Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN BBDM MODUL 6.

SKENARIO 2

Disusun oleh:

BBDM 18

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2019
DAFTAR PESERTA DIDIK

BBDM 18

No. Nama Peserta Didik NIM Paraf


1. Graciela Eunike Hartono 22010116130167 1.
2. Indra Adhim Karunia Aji 22010116130168 2.
3. Muhammad Faiq Luthfan 22010116130169 3.
4. Ramadhan Conny Sulistiyono 22010116130170 4.
5. Valencia Fabiana 22010116130172 5.
6. Seno 22010116130173 6.
7. Richard Axel 22010116130174 7.
8. Nabila Dini Ariviana 22010116140175 8.
9. Muhammad Ghaza Syahputra 22010116130176 9.
10. Steffi Kurniati 22010116130177 10.

Mengetahui

Tutor BBDM 18 Skenario 2,

( )
Seorang anak berusia 2 tahun dating dengan keluhan kejang. Kejang seluruh tubuh, selama
kejang tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang anak sadar. Kejang berlangsung selama 10
menit, mata mendelik ke atas, tangan dan kaki kaku. 1 hari sebelumnya anak demam tinggi
terus menerus, disertai dengan batuk dan pilek. Riwayat perkembangan saat ini anak baru bias
berjalan dengan dibantu, mengucapkan satu-dua kata, dan mampu menyusun 3 balok. Dengan
pemeriksaan KPSP satu bulan sebelum sakit didapatkan skor 7. Riawayat imunisasi sesuai
jadwal Puskesmas, tapi belum mendapatkan imunisasi campak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan anak sadar, napas spontan (+), adekuat, kejang (-), kesan status gizi normal. Tnada
vital RR 32x/ menit, HR 110x/ menit. Nadi isi dan tegangan cukup. Suhu 39,5o C. Statys
internus lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium Hb 12,0 gr%. Ht 36,8%. Leukosit
18.600/ mmk. Trombosit 420.000/mmk. Pemeriksaan LCS dalam batas normal. Pemeriksaan
neurologis Nn. Craniales dalam batas normal, Meningeal Sign (-)

I. Terminologi
1. KPSP
Kuesioner Pra Skrining Perkembangan anak untuk mengetahui perkembangan anak
normal atau tidak pada usia 0 – 72 bulan.
Cukup dijawab ya atau tidak
9 – 10: pertumbuhan normal
7 – 8: pertumbuhan meragukan
<6: dicurigai terdapat penyimapangan pertumbuhan
Menilai motorik kasar, halus, kemampuan sosialisasi dan kemampuan bicara
2. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan subjektif dan objektif, yang dinilai yaitu sensorik, motorik, refleks
fisiologis dan patologis, tonus, trofi, dan klonus.
3. Meningeal Sign
Merupakan pemeriksaan untuk mencari tanda tanda meningitis, misal : brudzinski,
kernig, dan kaku kuduk
II. Rumusan Masalah
1. Apakah perkembangan anak saat ini normal? (seusai dengan usianya)
2. Apakah ada hubungan dari perkembangan anak dengan kejang yang dialami?
3. Kapan imunisasi campak dan adakah hubungannya dengan kejang?
4. Apa komplikasi dari kejang?
5. Interpretasi dari pemeriksaan fisik dan penunjang pada skenario?
III. Hipotesis
1. KPSP skor 7: pertumbuhan meragukan (tidak normal)
Umumnya pada usia 2 tahun kemampuan motorik sudah baik/ sudah terkoordinasi,
kosakata juga meningkat (50 – 300 kata), dan dapat menyusun balok menjadi
sebuah bangunan.
2. Dari skor KPSP pertumbuhan anak mengalami Global Development Delay. Risiko
menyebabkan kejang demam karena perkembangan otak tidak sesuai sehingga
ambang batas kejang menjadi lebih rendah.
3. Imunisasi Campak: berusia 9 bulan
Hubungan dengan kejang: kurang berhubungan karena yg lebih berhubungan GDD.
Tidak mendapatkan imunisasi, mudah terkena virus campak yang memiliki gejala
: demam tinggi (FR kejang), dan mata merah.
Imunisasi campak: vaksin hidup juga bisa menyebabkan demam, maka dari itu
karena kondisi anak, vaksinasi campak belum dapat diberikan.
4. Komplikasi Kejang:
 Terjadi gerakan involunter sehingga terjadi gangguan/deifisit neurologis
(terjadi hipoksi a pada jaringan)
 Menghambat perkembangan anak (proses neurologis berkurang).
5. Interpretasi Pemeriksaan
 KPSP skor 7: pertumbuhan meragukan
 RR 32x: Tachypnea (normal 20 – 30x/ menit)
 Suhu tinggi
 HR: normal (normal 80-150x/ menit)
 Laboratorium: leukosit sedikit meningkat (normal 5000 - 18000)
IV. Peta Skematik

V. Sasaran Belajar
1. Etiologi, dan faktor risiko kejang demam
2. Patofisiologi terjadinya kejang demam
3. Klasifikasi kejang
4. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
6. Tatalaksana dan edukasi kejang demam
7. Pemberian dan konseling imunisasi
8. Konselingmengenai perkembangan anak berdasarkan umur
VI. Belajar Mandiri
1. Etiologi dan Faktor Risiko Kejang Demam
Etiologi
a. Demam yang disebabkan oleh ISPA, OMA, pneumonia, gastroenteritis, dan
ISK
b. Produk toksik dari mikroorganisme
c. Respon alergik atau keadaan umum abnormal oleh infeksi
d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
e. Ensefalitis viral yang ringan atau ensefalopati toksik sepintas
Faktor Risiko
2. Patofisiologi Kejang Demam
Pada demam, kenaikan suhu 10 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari
ion kalium dan natrium melalui membran listrik. dengan bantuan
”neurotransmitter”, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini dapat menimbulkan
kejang.
3. Klasifikasi Kejang
a. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada otak.
Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak. Kejang ini
terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam banyak kasus
penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).
a. Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan,
jerking movement, atau kelainan mental dan emosional. Manifestasi klinis
dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik. (repetitif, gerakan
kepala dan leher menengok ke salah satu sisi). Beberapa pasien dapat pula
terjadi gejala somatosensorik berupa aura, halusinasi, atau perasaan kuat
pada indra penciuman dan perasa. Setelah kejang, pasien biasanya
mengalami kelemahan pada otot tertentu. Umumnya kejang terjadi selama
90 detik.
b.Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak yang
berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan tingkah
laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami kehilangan
kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali
dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit
kepala yang berdenyut kemungkinan terjadi pada kejang tipe ini.
c. Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan
kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi
otot bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan
kejang umum. Hal ini karena kejang parsial dengan generalisata sekunder
mempunyai onset fokal yang seringkali tak teramati. Onset fokal kejang
diidentifikasi melalui analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat
(Kasper dkk., 2008).

b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah
otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu,
kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
a. Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat
singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan umumnya hanya
terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Sekitar 15-20% anak-anak
menderita kejang tipe ini (Kasper dkk., 2008). Penderita tiba-tiba melotot
atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini
kemungkinan tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Petit mal terkadang
sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana atau kompleks, atau
bahkan dengan gangguan attention deficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang,
serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti
dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh
ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur otak.
Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang tipe ini
kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan tipe kejang
absence tipikal (Kasper dkk., 2008).

b.Kejang tonik-klonik (grand mal)


Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal
dari terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul
dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa
menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot- otot yang berkontraksi,
menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30
detik. Beberapa pasien mengalami pertanda atau aura sebelum kejang.
Kebanyakan mengalami kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat
juga terjadi sianosis, keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit
lidah. Segera sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya
terjadi sekitar 2-3 menit.
c. Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami
kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat
segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada salah satu bagian tubuh,
misalnya mengendurnya rahang dan kepala yang terkulai.
d.Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu. Biasa
terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami hentakan
yang terjadi secara tiba-tiba.

e. Simply tonic atau clonic seizures


Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang
tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10 detik,
tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau jerking phase.
Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama terjadi pada anak-
anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan tonik.
c. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data
yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi
pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan
hubungan saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan dewasa.
4. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Anamnesa

a. Adakah penyakit yang menimbulkan panas (singkirkan kemungkinan infeksi


susunan saraf pusat)
b.Adakah faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kejang ( meningitis atau
encephalitis )
c. Adakah faktor resiko timbulnya kejang tanpa demam di kemudian hari
( umur makin awal, makin beresiko kejang berulang / <12 bulan, serangan
kejang berlangsung > 30 menit, dalam satu episode serangan lebih dari satu
kali/cepatnya kejang setelah demam, terdapat defisit neurologis pasca kejang )
d.Tipe kejang, lama kejang, onset kejang setelah panas, gangguan kesadaran,
defisit neurologi, gejala penyerta lainnya
e. Riwayat perinatal
f. Riwayat penyakit keluarga
g.Riwayat perkembangan
Pemeriksaan Fisik

a. Mencari fokal infeksi


b. Pemeriksaan neurologis (parese, gangguan kesadaran, tanda Tekanan Intra
Kranial meningkat, rangsang meningeal)
c. Kelainan bawaan

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah
b. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan tidak rutin

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya


kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan (level II-2, rekomendasi
E).Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun, atau kejang demam fokal.

d. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya atas indikasi seperti:

1) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)


2) Paresis nervus VI
3) Papiledema
5. Penegakkan Diagnosis dan Diagnosis Banding
Penegakkan diagnosis sesuai temuan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang
Diagnosis Banding
a. Ensefalitis
1) Terjadi penurunan kesadaran setelah kejang
2) Hasil pemeriksaan LCS ada kelainan
b. Meningitis
1) Ditemukan adanya kaku kuduk
2) Hasil pemeriksaan LCS ada kelainan
c. Abses Otak
1) Ada kelumpuhan
2) Ada tanda tekanan intra kranial meningkat (pusing, muntah, mata
kabur)
3) CT Scan kepala ditemukan adanya abses
d. Ensefalopati karena penyakit infeksi
1) Adanya penurunan kesadaran
6. Tatalaksana dan Edukasi
Tatalaksana
a. Ketika Demam
1) Antipiretik
Paracetamol : 10-15 mg/kgBB/kali-4dd 1
Ibuprofen :5-10 mg/kgBB/kali, 3-4dd 1
Hindari penggunaan salisilat
2) Antikonvulsan
Diazepam oral : 0,3 mg/kg BB, 3 dd 1
Diazepam rektal : 0,5 mg/kgBB, 3 dd 1
b. Pengobatan Rumatan
Indikasi :
1) Kejang lama >15 menit
2) Kejang fokal
3) Kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang
Dipertimbangkan bila :
Kejang berulang ≥ 2x/24 jam
Kejang terjadi pada bayi < 12 bulan
Kejng demam ≥ 4x/ tahun
a. Asam Valproat
Dosis : 15-40 mg/kgBB/hari, 2-3 dd 1
ESO : gangguan fungsi hepar
b. Fenobarbital
Dosis : 3-4 mg/kgBB/hari, 1-2 dd 1
ESO : gangguan belajar
c. Lama terapi :
Hinga 1 tahun bebas kejang, di hentikan bertahap selama 1-2
bulan
Edukasi

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:

a. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.

b. Memberitahukan cara penanganan kejang

c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping
7. Konseling Imunisasi

Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah dan ada
juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana yang
diwajibkan oleh WHO yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B.
Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang diberikan pada semua orang,
terutama bayi dan balita sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dari penyakit-
penyakit yang berbahaya.
8. Konseling Perkembangan Anak
a. Bayi usia 1-30 hari
• Bayi mampu mengisap ASI dengan baik
• Bayi dapat menggerakkan kedua lengan, kaki (kedua tungkai) secara mudah
dan aktif
• Bayi memberikan reaksi dengan melihat ke sumber cahaya dan mata bayi
kadang-kadang dapat menatap ke mata ibunya
• Bayi mulai mengeluarkan suara, mengoceh, selain menangis
b. Bayi usia 1-4 bulan
• Pada saat telengkung, leher bayi sudah kuat menyangga kepalanya dan
menegakkan/mengangkat kepalanya mengikuti gerakan badan
• Bayi dapat menggenggam benda/mainan yang di sentuhkan pada ujung jari
dan telapak tangan selama beberapa saat
• Bayi dapat membalas senyuman
c. Bayi usia 4-6 bulan
• Bayi dapat mengguling-guling dan berbalik dari terlentang ke telungkup atau
sebaliknya
• Bayi dapat meraih benda yang berada dalam jangkauan tangannya dan
mencari benda yang dipindahkan
• Bayi akan mencari dan menengok kearah sumber suara
d. Bayi usia 6-9 bulan
• Bayi mulai belajar duduk sendiri
• Bayi mampu memindahkan benda dari tangan yang satu ke tangan yang lain
• Jika melihat benda yang menarik , bayi akan tertawa/berteriak
• Bayi akan menirukan bunyi dan suara yang di dengarnya
• Bayi dapat memegang dan makan kue sendiri tanpa di bantu
e. Bayi usia 9-12 bulan
• Bayi dapat merangkak dan mulai belajar sendiri tanpa bantuan
• Bayi mulai belajar berjalan dengan berpegangan
• Bayi mampu meraup benda-benda kecil seperti kacang dengan jari-jari
tangannya
• Bayi mampu mengatakan / menyebut suku kata yang sama misalnya ma-ma,
pa-pa
• Bayi mengenali orang yang sudah dikenal dan takut pada orang belum di
kenal
f. Anak usia 12-18 bulan
• Anak dapat berjalan sendiri
• Belajar menendang dan melempar bola
• Anak mampu memungut benda-benda kecil dengan jari-jari tangannya
• Anak dapat mengungkapkan keinginan dengan ucapan yang sederhana
• Anak dapat bertepuk tangan dan minum sendiri dengan gelas tanpa tumpah
g. Anak usia 18-24 bulan
• Anak belajar melompat dengan 2 kaki
• Anak dapat berjalan mundur paling sedikit 5 langkah
• Anak mampu mengenai gambar-gambar yang diperlihatkan padanya
• Anak dapat mencoret-coret dengan menggunakan alat tulis
• Anak mampu menyebut dan menunjuk bagian tubuh dengan benar
• Anak dapat menirukan pekerjaan rumah tangga, misalnya membantu
menyapu, membersihkan meja atau menyiapkan meja makan
VII. Daftar Pustaka

Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of febrile


seizures. Brain Dev 1996; 18:479-484.
Pruitt AW. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB.Saunders Company, 2007. h.1669-76
Konsensus UKK Neurologi IDAI 2015

Ranuh dkk. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Satgas Imunisasi IDAI, 2011

Anda mungkin juga menyukai