BLOK IMUNOHEMATOLOGI
MODUL 4 PERDARAHAN
TUTOR :
dr. I Putu Sudayasa, M.Kes
Oleh :
KELOMPOK I
1. Waode Tasya Amalia Haidar (K1A1 19 116)
2. Novia Desi Deria (K1A1 19 099)
3. Novia Wulandari Jusman (K1A1 19 100)
4. Annasai Dhiya Ulhaq (K1A1 19 082)
5. Ardina Febrianti (K1A1 19 083)
6. Aulia Kusumawati Merimbano (K1A1 19 084)
7. Nurfadhilah (K1A1 19 059)
8. Putu Ayu Ningtias Eka Putri (K1A1 19 060)
9. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
10. Salsabila Jurnarlin (K1A1 19 062)
11. Muhammad Sharcehan (K1A1 19 016)
12. Mutmainnah Sulistiah Nur (K1A1 19 017)
LAPORAN TUTORIAL
Menyetujui,
Tutor,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing
Tutorial Modul 1 Pilek Menahun. Tak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih kami kepada
teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam menyelesaikan
laporan hasil tutorial Pilek Menahun.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari
bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan
laporan yang kami susun ini.
Kelompok I
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN . . . . . . i
KATA PENGANTAR . . . . . . ii
DAFTAR ISI . . . . . . . . iii
I. SKENARIO . . . . . . . 1
II. KATA/KALIMAT SULIT . . . . . 1
III. KATA/KALIMAT KUNCI . . . . .
IV. PERTANYAAN . . . . . . 5
V. PEMBAHASAN . . . . . . . 6
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . 57
I. SKENARIO
Seorang perempuan berumur 25 tahun datang ke Puskesmas karena sejak kemarin timbul
bintik-bintik merah di lengan, tungkai dan badan serta keluar darah dari anusnya . penderita tidak
demam enam hari sebelumnya penderita baru sembuh dari batuk pilek.
Petekie adalah ruam sekunder berupa bintik-bintik merah keunguan kecil dan bulat
sempurna yang tidak menonjol akibat perdarahan intradermal atau submukosa. Patekie
berdiameter kurang dari 5 mm, dan tidak memucat, dapat bergabung menjadi lesi yang
lebih besar yang dinamakan purpura. Dapat ditemukan pada membrane mukosa dan
kulit, khususnya didaerah yang bebas atau daerah tertekan.
Penyebab dari ruam petekie antara lain karena koagulasi intravaskuler diseminata
yang terjadi pada berbagai jenis infeksi berat. Bila petekie yang timbul karena adanya
DIC yang disebabkan oleh infeksi maka seperti yang telah kita ketahui bahwa infeksi
bakteri/virus yang tidak bisa dihancurkan oleh imunitas selular akan mengaktifkan
imunitas humoral yaitu pembentukan IgG untuk menghancurkan bakteri/virus tersebut.
IgG yang ditemukan pada membrane trombosit akan mengakibatkan gangguan agregasi
trombosit dan meningkatkan pembuangan dan penghancuran trombosit oleh system
makrofag yang membawa reseptor membrane untuk IgG dalam limpa dan hati. Hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah trombosit sehingga terjadi
trombositopenia. Hilangnya trombosit dengan cepat dari sistem retikuloendotelial
menimbulkan gejala perdarahan. Perdarahan yang terjadi tidak sampai lapisan
epidermis karena epidermisnya tidak mengalami luka sehingga titik-titik darah tidak
keluar dari epidermis dan hanya terlihat petekie di epidermis.
Pilek adalah salah satu reaksi alergi tipe 1 atau hipersensitifiitas tipe 1. Alergi
atau hipersensitivitas tipe 1 adalah kegagalan kekebalan tubuh di manatubuhseseorang
menjadi hipersensitif dalambereaksi secara imunologiterhadap bahanbahanyang
umumnya imunogenik(antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (rafc) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase lambat (rafl) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Alergenyang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel b, sehingga
menyebabkan sel b berubah menjadi sel plasma dan memproduksi ig e. Ig e kemudian
melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, ig e dan
allergen akan menyebabkan pecahnya selmast dan mengeluarkan mediator kimia.
Efekmediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem,
spasmepada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi
tipe iniantara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesaknafas (hipersekresi sekret), oedem
dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang(spasme otot polos yang ditemukan
pada anafilaktic shock.
B. Bintik-bintik merah
alergen
alergen
diikat
diikat oleh
oleh
mengakibatkan
mengakibatkan antibody di
antibody di
hancurnya
hancurnya sel
sel permukaan
permukaan cell
cell
darah
darah merah
merah killer
killer
mengaktifkan
mengaktifkan melekat
melekat pada
pada
komplemen c2-
komplemen c2- permukaan sel
permukaan sel
c9
c9 darah merah
darah merah
4.Bagaimana hubungan umur terhadap gejala Perdarahan anus/melena yang di derita pasien?
Perdarahan SMBA (Saluran Makan Bagian Atas) pada orang lanjut usia yang
berumur lebih dari 60 tahun jumlahnya mencapai 35-45% dan separuhnya disebabkan
oleh tukak peptik. penyebab lain perdarahan SMBA yang banyak ditemukan pada usia
lanjut adalah gastritis dan usofagitis. Di Amerika insiden perdarahan varises oesofagus
dan Ca. venlrikuljpada orang lanjut usia dan usia muda adalah sama. Kebanyakan
penderita lanjut usia yang mengalami SMBA sebelumnya telah menderita penyakit
penyebab perdarahannya yang berlangsung Iama. Hanya sebagian kecilyang
perdarahannya tidak didahului oteh penyakit penyebab perdarahannya_Penderita lanjut
usia dengan perdarahan SMBA akul biasanya berupa hematemesis. Cooper et al.,
menemukan 50% penderjta dengan hemalemesis saja, hematemesis dan melena, 30%
melena saja. (cit. Reinus et a/., 1990).
5.mengapa tidak terjadi demam dan apa kaitannya dengan keluhan pasien?
Salah satu keluhan yang dirasakan oleh pasien adalah bintik-bintik merah,
dimana bintik-bintik merah merupakan salah satu reaksi hipersensitivitas tipe II. Reaksi
alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena
antibody melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel.
Antibodi yang berperan biasanya Ig G.
Pada proses immunitas humoral yang terjadi tidak menimbulkan demam karena
immunoglobulin tidak merangsang sitokin dari sel-sel yang dapat menyebabkan
perangsangan pusat demam seperti yang dilakukan oleh proses immunitas termediasi.
Pasien ITP mempunyai gambaran klinis yang khas, yaitu terjadi pada anak usia
4-6 tahun yang tampak “sehat” dengan gambaran perdarahan kulit seperti hematom dan
petekiae serta tanpa ada demam. Sebanyak 75% pasien datang dengan jumlah trombosit
<20.000/ uL. Sebagian besar kasus (hampir 2/3 kasus) mempunyai riwayat penyakit
infeksi yang terjadi hingga 4 minggu sebelumnya. Pemeriksaan fisis juga hanya
mendapatkan perdarahan kulit akibat trombositopenia. Gambaran darah tepi
menunjukkan jumlah trombosit rendah tanpa sel blast. Frekuensi komplikasi ITP anak
hanya 0,2% atau 1 per 500 kasus.
Demam
Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita yaitu demam non-
infeksi dan demam infeksi (Widjaja, 2008).
1) Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Demam non-infeksi timbul karena adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir,
dan tidak ditangani dengan baik. Contoh demam non-infeksi antara lain demam yang
disebabkan oleh adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam
karena stres, atau demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat misalnya
leukimia dan kanker.
2) Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan patogen, misalnya
kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh. Bakteri,
kuman atau virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, misalnya
melalui makanan, udara, atau persentuhan tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab
demam infeksi karena saat melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja
memasukan bakteri, kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita
dengan tujuan membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu.
Menurut Febry dan Marendra (2010) penyebab demam dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Demam infeksi, antara lain infeksi virus (cacar, campak dan demam berdarah) dan infeksi
bakteri (demam tifoid dan pharingitis).
2. Demam non infeksi, antara lain karena kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun
(penyakit yang disebabkan sistem imun tubuh itu sendiri).
3. Demam fisiologis, bisa karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas
dan kelelahan setelah bermain disiang hari.
Patofisiologi demam
Demam mungkin merupakan tanda utama penyakit yang paling tua dan paling
dikenal secara universal. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pada unggas,
reptil, amfibi, dan ikan. Jika terjadi pada hewan homeotermik, mekanisme termoregulasi
berperilaku seolah-olah mereka disesuaikan untuk mempertahankan suhu tubuh di tingkat
yang lebih tinggi daripada normal, yaitu, “seperti termostat yang disetel ulang” ke titik
baru di atas 37°C.
Reseptor suhu kemudian memberi sinyal bahwa suhu yang sebenarnya berada di
bawah titik patokan baru, dan mekanisme-mekanisme peningkat suhu mulai bekerja. Hal
ini biasanya menimbulkan sensasi dingin karena vaso-konstriksi kulit dan kadang hingga
menyebabkan menggigil. Namun, sifat respons bergantung pada suhu sekitar.
Peningkatan suhu pada hewan percobaan yang disuntik oleh suatu pirogen terutama
disebabkan oleh peningkatan produksi panas jika hewan ini berada di lingkungan dingin
dan terutama disebabkan oleh penurunan pengeluaran panas jika berada di lingkungan
hangat. Toksin dari bakteri, misalnya endotoksin, bekerja pada monosit, makrofag, dan
sel Kupffer untuk menghasilkan beragam sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen
(EP). Terdapat banyak bukti bahwa IL-1 β, IL-6, IFN-β, IFN-γ, dan TNF-α dapat bekerja
secara independen untuk menimbulkan demam. Sitokin-sitokin dalam darah ini adalah
polipeptida dan kecil kemungkinannya untuk menembus otak.
6.Apa saja yang dapat menyebabkan gangguan pada :
a. Vaskuler
Fisiologi pembuluh darah
Pembuluh darah terdiri atas:
a. Arteri berfungsi untuk mentranspor darah ke jaringan. Tekanan pada arteri
cukup tinggi oleh karena itu, arteri mempunyai dinding yang kuat dan elastis.
Darah mengalir dengan kecepatan tinggi di arteri.ketika mencapai organ yang
di darahnya, arteri bercabang-cabang menjadi banyak arteriol di dalam organ
tersebut.
b. Arteriol merupakan cabang-cabang kecil terakhir system arteri dan berfungsi
sebagai saluran kendali untuk menentukan jumlah darah yang akan dilepaskan
ke kapiler.Arteriol dapat melakukan vasokontriksi maupun vasodilatasi untuk
mengatur jumlah aliran darah menunju ke jaringan sesuai dengan kebutuhan
jaringan tersebut.
c. Kapiler berfungsi untuk pertukaran cairan,zat maknan,elektrolit,hormone, dan
bahan-bahan lainnya antara darah dan cairan interstisial.untuk dapat melakukan
peran ini,dinding kapiler bersifat sangat tipis dan tidak memiliki banyak pori-
pori kapiler kecil, yang permeable terhadap air dan zat bermolekul kecil
lainnya.
d. Venula berfungsi mengumpulkan darah dari kapiler dan secara bertahap
bergabung menjadi vena yang semakin besar
e. Vena berfungsi sebagai saluran untuk mengangkut darah dari venula kembali
ke jantung. Vena juga berperan sebagai penampung utama darah ekstra.
Gangguan vascular
-Mudah memar merupakan suatu kelainan jinak yang terjadi pada wanita
sehat,terutama pada usia subur
3. Trombositopenia
Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit kurang dari
risiko pendarahan hebat, bahkan dengan cedera ringan atau perdarahan spontan kecil.
Trombositopenia primer dapat terjadi akibat penyakit otoimun yang ditandai oleh
pembentukan antibodi terhadap trombosit. Misalnya pada :
- penggantian darah yang massif atau transfuse ganti (karena platelet tidak dapat
bertahan di dalam darah yang ditransfusikan) Pembedahan bypass
kardiopaskuler.
- Keadaan-keadaan yang melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah
(komplikasi kebidanan, kanker, keracunan darah, akibat bakteri gram negative,
kerusakan otak traumatic.
- Infeksi HIV
- Obat-obatan (heparin, kunidin,kuinin, antibiotic yang mengandung sulfa,
beberapa obat diabetesper-oral, garam emas, rifamicin)
- Infeksi berat disertai septicemia (keracunan darah) Keukemia kronik pada bayi
- Limpoma
4. Trombositosis
400.000/mm3 dalam sirkulasi. Dan ini berkaitan dengan peningkatan risiko trombosit
dalam system pembuluh. Apabila terjadi berkepanjangan akan mengalami memar
dan perdarahan, karena trombosit habis terpakai. Trombositosis dibagi menjadi dua
yaitu:
a. Trombositosis primer
b. Trombositosis sekunder
Terjadi akibat infeksi, olahraga, ovulasi, dan stress atau kerja fisik disertai
pengeluaran trombosit dari pool cadangan ( dari limpa) atau saat terjadinya
peningkatan permintaan sumsum tulang seperti pada pendarahan atau pada
anemia hemolitik. Jumlah trombosit yang meningkat juga ditemukan pada
orang yang limpanya sudah dibuang dengan pembedahan. Limpa adalah tempat
penyimpanan dan penghancuran utama trombosit, splenektomi tanpa disertai
pengurangan pembentukan sumsum tulang juga dapat menyebabkan trombositosis.
Terkadang, kenaikan kadar trombosit bisa sangat ekstrim terutama pada type
yang sekunder dimana sebenarnya kenaikan kadar trombosit itu juga merupakan
sebuah bentuk pertahanan diri yang dilakukan oleh tubuh untuk ikut melawan sel sel
penyakit yang berada dalam jaringan tubuh dan darahnya dengan menciptakan sebuah
iklim yang tidak disukai oleh sel sel penyerang tersebut sehingga diharapkan sel sel
penyusup yang berada dalam darah tersebut akan mati dengan sendirinya dan
tidak bisa menyebar pada jaringan yang lain.
C.pembekuan
Kelainan pada setiap faktor yang terlibat dalam proses hemostasis baik
kelainan kwantitatif maupun kwalitatif dapat mengakibatkan gangguan hemostasis.
Derajat gangguan hemostasis sesuai dengan derajat kelainan faktor hemostasis
sendiri. Pada beberapa kasus, tidak disadari adanya kelainan bahkan baru diketahui
setelah secara kebetulan dilakukan pengujian hemostasis untuk keperluan lain,
misalnya sebagai pemeriksaan prabedah, tindakan obstetrik, dan lain-lain. Gejala yang
membawa seorang penderita memeriksakan diri biasanya perdarahan tidak wajar atau
adanya perdarahan bawah kulit yang timbul berulang kali secara spontan. Saat
mulainya gejala perdarahan sering memberikan petunjuk kearah diagnosis. Perdarahan
yang berulang-ulang sejak kecil menunjukkan kemungkinan kelainan kongenital,
sedangkan bila terjadi mendadak atau pada orang dewasa biasanya kelainan sekunder
atau didapat.
Pada kelainan trombosit atau vaskuler, perdarahan terjadi segera setelah trauma.
Walaupun darah yang keluar tidak sebanyak pada kelainan pembekuan darah, tetapi
dapat berlangsung lama sampai berhari-hari.
A. DEFINISI
Penyakit ITP merupakan kelainan perdarahan yang disebabkan oleh
penurunan jumlah trombosit. Saat awal, ITP merupakan singkatan dari
idiopathic thrombocytopenic purpura karena belum diketahui penyebabnya.
Dengan perkembangan ilmu diketahui ternyata penyebabnya adalah kelainan
imun sehingga singkatan ITP berubah menjadi immune throm• bocytopenic
purpura. Di beberapa literature terakhir sering disebut sebagai immune
thrombocytopenia.
B. KLASIFIKASI
Konsensus International Working Group (IWG) tahun 2007 membuat
definisi dan klasifikasi ITP terbaru. Definisi ITP, yaitu keadaan trombosit
<100.000/uL. Hal ini didasari tiga pemikiran bahwa (1) kemungkinan
perdarahan pada jumlah trombosit 100.000-150.000/uL hanya sekitar 6,9%;(2)
nilai normal trombosit pada etnik Non•Western adalah sekitar 100.000-
150.000 /uL; (3) adanya trombositopenia ringan “fisiologik” yang terjadi pada
kehamilan. Selain itu, klasifikasi ITP juga mengalami perubahan menjadi ITP
newly diagnosed, ITP persisten dan ITP kronik. Definisi ITP primer adalah
keadaan trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya. Definisi ITP
sekunder adalah keadaan trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit
primer.
Penyakit primer yang sering berhubungan dengan ITP, antara lain, penyakit
autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid), infeksi virus (termasuk
Hepatitis C dan human immunodeficiency virus [HIV]), dan obat-obat
tertentu.
Terminologi Ket
Immune Menggantikan terminologi immune thrombocytopenia purpura
thrombocytopenia
Newly diagnosed ITP Menggantikanterminologi ITP akut(jumlah trombosit
<100.000/uLyang berlangsung
hingga 3 bulan)
ITP persisten ITP (jumlah trombosit <100.000/uL) yang berlangsung 3-12
bulan
ITP kronik ITP yang berlangsung >12 bulan
Sindrom antifosfolipid
Trombositopenia autoimun (contoh Sindrom Evans)
Efek samping pemberian obat
Infeksi Cytomegalovirus, Helicobacter pylori, Hepatitis C, Human Immunodeficiensy virus,
varicella zoster
Kelainan limfoproliferatif
Efek samping transplantasi sumsum tulang
Efek samping vaksinasi
Systemic lupus erythematosus
C.PATOFISIOLOGI
Penyakit ITP adalah penyakit autoimun yang disebabkan adanya
destruksi trombosit normal akibat adanya antibodi (antibody•mediated
destruction of platelets) dan gangguan produksi megakariosit. Penya- kit ITP
merupakan kelainan akibat disregulasi imun dengan hasil akhir adanya
hilangnya toleransi sistem imun terhadap antigen diri yang berada di
permukaan trombosit dan megakariosit. Sel T teraktivasi akibat pengenalan
antigen spesifik trombosit pada APC (antigen presenting cell) yang kemudian
menginduksi ekspansi antigen-spesifik pada sel B. Kemudian sel B
menghasilkan autoantibodi yang spesifik terhadap glikoprotein yang
diekspresikan pada trombosit dan megakariosit. Trombosit yang bersirkulasi
diikat oleh autoantibodi trombosit kemudian terjadi pelekatan pada reseptor FC
makrofag limpa yang mengakibatkan penghancuran trombosit. Selain itu,
terbentuk juga autoantibodi anti megakariosit yang mengurangi kemampuan
megakariosit untuk menghasilkan trombosit. Terjadi produksi autoantibody (A)
yang uL. Komplikasi perdarahan berat hanya terjadi pada 3% kasus ITP dengan
jumlah trombosit <20.000/ uL berupa epistaksis, melena, menorrhagia dan/atau
perdarahan intrakranial yang membutuhkan perawatan dan/atau transfusi darah.
Bahkan, penelitian lain menemukan bahwa hanya 3 dari 505 kasus (0,6%) yang
mengalami perdarahan hebat. Penelitian Yohmi dkk5 di RSCM (2007) men-
dapatkan gambaran klinis ITP adalah lebih sering terjadi pada anak laki-laki
(1,9 : 1), rerata usia 4,78 tahun. Komplikasi perdarahan yang terjadi adalah
petekiae (89%), episktaksis (18%), perdarahan mukosa mulut (12%),
perdarahan
subkonjungtiva (8%), hematemesis/melena (6%), hematuria (5%). Penelitian di
Amerika Serikat6 mendapatkan gambaran klinis ITP, yaitu 52% anak laki-laki,
teruta- ma usia 2- 5 tahun (37,6%). Komplikasi perdarahan yang terjadi adalah
epistaksis (8,4%), hematuria (2,3%), menoragia (2,6%), perdarahan saluran
cerna (2,2,%), perdarahan intrakranial (0,3%). Sebagian besar tanpa perdarahan
yang berat (85,8%). Penelitian Tarantino dkk7 (2016) juga mendapat- kan hasil
yang tidak jauh berbeda. Komplikasi perdarahan berat yang terjadi pada pasien
ITP anak yaitu perdarahan intrakranial (0,6%), perdarahan saluran cerna (0,4%),
dan hematuria (1,3%). Delapanpuluh lima persen pasien ITP anak tidak
mengalami perdarahan.
Gambar 1. Mekanisme disregulasi imun pada ITP3
meningkatkan penghancuran trombosit oleh makrofag limpa
(B) dan menurunnya produksi trombosit akibat antibodi anti-
megakariosit (C)
D.GAMBARAN KLINIS
Pasien ITP mempunyai gambaran klinis yang khas, yaitu terjadi pada
anak usia 4-6 tahun yang tampak “sehat” dengan gambaran perdarahan kulit
seperti hematom dan petekiae.
Sebanyak 75% pasien datang dengan jumlah trombosit <20.000/ uL.
Sebagian besar kasus (hampir 2/3 kasus) mempunyai riwayat penyakit infeksi
yang terjadi hingga 4 minggu sebelumnya. Pemeriksaan fisis juga hanya
mendapatkan perdarahan kulit akibat trombositopenia. Gambaran darah tepi
menunjukkan jumlah trombosit rendah tanpa sel blast. Frekuensi komplikasi
ITP anak hanya 0,2% atau 1 per 500 kasus.
Komplikasi perdarahan intrakranial terjadi pada jumlah trombosit <10.000/.
E.DIAGNOSIS
Diagnosis ITP ditegakkan setelah penyebab trom- bositopenia lain dapat
disingkirkan. Beberapa infeksi perlu disingkirkan seperti HIV, Hepatitis C,
Helicobacter Pylori, dan CMV. Kecurigaan ke arah keganasan dan pengaruh obat
seperti valproat, heparin juga harus disingkirkan. Pemeriksaan antibodi
antifosfolipid dan lupus anticoagulant harus diperiksa bila gejala ITP menjadi
persisten/kronik.8
Bila gambaran klinis sangat mendukung ke arah ITP, maka pemeriksaan
sumsum tulang ti- dak perlu dilakukan (Grade 1B). Pemeriksaan sumsum tulang
juga tidak dilakukan bila pasien tidak memberikan respon setelah diberikan
IVIG (Grade 1B). Pemeriksaan sumsum tulang juga tidak dilakukan sebelum
pemberian kortikosteroid atau splenektomi (Grade 2C). Pemeriksaan sumsum
tulang dilakukan bila ITP tidak memberikan respons maksimal 180 mg/hari)
dibagi 3 dosis selama 7 hari, dilanjutkan 50% dosis pada minggu kedua, dan
tappering off pada minggu ketiga. Kortikosteroid parenteral diberikan
metilprednisolon sebanyak 15-30 mg/kg IV (maksimal 1 g/hari) selama 30-60
menit selama 3 hari. Efek samping pemberian kortikosteroid adalah hipertensi,
nyeri perut dan ulkus peptikum, hiperglikemia, osteoporosis, imunosupresi,
insufisiensi adrenal.
<14 hari dan jumlah trombosit pada follow•up minggu ke-4 menunjukkan
>100.000/uL.
Apabila perjalanan penyakit ITP telah mencapai 3 bulan maka penyakit ITP
dikategorikan sebagai ITP persisten. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan,
terdiri dari7
• Skrining penyakit autoimun : ANA, anti ds-DNA, Rheumatoid arthritis, C3,
C4
• Skrining tiroid : TSH, free T4, antibodi tiroid
• Pengukuran kadar imunoglobulin : IgG, IgA dan IgM
• Fungsi hati
• Tes PCR adanya virus seperti EBV, CMV, parvovirus, Hepatitis C, dan HIV
• H. Pylori
• Pemeriksaan sumsum tulang
• Antibodi antifosfolipid
Berbagai pilihan terapi yang dapat diberikan pada kasus ITP persisten dan kronik,
yaitu8
• Deksametason 28 mg/m2/hari akan memberikan respons hingga 80%.
Biasanya respon akan timbul dalam waktu 3 hari.
• Metil prednisolon dosis tinggi 30 mg/kg/hari selama 3 hari yang dilanjutkan
dosis 20 mg/kg/hari selama 4 hari. Respons terjadi pada 60%-100% kasus yang
terjadi pada 2-7 hari.
• Rituximab 100 mg atau 375 mg/m2/minggu selama 4 minggu. Respons
bervariasi 31%-79% kasus.
• Terapi obat atau kombinasi obat, siklosporin A, azatioprin, metil prednisolon,
IVIG, anti-D, vinkristin, dan danazol. Sekitar 70% kasus memberikan respons. •
Splenektomi. Dalam waktu 24 jam pasca sple- nektomi, jumlah trombosit akan
meningkat. Namun demikian, tindakan ini sangat berisiko terjadinya komplikasi
sepsis.
Salah satu faktor prediktor perjalanan ITP newly diagnosed menjadi ITP kronik
adalah usia saat diagnosis. Penelitian Shim16 (2014) memperlihatkan bahwa usia di
atas 10 tahun lebih sering menjadi ITP kronik. Penelitian di Turki7 pada tahun 2014
juga mendapatkan usia lebih 10 tahun mempunyai kemungkinan 3 kali menjadi ITP
kronik ((OR=3,0, CI=1,5-5,98). Faktor prediktor lain menjadi ITP kronik adalah
jenis kelamin perempuan (OR=2,55, CI=1,31-4,95). Obat yang digunakan pada
kasus ITP tertera pada Tabel 3. Sebagai kesimpulan, definisi dan klasifikasi ITP
telah mengalami perubahan.
Berbagai penelitian telah menunjukkan banyak perubahan pada tata laksana ITP.
Bila perdarahan yang terjadi adalah ringan, maka dapat dilakukan observasi dengan
berbagai pertimbangan. Bila terjadi perdarahan yang berat, pilihan terapi adalah
pemberian IVIG, kortikosteroid dan transfusi trombosit. Faktor sosial dalam
menentukan pilihan terapi seperti kecemasan orang tua, akivitas anak, dan jarak ke
pusat kesehatan harus tetap dipertimbangkan.
F. TATA LAKSANA
Cuker dkk1 merekomendasikan pasien ITP newly diagnosed dengan
trombositopenia berat tetapi klinis tanpa perdarahan/perdarahan ringan
sebenarnya tidak perlu diberikan tata laksana khusus. Hal tersebut juga sesuai
dengan rekomendasi IWG (Grade 1 B). “Tanpa perdarahan atau perdarahan
ringan”, yaitu perdarahan yang hanya terjadi di kulit berupa petekiae dan
hematom. Hal ini berdasarkan jarangnya kejadian perdarahan berat, jumlah
trombosit tidak dapat dijadikan faktor prediktor perdarahan dan adanya
toksisitas terapi. Namun demikian, walaupun jumlah kasus perdarahan berat
pada ITP anak yang cukup rendah dan perdarahan yang terjadi hanyalah
perdarahan ringan/tanpa perdarahan, dokter tetap perlu memperhatikan faktor
yang memengaruhi pertimbangan terapi pada ITP. Faktor yang menjadi
pertimbangan, antara lain, kecemasan orang tua, akivitas anak, dan jarak ke
pusat kesehatan.
Defenisi
Henoch‐Schonlein purpura (HSP) adalah ruam berwarna merah atau ungu pada
kulit karena terjadi peradangan pembuluh darah pada kulit, sendi, usus dan ginjal.
Penanganan yang tepat dapat memulihkan penderita HSP dalam beberapa
minggu. HSP tidak menular dan cenderung dialami oleh anak‐anak yang berusia
di bawah 10 tahun. Ruam biasanya terjadi pada bagian tubuh seperti pantat
(bokong), tungkai atau sekitar siku. Selain itu, ruam bisa juga timbul pada tubuh
bagian atas atau wajah. Gejala lain yang bisa ditimbulkan HSP adalah nyeri perut,
nyeri sendi, demam, muntah, tinja dan air seni terdapat flek darah .
Gambar Purpura
Epidemiologi
Penyakit yang tergolong langka ini (insiden pada anak sekitar 20 setiap 100.000 anak)
tidak menular dan tidak diturunkan di dalam keluarga. Epidemiologi HSP terjadi
lebih banyak
pada anak dari pada dewasa, dan biasanya terjadi sesudah infeksi saluran nafas atas.
Setengah
dari kasus berusia dibawah 6 tahun, 90% dibawah usia 10 tahun. Laki‐laki dua kali
lebih sering daripada perempuan
Etiologi
Penyebab HSP yang pasti belum diketahui, bisa terjadi setelah infeksi
virus/kuman, dan reaksi obat. HSP dapat terjadi setelah infeksi Streptococci (β‐
haemolytic, Lancefield group A), Hepatitis B, herpes simplex virus, parvovirus B19,
Coxsackievirus, Adenovirus, Helicobacter pylori, measles, mumps, rubella,
mycoplasma. Obat yang dilaporkan menyebabkan HSP, biasanya reaksi idiosynkrasi:
Vancomycin , Cefuroxime, ACE inhibitors enalapril dan captopril, diclofenac,
Ranitidine, streptokinase. Pemeriksaan patologi menunjukkan endapan anti bodi IgA1
polimer yang menyebabkan vaskulitis. Belum jelas apakah karena produksi berlebihan
dari sumsum tulang atau GI, atau berkurangnya klirens dari sirkulasi. Pada penderita
ini tidak didapatkan adanya riwayat sakit infeksi sebelumnya
Patofisiologi
HSP adalah gangguan inflamasi yang penyebabnya sampai saat ini belum
diketahui dan ditandai dengan kompleks imun IgA yang dominan dalam venula kecil,
kapiler dan arteriol. Diduga beberapa faktor memegang peranan, antara lain faktor
genetik, infeksi traktus respiratorius bagian atas, makanan, gigitan serangga, paparan
terhadap dingin, imunisasi.
Manifestasi klinis
1. Pemeriksaan kulit (pada umumnya merupakan tanda awal HSP), berupa makula
eritematous atau lesi urtikaria yang berkembang kemudian menjadi palpable‐purpura;
secara tipikal bersifat simetris. Purpura terjadi pada semua kasus. Purpura khas terlihat
pada tungkai bawah dan pantat. Bisa juga terjadi di bagian tubuh atas dan wajah. Telah
dijelaskan di atas bahwa kondisi itu sebenarnya merupakan perdarahan subkutan
(ekstravasasi eritrosit) akibat pembuluh darah yang mengalami peradangan
2. Pada pemeriksaan sendi didapatkan artralgia dan pembengkakan. Artralgia
merupakan gambaran klinis pada 25% kasus. Sendi mengalami bengkak, lunak, dan
sangat nyeri. Tetapi kondisi sendi yang hangat, eritema, dan adanya efusi bukan tipikal
dari HSP. Sendi lutut dan ankle yang paling sering terkena. Pada kondisi yang jarang
dapat mengenai jari‐jari dan pergelangan tangan. Temuan ini bersifat transient, tetapi
dapat terjadi lagi selama penyakit aktif. Nyeri sendi dan arthritis terjadi pada 80%
kasus, Nyeri sendi yang terkena adalah ankle, lulut, dan siku; nyeri bersifat
nonerosive, dan tidak menyebabkan deformitas permanen
3. Temuan di Gastrointestinal (GI) bisa berupa abdominal pain pada 62% kasus; bisa
disertai mual, muntah, melena, bloody diarrhea, hematemesis, ulkus duodenum.
Perdarahan gastrointestinal terjadi pada 33% kasus, dan kadang terjadi invaginasi
4. Kelainan ginjal berupa lesi glomerulus akut, meliputi mesangial hypercellularity,
endocapillary proliferation, necrosis, cellular crescents, dan leukocyte infiltration.
Kurang lebih 40% kasus berkembang menjadi nefritis yang ditandai adanya hematuria,
umumnya terjadi 4‐6 minggu sejak munculnya purpura. Separuhnya mengalami
proteinuria. Seperdelapannya mengalami komplikasi ginjal yang cukup berat yaitu
Sindroma Nefrotik. Kelainan urinalisis biasanya berlangsung lama, tetapi hanya 1%
yang menjadi Chronic Renal Disease. Meskipun patogenesisnya belum jelas, beberapa
studi mengatakan bahwa galactose‐deficient IgA1 (Gd‐IgA1) yang dikenali oleh
antiglycan antibodies menyebabkan pembentukan circulating immune complexes dan
deposisi mereka di glomerulus menginduksi renal injury pada HSP. Beratnya renal
involvement merupakan faktor penentu outcome jangka panjang anak‐anak HSP
dengan nefritis (HSPN)
5. Temuan lain ‐ Vasculitis bisa terjadi pada myocardium maupun paru
vasculitis pada central nervous system (CNS) dan intracranial hemorrhage
stenosis ureteritis, penile edema, scrotal oedema atau orchitis; bilateral
subperiosteal orbital hematomas; adrenal hematomas; acute pancreatitis sebagai
gambaran klinis tunggal
Diagnosis
Penatalaksanaan
Prognosis
Prognosis kasus HSP pada umumnya baik, yaitu bisa sembuh 94% pada anak, 89%
pada
dewasa. Pada anak dibawah 10 tahun rekurensi terjadi pada 1/3 kasus setelah 4 bulan
pertama terjadinya serangan. Rekurensi lebih sering pada anak yang lebih besar.
DIC
(DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)
A. DEFINISI
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi
koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang
malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti
leukemia dan kanker prostat, traktus GI dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang
umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis,
gagal hepar dan anfilaksis. ( Brunner & Suddarth, 2002)
Disseminated Intavascular Coagulation (DIG) didefinisikan sebagai kelainan atau
gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang berlebihan pada mekanisme
prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata
Sembiring, Paul Tahalele)
Jadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana
bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan
pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan
B. EPIDEMIOLOGI
Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon terhadap factor lain dibandingkan sebagai
kondisi primer. Tidak ditemukan factor predisposisi yang berhubungan dengan umur,
jenis kelamin, ataupun ras. (Hewish, 2005)
C. ETIOLOGI
Perdarahan terjadi karena :
1. Hipofibrinogemia
2. Trombositopenia
3. Beredarnya antikoagulan dalam sirkulasi darah (hasil perombakan fibrinogen)
4. Fibrinolisis berlebihan
D. KLASIFIKASI
Ada sumber yang menyebutkan bahwa DIC dibedakan menjadi dua bentuk klinis, yakni
DIC akut dan DIC kronik.
DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik timbulnya memar
atau lebam (ekimosis), perdarahan dari mukosa (seperti pada mukosa bibir atau
genital), dan penurunan jumlah trombosit dan factor pembekuan di dalam darah.
Purpura Fulminan adalah bentuk fatal yang terjadi cepat dan berbahaya dari DIC
akut.
DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah
(tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada pada nilai normal,
meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC kronik. (Ngan, 2005)
Sumber lainnya membagi DIC menjadi DIC subakut dan DIC akut.
1. DIC subakut berhubungan dengan komplikasi tromboembolik seperti DVT dan PE
seperti terjadinya pada katup jantung.
2. DIC akut
a. Trombositopenia dan penurunan factor koagulasi mengarah pada kecenderungan
terjadinya perdarahan
b. Diperburuk dengan meningkatnya degradasi fibrin sampai produk pemecah
fibrin yang akan mengganggu terhadap polimerasi fibrin dan juga terhadap
fungsi trombosit.
c. Endapan fibrin pada pembuluh darah kecil mempengaruhi terjadinya iskemia
jaringan. Organ yang paling mudah terpengaruh adalah ginjal, dimana endapan
fibrin dapat menyebabkan terjadinya acute renal failure.
d. Hemolisis dapat terjadi karena adanya kerusakan mekanis pada sel darah merah
sebagai akibat secunder dari deposit fibrin.
e. Pasien dapat mengalami fenomena neurologik karena adanya serangan iskemia
pada otak. (Anonym, 2005)
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik, dan proses
patologis yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis
hemoragik. Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat
ditemukan dalam waktu yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai petekie,
ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat
perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran
menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas akut dan iskemia fokal,dan gangrene
pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering
lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular yang
menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ yang
menyebabkan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering berhubungan
langsung dengan kondisi penyebabnya, adanya riwayat perdarahan dan hipovolume
seperti perdarahan gastro intestinal dan gejala dan tanda trombosis pada pembuluh darah
yang besar seperti DVT dan trombosis mikrovaskuler seperti gagal ginjal, perdarahan
dari setidaknya 3 daerah yang tidak berhubungan langsung dengan DIC seperti :
Epistaksis
Perdarahan gusi
Perdarahan Mukosal
Batuk
Dyspnea
Bingung, disorientasi
Demam
Kondisi yang dapat terjadi DIC antara lain :
1. Sepsis atau infeksi yang berat
2. Trauma ( Polytrauma, neurotrauma, emboli lemak )
3. Kerusakan organ ( Pankreatitis berat )
4. Malignancy ( Penyakit yang kondisinya buruk )
Tumor padat
Myeloproliferative/ lymphoproliferatif maligna
5. Kehamilan yang sulit - Emboli caitran amniotik, Plasenta abrupsio
6. Kelainan Vaskuler (Kasaback-mereritt syndrom, Aneurisma vaskuler yang besar)
7. Kerusakan hepar berat
8. Reaksi toxic atau imunologi yang berat (Digigit ular, Penggunaan obat-obatan
terlarang, Reaksi transfusi, Kegagalan tranplantasi)
F. PATOFISIOLOGI
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang
mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan
fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan
regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, homeostasis dan pembekuan melindungi
individu dari perdarahan masif sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat
terjadi perdarahan atau trombosis, dan penyumbatan cabang-abang vaskuler, yang dapat
mengancam nyawa. Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang bertanggung jawab atas
hemostasis dan pembekuan :
1. Vasokonstriksi sementara
2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregasi trombosit
3. Pengaktifan faktor-faktor pembekuan
Langkah-langkah permulaan terjadi pada permukaan jaringan yang cedera, dan
reaksi-reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami
agregasi. (Price, 1995)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hipofibrigenemia,peningkatan produk
hasil degradasi fibrin (D-dimer yang paling sensitif),trombositopenia dan waktu
protrombin yang memanjang.
Pemeriksaan Hemostasispada DIC
a. Masa Protombin
Masa protrombin bisa abnormal pada DIC, dapat disebabkan beberapa hal. Karena
masa protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia, gangguan FDP pada
polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin menginduksi lisis faktor V dan faktor
IX. Masa protrombin ditemukan memanjang pada 50-75% pasien DIC sedang pada
kurang 50% pasien bisa dalam batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya
masa protrombin ini terjadi karena
1. Beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin atau F Xa yang dapat
mempercepat pembentukan fibrin,
2. Hasil degradasi awal dapat mempercepat pembekuan oleh thrombin atau sistem
pembekuan gel yang cepat. Masa protrombin umumnya kurang bermanfaat dalam
evaluasi DIC.
b. Partial Thrombin Time (PTT)
PTT diaktifkan seharusnya juga memanjang pada DIC fulminan karena berbagai
sebab sehingga parameter ini lebih berguna pada masa protrombin. Plasmin menginduksi
biodegradasi F V, VIII, IX dan XI, yang seharusnya juga menyebabkan PTT memanjang.
Selain itu sama halnya dengan masa protrombin, PTT juga akan memanjang bila kadar
fibrinogen kurang dari 100 mg%.
PTT juga memanjang pada DIC Karena pada FDP menghambat polimerisasi fibrin
monomer. Namun PTT yang memanjang dapat ditemukan pada 50-60% pasien DIC, dan
oleh sebab itu PTT yang normal tak dapat dipakai menyingkirkan DIC. Mekanisme
terjdinya PTT normal atau memendek pada 40-50% pasien DIC sama seperti pada masa
protrombin.
c. Kadar Faktor Pembekuan
Pemeriksaan kadar faktor pada pembekuan memberikan sedikit informasi yang
berarti pada pasien DIC. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya pada kebanyakan
pasien DIC fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar dalam sirkulasi terutama F Xa,
IXa dan trombin. Pemeriksaan faktor yang didasarkan atas standar PTT dan masa
protrombin dengan teknik menggunakan difisiensi substrat akan memberikan hasil yang
tidak dapat diinterpretasi. Sebagai contoh jika F VIII diperiksa dengan pasien DIC
dengan disertai peningikata F Xa, jelas F VIII yang dicatat akan tinggi karena dalam uji
sistem F Xa melintas kebutuhan F VIII sehingga terjadi perubahan fibrinogen menjadi
fibrin dengan cepat dengan waktu yang dicatat dalam kurva standar pendek, dan ini akan
diinterpretasi sebagai kadar F VIII yang tinggi.
d. FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus DIC. Hasil degradasi ini akibat
biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, jadi secara tidak langsung menunjukkan
bahwa jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam darah. Tes protamin sulfat atau
etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi darah ada fibrin monomer soluble. Tetapi
sama sepert FDP, tes ini bukan sebagai sarana diagostik, karena fibrin monomer soluble
juga terlihat pada situasi klinis lain, sama seperti pada situasi klinis lain, seperti pada
wanita dengan kontrasepsi oral, pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien infark
miokard, pasien dengan penyakit ginjal tertentu, pasien dengan thrombosis vena atau
arteri, dan pasien dengan tromboemboli.
e. D- Dimer
Suatu test terbaru untuk DIC adalah D-Dimer.D-Dimer merupakan hasil degradasi
fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin kemudian diaktifkan oleh
factor XIII. Dari periksaan atau tes yang paling banyak dilakukan untuk menilai KID. D-
Dimer tamapaknya merupakan tes yang paling dapat dipercaya untuk menilai
kemungkinan DIC, Menunjukkan adanya D-Dimer apnormal pada 93% kasus, kadar AT
III apnorml pada 89% kasus, kadar fibri nopeptida apnormal pada 88% kasus, dan titer
FDP abnormal pada 75 % kasus.
Kadang-kadang titer FDP dan reaksi para koagulasi dapat negative pada DIC. Hal
ini disebabkan pada DIC akut jumlah plasmin yang beredar sngat banyak dan fibrinolisis
sekunder mengakibatkan degradasi Fragmen D & E, padahal fragmen inilah yang
dideteksi sebagai FDP. Selain itu penglepasan protease granulosid, kolagenase dan
elastase yang berlebihan dapat juga mengakibatkan dekradasi pada semua sisa fragmen D
& E dan akhirnya memberikan hasil FDP negative. Jadi FDP yang negative belum dapat
menyingkirkan diagnosis DIC. Dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer, pemeriksaan
FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas perannya dalam mendiagnosis DIC.
H. PENATALAKSANAAN
1. Atasi penyakit primer yang dapat menimbulkan koagulasi intravaskular desiminata.
2. Pemberian heparin. Heparin dapat diberikan 200 U/kg BB iv tiap 4-6 jam.Kenaikan
kadar fibrinogen plasma nyata dalam 6-8 jam,setelah 24-48 jam sesudah mencapai
harga normal.
3. Terapi pengganti.Darah atau packed red cell diberikan untuk mengganti darah yang
keluar.Bila dengan pengobatan yang baik jumlah trombosit tetap rendah dalam waktu
sampai seminggu,berarti tatap mungkin terjadi perdarahan terus atau
ulangan,sehingga dalam keadaan ini perlu diberikan platelet concentrate.
4. Obat penghambat fibrinotitik.Pemakaian Epsilon Amino Caproic Acid (EACA) atau
asam traneksamat untuk menghambat fibrinolisis sama sekali tidak boleh
dilakukan,karena akan menyebabkan trombosis.Bila perlu sekali,baru boleh
deberikan setelah heparin sudah disuntikan.Lama pengobatan tergantung dari
perjalanan penyakit primernya. Bila penyakit primernya dapat diatasi cepat misalnya
komplikasi kehamilan dan sepsis,pengobatan koagulasi intravsakular desiminata
hanya perlu untuk 1-2 hari.Pada keganasan leukimia dan penyakit-penyakit lain
dimana pengobatan tidak efektif,heparin perlu lebih lama diberikan.Pada keadaan ini
sebaiknya diberikan heparin subkutan secara berkala.Antikoagulan lain jarang
diberikan.Sodium warfarin kadang-kadang memberikan hasil baik.
5. Penghilang faktor pencetus.
6. Dapat diberikan plasma yang mengandung faktor 8,sel darah merah,dan trombosit.
I. KOMPLIKASI
Bekuan yang banyak terbentuk akan menyebabkan hembatan aliran darah di
semua organ tubuh. Dapat terjadi kegagalan organ yang luas. Angka kematian lebih dari
50%. Pada DCI dapat terjadi komplikasi misal:
DAFTAR PUSTAKA
Ludong, Mariana M., Jurnal “Kelainan Fungsi Hemostasis” Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara.
Sumber gambar :
http://rubrikherbal.blogspot.com/2017/04/cara-mengobati-mimisan-tanaman-untuk.html
https://ro.doctorforhelp.com/hematoma-74660
: Jurnal, Teny Tjitra Sari " Immune Thrombocytopenic Purpura " Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Ratnaharyani, desy. 2011. ITP (Idiopatic Thrombocytopenic Purpura)
Bekasi.
Oktaria D., Diah A.R., Tiara C., 2017, Seorang Anak Perempuan 13 Tahun dengan Henoch
Schonlein Purpura (HSP), Jurnal Agromedicine, Vol.4 (1) hal 64
Price, Sylvia Anderson., Wilson, Lorraine McCarty, 1995, Patofisiologi; konsep klinis proses-
proses penyakit, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
Rani, Aziz., Soegondo, Sidartawan., dkk., 2005, Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia., Penerbit PB PAPDI, Jakarta
Tjokronegoro, Arjatmo., Utama, Hendra., 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, Edisi
Ketiga, Balai Penerbit FKUI, JAkarta