering, terdapat beberapa pencetus lain
seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang
panas, air yang dingin, dan beberapa kejadian tidak diketahui penyebabnya

Berdasarkan kasus ini pasien didiagnosis mengalami reaksi anafilaksis


melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Pasien
perempuan 28 tahun datang sadar dengan keluhan utama bengkak pada bibir.
Keluhan dirasakan kurang lebih 2,5 jam SMRS. Bengkak mulai muncul setelah
pasien meminum obat batuk yang didapat dari dokter praktek umum. Bengkak
kemudian juga muncul pada kedua mata pasien. Sebelum keluhan bengkak pada
bibir muncul, pasien mengeluh gatal-gatal pada kulit telapak tangan dan kaki.Pasien
juga mengeluh sesak napas.Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi obat-obatan
atupun makanan sebelumnya.Riwayat berobat ke dokter praktek umum dan
diberikan parasetamol, ondansentron dan bufanticid forte yang sudah diminum
sejak tanggal 28/10/18. Pada tanggal (4/11/18) pasien kembali berobat dan
mendapat tambahan obat yaitu Bracidin (chlordiazepoxide, clidinium bromide)
yang baru pertama kali diminum oleh pasien dan setelah meminum obat tersebut
sekitar 2 jam kemudian pasien merasa gatal pada tangan dan kaki disertai bengkak
pada kedua mata dan bibir disertai sesak.

Pasien sudah menikah dan memiliki 1 orang anak. Pasien tinggal disebuah
kamar kos yang berada di By Pass Ngurah Rai dekat dengan sebuah klinik
kesehatan yang jarak tempuhnya kurang lebih 5 menit menggunakan motor. Tempat
Kos pasien ke RSUP Sanglah memerlukan waktu tempuh 20 menit menggunakan
sepeda motor.Tempat tinggal pasien terbilang cukup bersih namun masih kurang
ventilasi udara.Dapur dan kamar mandi pasien digunakan bersama oleh penghuni

27
kost lainnya sehingga kebersihannya kurang terjaga.Pasien bekerja sebagai pegawai
swasta di restoran.

Permasalahan yang ditemukan saat kunjungan lapangan Pasien masih


kurang mengerti mengenai penyakitnya, terutama mengenai perjalanan penyakit,
faktor risiko, gejala, komplikasi yang mungkin timbul, serta penanganannya. Pasien
belum bisa mengenali dengan jelas hal-hal apa saja yang dapat memicu timbulnya
reaksi alergi. Sehingga kami memberikan edukasi kepada pasien saat melakukan
kunjungan ke tempat tinggalnya antara lain menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakit yang diderita, penatalaksanaan terbaik dari hipersensitivitas adalah dengan
menghindari alergen karena bila terpapar kemudian terjadi reaksi, terutama syok
anafilaktik maka pertolongan harus segera diberikan karena mengancam nyawa
pasien.Pada pasien, reaksi alergi atau reaksi anafilaksis yang muncul dicurigai
dicetuskan oleh konsumsi obat yang mengandung chlordiazepoxide, clidinium
bromide.Oleh sebab itu pasien harus menghindari mengkonsumsinya agar tidak
terjadi reaksi hipersensitivitas.Pasien disarankan untuk mengenali hal-hal lain yang
dapat memicu timbulnya reaksi alergi. Pasien disarankan untuk memberitahukan
kepada keluarga tentang alergi yang ia miliki sehingga selain dari diri sendiri,
keluarga juga dapat membantu pasien untuk menghindari paparan alergen yang
dapat memicu alergi pada pasien ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson H, Munoz FA, Campbell R. Second Sympsosium on the


Definition and Management of Anaphylaxis-Second National Institute of
Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network
Symposium. Annals of Emergency Medicine. 2006; 47(4): hal.373-80.

2. Kemp S, Lockey R. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms.


Journal of Allergy Clinical Immunology. 2002; 110(3): hal. 341-8.

3. McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the


evidence? British Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.

4. Sheikh A, Shehata Y, Simons F. Adrenaline for the Treatment of


Anaphylaxis with or without Shock. Cochrane Database of Systematic
Review. 2006.

5. Anonim. The Food Allergy and Anaphylaxis. Common Food Allergens.


Diunduh dari http://www.foodallergy.org/allergens/index.html. (10
September 2015).

6. Corrigan C.Allergy: The Unmet Need-A Blueprint for Better Care. Royal
College of Physicians. 2003

7. Lieberman P. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of The American


College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis
Working Group. Annals of Allergy, Asthma and Immunology. 2006; 97(5):
hal.596-02.

8. Winberry S, Lieberman P. Histamines and Antihistamines in Anaphylaxis.


Clinical Allergy and Immunology. 2002; 17: hal.287.

9. Bohlke K, Davis R, DeStefano F, Marcy S. Epidemiology of Anaphylaxis


among Children and Adolescents Enrolled in A Health Maintenance
Orgaization. Journal of Allergy Clinical Immunology. 2004; 113(3):
hal.536-42.

29
10. Brown A, McKinnon D, Chu K. Emergency Department Anaphylaxis: A
Review of 142 Patients in A Single Year. Journal of Allergy Clinical
Immunology. 2000; 108(5): hal.861-6.

11. Yocum M, Butterfield J, Klein J. Epidemiology of anaphylaxis in Olmsted


Country: A Population-Based Study. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 1999; 104(2): hal.452-6.

12. Sadana A, O’Donnell C, Hunt M, Gavalas M. Managing Acute


Anaphylaxis: Intravenous Adrenaline Should be Considered Because of The
Urgency of The Condition. British Medical Journal. 2000; 320(7239):
hal.937.

13. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Imunologi: Imunologi Dasar. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.237-43.

14. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Kegawatan Medik di


Bidang Ilmu Penyakit Dalam: Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Penyakit
Dalam edisi V. 2009. hal.193-5.

15. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic


Reaction-Guidelines for Healthcare Providers. Journal of Resuscitation.
2008; 77: hal.157-69.

16. Rengganis I, Yunikastuti E. Alergi Imunologi: Alergi Makanan. Buku Ajar


Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.265-7.

17. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma, and Clinical


Immunology. 2011; 7(1).

18. Sampson HA, Furlong AM, Campbel RL dkk. Second Symposium on The
Definition and Management of Anaphylaxis: Summary Report-Second
National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network Symposium. Journal of Allergy and Clinical
Immunollogy. 2006; 117; hal.391-7.

19. Tang AW. A Practical Guide to Anaphylaxis. American Family Physician.


2003; 68(7): hal.1325-33.

30

Anda mungkin juga menyukai