Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 3 (ILMU DASAR PENYAKIT)


“SKENARIO 1”

Tutor : dr. Rizak Tiara Yuan

Ketua : Zazza Syahira 1913010016


Notulen : Salma Maulida Zakiyani 1913010011
Scriber : Maria Maharani Jaya Pertiwi 1913010014
Anggota : Aziz Husni Riyan 1913010005
Azzahra Windra Salsabilla 1913010007
Hana Tri Setianingsih 1913010008
Ihda Imtiyaza 1913010017
Fadhila Nur Aulia 1913010031
Hayuning Idham Wijayandaru 1913010050
Jihan Fitriani 1913010051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan
skenario 4 blok 4 ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk
memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
Program Studi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Rizak Tiara Yuan
selaku tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan
tutorial ini. Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna
perbaikan di masa mendatang.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................1

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

SKENARIO 1..........................................................................................................4

STEP I......................................................................................................................5

KLARIFIKASI ISTILAH........................................................................................5

STEP II.....................................................................................................................6

RUMUSAN MASALAH.........................................................................................6

STEP III...................................................................................................................7

PERNYATAAN PENDAPAT.................................................................................7

STEP IV...................................................................................................................8

ANALISIS MASALAH...........................................................................................8

SKEMA..................................................................................................................21

STEP V..................................................................................................................22

LEARNING OBJECT...........................................................................................22

STEP VI.................................................................................................................23

BELAJAR MANDIRI...........................................................................................23

STEP VII................................................................................................................24

HASIL DISKUSI BELAJAR MANDIRI..............................................................24

PENUTUP .............................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................35

3
SKENARIO 1

“Disengat lebah”

Seorang laki-laki berusia 35 tahun dibawa keluarganya datang ke Puskesmas


dengan keluhan pingsan. Hasil alloanamnesis didapatkan bahwa pasien merasa
pusing setelah tersengat lebah kurang lebih 15 menit yang lalu. Keluhan ini
disertai gatal diseluruh tubuh dan sesak nafas. Keluhan sesak bertambah berat dan
kemudian pingsan. Pasien memiliki riwayat alergi ikan laut. Pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Ayah pasien memiliki riwayat sakit
asma. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tingkat kesadaran sopor, keadaan umum
tampak lemah, tekanan darah 60 mmHg/palpasi, denyut nadi 140 x/ menit, laju
pernapasan 30x/ menit, suhu 37,5C. Dokter segera melakukan resusitasi,
memberikan penatalaksanaan kegawatdaruratan, dan segera merujuk pasien ke
Rumah Sakit.

4
STEP 1

KLASIFIKASI ILMIAH

1. Alergi
- Akuisis reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai atau hipersensitivas
terhadap bahan lingkungan yang tidak berbahaya. (Sherwood, 2014)
2. Sopor
- Keadaan seperti tidur lelap tetapi ada respon terhadap nyeri. (Dorland,
2012)
3. Asma
- Sumbatan pada saluran napas. (Sherwood, 2014)
4. Alloanamnesis
- Anamnesis yang didapat dari orang tua atau sumber lain yang dekat dan
tau betul tentang riwayat pasien. (Hendra,2007)
5. Resusitasi
- Pemulihan kehidupan pada seseorang yang tampaknya meninggal.
(Dorland, 2012)

5
STEP II

RUMUSAN MASALAH

1. Apa hubungan disengat lebah dengan keluhan?


2. Mengapa laki-laki tersebut pingsan?
3. Apa hubungan alergi ikan laut dengan asma?
4. Mengapa dokter melakukan resusitasi? Bagaimana prosedurnya?
5. Apa yang dimaksud dengan syok?
6. Bagaimana mekanisme terjadinya alergi pada scenario tersebut?
7. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas? Sebutkan macam-macamnya?

6
STEP III
BRAIN STORMING

1. Karena disengat lebah memicu proses alergen, sehingga memicu


mediator kimiawi yang menyebabkan reaksi seperti gatal dan sesak
napas.
2. Karena adanya gangguan pada system sirkulasi.
3. Karena terdapat pelepasan hormone allergen yang mempengaruhi
sesak nafas.
4. Karena pasien tersebut pingsan, sehingga dokter melakukan resusitasi
untuk menghidupkan kembali seseorang yang tampak meninggal.
5. Syok adalah gangguan sistm sirkulasi.
6. Alergi akan timbul setelah tubuh terpajan oleh allergen.
7. Reaksi imun yang patologik, karena respon tubuh yang tidak normal.

7
STEP IV
ANALISIS MASALAH

1. Pada hipersensitivitas tipe cepat, antibodi yang berperan danproses yang


timbul setelah palanan ke suatu alergen berbedadari respons biasa terhadap
bakteri yang diperantarai olehantibodi. Alergen tersering yang memicu
hipersensitivitastipe cepat adalah serbuk sari, sengaran lebah,
penisilin,makanan tertentu, jamur, debu, bulu, dan serpihan kulit hewan.
Alergen-alergen yang berikatan akan memicu pembentukan antibodi IgE.
Ketika seseorang dengan kecenderungan alergik pertama kali terpajan suatu
alergen, sel T helper yang sesuai akan mengeluarkan IL-4, suatu sitokin yang
merangsang sel B spesifik untuk membentuk antibodi IgE yang spesifik
terhadap antigen. Selama periode sensitisasi awal imi tidak timbul gejala,
tetapi terbentuk memori yang membuat respin lebh kuat pada pajanan alergen
yang sama. Bagian ekor antibodi melekat ke sel mast dan basofil, sel yang
menghasilkan dan menyimpan beragam bahan kimia inflamatorik kuat seperti
histamin dalam granula yang sudah jadi. Sel mast paling banyaj melekat pada
daerah yang berkontak dengan lingkungan eksternal. Pengikatan alergen yang
sesuai dengan bagian lengan antibodi IgE yang menjulur keluar dengan bagian
ekor melekat ke sel mast atau basofil akan memicu pecahnya granula.
Akibatnya, histamin dan mediator kimiawi lain tersebar ke jaringan sekitar.
Bahan-bahan kimia yang dibebaskan menyebabkan reaksi yang menandai
hipersensitivitas tipe cepat. Yang berikut adalah sebagian dari bahan kimia
terpenting yang dikeluarkanselama reaksi alergik tipe cepat:
a. Histamin, yang menyebabkan vasodilatasi dan pening-katan
permeabilitas kapiler serta peningkatan produksimukus.
b. Slow-reactive substance of anaphylaxis (SRS-A), yangmemicu
kontralai hebat dan berkepanjangan otot polos,terutama saluran napas
halus. SRS-A adalah suatu leukotrien, mediator bekerja lokal yang
serupa dengan prostaglandin.

8
c. Eosinolthil cbemotactic factor, yang secara khusus me-narik eosinofil
ke daerah peradangan. Yang menarik,eosinofil mengeluarkan enzim-
enzim yang menginaktif-kan SRS-A dan juga mungkin menghambat
histamin,mungkin berfungsi sebagai "tombol padam" untukmembatasi
respons alergik. (Sherwood, 2014)

2. Syok anafilaktik terjadi akibat respon hipersensitivitas tipe 1 yakni, reaksi


antigen dengan antibodi IgE. Namun, ada pula reaksi anafilaktoid, untuk
gejala dan tanda anafilaktik tanpa melibatkan IgE, misal pada OAINS lainnya,
yang menurut menginduksi degranulasi sel mast. Alergen masuk kedalam
darah dikenali oleh APC dimukosa darah. APC selanjutnya akan
mempresentasikan antigen ke sel Limfosit Th2. Sel Th2 akan mengeluarkan
sitoki-sitokin (Seperti IL-4 dan IL-3) yang akan memicu sel memori
(limfositB) menghasilkan IgE. Apabila alergen kembali muncul, maka alergen
akan langsung berikatan dengan IgE tersebut. Ikatan antigen-antibodi IgE itu
mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator anafilaktik
(peritiwa ini disebut juga degranulasi sel mast), seperti histamin,
prostaglandin, bradikinin, kalikrein dan sebagainya. Pelepasan berbagai
mediator itulah yang mendasari gejala pada kulit, saluran napas, sistem
vaskular, dan GI track.
Keadaan tidak sadar pada syok anafilaksis diakibatkan oleh gangguan
darisistem sirkulasi. Gangguan yang paling mencolok yaitu hipotensi.
Hipotensi dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat
terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya
permeabilitaskapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga
banyak cairan intravascular yang keluar ke ruang interstitial sehingga jadi
hipovelemia relative. Hipotensi ini akan menyebabkan tekanan perfusi
jaringan menurun lalu berakhir pada hipoksia jaringan, termasuk otak. Inilah
yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.(Sherwood, 2014)

9
3. Alergi pertamakali berinteraksi dengan sel yang mengandung IgE. Adanya
alegen yang masuk menyebabkan kontraksi otot polos didinding bronkiolus
sebagai respon terhadap SRS-A yang menyebabkan kontraksi saluran napas
sehingga sulit untuk bernapas. Pembengkakan kulit lokal terjadi karena
pelepasan histamin yang diinduksi oleh allergen sehingga menyebabkan
biduran. Selain itu, juga dapat menyebakan syok anafilaktik jika pelepasan
bahan kimia dalam jumlah besar ditempat inokulasi allergen menuju sirkulasi.
Pelepasan histamin juga dapat menyebabkan vasodilatasi luas dan perpindahan
besar-besaran cairan plasma kedalaam ruang intestinum akibat peningkatan
permeabilitas kapiler. Secara bersamaan terjadi konstriksi bronkiolus berat
yang menyebabkan kegagalan pernapasan. Seseorang dapat mati lemas akibat
ketidaknyamanan mengalirkan udara mengalirkan saluran udara yang
menyempit. (Sherwood,2014)

4. Retusitasi bertujuan untuk menghidupkan seseorang yang tampaknya


meninggal. RJP adalah metode untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan
sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan jantung yang tidak
diharapkan mati pada saat itu. RJP yang efektif adalah yang menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi.
Basic life support atau bantuan hidup dasar adalah oksigenasi darurat yang
diberikan secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui
ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat
menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. BHD dapat
dirumuskan
A : Airway (Jalan napas)
B : Breathing (Bantuan napas)
C : Circulation (Bantuan sirkulasi)
Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur
awal pada korban, yaitu memastikan situasi dan keadaan pasien aman atau
tidak dengan memanggil nama atau sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!,
dll yang umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu

10
dengan mantap, sambil memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai
teknik “touch and talk”. Hal ini cukup untuk membangunkan orang tidur atau
merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan
pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat tingkat kesadaran, yaitu, sadar penuh,
setengah sadar, dan tidak sadar. Sadar penuh yang bererti pasien dalam
keadaan sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat, setengah
sadar yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien tidak
sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon. Jika pasien berespon tinggalkan
pada posisi dimana ditemukan dan hindari kemungkinan resiko cedera lain
yang bisa terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat darurat. Jika sendirian,
tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan kaji ulang
secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta tolong. Kemudian
atur posisi pasien, sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan
rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien
dengan teknik log roll, secara bersamaan kepala, leher dan punggung
digulingkan. Atur posisi untuk penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien
agar secara efektif dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP).

A (Airway)
Pastikan jalan nafas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernafas.
Pemeriksaan Jalan Nafas
Untuk memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena benda asing. Bila
sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik cross finger ( ibu jari
diletakkan berlawan dengan jari telunjuk pada mulut korban). Cara
melakukan tehnik cross finge adalah pertama sekali silangkan ibu jari dan
telunjuk penolong. Kemudian, letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban
dan jari telinjuk pada gigi seri atas. Lakukan gerakan seperti menggunting
untuk membuka mulut korban. Akhirnya, periksa mulut setelah terbuka
apakah ada cairan,benda asing yang menyumbat jalan nafas.
Membuka Jalan Nafas

11
Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah dan epiglotis
akan menutup faring dan laring sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas.
Keadaan ini dapat dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (Head tild
Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver). Cara
melakukan teknik Head tilt chin lift (gambar 1a) ialah letakkan tangan pada
dahi korban,kemudian tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak
tangan penolong. Letakkan ujung jaritangan lainnya dibawah bagian ujung
tulang rahang korban. Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban
secara bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi.
Manakala, cara untuk melakukan teknik jaw thrust manuvere adalah letakkan
kedua siku penolong sejajar dengan posisi korban. Kemudian, kedua tangan
memegang sisi kepala korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan
kedua tangan penolong menggerakkan rahang keposisi depan secara
perlahaan. Akhirnya, pertahankan posisimulut korban tetap terbuka. Apabila
terdapat benda asing yang mengobstruksi jalur nafas pasien,ia dikeluarkan.
Kemudian cek tanda kehidupan iaitu respon dan suara napas pasien. Jangan
mendongakkan dahi secara berlebihan, secukupnya untuk membuka
jalannapas saja, karena pasien boleh ada cedera leher.

B (BREATHING)
Breathing terdiri dari 2 tahap yaitu :
a. Memastikan korban tidak bernafas atau tidak.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look), mendengar
bunyi nafas (listen) dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan teknik
penolong mendekatkan telinga diatas mulut dan hidung korban sambil
tetap mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Ini dilakukan tidak lebih
dari 10 detik.
b. Memberikan bantuan nafas
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung,
mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan). Bantuan nafas
diberikan sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan 1,5 –2 detik.

12
1. Mulut ke mulut
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan
penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya
mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup
dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang
berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.
Pemberian nafas dari mulut ke mulut.
2. Mulut ke hidung
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya korban mengalami trismus atau luka
berat. Penolong sebaiknya menutup mulut korban pada saat
memberikan bantuan nafas. Pernafasan dari mulut ke hidung.
3. Mulut ke stoma
Dilakukan pada korban yang terpasang trakheostomi atau
mengalami laringotomi.

C (CIRCULATION)
Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis,
arteri femorsalis). Berikut merupakan langkah-langkah RJP yaitu :
1. Apabila terdapat denyut nadi maka berikan pernafasan buatan 2 kali.
2. Apabila tidak terdapat denyut nadi maka lakukan kompresi dada
sebanyak 30 kali.
3. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi processus xyphoideus dan
tarik garis ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan
kompresi kepada tempat tersebut.
4. Kemudain berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi dada
sebanyak 30 kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan
kompresi 100 kali permenit.
5. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila : a) Tidak ada nafas dan
nadi: teruskan RJP sampai bantuan datang.b) Terdapat naditetapi tidakan

13
nafas : mulai lakukan lakukan pernafasan buatan. c) Terdapat nadi dan
nafas: korban membaik. (K. Ganthikumar, 2016)

5. Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis dan


tingkat kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan gangguan
sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke
jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan hemodinamik.
Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler
sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian
ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat
terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses.
Secara umum dapat dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah
penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah
pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol, venule atupun kapiler, serta
sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal dan sitemik.
(Guyton A, Hall, 2010)

6. Mekanisme alergi
Reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan alergen. Istilah
alergi yang pertama kali di gunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang
berasal dari bahasa Yunani (alol) yang berarti perubahan dari asalnya yang
dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan rektivitas organisme.
Pada patogenesis, melibatkan tiga fase:
1. Fase sensitisasi
Antigen ( alergen ) yang masuk kedalam tubuh akan segera
ditangkap oleh fagosit. Setelah itu, antigen tersebut diproses dan di
presentasikan oleh sel Th2. Sebagai responya, sel Th2 melepaskan sitokin
yang menstimulus sel B untuk memproduksi IgE. Nantinya IgE diikat oleh
sel-sel yang memiliki reseptor IgE spesifik misalnya sel mast, basofil, dan
eosinofil.

14
2. Fase aktivasi
Suatu hari nanti apabila tubuh terpajan dengan alergen yang sama,
IgE spesifik yang terdapat pada permukaan sel mast akan langsung
bereaksi mengikat alergen tersebut. Kejadian terikatnya alergen dengan
IgE tersebut memacu degranulasi sel mast sehingga keluarlah berbagai
mediator dari granula sel, antara lain histamin dan mediator lipid. Dari
serangkaian proses tersebut, timbul berbagai tanda dan gejala
hipersentitivitas (Reaksi alergi).
3. Fase efektor

Beberapa jam setelah kontak dengan alergen akan terjadi metabolisme


tersebut memacu keluarnya mediator seperti prostaglandin dan leukotrien
inilah yang disebut sebagai fase lambat.

(Abdul K Abbas, 2006)

7. Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak
diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi
tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut
kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi
sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering
terjadi bersamaan.
1. Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat
Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi
alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke
dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von P rquet pada
tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi kontak
dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Antigen yang masuk
tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel
Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk
IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti
sel mast, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alerger yang

15
sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik) pada permukaan
sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam
granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan
alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di
samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan leukotrin (SRS-A)
yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari
reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.
2. Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe 11 yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM teriadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu Ikatan antibodi dengan antigen yang merupakan bagian dari sel
pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Lisis
sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe I1 adalah destruksi
sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada
bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada
penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikos s juga ditimbulkan
melalui mekanisme reaksi tipe 11. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh
obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.
3. Reaksi Tipe III atau Reaksi Kompleks Imun
Reaksi tipe 111 yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat
endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.
Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Kompleks tersebut
mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator
terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke
tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat
berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari
jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen

16
dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai dengan respons antibodi
efektif.
Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun.
Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas C,a dan CSa dan
merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator antara lain
histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Dalam keadaan normal
kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam
hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran
kompleks imun merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang
besar, rnudah dan cepat dimusnahkan dalam hati. Kornpleks yang larut terjadi
bila antigen ditemukan jauh lebih banyak dari pada antibodi yang sulit untuk
dimusnahkan dan oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi.
Kornpleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan
fungsi fagosit diduga dapat merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit
dimusnahkan.
4. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat
Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas larnbat, timbul
lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi
Tipe 4 dibagi dalam Delayed Type Hyper-sensitivity yang terjadi rnelalui sel
CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.
Delayed Type Hypersensitivity (DTH).
Pada DTH, sel CD4'Thl yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel
efektor. CD4'Thl melepas sitokin (IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan
menginduksi inflamasi. Pada D'TH, kerusakan jaringan disebabkan oleh
produk makrofag yang diaktifkan seperti enzirn hidrolitik, oksigen reaktif
interrnediet, oksida nitrat dan sitokin proinflarnasi. Sel efektor yang
berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah
sebagai berikut:

17
1). Reaksi hipersensitivitas lambat Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin
adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan
terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi
sel mononuklear (50% adalah limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam,
timbul infiltrasi lirnfosit dalarr!jumlah besar sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi
tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma.
2). Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap
bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang
menimbulkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik
sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen.
Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal.
Sel Langerhans sebagai antigen presenting cell (APC), sel Thl dan makrofag
memsgang peranan pada reaksi tersebut.
3). Reaksi granuloma. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH
berakhir dengan hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan
produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada
beberapa keadaan terjaci ha1 sebaliknya, antigen bahkan terlindung,
misalnya telur skistosoma dan mikobakterium yang ditutupi kapsul lipid.
DTH kronis sering rnenimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan
growth factor oleh makrofag yang dapat menimbulkan granuloma.
Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting
oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh
karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya
berupa mikroorganisrne yang tidak dapat dihancurkan atau kornpleks imun
yang menetap misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran
antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan
respons imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi
akibat sensitasi terhadap antigen rnikroorganisme yang sama misalnya M
tuberkulosis dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hiper-sensitivitas

18
terhadap zerkonium sarkcidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti
bedak (talcum). Dalam ha1 ini makrofag tidak dapat mernusnahkan benda
inorganik tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari
yangimunologis oleh karena yang pertama tidak mengandung limfosit.
Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari
sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nukleus disebut sel
raksasa Langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nukleus yang tersebar
di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil
diferensiasi terminal sel monosit/ makrofag.
Granuloma imunologik ditandai oleh inti yang terdiri dari pembentukan
granuloma atas sel epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel
raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat
ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen; yang terjadi akibat proliferasi
fibroblas dan peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti
tuberkolusis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya
struktur jaringan.
Sel TH1 berhubungan dengan tuberkulosis bzntuk ringan oleh karena
sitokin TH1 mengerahkan dan mengaktifkan makrofag (A), menimbulkan
terbentuk- nya granuloma (B) yang mengandung kuman. Sel TH1 spesifik
diaktifkan oleh kompleks peptida MHC dan melepas sitokin yang bersifat
kemotaktik untuk berbagai sel, termasuk monosit/makrofag. Sitokin TH1
yang lain terutama IFN-)I, mengaktifkan makrofag di jaringan (A). Dalam
bentuk kronik atau hipersensitivitas lambat, terjadi susunan sel-sel
terorganisasi, yang spesifik dengan sel T di perifer dan mengaktifkan
makrofag yang ada di dalam granuloma dan menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa makrofag berfusi menjadi sel datia dengan banyak
nukleus atau berupa sel epiteloid.
T Cell Mediated Cytolysis.
Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel
CD8+/Cytotoxic TLymphocyte (CTL/Tc) yang langsung membunuh sel
sasaran. Penyakit hipersensitivitas selular diduga merupakan sebab

19
autoimunitas. Oleh karena itu, penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas
selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak
sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi
kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8+ spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel
dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui
mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4' maupun CD8+
spesifik untuk self antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan
kerusakan. (KG Baratawidjaja, I Rengganis, 2006)

20
SKEMA

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Pak widodo 52 tahun

Tersengat lebah

Hasi alloanamnesis

Setelah tersengat lebah 15 menit : Ayah pasien memiliki


riwayat sakit asma.
- Pusing
- Gatal
- Sesak napas
- Pingsan Syok anafilaktik
C : Circulation support, yaitu
bila tidak teraba nadi pada
Etiologi, epidemiologi, arteri besar (a. karotis, atau
pathogenesis, a. femoralis), segera lakukan
Hasil pemeriksaan fisik :
patofisiologi, manifestasi kompresi jantung luar.
- Sopor klinik, tata laksana,
- Suhu 37,5℃ prognosis dan komplikasi.
- RR 30x/menit
- Nafas ngorok
- TD 60 mmhg/palpasi
Protap syok anafilaktik
- Nadi 140x/menit

B : Breathing support, segera


A : Airway (membuka jalan
memberikan bantuan napas
napas). Jalan napas harus
buatan bila tidak ada tanda-
dijaga tetap bebas, tidak tanda bernapas, baik melalui
ada sumbatan sama sekali. mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. 
Penanganan tambahan :

- Adrenalin (epinefrin)
- STEP V
Kortiosteroid
- antihistamin

21
LEARNING OBJECTIVE

1. Jelaskan diagnosis utama dan diagnosis banding!


2. Jelaskan etiologi, epidemiologi, pathogenesis, patofisiologi, manifestasi
klinik, tata laksana, pathogenesis dan komplikasi dari diagnosis utama!
3. Jelaskan perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid!
4. Bagaimana penatalaksanaan sesuai protocol kegawat daruratan?
5. Mekanisme adrenalin, anti histamin, steroid

22
STEP VI

BELAJAR MANDIRI

23
STEP VII

HASIL DISKUSI BELAJAR MANDIRI

1. Diagnosis utama :
 Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui
riwayat pajanan sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah
adanya gejala yang muncul dalam menit atau jam setelah terpapar dari
pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif dalam beberapa jam.
Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis anafilaksis dapat
dilihat pada tabel berikut.

(Estelle et.all., 2011)

Diagnosis banding :

24
 Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaksis. Gambaran
klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi
tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala
yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh
sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai
macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing
mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor
pada sistem organ.
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok
anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, sindroma karsinoid, asma bronkiale dan
rhinitis alergika.1,10
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat, dan berkeringat. Tetapi dibandingkan
dengan reasi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan
tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak
tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes
atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai
tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak
dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris

25
Pada reaksi histeris tidak dijumpai danya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi
anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr,
bila penggunaan lebih dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun
tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda
nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan
suara napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena
faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan dan lebih
sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung,
gatal hidung yang hilang timbul, mata berair yang disebabkan karena
faktor pencetus, mis, debu, terutama du udara dingin dan hampir
semua kasus asma diawali dengan RA.
(Rengganis I, Sundaru H, 2009)

2. Etiologi
Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan
obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia
pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi
anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara

26
di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab
tersering. Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu
tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur adalah
penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia. Reaksi anafilaksis juga
dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin, doxorubicin,
cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah
radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal
tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang
dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat
mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang
menimbulkan reaksi. (Rengganis I, Sundaru H, 2009)
Epidemiologi
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap gigitan
serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan
berbedabeda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi
sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus
reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian
besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%.3,6
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok
infantile, remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan
kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang
tidak terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan
medikasi seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.
(Rengganis I, Sundaru H, 2009)
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat
dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini
dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan
ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi

27
sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang
memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh
terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam
tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses
ini disebut dengan fase aktivasi. Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE
pada permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan
kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil
akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang
penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis
dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan
basofil. Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator
inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat
meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga
menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase
efektor. (Ewan, PW, 1998)

Prognosis
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya
mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah
10 mendapat pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama.

28
Prognosis pada penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat
pengobatan yang adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan
penyakit kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit
pernapasan dan penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat. (Ewan, PW,
1998)

3. - Syok anafilaktik
Pada saat pertamakali allergen masuk kedalam tubuh ditemukan oleh sel
B, kemudian sel B tersebut membuat amtibodi yang spesifik untuk
hipersensitivitas tipe I yaitu IgE. Kemudian IgE menempel di sel must.
IgE menempel di sl must karena apabila alergi masuk ke dalam tubuh
laagi maka system tubuh sudah siao bereaksi untuk allergen tersebut. Pada
saat allergen kembali masuk ke dalam tubuh allergen tersebut menempel
di antibody IgE. Kemudian teraktivasi mengeluarkan sitokin dan
histamin. Sitokin tersebut berkomunikasi memanggil sel imun lain seperti
leukosit . Untuk membantu jalannya leukosit supaya masuk kedalam
jaringan dibutuhkan histamin. Dengan teraktifasinya histamin
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan tekanan
darah rendah, kehilangan system sirkulasi, pembuluh darah permeable
sehingga menyebabkan edema dan dapat menyebabkan Syok Anafilaktik.
- Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid sama dengan reaksi anafilaktik. Perbedaannya reaksi
anafilaktoid allergen tidak menempel pada antibody IgE, tetapi allergen
tersebut langsung menempel pada reseptor.
(Koury SI, Herfel LU , 2008)

4. Penatalaksanaan Syok Anafilatik sesuai dengan protocol kegawatdaruratan


Tindakan segera :
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan menghadapi pasien dengan
syok anafilaktik adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan
alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan

29
penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah. Selanjutnya dilakukan penilaian
airway, breathing dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk
memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas.
Jalan napas harus dijaga teap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple
airway maneuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka
mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breating support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik memalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita
yang mengalami sumbatan jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan,
juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit. Circulation
support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. (Jessenggar, 2016)
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup
dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
(Thijs L G. 1996 ; 1 – 4)
a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik.
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4
ug/menit.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena
dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

30
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas
atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,
maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi
dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan
penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali
suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
(Fitria,2010)

31
5. Mekanisme adrenalin, anti histamin, steroid :
Sebagian besar reseptor pada permukaan sel termasuk reseptor H1 berada
dalam keadaan aktif sampai tingkat tertentu yang dikenal sebagai aktivitas
konstitutif (constitutive activity), tanpa kehadiran agonis. Akibatnya terjadilah
reklasifikasi dalam hal ikatan ligand dengan reseptor H1 menjadi 3 subdivisi
yaitu agonis, inverse agonist, dan antagonis netral.
Interaksi reseptor pada permukaan sel dengan agonis meningkatkan
aktivitas konstitutif reseptor, walaupun agonis tidak harus menempati/terikat
pada reseptor H1 . Interaksi reseptor dengan inverse agonist menurunkan
aktivitas konstitutif reseptor, sedangkan interaksi reseptor dengan antagonis
netral tidak mempengaruhi aktivitas konstitutif reseptor. Antagonis netral
yang terikat pada reseptor hanya dapat menghambat kegiatan agonis. Diduga
antihistamin H1 juga bersifat sebagai inverse agonist.
Membran sel bersifat permeabel terhadap molekul yang larut dalam lemak,
misalnya steroid. Steroid melakukan difusi ke dalam sel melalui membran sel.
Membran sel bersifat impermeabel terhadap materi yang larut dalam air
misalnya ion, molekul inorganik yang kecil dan polipeptida. Respons terhadap
materi yang hidrofilik tersebut tergantung pada interaksi antara
materi/molekul ekstraseluler dengan komponen protein pada membran
plasma.
Di samping itu ligand yang tidak dapat melalui membran sel, dapat
mengirim sinyal yaitu dengan cara mengubah sifat protein dari membran sel
bagian ekstraseluler (extracellular domain of cell membrane), dan akhirnya
sinyal dikirim ke membran sel yang berbatasan dengan sitoplasma.
Hubung telah dibuktikan bahwa histamin mengaktivasi NF-κB melalui
aktivasi reseptor H1 ; mekanisme aktivasi NF-κB dalam arti yang lebih luas
masih diteliti lebih lanjut. Aktivitas reseptor H1 dapat berupa aktivitas
konstitutif; reseptor sudah dalam keadaan “siap” sampai tingkat tertentu.
Agonis H1 adalah histamin H1 yang mempunyai afinitas meningkatkan
aktivitas konstitutif reseptor H1. Akibat transduksi sinyal dari reseptor
konstitutif, terjadilah aktivasi NF-kB konstitutif. Begitu juga dengan cara yang

32
sama terjadi peningkatan aktivasi NF-κB akibat peningkatan aktivasi reseptor
yang disebabkan agonis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa afinitas dan durasi ikatan
antihistamin dengan reseptor berperan pada efektivitas antihistamin. Metode
untuk mengukur efektivitas antihistamin dapat dengan cara melakukan uji
tusuk kulit (skin prick test), yang diikuti penilaian penghambatan antihistamin
terhadap warna merah (flare) dan sembab (wheal) yang ditimbulkan
histamin.10,11 Antihistamin yang mempunyai afinitas besar terhadap reseptor
H1 , durasi ikatan antara antihistamin dengan reseptor yang lebih lama dan
mempunyai khasiat antiinflamasi akan mempunyai efektivitas yang lebih baik
daripada antihistamin lainnya.

33
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada skenario keempat ini diceritakan bahwa pasien tersengat lebah
dan penangananan yang tepat adalah melakukan anamnesis terlebih dahulu
untuk mendapatkan penjelasan yang benar dari pasien atau keluarga pasien
karena. Dari hasil alloanamnesisdidapatkan penjelasan bahwa pasien merasa
pusing setelah tersengat lebah kurang lebih 15 menit yang lalu. Keluhan ini
disertai gatal diseluruh tubuh dan sesak nafas. Keluhan sesak bertambah
berat dan kemudian pingsan. Pasien memiliki riwayat alergi ikan laut.
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Ayah
pasien memiliki riwayat sakit asma. Kasus tersebut merupakan
hipersensivitas tipe 1 terjadi karena adanya pengaktifan mediator histamin
yang dapat menyebabkan Syok Anafilaktik. Hal ini dapat berakibat kejang
bronkus berupa sesak dan pingsan karena terjadi vasodilatasi pembuluh
darah. Timbulnya gejala pada sistem saluran cerna, sistem saluran nafas,
dan sistem kardiovaskular merupakan tanda dari syok anafilaktik. Syok
Anafilaktik terjadi karena perubahan mendadak pada permeabilitas vaskuler.
Protap Penatalaksanaan Syok anafilaktik terdapat penanganan utama,
penanganan tambahan dan penanganan penunjang.

B. SARAN
Dengan diterapkan sistem PBL di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, mahasiswa diharapkan dapat berfikir kritis
yang efektif dan efisien serta terus belajar dalam mencari ilmu pengetahuan
agar terus mendapatkan hal yang baru dan bermanfaat terutama dalam
bidang kedokteran.

34
DAFTAR PUSTAKA

Abdul K Abbas, MBBS. 2006. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity


Disease. Pg 193-208. Saunders: China.

Baratawidjaja, KG., Rengganis, I. 2006. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta

Dorland W.A.N.,2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta:EGC

Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of


Anaphylaxis. 2011;4:13-37.

Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis, ABC Allergies. BMJ, Vol 316, Page 1442-
445

Fitria, C. N. (2010). Syok dan Penanganannya. Gaster: Jurnal Kesehatan, 7(2),


593-604.

Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter


24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania:
Saunders; 2010. p. 273-84

Ganthikumar, K. 2016. Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung Paru


(RJP). Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Jurnal Intisari Sains Medis Vol. 6 No.1, Mei-Agustus, Hal 58-64

Koury SI, Herfel LU . 2008. Anaphylaxis and acute allergic reactions.


International edition Emergency Medicine. Eds :Tintinalli, Kellen,
Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto. pp 242-6

35
Rengganis I, Sundaru H.2009.Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Interna Publishin: Jakarta

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai