Anda di halaman 1dari 19

Modul 2

PERDARAHAN

Oleh:
KELOMPOK IA

Misni Irianti Muhammad (1102060005) Sophia Prahasty Zarta (1102090028)


Iin Widya Ningsih (1102070040) Haerul Anwar (1102090040)
Muh. Syarief Eddy Murad (1102070082) Aurora Pelangi F.(1102090052)
Mustairal (1102090001) Andi Soraya Walyddaini (1102090076)
Waode Tati Kurnia A. (1102090004) Anisa Aryuni (1102090089)
Ramdhani Ar-Rasjid (1102090016) Muh. DzuI Ikram(1102090108)

Tutor: dr. Sri Juliani

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan anugerah-Nya lah yang
dilimpahkan kepada kami Kelompok IA, sehingga makalah tutorial tugas pada Blok
Hematologi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini kami dari kelompok IA ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dan teman-teman serta berbagai
pihak yang telah banyak membantu penyusun makalah tutorial dalam Blok Hematologi
ini.

Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini baik dari aspek materi maupun non-materi. Oleh karena itu saran dan kritik
yang konstruktif dari semua pihak sangat penyusun harapakan.

Akhirnya, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita serta dalam menyusun
makalah selanjutnya.

Makassar, 27 Januari 2011

Penyusun,

SKENARIO 1
Seorang anak, wanita, umur 5 tahun, dibawa ke rumah sakit karena ada
bintik-bintik merah di lengan, tungkai, dan badan, dan keluar darah dari anusnya, serta
tidak disertai demam. Enam hari sebelumnya anak tersebut baru sembuh dari batuk
pilek.

Kata Kunci

 Anak 5 tahun
 Bintik merah di lengan,tungkai, badan
 serta keluar darah dari anus
 tidak demam
 6 hari sebelumnya baru sembuh batuk pilek

Perdarahan
Dalam keadaan normal, darah terdapat di dalam pembuluh darah (arteri, kapiler dan
vena). Jika terjadi perdarahan, darah keluar dari pembuluh darah tersebut, baik ke
dalam maupun ke luar tubuh. Tubuh mencegah atau mengendalikan perdarahan
melalui beberapa cara.

Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah
yang mengalami cedera. Hal ini melibatkan 3 proses utama:

1. Konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah


2. Aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang
terdapat di dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)
3. Aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam plasma).

Kelainan pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan ataupun pembekuan yang
berlebihan, dan keduanya bisa berakibat fatal.

Pembuluh darah merupakan penghalang pertama dalam kehilangan darah. Jika sebuah
pembuluh darah mengalami cedera, maka pembuluh darah akan mengkerut sehingga
aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses pembekuan bisa dimulai.Pada saat
yang sama, kumpulan darah diluar pembuluh darah (hematom) akan menekan
pembuluh darah dan membantu mencegah perdarahan lebih lanjut.

Segera setelah pembuluh darah robek, serangkaian reaksi akan mengaktifkan trombosit
sehingga trombosit akan melekat di daerah yang mengalami cedera. Perekat yang
menahan trombosit pada pembuluh darah ini adalah faktor von Willebrand, yaitu suatu
protein plasma yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam pembuluh darah. Kolagen dan
protein lainnya (terutama trombin), akan muncul di daerah yang terluka dan
mempercepat perlekatan trombosit. Trombosit yang tertimbun di daerah yang terluka
ini membentuk suatu jaring yang menyumbat luka; bentuknya berubah dari bulat
menjadi berduri dan melepaskan protein serta zat kimia lainnya yang akan menjerat
lebih banyak lagi trombosit dan protein pembekuan.

Trombin merubah fibrinogen (suatu faktor pembekuan darah yang terlarut) menjadi
serat-serat fibrin panjang yang tidak larut, yang terbentang dari gumpalan trombosit
dan membentuk suatu jaring yang menjerat lebih banyak lagi trombosit dan sel darah.
Serat fibrin ini akan memperbesar ukuran bekuan dan membantu menahannya agar
pembuluh darah tetap tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan setidaknya 10 faktor
pembekuan darah.

Suatu kelainan pada setiap bagian proses hemostatik bisa menyebabkan gangguan.
Pembuluh darah yang rapuh akan lebih mudah mengalami cedera atau tidak dapat
mengkerut. Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika jumlah trombosit
terlalu sedikit, trombosit tidak berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada
faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan, maka cedera yang ringan pun bisa
menyebabkan kehilangan darah yang banyak.
Sebagian besar faktor pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan hati yang
berat bisa menyebabkan kekurangan faktor tersebut di dalam darah. Vitamin K (banyak
terdapat pada sayuran berdaun hijau) sangat penting dalam pembuatan bentuk aktif
dari beberapa faktor pembekuan. Karena itu kekurangan zat gizi atau obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi normal vitamin K (misalnya warfarin) bisa menyebabkan
perdarahan. Kelainan perdarahan juga bisa terjadi jika pembekuan yang berlebihan
telah menghabiskan sejumlah besar faktor pembekuan dan trombosit atau jika suatu
reaksi autoimun menghalangi aktivitas faktor pembekuan.

Reaksi yang menyebabkan terbentukan suatu gumpalan fibrin diimbangi oleh reaksi
lainnya yang menghentikan proses pembekuan dan melarutkan bekuan setelah
keadaan pembuluh darah membaik. Tanpa sistem pengendalian ini, cedera pembuluh
darah yang ringan bisa memicu pembekuan di seluruh tubuh. Jika pembekuan tidak
dikendalikan, maka pembuluh darah kecil di daerah tertentu bisa tersumbat.
Penyumbatan pembuluh darah otak bisa menyebabkan stroke; penyumbatan
pembuluh darah jantung bisa menyebabkan serangan jantung dan bekuan-bekuan kecil
dari tungkai, pinggul atau perut bisa ikut dalam aliran darah dan menuju ke paru-paru
serta menyumbat pembuluh darah yang besar di paru-paru (emboli pulmoner).

Perdarahan hebat dapat terjadi akibat defisiensi salah satu dari faktor-
faktor pembekuan. Tiga jenis utama perdarahan adalah: 1) perdarahan akibat defisiensi
vitamin K, 2) hemofilia, dan 3) trombositopenia.

Defisiensi vitamin K dapat menyebabkan kekurangan protrombin, faktor VII,


faktor IX, dan faktor X. Hemofilia adalah penyakit perdarahan yang diturunkan.
Hemofilia A disebabkan oleh kekurangan faktor VIII, hemofilia B disebabkan oleh
kekurangan faktor IX, dan hemofilia C disebabkan oleh kekurangan faktor XI (Guyton
and Hall, 2007).
Pertanyaan

1. Mekanisme hemostatis dan sistem koagulasi !


Jawaban:

Hemostasis merupakan pristiwa penghentian perdarahan akibat


putusnya atau robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika
endothelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini
mencakup pembekuan darah (koagulasi ) dan melibatkan pembuluh darah,
agregasi trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan pembekuan
maupun yang melarutkan bekuan.

Pada hemostasis terjadi vasokonstriksi inisial pada pembuluh darah


yang cedera sehingga aliran darah di sebelah distal cedera terganggu. Kemudian
hemostasis dan thrombosis memiliki 3 fase yang sama:

1. Pembekuan agregat trombosit yang longgar dan sementara pada tempat


luka. Trombosit akan mengikat kolagen pada tempat luka pembuluh
darah dan diaktifkan oleh thrombin yang terbentuk dalam kaskade
pristiwa koagulasi pada tempat yang sama, atau oleh ADP yang
dilepaskan trombosit aktif lainnya. Pada pengaktifan, trombosit akan
berubah bentuk dan dengan adanya fibrinogen, trombosit kemudian
mengadakan agregasi terbentuk sumbat hemostatik ataupun trombos.
2. Pembentukan jarring fibrin yang terikat dengan agregat trombosit
sehingga terbentuk sumbat hemostatik atau trombos yang lebih stabil.
3. Pelarutan parsial atau total agregat hemostatik atau trombos oleh
plasmin

Tipe trombos :

1. Trombos putih tersusun dari trombosit serta fibrin dan relative kurang
mengandung eritrosit (pada tempat luka atau dinding pembuluh darah
yang abnormal, khususnya didaerah dengan aliran yang cepat (arteri).
2. Trombos merah terutama terdiri atas erotrosit dan fibrin. Terbentuk pada
daerah dengan perlambatan atau stasis aliran darah dengan atau tanpa
cedera vascular, atau bentuk trombos ini dapat terjadi pada tempat luka
atau didalam pembuluh darah yang abnormal bersama dengan sumbat
trombosit yang mengawali pembentukannya.
3. Endapan fibrin yang tersebar luas dalam kapiler/p.darah yang amat kecil.

Proses yang mengawali pembentukan bekuan fibrin sebagai respons


terhadap cedera jaringan dilaksanakan oleh lintasan ekstrinsik. Lintasan intrinsic
pengaktifannya berhubungan dengan suatu permukaan yang bermuatan
negative. Lintasan intrinsic dan ekstrinsik menyatu dalam sebuah lintasan
terkahir yang sama yang melibatkan pengaktifan protrombin menjadi thrombin
dan pemecahan fibrinogen yang dikatalis thrombin untuk membentuk fibrin.
Pada pristiwa diatas melibatkan macam jenis protein yaitu dapat diklasifikaskan
sebagai berikut:
 Zimogen protease yang bergantung pada serin dan diaktifkan pada
proses koagulasi
 Kofaktor
 Fibrinogen
 Transglutaminase yang menstabilkan bekuan fibrin
 Protein pengatur dan sejumla protein lainnya

Lintasan intrinsic

Lintasan intinsik melibatkan factor XII, XI, IX, VIII dan X di samping
prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, ion Ca2+ dan fosfolipid
trombosit. Lintasan ini membentuk factor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan
“fase kontak” dengan prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, factor
XII dan XI terpajan pada permukaan pengaktif yang bermuatan negative. Secara
in vivo, kemungkinan protein tersebut teraktif pada permukaan sel endotel.

Kalau komponen dalam fase kontak terakit pada permukaan


pengaktif, factor XII akan diaktifkan menjadi factor XIIa pada saat proteolisis
oleh kalikrein. Factor XIIa ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan
lebih banyak kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbale balik. Begitu
terbentuk, factor xiia mengaktifkan factor XI menjadi Xia, dan juga melepaskan
bradikinin(vasodilator) dari kininogen dengan berat molekul tinggi.

Factor XIa dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan factor IX, menjadi
enzim serin protease, yaitu factor IXa. Factor ini selanjutnya memutuskan ikatan
Arg-Ile dalam factor X untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu factor
Xa. Reaksi yang belakangan ini memerlukan perakitan komponen, yang
dinamakan kompleks tenase, pada permukaan trombosit aktif, yakni: Ca2+ dan
factor IXa dan factor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam semua reaksi yang
melibatkan zimogen yang mengandung Gla (factor II, VII, IX dan X), residu Gla
dalam region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat
pengikatan berafinitas tinggi untuk Ca2+. Bagi perakitan kompleks tenase,
trombosit pertama-tama harus diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik
(anionic). Fosfatidil serin dan fosfatoidil inositol yang normalnya terdapat pada
sisi keadaan tidak bekerja. Factor VIII, suatu glikoprotein, bukan merupakan
precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai resepto untuk factor
IXa dan X pada permukaan trombosit. Factor VIII diaktifkan oleh thrombin
dengan jumlah yang sangat kecil hingga terbentuk factor VIIIa, yang selanjutnya
diinaktifkan oleh thrombin dalam proses pemecahan lebih lanjut.

Lintasan Ekstrinsik

Lintasan ekstrinsik melibatkan factor jaringan, factor VII,X serta Ca2+


dan menghasilkan factor Xa. Produksi factor Xa dimulai pada tempat cedera
jaringan dengan ekspresi factor jaringan pada sel endotel. Factor jaringan
berinteraksi dengan factor VII dan mengaktifkannya; factor VII merupakan
glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan disintesis di hati.
Factor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk factor VIIa dengan menggalakkan
aktivitas enzimatik untuk mengaktifkan factor X. factor VII memutuskan ikatan
Arg-Ile yang sama dalam factor X yang dipotong oleh kompleks tenase pada
lintasan intrinsic. Aktivasi factor X menciptakan hubungan yang penting antara
lintasan intrinsic dan ekstrinsik.
Interaksi yang penting lainnya antara lintasan ekstrinsik dan intrinsic
adalah bahwa kompleks factor jaringan dengan factor VIIa juga mengaktifkan
factor IX dalam lintasan intrinsic. Sebenarna, pembentukan kompleks antara
factor jaringan dan factor VIIa kini dipandang sebagai proses penting yang
terlibat dalam memulai pembekuan darah secara in vivo. Makna fisiologik tahap
awal lintasan intrinsic, yang turut melibatkan factor XII, prekalikrein dan
kininogen dengan berat molekul besar. Sebenarnya lintasan intrinsik bisa lebih
penting dari fibrinolisis dibandingkan dalam koagulasi, karena kalikrein, factor
XIIa dan XIa dapat memotong plasminogen, dan kalikrein dapat
mengaktifkanurokinase rantai-tunggal.

Inhibitor lintasan factor jaringan (TFPI: tissue factor fatway inhibitior)


merupakan inhibitor fisiologik utama yang menghambat koagulasi. Inhibitor ini
berupa protein yang beredar didalam darah dan terikat lipoprotein. TFPI
menghambat langsung factor Xa dengan terikat pada enzim tersebut didekat
tapak aktifnya. Kemudian kompleks factor Xa-TFPI ini manghambat kompleks
factor VIIa-faktor jaringan.

Lntasan Terakhir

Pada lintasan terakhir yang sama, factor Xa yang dihasilkan oleh


lintasan intrinsic dak ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin(II) menjadi
thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan
protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan memerlukan perakitan
kompelks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid anionic platelet, Ca2+,
factor Va, factor Xa dan protrombin. Factor V yang disintesis dihati, limpa serta
ginjal dan ditemukan didalam trombosit serta plasma berfungsi sebagai kofaktor
dng kerja mirip factor VIII dalam kompleks tenase. Ketika aktif menjadi Va oleh
sejumlah kecil thrombin, unsure ini terikat dengan reseptor spesifik pada
membrane trombosit dan membentuk suatu kompleks dengan factor Xa serta
protrombin. Selanjutnya kompleks ini di inaktifkan oleh kerja thrombin lebih
lanjut, dengan demikian akan menghasilkan sarana untuk membatasi
pengaktifan protrombin menjadi thrombin. Protrombin (72 kDa) merupakan
glikoprotein rantai-tunggal yang disintesis di hati. Region terminal-amino pada
protrombin mengandung sepeuluh residu Gla, dan tempat protease aktif yang
bergantung pada serin berada dalam region-terminalkarboksil molekul tersebut.
Setelah terikat dengan kompleks factor Va serta Xa pada membrane trombosit,
protrombin dipecah oleh factor Xa pada dua tapak aktif untuk menghasilkan
molekul thrombin dua rantai yang aktif, yang kemudian dilepas dari permukaan
trombosit. Rantai A dan B pada thrombin disatukan oleh ikatan disulfide.
Konversi Fibrinogen menjadi Fibrin

Fibrinogen (factor 1, 340 kDa) merupakan glikoprotein plasma yang


bersifat dapat larut dan terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida nonidentik
(Aα,Bβγ)2 yang dihubungkan secara kovalen oleh ikatan disulfda. Rantai Bβ dan
y mengandung oligosakarida kompleks yang terikat dengan asparagin. Ketiga
rantai tersebut keseluruhannya disintesis dihati: tiga structural yang terlibat
berada pada kromosom yang sama dan ekspresinya diatur secara terkoordinasi
dalam tubuh manusia. Region terminal amino pada keenam rantai
dipertahankan dengan jarak yang rapat oleh sejumlah ikatan disulfide,
sementara region terminal karboksil tampak terpisah sehingga menghasilkan
molekol memanjang yang sangat asimetrik. Bagian A dan B pada rantai Aa dan
Bβ, diberi nama difibrinopeptida A (FPA) dan B (FPB), mempunyai ujung terminal
amino pada rantainya masing-masing yang mengandung muatan negative
berlebihan sebagai akibat adanya residu aspartat serta glutamate disamping
tirosin O-sulfat yang tidak lazim dalam FPB. Muatannegatif ini turut memberikan
sifat dapat larut pada fibrinogen dalam plasma dan juga berfungsi untuk
mencegah agregasi dengan menimbulkan repulse elektrostatik antara molekul-
molekul fibrinogen.

Thrombin (34kDa), yaitu protease serin yang dibentuk oleh kompleks


protrobinase, menghidrolisis 4 ikatan Arg-Gly diantara molekul-molekul
fibrinopeptida dan bagian α serta β pada rantai Aa dan Bβ fibrinogen. Pelepasan
molekul fibrinopeptida oleh thrombin menghasilkan monomer fibrin yang
memiliki struktur subunit (αβγ)2. Karena FPA dan FPB masing-masing hanya
mengandung 16 dab 14 residu, molwkul fibrin akan mempertahankan 98%
residu yang terdapat dalam fibrinogen. Pengeluaran molekul fibrinopeptida akan
memajankan tapak pengikatan yang memungkinkan molekul monomer fibrin
mengadakan agregasi spontan dengan susunan bergiliran secara teratur hingga
terbentuk bekuan fibrin yang tidak larut. Pembentukan polimer fibrin inilah yang
menangkap trombosit, sel darah merah dan komponen lainnya sehingga
terbentuk trombos merah atau putih. Bekuan fibrin ini mula-mula bersifat agak
lemah dan disatukan hanya melalui ikatan nonkovalen antara molekul-molekul
monomer fibrin.

Selain mengubah fibrinogen menjadi fibrin, thrombin juga mengubah


factor XIII menjadi XIIIa yang merupakan transglutaminase yang sangat spesifik
dan membentuk ikatan silang secara kovalen anatr molekul fibrin dengan
membentuk ikatan peptide antar gugus amida residu glutamine dan gugus ε-
amino residu lisin, sehingga menghasilkan bekuan fibrin yang lebih stabil dengan
peningkatan resistensi terhadap proteolisis.
Regulasi Trombin

Begitu thrombin aktif terbentuk dalam proses hemostasis atau


thrombosis, konsentrasinya harus dikontrol secara cermat untuk mencegah
pembentukan bekuan lebih lanjut atau pengaktifan trombosit. Pengontrolan ini
dilakukan melalui 2 cara yaitu:

1. Thrombin beredar dalam darah sebagai prekorsor inaktif, yaitu


protrombin. Pada setiap reaksinya, terdapat mekanisme umpan balik
yang akan menghasilkan keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi.
2. Inaktivasi setiap thrombin yang terbentuk oleh zat inhibitor dalam darah.

Sumber : Biokimia Harper

2. Jelaskan patomekanisme gejala dari skenario !


Jawaban:

Gejala-gejala yang disebutkan pada kasus yakni keluhan bintik-bintik merah di


lengan, tungkai, dan badan, dan keluar darah dari anusnya, serta tidak disertai
demam.

Bintik merah pada lengan, tungkai, dan badan menunjukkan adanya pendarahan
di bawah kulit yang mengenai kapiler-kapiler kecil. Normalnya pendarahan pada
kapiler ini dapat diatasi dengan mekanisme hemostasis tubuh. Biasanya
perdarahan di karenakan bakteri streptococcus β hemolitikus yang mampu
menghasilkan suatu produk yang disebut streptolisin O yang mempunyai efek
dapat menimbulkan peradangan pada pembuluh darah yang di sebut vaskulitis
sistemik yang menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat sehingga plasma
darah mudah keluar dari pembuluh darah atau ekstravasasi ke ruang interstitial
dan timbulah bintik- bintik merah yang di sebut purpura.
Keluhan keluar darah dari anus di kerenakan ekstravasasi ke dalam saluran
cerna yang dapat menimbulkan perdarahan.
Pada skenario ini, sang anak tidak menderita demam. Demam merupakan suatu
gejala sistemik yang timbul apabila kita terpapar oleh suatu benda asing/
masuknya benda asing dalam tubuh kita. Sistem imun akan bereaksi untuk
melawan benda asing tersebut, dan memberikan alaram bagi tubuh kita bahwa
ad benda asing yang msuk dalam tubuh dengan munculnya gejala-gejala
tertentu yang tergantung dari sistem imun kita. Oleh sebab itu pada skenario ini
sang anak tidak menderita demam, namun hanya menderita pilek dikarenakan
sistem imunnya masih bisa melawan untuk timbulnya demam dalam tubuhnya.

3. Hubungan batuk pilek dengan gejala !


Jawaban:

Causanya yaitu bakteri streptococcus β hemolyticus. Umumnya menginfeksi


saluran napas sebagai bagian tubuh yang sering terpapar. Infeksi tersebut
menimbulkan gejala klinis seperti batuk dan pilek. Bakteri streptococcus β
hemolyticus mampu menghasilkan suatu produk yang disebut streptolisin O
yang mempunyai efek dapat menimbulkan peradangan pada pembuluh darah
yang biasa disebut vaskulitis sistemik. Vaskulitis sistemik menyebabkan
permeabilitas vaskuler meningkat kemudian plasma darah mudah keluar dari
pembuluh darah atau extravasasi ke ruang interstitial yang menimbulkan
manifestasi klinis purpura. Jika extravasasinya ke dalam saluran cerna dapat
menimbulkan pendarahan.

4. Apa Diferensial Diagnosis (DD) dan bagaimana pemeriksaan, penatalaksanaan


serta komplikasi dari skenario ?
Jawaban:
DD Bintik Perdarahan Demam umur Riwayat
Merah sal. cerna t’dahulu

DIC   Semu  batuk


Pteki a pilek
umur
ITP    >  batuk
AKUT purpur anak2 pilek
a umr 2-
8 thn

SCH   3-7thn 
tungka P:L=3: saluran
i dan 2 cerna
siku

Diferensial Diagnosis
1. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

 Definisi

Pengertian Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu


keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran
darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan
berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan

 Etiologi

Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang


biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah.
Karena jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan
yang berlebihan. Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk
menderita DIC:

 Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin


(suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).
 Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung,
pankreas maupun prostat.

 Gambaran Klinis
o Perdarahan: kulit (peteki dan ekimosis), perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dll), esay
bruising dan perdarahan organ.
o Hemorrahagic tissue necrosis dan oklusi multiple pembuluh
darah kecil sehingga menimbulkan multiple organ failure
antara lain:
- Ginjal: menimbulkan gagal ginjal
- Hati menimbulkan ikterus
- Pembuluh darah tepi menimbulkan gangreng
- Otak menimbulkan kesadaran menurun
o Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab DIC

 Patofisiologi
Apabila terjadi robekan pada pembuluh darah maka system
fibrinolitik akan di aktivasi oleh thrombin dalam sirkulasi, yang
memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Thrombin juga
merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi factor V dan VIII
serta melepas activator plasminogen, yang membentuk plasmin.
Plasmin memecah fibrin, membentuk produk-produk degradasi
fibrin dan selanjutnya menginaktivasi factor V dan VIII. Aktivasi
thrombin yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen,
trombositopenia, factor-faktor koagulasi, fibrinolisis yang
mengakibatkan pendarahan difus.

 Penatalaksanaan
o Terai terhadap panyakit dasar merupakan tindakan yang
paling penting
o Terapi suportif dengan darah segar, fresh frozen plasma,
fibrinogen atau platelet konsentrat
o Pemberian heparin. Sampai saat ini pemberian heparin
masih kontrofersial karena dapat menimbulkan atau
menambahkan perdarahan.
 Pemeriksaan Laboratorium

 Trombositopenia dapat di ketahiu dari hitung trombosit dan


evaluasi tronbosit pada apusan darah tepi.
 APTT, PPT dan thrombin time memanjang, APTT lebih sensitive di
bandingkan dengan PPT pada DIC.
 Fibrinogen plasma menurun
 FDP dalam serum meningkat
 Factor V dan VII menurun apusan darah tepi
 Tes parakoagulasi positif

               
2. ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura )

 Definisi
ITP adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan
trombositopenia yang menetap (angka trombosit daraf perifer
kurang dari 150.000/ µL)
 Etiologi
Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh
antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan terhadap gpIIb-IIIa
atau Ib. Trombosit yang diselimuti antibodi kemudian difagosit oleh
makrofag dalam Sistem Retikuloendotelial terutama lien, akibatnya akan
terjadi trombositopenia. Keadaan ini menyebabkan kompensasi dalam
bentuk peningkatan megakariosit dalam sumsum tulang.
 Patofisiologi
Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen (dipicu oleh antibodi) 
pembentukan neoantigen  produksi antibodi cukup  trombositopeni
 perdarahan (purpura, menorrhagia, perdarahan gusi)  splenomegali.
 Gejala Klinis

Gambaran klinik ITP yaitu: 1) onset pelan dengan perdarahan melalui


kulit atau mukosa berupa : petechie, echymosis, easy bruising,
menorrhagia, epistaksis, atau perdarahan gusi. 2) perdarahan SSP jarang
terjadi tetapi dapat berakibat fatal. 3) splenomegali pada <10% kasus.

Klasifikasi ITP

a)      ITP akut

o Lebih sering terjadi pada anak (2-7 tahun), setelah infeksi vrus akut atau
vaksinasi.
o Ruam purpura atau epistaksis sering terjadi
o Sebagian besar sembuh  spontan, 5-10% berkembang menjadi kronik
(berlangsung lebih dari 6 bulan)
o Sebagian kecil mengalami perdarahan di mukosa.
o Jika trombosit lebih dari 20.000/ml tidak diperlukan terapi khusus, jika
kurang dari angka tersebut diberikan steroid atau immunoglobulin
intravena.

b)     ITP kronik

o Terutama dijumpai pada wanita usia 15-50 tahun.


o Perjalanan penyakit bersifat kronik, hilang timbul berbulan-bulan atau
bertahun tahun.
o Jarang mengalami kesembuhan spontan
o Autoantibodi terdapat pada permukaan tromosit dan mungkin juga
terdapat sebagai antibodi bebas dalam serum.

Tabel Perbedaan ITP akut dengan ITP kronik

ITP akut ITP kronik

Awal penyakit 2-6 tahun 20-40 tahun

Rasio L:P 1:1 1:2-3

Trombosit <20.000/mL 30.000-


100.000/mL

Lama penyakit 2-6 minggu Beberapa tahun

Perdarahan Berulang Beberapa


hari/minggu

 Pemeriksaan Laboratorium
 Darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-
50.000/mm3
 Sum-sum tulang: jumlah megakariosit meningkaa di sertai inti
banyak (multinuclearity) di sertai koagulasi
 Immunologi: adanya anti platelet IgG pada permukaan
trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah
antibody terhadap gpIIb/IIIa atau gpIb.
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ITP akut adalah tanpa pengobatan, jadi sembuh
spontan; keadaan berat kortikosteroid ( prednison ) peroral dengan
atau tanpa transfusi darah keadaan sangat gawat ( perdarahan
otak) transfusi suspensi trombosit; Ig secara IV biasa dalam dosis
tinggi : 0,4gr / kgBB / hr selama 5 hr. Menyebabkan blokade pd RES.
Pada ITP kronik adalah pemberian kortikosteroid selama 6 bulan
( azatioprin, siklofosfamid), splenektomi jika resisten thd prednison
dan obat imunosupresif.

3. HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA

 Definisi
Adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah
kecil sistemik yang ditandai dengan lesi spesifik berupa purpura
nontrombositopenik, artritis atau atralgia, nyeri abdomen atau perdarahan
gastrointestinalis, dan kadang – kadang nefritis atau hematuria. Nama lain
penyakit ini adalah purpura anafilaktoid, purpura alergik dan vaskulitis
alergik.

 Etiologi

Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga


beberapa faktor memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi
traktus respiratorius bagian atas, makanan, gigitan serangga, paparan
terhadap dingin, imunisasi ( vaksin varisela, rubella, rubeolla, hepatitis A
dan B, paratifoid A dan B, tifoid, kolera) dan obat – obatan (ampisillin,
eritromisin, kina, penisilin, quinidin, quinin). Infeksi bisa berasal dari
bakteri (spesies Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenzae, Legionella,
Yersinia, Shigella dan Salmonella) ataupun virus (adenovirus, varisela,
parvovirus, virus Epstein- Barr). Vaskulitis juga dapat berkembang setelah
terapi antireumatik, termasuk penggunan metotreksat dan agen anti TNF
(Tumor Necrosis Factor). Namun, IgA jelas mempunyai peranan penting,
ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun dan
deposit IgA di dinding pembuluh darah dan mesangium renal. HSP adalah
suatu kelainan yang hampir selalu terkait dengan kelainan pada IgA1
daripada IgA2.

 Gambaran Klinis
 purpura pada ektremitas bawah
 edema lokal
 permukaan ekstensor pada pantat
 Nyeri perut ; bisa karena kelainan ginjal
 nyeri tulang ; AR
 melena, muntah
 Patofisologi
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit
kompleks imun yang mengandung IgA. Diketahui pula adanya
aktivasi komplemen jalur alternatif. Deposit kompleks imun dan
aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi
termasuk prostaglandin vaskular seperti prostasiklin, sehingga
terjadi inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi
dan abdomen dan terjadi purpura di kulit, nefritis, artritis dan
perdarahan gastrointestinalis.
Beberapa faktor imunologis juga diduga berperan dalam
patogenesis PHS, seperti perubahan produksi interleukin dan faktor
pertumbuhan yang berperan dalam mediator inflamasi. TNF, IL-1
dan IL-6 bisa memediasi proses inflamasi pada HSP. Meningkatnya
kadar faktor pertumbuhan hepatosit selama fase akut HSP dapat
menunjukkan adanya kemungkinan kerusakan atau disfungsi sel
endotel. Meningkatnya faktor pertumbuhan endotel vaskuler dapat
setidaknya menginduksi sebagian perubahan ini. Sitokin dianggap
terlibat dalam patogenesis HSP, dan endotelin (ET), yang
merupakan hormon vasokonstriktor yang diproduksi oleh sel
endotelial, juga dianggap turut berperan. Kadar ET-1 jauh lebih
besar pada fase akut penyakit ini dibanding pada fase remisi.
Namun tingginya kadar ET-1 tidak memiliki hubungan dengan
tingkat morbiditas, keparahan penyakit, atau respon reaktan fase
akut.

 Penatalaksanaan
1. Istirahat yang cukup
2. Kortikosteroid bila ada edema dan nyeri sendi
3. Hindari faktor pemicu (infeksi bakteri, makanan yang
terkontaminasi ; susu, telur, obat)
4. Antibiotik

 Pemeriksaan Penunjang

Streptococcus beta hemoliticus :

1. Apusan tenggorok

2. Kultur; biakan positif

3. Titer ASO meningkat

Sumber:

 Patofisiologi. Vol.1. Sylvia-Wilson

 Ilmu Penyakit Dalam Vol. 2

 Dasar Diagnosis dan Terapi

 Dasar Diagnosa dan Terapi Kedokteran

 Hematologi, A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss Edisi 4

 Buku Saku Patofisiologi, Elizabeth J. Corwin, Edisi Revisi

 Hematologi klinik Ringkas, Prof. Dr. I Made Bakta

Anda mungkin juga menyukai