SKENARIO 1
2. Apa hubungan antara tidak pernah sarapan pagi dan makan seadanya dengan pucat, lemas,
dan mudah lelah?
Jawab :
Tidak pernah sarapan pagi dan makan seadanya berhubungan dengan asupan nutrisi
yang berpengaruh terhadap kurangnya zat gizi untuk tubuh. Dalam proses eritrpoiesis
dibutuhkan logam seperti besi, mangan, kobalt, vitamin seperti vitamin B12 (asam folat),
vitamin C, vitamin E, vitamin B6, tiamin, riboflavin, asam pantotenat. Hormon yang
berpengaruh yaitu eritropoetin, estrogen, tiroksin. Jika kekurangan nutrisi maka akan
mengganggu proses eritropoiesis.
4. Mengapa tidak mengalami nafas cuping hidung dan retraksi dinding dada?
Jawab :
Karena kedua hal tersebut bukan termasuk gejala umum anemia. Nafas cuping
hidung dan retraksi dinding dada menunjukkan adanya gangguan dalam proses respirasi
(sesak nafas)
5. Bagaimana cara menghitung MCV, MCH, MCHC? Sebutkan beserta nilai normal!
Jawab :
- Nilai hemoglobin normal
Untuk laki-laki yaitu 13,4-17,6 g/dl, untuk perempuan yaitu 12,0-15,4 g/dl
- Nilai TIBC normal adalah 300-360 µg/dl.
- Rumus perhitungan MCV (Mean Corpucular Volume)
MCV = Nilai hematokrit (vol %) x 10
∑ eritrosit (juta/uL)
- Nilai MCV normal yaitu 81-96 µm/eritrosit.
- Rumus perhitungan MCH (Mean Corpucular Hemoglobin)
MCH = Nilai Hemoglobin (gr%) x 10
∑ eritrosit (juta/uL)
- Nilai MCH normal yaitu 27-31 pg/eritrosit.
- Rumus perhitungan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
MCHC = Nilai hemoglobin(%)
∑ hematokrit (vol%)
- Nilai MCHC normal yaitu 30-36 g/dl eritrosit.
6. Bagaimana proses eritropoiesis, hematopoiesis dan destruksi eritrosit?
Jawab :
Eritropoiesis
Hematopoiesis
Destruksi eritrosit
Ketika eritrosit menua, selnya akan menjadi lebih kaku dan rapuh. Hemoglobin
difagositosis oleh makrofag terutama di limpa, hati, dan sumsum tulang kemudian
komponen asam amino diangkut melalui plasma ke sumsum tulang dimana asam amino
dapat digunakan dalam sintesis hemoglobin baru dan membentuk eritrosit. Kemudian zat
besi yang ada digunakan untuk memperbaiki apabila terdapat kerusakan pada eritrosit.
Cincin porfirin hemoglobin yang berguna mengikat zat besi mengalami perubahan struktur
kimiawi dan berubah menjadi bilirubin. Bilirubin ditransportasikan ke hati dan disekresikan
di empedu lalu dikeluarkan melalu feses sebagai sterkobilinogen dan melalui urin sebagai
urobilinogen.
7. Mengapa nilai hb, MCV, MCH, MCHC turun sedangkan nilai TIBC meningkat?
Jawab :
Nilai Hb turun dikarenakan kurangnya zat besi yang dikonsumsi atau diserap tubuh
dimana zat besi merupakan unsur pembuatan warna merah pada hemoglobin. Turunnya Hb
pada darah mengakibatkan menurunnya O2 yang diedarkan ke seluruh tubuh. Sehingga
tubuh secara tidak langsung kekurangan O2.
Dalam hal ini, nilai MCH MCV dan MCHC turun dikarenakan nilai Hb yang turun,
dimana pembentukan Hb berbahan dasar zat besi. Nilai MCH MCV dan MCHC ialah nilai
rata-rata eritrosit yang dalam pencarian nilainya melibatkan nilai Hb itu sendiri.
Sedangkan nilai TIBC yang tinggi disebabkan tidak adanya zat besi yang diikat. Sehingga
nilai TIBC naik. TIBC atau kapasitas pengikatan besi total digunakan untuk mengukur
kemampuan transferin plasma membawa besi dari saluran cerna atau persediaan besi ke
sumsum tulang.
9. Mengapa hanya diberikan obat sulfat ferrosus dan bukan transfusi darah?
Jawab :
Obat sulfat ferrosus diberikan untuk meningkatkan kadar besi di dalam tubuh. Besi
dibutuhkan untuk produksi hemoglobin (Hb) sehingga defisiensi Fe akan menyebabkan
terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dengan kandungan Hb yang rendah
menimbulkan anemia hipokromik mikrositik. Zat besi disimpan dalam sel-sel mukosa
intestinal sebagai ferritin sampai dibutuhkan tubuh. Defisiensi besi disebabkan oleh
kehilangan darah akut atau kronik, pemasukan yang kurang selama periose pertumbuhan
cepat anak-anak, menstruasi atau wanita hamil. Karena itu, keadaan ini merupakan akibat
keseimbangan negatif besi yang disebabkan habisnya simpanan besi dan pemasukan yang
tidak cukup.
Tidak diberikan transfusi darah karena tidak terdapat indikasi transfusi darah
diantaranya ketika nilai hemoglobin kurang dari 7 g/dl.
10. Jelaskan farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, efek samping obat sulfat ferrosus!
Jawab :
a. Farmakokinetik obat sulfat ferrosus
Fe diabsorpsi melalui saluran cerna, terutama di jejunum proksimal dan duodenum.
Setelah diabsorbsi, Fe dalam darah diikat oleh transferin yang kemudian diangkut ke
berbagai jaringan untuk dimetabolisme. Jumlah Fe yg diekskresi setiap hari sedikit
sekali, sekitar 0,5 - 1 mg sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel
kulit dan saluran cerna yang terkelupas, Selain itu juga melalui keringat, urin, feses,
serta kuku dan rambut yg dipotong.
b. Indikasi obat sulfate ferrosus diberikan pada seseorang yang mengalami anemia
defisiensi besi. Dosis yang diberikan yaitu 3 x 200 mg/hari.
c. Efek samping obat sulfate ferrosus yaitu bisa menyebabkan gangguan pada traktus
gastrointestinal berupa respon mual dan muntah.
d. Farmakodinamik obat sulfat ferrosus
Ikatan kompleks dengan protein merupakan bentuk ikatan kuat dalam bentuk
organik yaitu sebagai ikatan non-ion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu
sebagai ikatan ion Fe di dalam tubuh merupakan fungsional/esensial dan 30% Fe
non-esensial. Fe esensial :
- Hb 60%
- Myoglobin 8%
- Enzim (berfungsi dalam transferin) 0,5%
- Transferin 0,1%
Absorpsi
Absorpsi Fe mulai saluran cerna terutama berlangsung di duodenum dan jejunum
proksimal,makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorpsi
dalam bentuk fero. Transpornya melalui sel mukosa usus terjadi secara transporaktif. Ion
fero yang sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion
feri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi feritin
dan disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum,bila cadangan dalam tubuh tinggi dan
kebutuhan akan zat besi rendah,maka lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila cadangan
rendah atau kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sel
mukosa ke sum-sum tulang eritropoesis. Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari 5
kali pada anemia berat atau hipoksia.
Pada individu normal efeisiensi Fe jumlah Fe yang diabsorpsi 5-10% atau sekitar
0,5-1 mg/hari. Absorpsi Fe meningkat bila cadangan rendah atau kebutuhan Fe meningkat.
Absorpsi meningkat menjadi 1-2 mg/hari pada wanita menstruasi, pada wanita hamil dapat
menjadi 3-4 mg/hari.kebutuhan Fe juga meningkat pada bayi dan remaja. Absorpsi dapat
ditingkatan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin C, HCL, suksinat dan senyawa asam lain.
Asam akan mereduksi ion feri menjadi fero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe
dengan makanan yang tidak larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat fosfat
atau antasida misalnya kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.
Fe yang terdapat pada makanan hewani misalnya daging umumnya diabsorpsi lebih mudah
dibandingkan dengan makanan nabati.
Fe yang didapatkan pada hemoglobin dan mioglobin daging lebih mudah diabsorpsi
karena diabsorpsi dalam bentuk utuh, tidak memerlukan pemecahan lebih dahulu menjadi
elemen Fe.
Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe. Absorpsi ini
meningkat pada keadaan defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe dan meningkatnya
eritropoesis. Selain itu,bila Fe diberikan sebagai obat,bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta
jenis makanan dapat mempengaruhi absorpsinya.
Distribusi
Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin), suatu
beta 1-glubolin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan, terutama
kesum-sum tulang depot Fe.
Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe dalam plasma sebanding dengan jumlah
total transferin plasma, tetapi jumlah Fe dalam plasma tidak selalu menggambarkan
kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain transferin, sel-sel reticulum dapat pula mengangkut
Fe, yaitu untuk keperluan eritropoesis, dan juga berfungsi sebagai gudang Fe.
Metabolisme
Bila tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe mengikat suatu protein yang disebut
apoferitin dan membentuk feritin. Fe disimpan terutama pada sel mukosa usus halus dan
dalam sel-sel retikuloendotelial (di hati, limpa dan sum-sum tulang). Cadangan ini tersedia
untuk digunakan oleh sum-sum tulang dalam proses eritropoesis, 10% diantaranya terdapat
dalam labile pool yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan sisanya baru
digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam parenkim jaringan
tidak dapat digunakan untuk eritropoesis.
Bila Fe diberikan IV,cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang membentuk
feritin) dan disimpan terutama di dalam hati,sedamgkan setelah pemberian per oral terutama
akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari pemecahan eritrosit akan
masuk ke dalam hati dan limpa. Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi
akibat transfusi darah berulang-ulang atau akibat penggunaan preparat Fe dalam jumlah
berlebihan yang diikuti absorpsi yang berlebihan pula.
Ekskresi
Jumlah Fe yang diekskresi setiap hari sedikit sekali biasanya sekitar 0,5-1 mg seehari.
Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna yang terkelupas,
melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang dipotong. Pada proteinuria jumlah
yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat bersama dengan sel yang mengelupas. Pada
wanita usia subur dengan siklus haid 28 hari, jumlah ekskresi Fe yang diekskresi
sehubungan dengan haid diperkirakan sebanyak 0,5-1 mg sehari.
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi
hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC
26 - 35 %). Penyebab anemia mikrositik hipokrom yaitu berkurangnya zat besi (anemia
defisiensi besi), berkurangnya sintesis globin (thalasemia dan hemoglobinopati),
berkurangnya sintesis heme (anemia sideroblastik)
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis, dan
penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak:
MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH
= > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12,
asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
Jika seseorang diberikan darah dengan golongan yang tidak sesuai, terjadi dua
interaksi antigen-antibodi. Sejauh ini, konsekuensi yang lebih serius datang dari efek
antibodi dalamplasma resipien terhadap eritrosit donor yang akan dimasukkan. Efek
antibodi donor terhadap antigen terikat-eritrosit resipien kurang penting kecuali
ditransfusikan dalam jumlah yang besar karena antibodi donor terlarut pada plasma resipien
sehingga hanya terjadi sedikit kehancuran sel darah merah pada resipien. Interaksi antibodi
dengan antigen terikat-eritrosit dapat menghasilkan aglutinasi (penggumpalan) atau
hemolisis (pecah) sel darah merah yang diserang. Aglutinasi dan hemolisis sel darah merah
donor oleh antibodi dalam plasma resipien kadang dapat menyebabkan reaksi transfusi
yang fatal.
Gumpalan aglutinasi dari sel donor yang diterima dapat menyumbat pembuluh darah
kecil. Selain itu, salah satu konsekuensi mematikan dari ketidakcocokan transfusi adalah
gagal ginjal akut yang disebabkan oleh pelepasan sejumlah besar hemoglobin dari eritrosit
donor yang pecah. Jika hemoglobin yang bebas di plasma meningkat melebihi kadar kritis,
hemoglobin bebas akan mengendap di ginjal dan menyumbat struktur penghasil urine, yang
menyebabkan gagal ginjal akut.
Indikasi : untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma darah dalam
waktu bersamaan. Misalnya pada pendarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari 25-
30% volume darah total, syok hemoragik (keadaan dimana jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup karena volumenya kurang)
- Packed Red Cell (PRC)
Darah didapatkan sehingga mencapai hematokrit 65-70% yg berarti menghilangkan 125-150
ml plasma darah dari setiap 1 unitnya.
Indikasi : untuk meningkatkan jumlah eritrosit pada pasien dengan gejala anemia, yang
memerlukan massa eritrosit pembawa oksigen saja. Misalnya pada pasien penderita gagal
ginjal atau anemia karena keganasan, anemia defisiensi besi
- Washed Red Cell
Sel darah merah dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80% dengan volume
180 ml.
Indikasi : untuk mencegah febris dan alergi pada protein plasma
- Konsentrasi Trombosit (Platelet Concentrate)
Satu kantong konsentrat trombosit berisi 5,5 x 1010 trombosit dengann volume 50 ml. Harus
ditempatkan di tempat yang tepat untuk menjamin keoptimalan fungsi yaitu pada suhu
sekitar 20-24OC.
Indikasi untuk mengatasi keadaan trombositopenia berat. Misalnya pada leukemia akut,
anemia aplastik dan Purpura Idiopatik Trombositopenik.
- Fresh Frozen Plasma
Mengandung plasma dan faktor koagulan labil (faktor V dan faktor VIII), dibekukan dalam
8 jam dan disimpan pada suhu -20OC dapat bertahan selama 1 tahun. Memiliki volume 200-
250 ml.
Indikasi : untuk gangguan pembekuan darah, bila tidak ada cryopresipitate, misalnya pada
defisiensi faktor pembekuan multiple antara lain penyakit hati, Disseminated Intravascular
Coagulation dan Purpur Trombotik Trombositopenik.
- Cryoprecipitate
Mengandung faktor VIII (80-100 ml/unit), faktor von willebrand, fibrorectin dan fibrinogen
(150-300 mg/kantung).
Indikasi : untuk hemofilia A, penyakit von willebrand dan sumber fibrinogen pada acute
defibrinogen syndrome.
Pada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir indentik
dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab pendarahan paling sering pada laki-laki ialah pendarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan
pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhgia.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis. Setelah
gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat
peningkatan motilitas dan by pass usus halus proximal, yang menjadi tempat utama absorpsi
zat besi.
Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kkebutuhan besi yang
meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi
besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferrin menurun dan
kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum.
Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini
juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gelaja lainnya.
Manifestasi Klinis
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis anemia defisiensi besi. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia
dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Tahap ini merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan
tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi
serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber pendarahan yang membahayakan.
Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20 % kasus anemia defisiensi besi tidak
diketahui penyebabnya.
Diferensial diagnosis
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti :
anemia akibat penyakit kronik, thalasemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan
keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada tabel.
Anemia Anemia
Anemia
Keterangan defisiensi penyakit Thalasemia
sideroblastik
besi kronis
Ringan-
Derajat anemia Ringan Ringan Ringan-berat
berat
MCV Menurun Menurun Menurun Menurun
MCH Menurun Menurun Menurun Menurun
Besi serum Menurun Menurun Normal Normal
TIBC Meingkat Menurun Normal Normal
Saturasi
Menurun Menurun Meningkat Meningkat
transferin
Besi sumsum
Negatif Negatif Positif kuat Positif
tulang
Protoporfirin
Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Penatalaksanaan
. Gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan
trisemester tiga atau sebelum operasi.
c. Pengobatan lain
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan
dalam hemopoboesis (pembentukan darah) yaitu sintesis hemoglobin (Hb). Hemoglobin (Hb)
yaitu suatu oksigen yang mengantarkan eritrosit berfungsi penting bagi tubuh. Hemoglobin
terdiri dari Fe (zat besi), protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri dari Fe).
Besi bebas terdapat dalam dua bentuk yaitu ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Konversi
kedua bentuk tersebut relatif mudah. Pada konsentrasi oksigen tinggi, umumnya besi dalam
bentuk ferri karena terikat hemoglobin sedangkan pada proses transport transmembran, deposisi
dalam bentuk feritin dan sintesis heme, besi dalam bentuk ferro. Dalam tubuh, besi diperlukan
untuk pembentukkan kompleks besi sulfur dan heme. Kompleks besi sulfur diperlukan dalam
kompleks enzim yang berperan dalam metabolisme energi. Heme tersusun atas cincin porfirin
dengan atom besi di sentral cincin yang berperan mengangkut oksigen pada hemoglobin dalam
eritrosit dan mioglobin dalam otot.
SKENARIO 2
LIMFADENITIS TUBERKULOSIS
4. Apa hubungan batuk yang tak kunjung sembuh dengan benjolan di leher?
Jawab :
Batuk tidak kunjung sembuh mengarah pada TBC. TBC menyerang kelenjar getah bening.
TBC dibagi menjadi 2, ada TBC paru dan TBC kelenjar.
TBC paru : identik dengan batuk lama lebih dari 3 minggu yang tidak kunjung sembuh.
TBC kelenjar : ditandai dengan pembesaran KGB pada bagian leher dan rahang serta badan
meriang dan pegal
Diminum sebaiknya saat keadaan lambung kosong 1-2 jam sebelum makan dan
atau ketika terkena penyakit lambung maka bisa diminum bersamaan saat makan.
Efek samping
Neuritis perifer, neuritis optik, reaksi psikosis, kejang, mual, muntah, kelelahan, gangguan
lambung ,gangguan penglihatan, demam, kemerahan kulit , defisiensi vitamin B, dan
hepatotoksisitas.
9. Bagaimana cara membedakan tumor jinak dan ganas? Melalui pemeriksaan fisik apa?
Jawab :
Tanda-tanda tumor jinak :
- Tumbuhnya lambat dan biasanya mempunyai kapsul
- Tidak tumbuh infiltratif, tidak merusak jaringan sekitarnya, dan tidak menimbulkan anak
sebar pada tempat yang jauh
- Tumor jinak pada umumnya disembuhkan dengan sempurna kecuali yang mensekresi
hormone atau yang terletak pada tempat yang sangat penting, misalnya di sumsum tulang
belakang yang dapat menimbulkan paraplesia atau pada saraf otak yang menekan jaringan
otak.
Tanda-tanda tumor ganas :
- Tumor ganas pada umumnya tumbuh cepat, infiltrative, merusak
jaringan di sekitarnya.
- Dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran limpe atau aliran
darah dan sering menimbulkan kematian.
- Mempunyai kemampuan metastasis
- Eksisi luas, pengangkatan rasional, pengobatan sistem (kemoterapi)
Kelenjar limfe membesar untu memproduksi sel limfoid serta menyaring sel
tubuh yang mengalami kerusakan agar tidak menyebar ke organ lain
14. Sebutkan jenis-jenis antibiotik!
Jawab :
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat
mematikan/menghambat pertumbuhan kuman.
1. Antibiotik berdasarkan aktivitasnya/spektrum/kisaran terjadinya :
SKENARIO 3
DENGUE HEMORRAGIC FEVER (DHF)
1. Mengapa terjadi demam? Jelaskan perbedaan demam karena infeksi bakteri dan infeksi virus!
Jawab :
Aktifnya makrofag dan monosit sebagai respon imun tubuh untuk melawan infeksi yang
datang menyebabkan terangsangnya mediator nyeri seperti histamin dan prostaglandin.
Terangsangnya prostaglandin akan menyebabkan terjadi demam.
Demam infeksi terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya
terangsang oleh pirogen eksogen yang berasal dari mikroorganisme. Pirogen merupakan
protein yang identik dengan Interleukin-1 dan di dalam hipotalamus merangsang pelepasan
asam arakidonat lalu terjadi sintesis PGE2 naik kemudian terjadilah demam.
Ciri infeksi virus:
a. Demam tinggi
b. Demam akut dadakan
c. Suhu 39°C
d. Takikardi
e. Ruam merah
Ciri infeksi bakteri : Demam gradual (naik turun pada minggu pertama, minggu kedua suhu
tinggi tetapi stabil.
Demam tinggi karena adanya sitokin yang dihasilkan respon imun oleh virus yang
masuk. Virus menggunakan sel makrofag untuk tempat replikasi diri. Selama replikasi, virus
terhindar dari respon imun yang lain, sehingga respon imun dan sitokin yang dihasilkan
berkurang dan demam mulai turun. Saat replikasi selesai, virus akan siap dikeluarkan lagi
melalui lisis sel, sehingga virus yang telah replikasi keluar dari makrofag dan respon imun
meningkat kembali dan menghasilkan sitokin kembali, akibatnya demam meningkat kembali
dengan virus yang telah bereplikasi. Demam yang meningkat kembali suhunya tidak sama
ketika awal infeksi karena telah terbentuk antibodi tubuh spesifik virus. Sehingga pada saat
virus keluar dan menyerang lagi, tubuh sudah dapat mengkompensasi serangan virus tersebut
untuk menetralisir.
Contoh demam yang berpola bifasik
a. Colorado tick fever
b. Rit valey fever
c. Poliomielitis
d. Kariomeningitis limfositik
e. Demam dengue
f. Demam kuning (Yellow fever)
g. African hemorraghic fever
3. Bagaimana hubungan demam dengan cephalgia, nausea, nyeri regio epigastric, dan myalgia?
Jawab :
Cephalgia
Aktifnya makrofag dan monosit sebagai respon imun tubuh untuk melawan infeksi
yang datang menyebabkan terangsangnya mediator nyeri seperti histamin dan prostaglandin.
Terangsangnya prostaglandin akan menyebabkan terjadi demam. Kemudian histamin ini yang
nantinya akan menyebabkan terjadinya gangguan tekanan intrakranial yang berujung pada
cephalgia.
Nausea
IL-1 yang merupakan hasil dari aktivasi monosit dan makofag akan memicu rasa
kenyang di nucleus centralis sehingga akan membuat tubuh terus terasa kenyang. HCl yang
dihasilkan gaster tetap terus terproduksi yang pada akhirnya membuat tubuh merasa mual.
normal.
Epistaksis adalah perdarahan pada hidung yang terjadi karena pecahnya pembuluh darah
di dalam selaput mukosa hidung. Terjadi disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang
mengandung banyak pembuluh darah , lepasnya mukosa akan disertai luka ada pembuluh
darah yang mengakibatkan perdarahan. Epistaksis dibagi menjadi 2 :
a. Epistaksis anterior, pada bagian depan hidung , pecahnya pembuluh Kiesselbach dan darah
mengalir keluar dari hidung.
b. Epistaksis posterior pada bagian posterior hidung dan pecahnya pembuluh darah Woodruff dan
menghasilkan sensasi seperti menelan darah.
Epistaksis diebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Faktor lokal
- Trauma
- Obat semprot hidung
- Iritasi akan zat kimia
- Kelainan vaskular
b. Faktor iskemik
- Usia
- Sindrom rendu oster weber
- Oba-obatan golongan antikoagulan
- Kurangnya faktor koagulasi
- Penyakit kardiovaskular
- Kegagalan fungsi suatu organ
- Atheroslerosis
- Kelainan hormonal
c. Faktor lingkungan
- Perubahan cuaca yang ekstrem (irama sikardian yang dapat berubah-ubah)
- Absorpsi
Secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma
dicapai dalam waktu 30 menit dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke
seluruh cairan tubuh.
- Distribusi
Dalam plasma, 25% paracetamol terikat protein plasma.
- Metabolisme
Obat paracetamol dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian paracetamol
dikonjugasi dengan asam glukoronat dan lainnya dengan asam sulfat. Obat ini bisa
mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi dapat menyebabkan hemolysis eritrosit.
- Ekskresi
Obat paracetamol diekskresi melalui ginjal dalam bentuk urin yaitu sebagian kecil dalam
bentuk paracetamol, sebagian besar sebagai bentuk konjugasi
Macam Macam Vitamin
Vitamin A diabsorpsi sempurna melalui saluran cerna. Kadar dalam plasma mencapai puncak
setelah 4 jam. Absorpsi vitamin A berkurang bila diet kurang mengandung protein, atau pada
penyakit infeksi tertentu, dan pada penyakit hati seperti hepatitis, sirosis hati atau obstruksi biliaris.
Vitamin A terutama disimpan di dalam hati sebagai palmitat, dalam jumlah kecil ditemukan juga di
ginjal, adrenal, paru, lemak intraperitoneal dan retina.
Vitamin B. Pada pemberian parenteral, absorbsinya cepat dan sempurna. Absorbsi per oral
maksimum 8-15 mg/hari yang dicapai dengan pemberian oral sebanyak 40 mg. Dalam satu hari
sebanyak 1 mg tiamin mengalami degradasi di jaringan tubuh.
Vitamin B2. Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorbsi dengan baik dan distribusi
merata di seluruh jaringan.
Vitamin B3. Niasin dan niasinamid mudah diabsorbsi. Ekskresinya melalui urin, sebagian kecil
dalam bentuk utuh dan sebagian lainnya dalam bentuk berbagai metabolitnya.
Vitamin B5. Pada pemberian oral, absorbsinya baik dan distribusinya ke seluruh tubuh dengan
kadar 2-45 mcg/g. Ekskresi dalam bentuk utuh 70% melalui urin dan 30% melalui tinja.
Vitamin B6. Piridoksin, piridoksal dan piridoksamin mudah diabsorbsi melalui saluran cerna.
Ekskresi melalui urin terutama dalam bentuk 4-asam piridoksat dan piridoksal.
Vitamin C mudah diabsorbsi melalui saluran cerna. Ekskresi melalui urine dalam bentuk utuh dan
bentuk garam sulfatnya terjadi jika kadar dalam darah melewati ambang rangsang ginjal 1,4 mg%.
Absorpsi vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin D3 diabsorpsi lebih cepat dan lebih
sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung empedu dan saluran cerna seperti steatore akan
mengganggu absorpsi vitamin D.Vitamin D disimpan dalam bentuk inert di dalam tubuh, untuk
menjadi bentuk aktif vitamin D harus dimetabolisme lebih dahulu melalui serangkaian proses
hidroksilasi di ginjal dan hati.Ekskresi vitamin D terutama melalui empedu dan dalam jumlah kecil
ditemukan dalam urine
Vitamin E diabsorpsi baik melalui saluran cerna. Dalam darah terutama terikat dengan beta-
lipoprotein dan didistribusi ke semua jaringan. Kebanyakan vitamin E diekskresi secara lambat ke
dalam empedu, sedangkan sisanya diekskresi melalui urine sebagai glukuronida dari asam
tokoferonat atau metabolit lain.
Absorpsi vitamin K melalui usus sangat tergantung dari kelarutannya. Absorpsi filokuinon dan
menakuinon hanya berlangsung baik bila terdapat garam-garam empedu, sedangkan menadion dan
derivatnya yang larut air dapat diabsorpsi walaupun tidak ada empedu
9. Jelaskan trombositopoiesis!
Jawab :
Proses pembentukan trombosit (Megakarioblast- Promegakariosit- Megakariosit- Trombosit)
(BACA PPT DR DHARMA YANG HEMATOPOIESIS)
11. Jelaskan prosedur pemeriksaan jumlah trombosit, leukosit, dan waktu koagulasi!
Jawab :
BACA BUKU PRAKTIKUM PK
12. Jelaskan tentang dengue hemorragic fever!
Jawab :
Definisi
Dengue Haemorragic Fever adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti ( betina ) dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi,
yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniket akan positif dengan/tanpa
ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan
Etiologi
Penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah virus dengue yang ditularkan
kemanusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Yaitu virus yang tergolong arbovirus,
berbentuk batang bersifat termolabil, stabil pada suhu 70 º C.
Patofisiologi
Fenomena patofisiologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang
extra seluler. Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk kedalam tubuh penderita adalah
viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjer getah bening,
pembesaran hati (hepatomegali), dan pembesaran limpa (splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler terjadi karena penglepasan zat anafilaktosin,
histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikren yang berakibat ekstravisasi cairan
intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia serta renjatan/shock. Hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit > 20 %) menunjukkan adanya kebocoran / prembesan plasma sehingga nilai
hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intra vena. Jika pemberian cairan
tidak adekuat, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika hipovolemik atau renjatan
berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak
segera diatasi dengan baik.
Terjadinya trombositipenia, menurunnya fungsi trombosit dan faktor koagulasi
(protombin, faktor V, VII, IX, X, dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya
perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal.
Diagnosis banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya, malaria.
Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD
dengan penyakit lain
b. DBD harus dibedakan pada demam chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek,
suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih
sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir
sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya
sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit berat, demam
naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis
disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan
laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus.
Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat 12
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
antara 13 – 15 hari, rata – rata 2 – 8 hari. Penderita biasanya mengalami:
- Demam akut / suhu meningkat tiba-tiba (selama 2 – 7 hari).
- Sering disertai menggigil
- Perdarahan pada kulit ( petekie, ekimosis, hematoma ) serta perdarahan lain seperti
epitaksis, hematemesis, hematuria dan malena
- Keluhan pada saluran pernapasan ; batuk, pilek, sakit waktu menelan
- Keluhan pada saluran cerna ; mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi
- Keluhan sistem tubuh yang lain ; nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada seluruh tubuh, kemerahan
pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia,
otot-otot sekitar mata sakit bila disentuh.
- Hepatomegali, splenomegali
Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi:
1) Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet (+),
trombositopenia, dan hemakonsentrasi.
2) Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3) Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, gelisah,
sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari ( tanda-tanda dini renjatan ).
4) Derajat IV
Renjatan berat ( DSS ) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur
Kriteria klinis demam berdarah ( DHF ) menurut WHO, 1986 ;
1) Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, kemudian turun secara lisis. Demam
disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang,
persendian dan kepala
2) Manifestasi perdarahan ; uji tourniquet positif, petekie, purpura, ekimosis, epitaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, malena.
3) Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
4) Dengan / tanpa renjatan. Renjatan biasanya terjadi pada saat demam menurun ( hari ke 3
dan ke 7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis
buruk.
5) Kenaikan nilai hematokrit / hemokonsentrasi
Pemeriksaan Penunjang
1) Darah. Leukopenia terjadi pada hari ke 2 atau 3, karena berkuarangnya limfosit pada saat
peningkatan suhu pertama kali. Trombositopenia dan hemokonsentrasi. Uji tourniquet
positif merupakan pemeriksaan yang penting. Masa pembekuan normal tapi masa
perdarahan memanjang.
2) Urine. Mungkin ditemukan albuminuria ringan.
3) Sumsum tulang ; Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada
hari ke-5 dengan gangguan maturasi.
4) Serologi ; Dengan mengukur titer antibodi dengan cara haemaglutination inhibition test
( HI Test ) atau dengan uji pengikatan komplemen untuk mengetahui tipe virus yang
mungkin timbul kembali dari 4 serotipe yang ada.
Penatalaksanaan
Setiap penderita tersangka DHF sebaiknya dirawat ditempat terpisah dengan penderita
lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk, dan penatalaksanaan DHF tanpa penyulit
adalah:
1) Tirah baring
2) Makanan lunak. Bila belum ada nafsu makan dianjurkan minum banyak 1,5 – 2 liter
dalam 24 jam.
3) Medikamentosa yang bersifat simptomatis (Antipiretik, kompres dingin).
4) Antibiotika diberikan bila terdapat kekhawatiran infeksi sekunder.
5) Terapi cairan intra vena
6) Transfusi
Indikasi pemberian transfusi darah
Lima indikasi umum transfusi darah:
o Kehilangan darah akut, bila 20–30% total volume darah hilang dan perdarahan
masih terus terjadi.
o Anemia berat
o Syok septik (jika cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah dan
sebagai tambahan dari pemberian antibiotik)
o Memberikan plasma dan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan, karena
komponen darah spesifik yang lain tidak ada
o Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat.
Memberikan Transfusi Darah
Sebelum pemberian transfusi, periksa hal sebagai berikut:
Golongan darah donor sama dengan golongan darah resipien dan nama anak serta
nomornya tercantum pada label dan formulir (pada kasus gawat darurat, kurangi risiko
terjadinya ketidakcocokan atau reaksi transfusi dengan melakukan uji silang golongan
darah spesifik atau beri darah golongan O bila tersedia)
Kantung darah transfusi tidak bocor
Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna plasma darah
tidak merah jambu atau bergumpal dan sel darah merah tidak terlihat keunguan atau
hitam
Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid 1mg/kgBB IV saat awal transfusi
darah pada anak yang sirkulasi darahnya normal. Jangan menyuntik ke dalam kantung
darah.
Komplikasi
1) DHF mengakibatkan perdarahan pada semua organ tubuh seperti; perdarahan ginjal, otak,
jantung, patu-paru, limfa dan hati karena pembuluh darah mudah rusak dan bocor.
Sehingga tubuh kehabisan darah dan cairan, serta menyebabkan kematian.
2) Enselopati
3) Gangguan kesadaran dan disertai kejang
4) Disorientasi
SYOK ANAFILAKTIK
1. Jelaskan mekanisme terjadinya reaksi anafilaktik!
Jawab :
Mekanisme hipersensitivitas (anafilaktik)
Merangsang membran sel makrofag untuk melepas sel precursor pembentuk IgE
IgE diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast
Pada saat tubuh diserang lagi oleh antigen yang sama, maka antigen akan dikenali oleh reseptor F ab
yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE
Melepaskan mediator-mediator endogen (histamin, serotonin, kinin, Platelet Activating Factor (PAF)
Pelepasan endogen bila berlangsung cepat: akut, tidak dapat diatasi oleh antihistamin
Pada saat fase akut: fosfolipid di membran sel mast & basofil dipengaruhi oleh enzim fosfolipase
sehingga menjadi asam arakhidonat dan akhirnya membentuk prostaglandin, tromboksin, dan
leukotrien (mediator endogen anafilaksis)
2. Apa saja zat-zat yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis?
Jawab :
Selain obat yang dapat menjadi penyebab tersering dari anafilaksis, terdapat beberapa
pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang
panas, air yang dingin, dan beberapa kejadian yang tidak diketahui penyebabnya. Makanan
merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada orang dewasa. Secara umum
makanan ataupun jenis obat apapun dapat menjadi pemicu, namun bebrapa jenis makanan
seperti kacang-kacangan dan juga obat seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID, serta aspirin
dilaporkan menjadi penyebab tersering dari anafilaksis.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan antigen yang
sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan yaitu reaksi transfusi, Rhesus
Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae related cold agglutinins, Tiroiditis Hashimoto,
Sindroma Goodpasture’s, Delayed transplant graft rejection.
Hipersensitivitas tipe III
Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi
IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam serum. Seperti tipe yang
lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi
IgG dan IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan
IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk ikatan
antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam
jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga dihasilkanlah
mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan
kinin yang memungkinkan makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena
kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga
akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan
menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam
setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang
ditimbulkan yaitu Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum, Polyarteritis
nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis, Elephantiasis (Wuchereria bancrofti
reaction), Serum Sickness.
Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi
ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini
timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut
reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing,
mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus
kulit, dan lain-lain.
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk
sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat
mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat
inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4 + ini. Dalam beberapa penyakit autoimun
sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan
adalah sel T CD8+.
Patofisiologi
Alergen
Darah akan dikenali APC dimukosa maupun di darah
APC mempersentasikan antigen ke sel limfosit th2
Th2 akan mengeluarkan sitokin (IL-4 dan IL-13)
Sel memori
Ig E
Alergen masuk
Berikatan dengan ig E
Mengaktivasi sel mast
Mengeluarkan mediator inflamasi
Terjadi gejala pada system organ
Diagnosis
Diagnosis anafilaksis di tegakan berdasarkan adanya gejala klinik yang sistematik yang mun
cul beberapa detik atau menit setalah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetus nya.
Diagnosis banding
Beberapa keadaan yang meyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi vasovagal , infark miokard
akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema herediter.
Prognosis
Penanganan yang cepat dan tepat akan memperbaik, penanganan yang lambat akan memperb
uruk dan berakibat fatal karena syok anafilaktik dapat menyebabkan kematian. Dan dapat ka
mbuh kembali jika terpapar antigen spesifik yang sama.
Komplikasi
Penatalaksanaan
- Adrenalin 0,3 ml – 0,5 dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulang
i 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup sin
gkat. Jika respon pemberian secara intramuscular kurang efektif, dapat diberi secara intraven
a setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10ml dengan NACL fisiologis, diberika
n perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efek
nya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokontriksi pada kulit sehingga absorbsi obat
tidak terjadi.
- Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik karena :
- Obat adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat sehingga penderita dengan cepat terhinda
r dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
- Adrenalin mampu meng vasokontriksikan pembuluh darah dengan kuat sehingga tekanan dar
ah naik kembali secara cepat.
- Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH , dengan AH2 bekerja secara sinergistik terhad
ap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan
oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat, antihistamin dapat di berikan IV. Untuk
AH2 seperti simetidin 300mg atau ranitidine 150mg harus diencerkan dengan 20ml NACL 0.
9% dan diberikan dalam waktu 5menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian si
metidin harus dihindari sbg gantinya dipakai ranitidine.
- Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan nafas maup
un gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaks
is akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsu
ng lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan i
ntravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat
diberikan setiap 4-6 jam.
SKENARIO 5
LUPUS ERITEMASTOSUS SISTEMIK (LES)
1. Jelaskan definisi, etiologi, kriteria, manifestasi klinis, mekanisme, faktor-faktor yang
mempengaruhi, macam-macam penyakit autoimun!
Jawab :
Definisi
Autoimun adalah suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang terjadi
akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance atau
dapat dikatakan sebagai kegagalan pada toleransi imunitas sendiri (antibodi tidak mengenali
antigen diri dan menganggap antigen diri itu asing). Penyakit autoimun terjadi ketika respon
autoimun atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang
jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis,
padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang
membahayakan tubuh
Etiologi
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan selftolerance sel B, sel T
atau keduanya. Potensi autoimun ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengeskpresikan reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimun terjadi karena self-
antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel
efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T
atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun, seperti Rheumatoid
Arthritis (RA) dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
- Terjadi karena self antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T
autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik
antibody maupun sel T, keduanya dapat berperan dalam patogenesis autoimun. Namun
penyebab sel menyerang dirinya sendiri belum diketahui secara pasti.
- Pajanan antigen diri yang dalam keadaan normal tidak dapat dikenali kadang-kadang memicu
serangan imun terhadap antigen tersebut.
- Antigen diri yang normal mengalami modifikasi oleh faktor-faktor seperti obat, bahan kimia,
lingkungan, mutase genetik sehingga tidak lagi dikenal oleh sistem imun.
Manifestasi Autoimun
- Nyeri di sekujur tubuh
- Nyeri sendi, lutut, pergelangan tangan, kaki disertai pembengkakan atau kekakuan
- Fatigue (merasa lelah berkepanjangan)
- Timbul demam ringan namun suhunya masih dalam batas normal
- Sering terkena sariawan
Mekanisme autoimun (mekanisme hipersensitivitas tipe III)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Bisa berasal dari faktor genetik, lingkungan (terpapar zat kimia), hormon (misalnya
hormon estrogen pada wanita), infeksi dan kemiripan molekuler (beberapa bakteri memiliki
epitop yang sama dengan antigen sel sendiri), obat-obatan (antigen asing dapat diikat oleh
permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat
mengubah imunogenitasnya)
a. Faktor keturunan/genetik
Dapat dijumpai pada keluarga tertentu. Misalnya, anggota keluarga generasi pertama
mengandung autoantibodi maka keturunannya akan memiliki autoantibodi juga.
b. Faktor hormon dan seks
Hormon dari kelenjar tiroid, hipotalamus dan hormon adrenal mempengaruhi
homeostasis sistem imun dan rangsangan terhadap antigen. Hormon seks yang berperan
yaitu hormon estrogen sehingga kemungkinan wanita mengidap autoimun lebih besar dari
pria.
c. Faktor mikroba
Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respon imun
yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan terhadap sel T yang
selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.
d. Sifat autoantigen
Enzim dan protein sebagai antigen sasaran dan bereaksi silang dengan mikroba.
e. Obat-obatan
Obat-obatan dari jenis klorpomazin, metilpoda, isoniazid, dilantin, penisilamin,
kuinidine, hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (obat detak jantung yang tidak
teratur) jika dikonsumsi terus akan membentuk antibody penyebab Lupus.
f. Usia
Biasanya penyakit autoimun menyerang dewasa.
Macam penyakit autoimun
a. Penyakit autoimun spesifik organ
Beberapa penyakit autoimun endokrin merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam
penyakit autoimun spesifik organ. Pada autoimunitas endokrin ini, proses diduga diawali
dengan proses inflamasi dalam kelenjar endokrin. Sel-sel inflamasi menghasilkan berbagai
sitokin yang merangsang ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel endokrin. Kesalahan
dalam ekspresi ini atau pengenalan kompleks MHC dengan antigen menyebabkan autoantigen
dianggap sel asing sehingga sel-sel endokrin dihancurkan secara oksidatif dan enzimatik. Hal
ini menyebabkan antigen-antigen kelenjar endokrin semakin banyak yang dilepas dan
berinteraksi dengan sel-sel imun. Keberadaan autoantibodi akan menunjang diagnosis penyakit.
- Tiroiditis Hashimoto
Pada penyakit ini, terjadi apoptosis yang mengakibatkan kehancuran sel-sel tiroid.
Dalam prosesnya, respons imun selular berperan utama dalam menimbulkan keadaan
patologik, meskipun autoantibodi juga dapat ditemukan dalam tiroiditis Hashimoto. Diduga
sitotoksisitas yang terjadi adalah sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (ADCC), karena di
sini limofist T sendiri tidak bersifat sitotoksik terhadap sel kelenjar. Manifestasi klinis dapat
berupa kelainan fungsi dan perbesaran kelenjar.
- Graves’ Disease atau Tirotoksikosis Graves
Tirotoksikosis adalah peristiwa berlebihnya hormon tiroid pada tubuh yang biasa
diakibatkan oleh hipertiroidisme atau hiperaktivitas tiroid. Graves’ disease merupakan
penyebab hipertiroidisme yang paling umum. Penyakit ini timbul akibat produksi antibodi
yang merangsang tiroid. Antibodi yang menstimulasi tiroid disebut juga thyroid-stimulating
immunoglobulin (TSI) atau long-acting thyroid stimulator (LATS). Target dari antibody
tersebut adalah reseptor TSH pada sel tiroid TSI kemudian menstimulasi sekresi dan
pertumbuhan tiroid seperti halnya hormon TSH. Akan tetapi, TSI tidak dapat diberikan
negative-feedback sehingga pertumbuhan tiroid tersebut tidak terkontrol. Terkadang TSI
juga dapat memblok produksi hormon tiroid sehingga menimbulkan gejala yang kompleks.
- Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus tipe I dahulu biasa disebut sebagai diabetes melitus yang bergantung
insulin (insulin-dependent diabetes mellitus). Diabetes tipe ini adalah penyakit metabolik
multisistem. Dasar penyakit ini adalah hancurnya sel-sel B pankreas yang memproduksi
insulin oleh proses autoimun yang spesifik sel B sehingga produksi insulin terganggu.
Hancurnya sel B dapat terjadi karena beberapa mekanisme, misalnya lisis oleh sel T
sitotoksik, inflamasi yang dimediasi sel TH1 yang reaktif, produksi sitokin yang
menghancurkan sel, dan autoantibodi. Gejala-gejala penyakit ini adalah hiperglikemia dan
ketoasidosis. Ateroskerosis progresif dapat terjadi pada komplikasi kronis. Gejala ini dapat
berujung pada nekrosis iskemik pada organ internal dan alat gerak. Saraf perifer,
glomerulus, dan retina juga dapat rusak akibat obstruksi mikrovaskular.
b. Penyakit Autoimun Non Spesifik Organ
Contoh penyakit autoimun nonspesifik organ yang paling sering dijumpai adalah Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan Artritis Reumatoid, tetapi ada juga penyakit lain seperti
sklerosis sistemik, spondiloartropati seronegatif, dan Sindrom Sjörgren.
- Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
LES adalah penyakit autoimun kronis multisistemik yang umumnya terjadi pada wanita,
dengan perbandingan insidens wanita banding pria 10:1. Faktor risiko LES bergantung
pada faktor genetik dan lingkungan. Gejala-gejala umum pada LES adalah ruam, artritis,
glomerulonefritis.
LES merupakan penyakit yang diakibatkan endapan kompleks imun. Pertama-tama,
agregat kompleks imun akan disaring di ginjal sehingga mengendap di membran basal
glomerulus. Kompleks lainnya dapat mengaktifkan komplemen sehingga terjadi proses
inflamasi. Gejala yang bersifat sistemik pada LES melibatkan berbagai organ, seperti sendi,
sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal. Akan tetapi, kematian oleh LES umumnya
disebabkan kerusakan pada ginjal.
Mekanisme pembentukan endapan kompleks imun pada LES adalah hasil ikatan
autoantibodi dengan berbagai sel sehingga menimbulkan artritis, glomerulonefritis, dan
vaskulitis. Gejala-gejala seperti trombositopenia, anemia hemolitik, dan keterlibatan sistem
saraf pusat juga umum ditemukan. Pembentukan kompleks imun oleh autoantibodi dengan
eritrosit menghasilkan anemia hemolitik sedangkan autoantibodi dengan platelet
menghasilkan trombositopenia. (Akua N, 2015)
- Reumatoid Artritis (RA)
RA adalah penyakit kelainan sendi yang terjadi akibat tulang dan tulang rawan yang
rusak. Sendi-sendi yang rusak termasuk sendi pada jari, bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki.
Respons imun seluler dan humoral sama-sama berperan dalam inflamasi pada sinovial. Seperti
penyakit autoimun yang lain, faktor lingkungan dan genetik berpengaruh dalam menimbulkan
penyakit ini. Dalam satu model mengenai ide patogenesis RA, faktor lingkungan seperti infeksi
dan rokok merangsang pembentukan epitop antigen baru sehingga sel T dan antibodi individu-
individu yang rentan gagal melakukan toleransi.
2. Jelaskan farmakokinetik obat immunosupresan!
Jawab :
- Azatioprin
Adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan precursor 6-merkaptopurin.
Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin yang merupakan metabolit aktif.
Efek sampingnya akan menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa
usus dan sumsum tulang.
- Metotreksat (MTX)
Mempunyai onset kerja antirematik salaam 3-6 minggu, diabsorpsi cepat dan baik pada
dosis rendah, distribusinya yaitu penetrasi lambat, lebih lambat dari plasma, ikatan protein
50%, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di ginjal dan hati. Terjadi konversi
metotreksat menjadi 7-OH metotreksat di hati. Ekskresinya berbentuk urin dan feses. Dapat
digunakan untuk penyakit RA.
- Kortikosteroid (bukan immunosupresan)
Untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi dan untuk mencegah autoimun. Biasanya
digunakan Bersama immunosupresan. Kortikosteroid dapat menghambat proliferasi sel T.
d. Manifestasi klinis
- Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, berat badan turun
- Gejala di kulit termasuk ruam malar, ulkus di kulit dan mukosa, purpura, keboatakan
- Gejala nyeri sendi umumnya ditemukan namun sendi tidak mengalami deformitas
- Gastrointestinal berupa nyeri perut akibat vasculitis peradangan pembuluh darah
- Pada sistem saraf pusat dapat berupa kejang, koma, kelumpuhan pada satu sisi tubuh,
neuropati
- Nefritis yang bisa menyebabkan kematian
e. Diagnosis
Bila dijumpai empat atau lebih dari kriteria dibawah ini maka diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifitas 95%
- Ruam malar/butterfly rash
- Ruam discoid
- Fotosensitivitas
- Ulserasi mukokutaneus oral
- Arthritis (bengkak, kaku)
- Perikarditis
- Pleuritis
- Nefritis
- Anemia hemolitik dengan retikulosis
- ANA test (+), anti ds-DNA test (+)
f. Penatalaksanaan
Melalui obat seperti antiinflamasi non steroid (untuk nyeri sendi), kortikosteroid dosis
rendah, immunosupresan (siklofosfamid dalam bentuk intravena 0,5-1 gr/m 2 dalam 0,9%
NaCl, siklosporin dengan dosis 3-6 mg/kgBB)
g. Prognosis
Umumnya penyakit SLE mempunyai prognosis yang tidak terlalu buruk, prognosis
bertambah buruk jika terdapat komplikasi seperti kelainan pada otak, jantung, paru-paru
atau ginjal.
NOTE:
WAH BANYAK SEKALI YA RANGKUMANNYA, UDAH KAYA BUKU AJA HEHE. MAAF YA KALO
KEPANJANGAN, TAPI KALIAN BISA KAN YA NTAR DIPILIH-PILIH MANA YANG HARUS
DIPAHAMI DAN DIHAFAL. INI SUMBERNYA DARI BUKU SUCI, LAPORAN KALIAN, INTERNET,
DAN BUKU-BUKU LAINNYA. OH IYA KALO MASIH RAGU/MASIH KURANG SILAHKAN BISA
CARI REFERENSI SENDIRI YG LEBIH TERPERCAYA OK!
SEMOGA BERMANFAAT YA. SEMANGAT GENGS! JANGAN LUPA BELAJAR DAN BERDOA!
LUVV
CREATED AND EDITED BY: HILDA MAULYDA U😊