Anda di halaman 1dari 45

PEDOMAN

Pelayanan Medis :
Kesehatan Anak

NEUROLOGI

1
MENINGITIS BAKTERIALIS

Batasan
Meningitis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan
oleh berbagai bakteri pathogen. Angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi
terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Di Amerika Serikat
angka insiden 2,5-3,5 kasus per 100.000 populasi. Meningitis bakteri harus disikapi
sebagai suatu keadaan darurat. Kemampuan klinis sangat dibutuhkan untuk
mencurigai dan menegakkan diagnosis anak dengan meningitis bakteri.

Etiologi
Pada neonatus penyebab tersering adalah Streptococcus grup B dan E. coli.
Sedangkan pada anak 2- 5 tahun H. influenza, S. pneumonia dan N. meningitidis dan
usia >5 tahun S. pneumonia, N. meningitidis dan H. influenza.

Patofisiologi
Infeksi pada selaput otak dapat terjadi melalui beberapa jalur:
• Hematogen
• Per-kontinuatum
• Implantasi langsung

Manifestasi Klinis
Anamnesis
Perjalanan klinis meningitis bakterialis pada anak sering didahului oleh infeksi saluran
napas atas atau saluran cerna dengan gejala-gejala: demam, batuk, pilek, mencret
serta muntah-muntah. Adanya gejala-gejala seperti demam, sakit kepala, dan kaku
kuduk dengan atau tanpa penurunan kesadaran sangat bermakna untuk mencurigai
meningitis bakterialis. Tanda klinis sangat bervariasi dan berhubungan dengan umur
penderita.

Pemeriksaan fisik
• Penurunan kesadaran dapat bermanifestasi iritabel saja atau penurunan
kesadaran yang lebih dalam sampai koma.
• Ubun-ubun besar tegang atau membonjol (kalau ubun-ubun besar masih
terbuka), tanda rangsang meningen (kaku kuduk, tanda Brudzinsky I & II, tanda
Kernig), kejang fokal atau umum dan defisit neurologis lainnya.
• Tanda rangsang meningen sulit ditemukan pada anak < 1 tahun.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.

2
Pemeriksaan Penunjang
• Darah lengkap, kadar gula darah, elektrolit serum, kultur darah
• Pungsi lumbal (lumbal puncture/LP)
o Jumlah sel leukosit: 100-10.000/uL (dominan PMN), protein tinggi 200-500/dL,
o Glukosa CSS rendah < 40 mg/dL, pengecatan gram, kultur, dan tes
sensitifitas,serologis (latex agglutination).
• Bila kasus berat: LP dapat ditunda 2-3 hari tanpa mengubah nilai diagnostik,
namun langsung diterapi antibiotika secara empiris.
• CT scan/MRI kepala tidak rutin dikerjakan (dikerjakan bila ada indikasi).
• Elektroensefalografi (EEG) bila ada kejang.

Tata Laksana
Pemberian antibiotika diawali secara empiris (oleh karena terapi antibiotika harus
secepatnya diberikan), kemudian disesuaikan dengan hasil pengecatan gram, biakan
kuman, dan tes resistensi.

Terapi antibiotika empiris (sesuai dengan umur), lama pengobatan 10-14 hari.
• Umur 1-3 bulan
o Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr IV dibagi 4 dosis dan sefotaksim 200
mg/kgbb/hr IV dibagi 2-3 dosis.
o Seftriakson 100 mg/kgbb/hr IV dibagi 2 dosis.
• Umur > 3 bulan
o Sefotaksim 200 mg/kgbb/hr IV, dibagi 3-4 dosis
o Seftriakson 100 mg/kgbb/hr IV, dibagi 2 dosis
o Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr IV, dibagi 4 dosis dan kloramfenikol100
mg/kgbb/hr, IV dibagi 4 dosis.

Pemberian deksametason (rekomendasi AAP)


• Dosis 0,6 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis (2 hari pertama saja), sebelum atau saat
pemberian antibiotika.

Prognosis
• Bila terjadi kejang yang sulit di atasi dalam 4 hari pertama, prognosis kurang baik
dengan gejala sisa berat.
• Sekitar 6% kasus terjadi DIC dengan prognosis buruk
• Angka kematian 10-30%

Komplikasi
• Hidrosefalus obstruktif, subdural efusi, abses otak, SIADH.
• Kejang, dapat berkembang menjadi epilepsi.
3
• Hemipare, tetraparese, mental retardasi, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, atrofi otak, dll.
Pemantauan
• Periode kritis adalah hari ke 3-4. Bila tidak ada perbaikan klinis bahkan
perburukan, lakukan LP ulang dan evaluasi terhadap antibiotika serta adanya
komplikasi seperti subdural empyema, hidrosefalus dll.
• Pada anak dengan UUB masih terbuka, ukur lingkaran kepala setiap hari.
• Kejang, tekanan intrakranial (TIK) meningkat, SIADH dan demam harus dikontrol
dengan baik. Bila TIK meningkat dan kesadaran semakin menurun, berikan
furusemid 1 mg/kgbb/x IV, dan manitol 0,5-1 gram kgbb/kali setiap 8 jam, monitor
ketat keseimbangan cairan dan elektrolit.
• Posisi kepala lebih tinggi dan retriksi cairan tidak selalu dikerjakan.
• Periksa darah lengkap, tes fungsi hati, BUN/SC setiap minggu.
• Untuk mengetahui gejala sisa, pemeriksaan klinis neurologis dan tes pendengaran
segera dilakukan setelah pasien pulang. Insiden gejala sisa 9-38%.

Pencegahan
• Imunisasi HIB dan Streptococcus pneumonia.

Daftar Pustaka
1. Prober Cg. Central nervous system infection. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, edotor. Nelson texbook of pediatric. Edisi ke-17, Philadelphia: saundes;2004, h.2038-
47.
2. Snyder RD. Bacterial infection of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
editor. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby; 2006. h.
1571-91.
3. Nigrovic LE, Kuppermann N,Macias CG, Cannavino CR, Moro-Sutherland DM, dkk.Clinical
prediction rule for identifying children with cerebrospinal fluid pleocytosisat very low risk
of bacterial meningitis.JAMA 200: 297:52-60
4. Booy R, Kroll S. Bacterial meningitis in children. Curr Opin Pediatr 1994;6(1):29-35.
5. Baraff LJ, lee SI, Schriger DI. Outcome of bacterial meningits in children: a meta-analysis.
Pediatr Infect Dis J 1993; 12(5):389-94

4
MENINGITIS TUBERKULOSA

Batasan
Merupakan peradangan selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini jarang ditemukan pada bayi umur <6 bulan
dan hampir tidak pernah ditemukan pada umur < 3 bulan. Insidennya mulai
meningkat dalam usia 5 tahun pertama. Di negara sedang berkembang seperti
Indonesia, insidens relatif meningitis TB 7-12% dari seluruh kasus TB. Angka kematian
antara 10-20%. Pada pasien sembuh sebagaian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang mempunyai status neurologis dan intelektual normal.

Etiologi
Mycobacterium tuberculosa

Patofisiologi
Keluhan, gejala dan gejala sisa meningitis TB, adalah akibat dari reaksi inflamasi-
imunologis langsung terhadap infeksi. Perkembangan penyakitnya melalui 2 tahap:
• Setelah terbentuk kompleks primer, akan berkembang menjadi fokus Rich di
daerah subpial-subependimal otak.
• Fokus Rich akan berkembang dan bertambah besar ukurannya dan ruptur masuk
ke ruang subaraknoid meningen.

Manifestasi Klinis
Anamnesis
Adanya riwayat demam lama (> 3 minggu), tetapi dapat juga berlangsung akut,
adanya kejang. Adanya riwayat penurunan berat badan, imunisasi BCG, kontak
dengan penderita TB.

Manifestasi klinis dibagi 3 stadium (menurut British Medical Council):


• StadiumI
Gejala non-spesifik, predominan gejala gastrointestinal berupa mual muntah,
demam, malaise, apatis, iritabel, sakit kepala, anoreksia, belum tampak
manifestasi kelainan neurologis, kesadaran masih baik.
• StadiumII
Biasanya minggu ke-2. Mulai terjadi penurunan kesadaran tanpa koma/delirium,
terdapat tanda rangsang meningeal. Defisit neurologis fokal berupa kejang,
parese saraf kranial III,IV,VI, dan VII, hemiparesis, gerakan involunter, disertai
klonus patela, dan pergelangan kaki.

5
• StadiumIII
Kesadaran semakin menurun sampai stupor atau coma, gejala neurologi
bertambah berat, kejang, posturing, dan gerakan-gerakan abnormal. Pada mata
pupil terfiksasi, spasme klonik, pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu
tubuh. Komplikasi hidrosefalus ditemukan pada 2/3 kasus dengan lama sakit 3
minggu.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan parut BCG, limfadenopati, dan tanda rangsang meningeal. Pada
funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberculoma pada retina, adanya nodul di
koroid. Pada umumnya didapatkan tremor, koreostetosis atau hemibalismus.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Penunjang
• Darah lengkap, gula darah, elektrolit serum
• Lumbal pungsi: LCS jernih atau xantokrom, sel meningkat sampai 500/uL, dengan
hitung jenis sel dominan limfosit, walaupun pada fase awal dapat ditemukan
PMN. Protein meningkat sampai 500 mg/dL, kadar glukosa di bawah normal (<40
mg/dL). LP ulangan dapat memperkuat diagnosis.
• Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan lesi parenkim pada dasar otak, infark,
dan tuberkuloma serta sering hidrosefalus.
• Foto rontgen dada dapat ditemukan adanya TB paru apabila terdapat gambaran
klinis.
• Uji tuberkulin (tes Mantoux) dapat mendukung diagnosis.
• EEG dapat menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar dan kadang-kadang
disertai gelombang epileptiform.

Tata Laksana
Terapi medikamentosa sesuai rekomendasi AAP 1994, yakni pemberian 4 macam
OAT selama 2 bulan, diteruskan INH dan rifampicin selama 10 bulan.
• Isoniazid (INH) 5-10 mg/KgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari
• Rifampicin 10-20 mg/KgBB/hari, dosis maksimum 600 mg/hari
• Pirazinamid 20-40 mg/KgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari
• Etambutol 15-25 mg/KgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari
• Kortikosteroid selama 1-2 bulan pertama: prednison (1-2 mg/kg/hari) atau
deksametason 8 mg/hari, dilanjutkan tapering-off.
• Mengurangi edema serebri:Pemberian cairan hiperosmolar: Manitol 0,25–1 g/kg
selama 30 menit, intermiten (diulang tiap 8 jam) atau saline hipertonik (NaCl 3%),
pemantauan sangat ketat.
6
• Tata laksana hidrosefalus:
o Acetazolamide oral 5-25 mg/kg/6 jam atau furosemide 1mg/kg
o Serial LP setiap 2 minggu
o Intervensi bedah saraf :
- Sementara:External ventricular drainage
- Permanen: Ventriculo-peritoneal shunt(V-P shunt)
- Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV)
• Terapi suportif berupa retriksi cairan, posisi kepala lebih tinggi dan fisioterapi
pasif.

Prognosis
Angka kematian 10-20%. Gejala sisa berupa gangguan penglihatan dan pendengaran.
Dapat dijumpai hemiparese, retardasi mental, kejang/epilepsi. Bila terjadi
keterlibatan hipotalamus dan sisterna basalis, maka bisa muncul kelainan endokrin.

Daftar Pustaka
1. Weil ML,Tuomanen E, Rust R, Menkes JH. Infection of the nervous system. Dalam: Menkes
JH, Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2000.h.467-626.
2. Ramachandran TS.Tuberculous meningitis. eMedicine.2007
3. Munoz MF, Starke JR. Tuberculosis. Behrman RE, Klieman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatric, edisi ke-17. WB Saunder, 2004.h. 958-72.
4. Davis LE. Tuberculous meningitis. Dalam: Johson RT, Griffin JW, McArthur JC, penyunting.
Current therapy in neurologic disease. Edisi ke-6. St. Louis: Mosby;2002. h.144-6.
5. Darto Suharso, Siti Nurul Hidayati. Infeksi susunan saraf pusat. Dalam:Taslim SS, Ismael S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta; 1999.h.339-
81.

7
ENSEFALITIS

Batasan
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme,
khususnya virus.

Etiologi dan Patofisiologi


Mikroorganisme yang dapat menimbulkan ensefalitis dapat digolongkan sbb:
• Infeksi oleh virus
o Penyebaran dari manusia ke manusia.
- Mump
- Herpesvirus
 Herpes simplex hominis tipe 1,2
 Varicella - zoster virus
 EB virus
 Cytomegalovirus

- Poxvirus
 Vaccinia
 Variola
- Morbilli
- Rubella
- Enterovirus

o Penyebaran melalui vektor arthropoda (nyamuk):


- Arbovirus : Japanese encephalitis
o Ditularkan oleh mammalia berdarah panas.
- Rabies : lewat air liur/gigitan mammalia (anjing gila)
- Herpesvirus simiae lewat air liur/gigitan kera.
• Infeksi oleh bukan virus
o Ricketsia
o Mycoplasma pneumoni
o Bakteri : Mycobacterium tuberculosis
o Spirochaeta : sifilis
o Protozoa :
- Plasmodium sp
- Tripanosoma sp
o Fungi :
- Histoplasmosis sp
8
- Cryptococcus sp
- Aspergilosis sp
- Mucormycosis sp
- Moniliasis sp
- Coccidioidomycosis sp
• Parainfeksi (pasca infeksi, alergi)

o Diasosiasikan dengan penyakit-penyakit yang khas (mikroorganisme ini bisa


juga menimbulkan kerusakan jaringan otak secara langsung).
- Morbilli
- Varicella – Zoster
- Influenza
- Rubella
- Mump
o Diasosiasikan dengan vaksin
- Rabies
- Pertussis
- Influenza
- Thypoid
- Morbilli
- Yellow fever
- Vaccinia
• Penyebab tidak diketahui

Patogenesis
Selain jaringan otak, mikroorganisme dapat pula menyerang meningen, medula
spinalis atau kombinasi dari struktur di atas, sehingga kelainan yang timbul dapat
berupa aseptik meningitis, mielitis, meningoensefalitis, atau ensefalomielitis. Virus ini
dapat menyerang semua golongan umur.
Masuknya virus ke dalam tubuh melalui :
• Makanan dan minuman : Enterovirus
• Kontak dengan orang yang sedang sakit : Morbili
• Melalui gigitan anjing gila : Rabies
• Vektor nyamuk : Arbovirus.
Nyamuk Culex nishnui yang kena infeksi virus, setelah menggigit babi sebagai
reservoar (viremia lama tanpa menderita sakit), kemudian menggigit manusia.
Reservoar adalah babi. kuda, sapi, kerbau dan burung.
Secara umum virus ensefalitis yang berada dalam tubuh manusia mencari sistem
limfe dan disini berkembang biak, selanjutnya lewat aliran darah menuju organ-organ
tubuh seperti jaringan otak yang dapat menimbulkan ensefalitis.
9
Gejala Klinik
Gejala klinik sangat bervariasi dari ringan sampai berat, pada permulaan penyakit
hanya menunjukkan gejala ringan, kemudian koma, dan bisa meninggal mendadak.
Pada permulaan penyakit : panas, sakit kepala, mual, muntah, pilek, dan sakit
tenggorokan. Pada hari-hari berikutnya panas mendadak meningkat, kesadaran
dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma. Kejang-
kejang berlangsung berjam-jam dan mendominasi penyakit. Kelainan saraf berupa
paresis, paralisis atau ataksia serebral akut.

Penunjang Diagnosis
Laboratorium
• Pemeriksaan cairan serebrospinalis
Sering dalam batas normal. Kadang-kadang didapatkan pleositosis ringan yang
didominasi oleh limfosit, protein meningkat, glukosa pada permulaannya bisa
normal kemudian meningkat, asam laktat normal atau meningkat.
• Pemeriksaan virologis
Bahan: cairan serebrospinal, jaringan otak (hasil nekropsi), dan/atau tinja, Darah
jarang memberikan hasil yang positif oleh karena viremia berlangsung sangat
singkat.
• Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah: uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
hemaglutinasi, uji netralisasi.
Bahan: darah pada fase akut dan fase konvalesen. Positif bila titer antibodi pada
fase konvalesen meningkat lebih dari/atau sama dengan 4 kali.
• Pemeriksaan patologi anatomi (post mortem)
Gambaran umum: edema otak, bendungan pembuluh darah, dan infiltrasi
mononuklear sekitar pembuluh darah. Pada fase permulaan ada reaksi granulosit
pada selaput otak yang kemudian diganti dengan limfosit atau monosit.Contoh:
Negri bodies, pada rabies; Inclusion bodies: pada kelompok Herpes virus.

Diagnosis
Klinis: anamnesis dan menemukan gejala-gejala klinik. Diagnosis penunjang adalah
pemeriksaan likuor serebrospinalis.

Diagnosis Banding
• Meningitis bakteri yang mendapat terapi tidak sempurna atau pada fase
permulaan penyakit meningitis bakteri yang belum dapat terapi. Pada kasus ini
akan didapatkan pada pemeriksaan likuor serebrospinalis neutrofil dominan,
bakteri (+), glukosa normal atau menurun.
• Keracunan obat-obatan.
10
• Salisilat: anamnesis makan obat, panas badan koma, napas cepat, likuor
serebrospinalis normal.

Penyulit
• Hidrosefalus
Timbul sebagai akibat adanya bendungan aliran likuor di saluran aquaduktus. Bisa
terjadi pada meningoensefalitis oleh virus mump. Sering timbul pada saat fase
perbaikan.
• Hemiplegia, monoplegia, paresis, atau paralisis saraf pusat.
• Di kemudian hari bisa timbul mental retardasi dan/atau epilepsi.

Tata Laksana
• Tindakan dan perawatan sesuai dengan kejang demam
• Pemakaian obat-obatan

o Obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang demam
o Antibiotika.
Diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti ampisilin dosis 50–
100mg/kg bb/hari, dibagi dalam 3 dosis secara intravena
o Untuk menghilangkan edema otak
- Dexamethason: diberikan bolus 0,5 – 1 mg/kg.bb/kali, dilanjutkan dengan
dosis maintanance 0,5 mg/kg.bb./hari, i.v. atau i.m, dibagi 3 dosis. Dosis
diturunkan pelan-pelan setelah beberapa hari bila ada perbaikan
- Manitol
Dosis 0,5 - 2,0 gram/kg, i.v. dalam 30-60 menit dapat diulang setiap 8-12
jam dengan menggunakan larutan Manitol 15-20% selama 3 hari
(tergantung dari respon penderita)
- Gliserol
Dosis 0,5-1,0 ml/kg.bb., dengan sonde hidung, diencerkan 2 kali, dan dapat
diulang tiap 6 jam.
- Glukosa 20%, 10 ml i.v. beberapa kali sehari, dimasukkan ke dalam pipa
infus.

• Pengobatan suportif

o Pemberian cairan i.v. (Glukosa 10%). Pemberian cairan i.v. dimaksudkan unruk
mempertahankan keseimbangan air-elektrolit, mencukupi kalori, dan
pemberian obat-obatan.
o Pemberian vitamin.
o Pemberian 0 2 untuk mencegah kerusakan jaringan otak akibat hipoksia.
11
Daftar Pustaka
1. Behrman RE and Vaughan VC. Nelson textbook of pediatrics, 12th ed. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Sidney, Tokyo: WB Saunders, 1983:626-631.
2. Bell WE and Mc Cormick WF. Neurologic infections in children. In: The series mayor
problems in clinical pediatrics. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders, 1975:145-
192.
3. Breet EM. Pediatric neurology. Edinburg, London, Melbourne, New York: Churchill
Livingstone, 1988:526.
4. Swaiman KF. Pediatric neurology principles and practice. The CV Mosby Company St.
Louis, Baltimore, Toronto 1989:487.

12
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Batasan
Infeksi ensefalon yang disebabkan oleh virus Herpes simplex (HSV). Angka kejadian
ensefalitis Herpes simpleks (EHS) di Amerika Serikat diperkirakan 2-4 kasus per 1000
penduduk per tahun, 30% mengenai anak-anak. EHS merupakan satu-satunya
ensefalitis yang dapat diberikan terapi yang spesifik sesuai etiologinya dan secara
signifikan memperbaiki prognosisnya.

Etiologi
Ensefalitis Herpes simpleks pada anak-anak terutama disebabkan oleh HSV tipe 1,
sedangkan HSV tipe 2 lebih sering menyebabkan infeksi pada neonatus.

Patofisiologi
Ensefalitis herpes simpleks, diduga lebih banyak terjadi akibat reaktivasi endogenus
virus daripada infeksi primer. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia
trigeminal. Beberapa tahun kemudian, rangsangan nonspesifik menyebabkan
reaktivasi. Virus dapat mencapai otak melalui cabang saraf trigeminal ke basal
meningen, menyebabkan predileksi EHSdi daerah temporal dan lobus frontalis orbita.

Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit bisa akut atau sub akut. Gejala prodromal seperti influensa,
diikuti dengan gambaran khas ensefalitis pada umumnya. Sekitar 40% kasus datang
dalam keadaan koma/prekoma. Manifestasi klinisnya bisa juga menyerupai
meningitis aseptik. Diperlukan keterampilan klinis yang tinggi untuk mendiagnosis
ensefalitis HSV karena gejala tidak selalu khas. Pertimbangkan ensefalitis HSV bila
dijumpai demam, kejang fokal dan defisit neurologis fokal seperti hemiparese dengan
penurunan kesadaran progresif.

Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi : tidak spesifik
• Cairan serebrospinal: sel 10-1000sel/ul (awalnya dominan sel PMN), Protein: 50-
2000 mg/dl; glukosa: normal atau sedikit menurun.
• EEG: gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal
pada area temporal atau pronto-temporal. Sering juga menunjukkan
perlambatan umum tidak spesifik (hipofungsi umum) sedang sampai berat.
• CT scan kepala: tiga hari pertama sering normal setelah timbulnya gejala
neurologis,kemudian tampak lesi hipodense pada area fronto-temporal.
• Pemeriksaan MRI kepala memberikan hasil lebih baik.

13
• Pemeriksaan serologis Ig G dan Ig M dapat dikerjakan dengan sensitifitas dan
spesifisitas sekitar 70-80 %.
• Pemeriksaan PCR cairan otak, dapat mendeteksi antibodi dengan cepat. PCR
positif segera setelah timbulnya gejala, dan bertahan sampai 2 minggu atau lebih.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, EEG
dan pencitraan.

Tata Laksana
• Prinsip penanganan sama seperti ensefalitis secara umum.
• Antivirus harus segera diberikan, asiklovir 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21
hari. Cara pemberian:larutkan asiklovir dalam 100 ml NaCl 0,9%, drip selama
minimum 1 jam. (sebaiknya didahului skin tes). Pastikan fungsi ginjal baik dan
dilakukan pemantauan selama pemberian asiklovir.
• Bila terjadi kejang, berikan anti kejang (sesuai algoritme tata laksana kejang akut
dan status epileptikus).
• Berikan anti edema otak: steroid atau manitol dengan dosis dan cara pemberian
yang benar.

Catatan penting:
• Bila ditemukan penderita yang dicurigai ensefalitis herpes simpleks, segera
berikan terapi asiklovir, sampai terbukti bukan EHS. Bila sudah terbukti bukan
EHS, maka terapi dapat dihentikan.
• Pemberian terapi asiklovir secara dini (dalam waktu 3-4 hari setelah onset
penyakit) sangat terindikasi dan sangat menentukan prognosis.
• Bila tidak diobati, angka kematian sekitar 70%.

Daftar Pustaka
1. Snyder RD. Bacterial infection of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
penyunting. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby;
2006: h. 1571-91.
2. Lahat E, Barr J, Barkai G, dkk. Long-term neurological outcome of herpes encephalitis.
Arch.Dis.Child 1999;80:69-71.
3. Taslim SS. Ensefalitis herpes simpleks. Dalam: Taslim SS, Ismael S. Buku ajar neurologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 1999.h. 376-385.
4. Irani DN. Viral encephalitis. Dalam: Johson Rt, Griffin JW, McArthur JC, penyunting..
Current therapy in neurologic disease, edisi ke-6. St. Louis: Mosby, 2002.h.121-4.
5. Kullnat MW, Morse RP. Coreoathetosis after herpes simplex encephalitis with basal
ganglia involment on MRI. Pediatrics 2008; 121:1003-7.

14
6. Kimura H, Aso K, Kuzushima K, dkk. Relapse of herpes simpleks encephalitis in children.
Pediatrics 1992;89:891-4.

15
HIDROSEFALUS

Batasan
Hidrosefalus merupakan keadaan adanya pelebaran progresif ventrikel otak yang
terjadi akibat gangguan dinamik cairan otak. Hidrosefalus dibedakan menjadi 2 jenis
yakni komunikans dan non-komunikans. Pada hidrosefalus terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan pembesaran lingkaran kepala (makrosefali), namun pada
fase awal mungkin keadaan ini belum tampak secara jelas.

Etiologi
Hidrosefalus merupakan manifestasi klinis berbagai penyakit seperti perdarahan
intrakranial, berbagai infeksi otak, tumor otak atau kelainan kongenital tertentu.

Patofisiologi
Hidrosefalus terjadi karena adanya gangguan absorpsi, obstruksi, atau produksi
cairan serebrospinal yang berlebihan di dalam otak.

Manifestasi Klinis
Pada bayi
Kepala dengan mudah membesar sehingga didapatkan gejala-gejala sebagai berikut:
• Lingkaran kepala semakin membesar
• Vena-vena kepala prominen
• Ubun-ubun besar tegang atau membonjol
• Sutura melebar
• Cracked-pot sign, bunyi seperti pot bunga yang retak atau seperti buah semangka
pada perkusi kepala.
• Perkembangan motorik terlambat
• Tonus otot meningkat, hiperrefleksi
• Cereberal cry, tangis pendek, bernada tinggi dan bergetar.
• Nistagmus horisontal
• Sunset apperance, kedua bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan
penipisan tulang supraorbita, sklera tampak di atas iris, sehingga iris tampak
seperti matahari yang akan terbenam.

Pada anak
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial seperti:
• Muntah proyektil
• Nyeri kepala

16
• Kejang
• Kesadaran menurun
• Papil edema atau papil atrofi pada pemeriksaan funduskopi

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Penunjang
• Pembesaran kepala yang progresif atau lebih besar dari normal dengan gejala-
gejala klinis seperti tersebut di atas.
• Transiluminasi kepala dan USG kepala, pada bayi/anak yang ubun-ubun besarnya
masih terbuka.
• Foto rontgen kepala, tampak kranium yang membesar, atau sutura yang melebar.
• CT scan kepala, tampak sistem ventrikel melebar.

Tata Laksana
Medikamentosa
• Mengurangi volume cairan serebrospinal
o Asetazolamide : 10-30 mg/kg/24 jam oral, 3-4 kali sehari.
o Furosemid : 1-2 mg/kg/24 jam oral, 3-4 kali sehari.
• Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika sesuai etiologi.
• Konsul bedah saraf, bila ada indikasi pembedahan (drainase eksternal, ETV atau V-
P shunt).

Prognosis
Prognosis banyak tergantung pada etiologinya, ketebalan cortex sereberi saat
dilakukan shunting tidak banyak menentukan prognosis. Hidrosefalus akan
mengganggu tumbuh kembang anak seperti intelegensi, memori, pengelihatan,
prilaku, dan akselerasi pubertas, sehingga diperlukan pemantauan jangka panjang.

Daftar Pustaka
1. Johnson MV, Kinsman S. Congenital anomaly of the central nervous system. Dalam:
Behrman RE, Klieman RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatric, edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunder, 2004.h.1983-93.
2. Volpe JJ. Human brain development. Dalam: Volpe JJ, editor. Neurology of the newborn.
Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders, 2008.h.1-49.
3. Moe PG, Seay AR. Neurologic and muscular disorders. Dalam: Hay WW, HaywardAR, Levin
MJ, Sondheimer JM. Current pediatric diagnosis and treatment, edisi ke-15. New York:
McGraw Hill, 1999.h.632-5.
4. Gleeson JG, Dobyns WB, Plawner L, Ashwal S. Congenital structure defect. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, editor. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St.
Louis: mousby; 2006. h. 363-490.
17
KEJANG DEMAM

Batasan
Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang pada bayi atau anak, yang terjadi pada
peningkatan suhu tubuh (>38oC rectal), yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranial. Pada umumnya terjadi antara umur 6 bulan – 5 tahun, dan tidak
terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam dan bayi umur di bawah 1 bulan tidak
termasuk.Sekitar 2-4% anak pernah mengalami kejang demam dalam hidupnya.

Etiologi
Semua infeksi di luar otak yang menimbulkan panas seperti faringitis, tonsilitis,
tonsilofaringitis, otitis media akut, bronkopneumonia dll.

Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam dan luar.
Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion
khlorida (Cl-) sehingga berakibat konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut potensial membran sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan bantuan ensim dan energi yang didapat dari metabolisme
yaitu melalui proses oksidasi glukosa. Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi
gangguan fungsi otak dengan akibat keseimbangan potensial membran terganggu,
mengakibatkan terjadi difusi K+ dan Na+ yang dapat menimbulkan lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel neuron maupun ke sel tetangganya dan akhirnya timbullah kejang fokal maupun
kejang umum.

Klasifikasi Kejang Demam Menurut UKK Saraf Anak 2006


• Kejang demam sederhana
o Lama kejang ≤ 15 menit.
o Kejang bersifat umum
o Frekuensi 1 kali dalam 24 jam
• Kejang demam kompleks
o Lama kejang > 15 menit,
o Kejang bersifat fokal atau parsial
o Frekuensi kejang> 1 kali dalam 24 jam(kejang multipel atau kejang serial).

18
Manifestasi Klinis
Anamnesis:
• Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu
sebelum/pada saat kejang, ferekuensi, penyebab demam di luar SSP.
• Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
• Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsi dalam
keluarga.
• Singkirkan penyebab kejang yang lain.

Pemeriksan fisik
• Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningial, tanda peningkatan tekanan
intrakaranial, dan tanda infeksi di luar SSP.
• Pemeriksaan fisik neurologis harus dilakukan walaupun pada umumnya tidak
ditemukan adanya kelainan.

Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan laboratorium tidak rutin, dilakukan jika ada indikasi. Darah lengkap,
gula darah, elektrolit serum lengkap (natrium, kalium, calcium, magnesium).
• Lumbal pungsi sesuai indikasi, dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakkan
diagnosis meningitis. Risiko meningitis bakterial ialah 0,6-6,7%.Lumbal pungsi
sangat dianjurkan pada bayi < 12 bulan, dianjurkan pada bayi berumur 12 - 18
bulan, dan tidak rutin dikerjakan pada anak lebih > 18 bulan, kecuali ada gejala
meningitis atau kecurigaan infeksi intrakranial lainnya.
• Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi. Oleh karena itu tidak
direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas seperti: kejang
fokal, kejang demam kompleks frekuen, kejang demam plus (FS+).
• CT scan atau MRI kepala, diindikasikan pada keadaan: kejang fokal/parsial, adanya
kelainan neurologis, atau tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Tata Laksana
Prinsip Penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal:
• Mengatasi kejang fase akut.
• Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
• Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

19
• Mengatasi kejang fase akut
(lihat algoritme tata laksana kejang akut dan status epileptikus).
Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti dengan diazepam,
dapat diberikan antikonvulsan long acting (phenobarbital) jika ada faktor risiko:
kejang lama, kejang fokal/parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang
multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga.
Dosis phenobarbital: loading dosesecara intramuskuler
o Neonatus : 30 mg
o Bayi : 50 mg
o >1 tahun : 75 mg
Dilanjutkan 12 jam kemudian phenobarbital oral;
o 8-10 mg/kgbb/hari di bagi 2 dosis (selama 2 hari)
o Selajutnya 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis.

• Mengatasi demam, mencari dan mengobati etiologi demam.

Obat antipiretika sering diberikan meskipun tidak terbukti mencegah terulangnya


kejang, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi
lebih nyaman dan tenang.Mengatasi etiologi demam dengan pemberian
antibiotika jika ada indikasi.

• Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis intermiten


dan profilaksis terus-menerus. Indikasi dan obat yang diberikan sebagai berikut:
o Profilaksis intermiten pada waktu demam

- Antipiretik
 Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari.
 Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali/hari.
- Obat antikonvulsan
 Diazepam oral : 0,3 mg/kg setiap 8 jam
 Diazepam rektal : 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk BB<10 kg, 10 mg untuk
BB>10 kgsetiap 8 jam.
Catatan:
- Informasi kepada orang tua sangat penting mengingat efek samping dari
diazepam (30-40%) yaitu: letargi, ataksia dan iritabel.
- Diazepam oral atau rektal dapat mengurangi rekurensi kejang 60-75% kasus
- Fenobarbital tidak efektif untuk profilaksis intermiten.
- Kejang demam sederhana tidak perlu profilaksis intermiten, kecuali rekuren
>2 kali.

20
o Profilaksis terus-menerus(Kesepakatan UKK Saraf Anak 2006)
- Indikasi profilaksis terus menerus:
 Kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (hemiparese,
paresis Tod’s, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus, dll)
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal
- Dapat dipertimbangkan pada:
 Kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam
 Bayi usia < 12 bulan
 Kejang demam kompleks berulang > 4 kali
- Lama pengobatan 1 tahun bebas kejang .
Catatan:
- Asam valproat dan fenobarbital dapat mencegah rekurensi sampai 90%
kasus. Pemakaian fenobarbital sering menyebabkan gangguan
perilaku,gangguan belajar, dan penurunan IQ. Sedangkan pemakaian asam
valproat pada usia muda dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
- Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk profilaksis.
- Pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan.

Daftar Pustaka
1. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Hardiono DP, Widodo DP, Ismael S,
Editor.UKK neurologi anak, IDAI, Jakarta, 2006.
2. Shinnar S. Febrile suizure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, editor. Pediatric neurology
principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby; 2006. h. 676-91.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, dkk. Febrile suizure: clinical practice guideline for
long-term management of the child with simple febrile suizure. Pediatric 2008;121:1281-
6.
4. Duffner PK, Beumann RJ. A synopsis of the AmericanAcademy of Pediatrics: practice
parameters on the evaluation and treatment of children with febrile suizure. Pediatr
Review 1999;20:285-9.
5. Sadlier Lg, Scheffer IE. Febrile suizure. BMJ 2007; 334:307-11.

21
EPILEPSI PADA ANAK

Batasan
Epilepsi adalah terjadinya bangkitan kejang dua kali atau lebih tanpa provokasi, yang
dipisahkan oleh interval >24 jam. Kejang berulang tanpa provokasi dalam waktu 24
jam dianggap kejang episode tunggal. Insiden epilepsi pada populasi umum
diperkirakan 20-70 per 100.000 orang per tahun, dengan prevalensi 4-10 per 1000
orang. Insiden lebih tinggi pada anak-anak dan tertinggi pada neonatus.

Etiologi
Cetusan muatan listrik sel neuron otak pada epilepsi dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan primer, baik intrakranial, atau ekstrakranial. Pada banyak kasus epilepsi,
etiologinya tidak diketahui atau bersifat idiopatik.

Patofisiologi
Epilepsi adalah gangguan paroksismal yang ditandai dengan cetusan abnormal dari
neuron. Dapat terjadi akibat membran neuron yang abnormal atau
ketidakseimbangan antara pengaruh eksitasi dan inhibisi pada sel neuron oleh karena
penyebab tertentu atau idiopatik.

Kasifikasi
Berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalografi, International League Against
Epilepsy (ILAE), membuat klasifikasi epilepsi menjadi tiga jenis utama yakni: kejang
parsial, kejang umum, dan kejang yang tidak dapat diklasifikasikan (lihat Tabel 1).

22
Tabel 1. Klasifikasi kejang epileptik menurut ILAE, 1981.

• Kejang Parsial
o Parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)
- Motor
- Sensoris
- Automatik
- Psikis
o Parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
- Kesadaran terganggu saat awal awitan
o Kejang parsial dengan generalisasi sekunder
• Kejang umum
o Absan ( tipikal, atipikal)
o Kejang umum tonik- klonik
o Kejang tonik
o Kejang klonik
o Kejang mioklonik
o Kejang atonik
• Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan

Manifestasi Klinis
Anamnesis
• Pastikan pasien memang mengalami kejang. Singkirkan kemungkinan gerakan-
gerakan yang menyerupai kejang seperti breath holding spell, sinkop, tik dll.
• Kalau memang kejang, harus tentukan tipe kejangnya.
• Kesadaran penderita selama kejang dan ingatan pasien akan kejadian kejang.
• Lamanya kejang berlangsung (tidak mudah menentukan karena lebih sering
dokter tidak melihat kejadian kejangnya).
• Frekuensi kejang dan riwayat kejang sebelumnya
• Faktor pencetus, jika ada; kejang epilepsi pada umumnya tidak ada faktor
pencetusnya.
• Adanya aura sebelum kejang seperti: rasa takut, mual, rasa berputar, kesemutan
atau mati rasa pada jari, cahaya terang pada salah satu lapang pandang dll.
• Jika ada, tanyakan obat anti epilepsi yang pernah diminum sebelumnya, jenis
obat, dosisnya, dan lamanya minum obat tersebut.
• Riwayat kelahiran, tumbuh kembang anak, dan prestasi di sekolah.
• Adanya gejala lain yang menyertai
• Riwayat epilepsi dalam keluarga
23
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan neurologis lengkap, ditujukan terutama
untuk menyingkirkan penyebab kejang lain, dan mendiagnosis adanya sindroma
epilepsi.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Pemeriksaan penunjang diperlukan dengan indikasi tertentu saja.

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium dikerjakan atas dasar indikasi sesuai anamnesis dan
pemeriksaan fisik.Pemeriksaan dapat meliputi darah lengkap, gula darah,
elektrolit serum, BUN/SC. Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan dalam darah
mungkin diperlukan jika dicurigai pasien tidak patuh minum obat.
• Elektroensefalografi (EEG) bermanfaat dalam menentukan jenis epilepsi, evaluasi
pengobatan, dan prognosisnya.
• Pemeriksaan pencitraan seperti CT scan atau MRI kepala dilakukan bila dicurigai
adanya fokus epileptogenik atau pada epilepsi yang disertai kelainan neurologis
yang nyata, seperti:mikrosefali, palsi serebral, hidrosefalus, keterlambatan
tumbuh kembang dll.

Tata Laksana
• Jika pasien datang dalam keadaan kejang, hentikan kejang secepatnya (lihat
algoritme tata laksana kejang akut dan status epileptikus).
• Jika diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, tentukan regimen obat anti epilepsi
(OAE) yang sesuai dengan jenis epilepsinya. Terapi OAE diberikan sampai pasien
bebas kejang selama 2-3 tahun tergantung jenis epilepsinya. Penghentian OAE
dilakukan secara berahap dalam waktu 2-3 bulan.
• Pada awal terapi :
OAE lini pertama yang dapat dipilih antara lain
o Phenobarbital 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis
o Asam valproat 15-40 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis
o Karbamasepin 10-30 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis
o Phenitoin 5-7 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis
OAE lini kedua dapat dipilih:
o Topiramate (Topamax)
o Lamotrigine (Lamictal)
o Levetiracetam (Keppra)
o Clobazam (Frisium)
o Clonazepam (Rivotril)
24
o Nitrazepam (Mogadon)
o ACTH, steroid

Prinsip pengobatan epilepsi:


• Mulai dengan monoterapi pertama. Monoterapi pertama sangat menentukan
keberhasilan terapi epilepsi.
• Jika monoterapi pertama sampai dosis maksimal gagal mengontrol kejang,
mulailah monoterapi kedua. Jika monoterapi kedua berhasil, hentikan monoterapi
pertama secara cepat.
• Jika dua kali monoterapi sampai dosis maksimal gagal, mulailah politerapi dengan
2-3 macam OAE.
• Jika politerapi gagal, pikirkan terapi pembedahan bila ada indikasi.
• Pada epilepsi intraktabel, dapat diberikan diet ketogenik.

Lama pemberian OAE (UKK Neuropediatri 2006)


• Kejang umum tonik klonik: selama 2 tahun bebas kejang
o Klinis dan EEG membaik: selama 2 tahun bebas kejang
o EEG masih ada kelainan: selama 3 tahun bebas kejang
• Kejang partial atau partial umum: selama 3 tahun bebas kejang
• Absens: selama 2 tahun bebas serangan
• Juvenile myoclonic: seumur hidup.

25
Pilihan OAE berdasarkan tipe serangan epilepsi
Tipe kejang Monoterapi Terapi tambahan
Pilihan I Pilihan II
Parsial/fokal Karbamazepin Asam Leviracetam,Topiramat,
Fenitoin Valproat Lamotrigine,Tiagabine,
Oxcarbamazepin Fenobarbital Zonisamide,Felbamate,
Primidone Gabapentin
Tonik-klonik Asam Valproat Fenitoin Topiramate,Lamotrigine,
umum Karbamazepin Felbamate,Zonisamide
Fenobarbital
Primidone
Klonazepam
Tonik,klonik,atonik Asam Valproat Fenobarbital Leviracetam,
Clonazepam lamotrigine,
topiramate,
Felbamate,Zonisamide
Absanse Ethosuximid Felbamate,Lamotrigin,
Asam Valproat Acetazolamide

Mioklonik Asam Valproat Fenobarbital Leviracetam,


Klonazepam Lamotrigin,topiramate,
Felbamate,zonisamide

Pemantauan:
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap
obat.Timbulnya efek samping obat dipantau dengan pemeriksaan darah tepi dan
fungsi hati secara berkala. Jika perlu dilakukan juga evaluasi neurologik ulang secara
berkala.

Daftar Pustaka
1. Johnson MV. Seizure in childhood. Dalam: Behrman RE, Klieman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatric, edisi ke-17. WB Saunder, 2004.h.726-41.
2. Art WFM, Geerts AT, Brouwer OF, dkk. The early prognosis of epilepsy in childhood: the
prediction of the poor outcome. Epilepsia 1999;40:726-34.
3. Sridharan R. Epidemiology of epilepsy. Current Science 2002;82(6).
4. Passat J. Epidemiologi epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar
neurologi anak, edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2000.
5. Lumbantobing SM. Etiologi dan faal bangkitan epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael
S, penyunting. Buku ajar neurologi anak, edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2000.

26
6. Camfield PR, Camfiel CS. Pediatric epilepsy: an overview. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
penyunting. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby,
2006. h. 981-988.

27
STATUS EPILEPTIKUS PADA BAYI DAN ANAK

Batasan
Status epileptikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung terus-menerus atau
kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang yang berlangsung
> 30 menit. Merupakan keadaan emergensi dengan angka kematian sekitar 10%.
Sekitar 20% anak dengan epilepsi akan berkembang menjadi status epileptikus dan
5% anak dengan kejang demam akan mengalami episode status epileptikus. Status
epileptikus refrakter adalah kejang yang tidak dapat diatasi dengan serangkaian
pengobatan diazepam, phenitoin dan phenobarbital yang atau kejang yang
berlangsung > 60 menit meskipun sudah mendapatkan terapi yang adekuat. Kejang
serial atau kejang multipel dibedakan dengan status epileptikus karena di antara
kejang kesadaran penderita pulih kembali. Angka kejadian status epileptikus ± 18-
20/100.000 anak/tahun, tertinggi pada tahun pertama kehidupan (51/100.000
anak/tahun).

Etiologi
Pada anak penyebab tersering status epileptikus adalah infeksi yang disertai demam
yaitu sekitar 59% dari status epileptikus pada anak. Penyebab yang lain antara lain;
trauma lahir (perdarahan, aspiksia), kejang demam, epilepsi, gangguan metabolik,
trauma, tumor, penyakit degeneratif, dan idiopatik.

Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus diperkirakan akibat defek pada mekanisme normal
terminasi kejang. Kegagalan ini terjadi jika stimulus terjadinya kejang berlebihan atau
mekanisme internal yang menghambat kejang tidak berjalan efektif.

Klasifikasi status epileptikus, menurut ILAE 1981.

Status epileptikus konvulsif


Kejang umum
Kejang fokal atau parsial
Status epileptikus non konvulsif
Absance
Partial kompleks
Pseudo-status epileptikus

28
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis. Terpenting adalah memastikan
itu memang kejang dan menghitung lamanya kejang berlangsung dengan benar.

Tata Laksana
Tujuan utama penanganan status epileptikus adalah:
• Memberikan bantuan hidup dasar agar tetap terjaga fungsi vital tubuh.
• Menghentikan kejang dengan cepat dan tepat.
• Mengidentifikasi dan mengobati etiologi atau faktor pencetus kejang.
Evaluasi awal pada anak yang mengalami status epileptikus meliputi penanganan
adekuat jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (prinsip ABC). Bila anak datang dalam
keadaan kejang, tanyakan beberapa hal yang sangat penting saja agar tidak
membuang waktu. Periksa fungsi vital dengan cepat, lakukan resusitasi bila
diperlukan. Atasi kejang dengan cepat dan tepat. (Lihat algoritme tata laksana kejang
akut dan status epileptikus).

29
ALGORITME PENANGANAN KEJANG AKUT & STATUS KONVULSIF
Diazepam 5-
Prehospital 10mg/rect max 2x 0-10min
jarak 5 menit

Hospital/ED Diazepam 0,25-0,5mg/kg/iv/io Monitoring


Airway 10-20min
(rate 2mg/min, max dose 20mg) Vital sign
Breathing
Circulation atau EKG
Midazolam 0,2mg/kg/iv bolus Gula darah
atau Serum Elektrolit
NOTE : JIKA DIAZ RECTAL 1X PRE
HOSPITAL BOLEH RECTAL 1X Lorazepam 0,05-0,1mg/kg/iv (Na, K, Ca, Mg, Cl)
(rate <2mg/min) Analisa Gas Darah
Koreksi kelainan
Phenytoin Pulse oxymetri
20mg/kg/iv
ICU/ED 20-30min drug blood level
Note : Aditional (20min /50ml NS)
5-10mg/kg/iv Max 1000mg

Phenobarbitone 30-60min
20mg/kg/iv
Note : (rate >5-10min; max 1g)
Jika preparat (+)
ICU Refracter

1/24/2011
Midazolam 0,2mg/kg/iv bolus Pentotal - Tiopental Propofol 3-5mg/kg/infusion
13
Dilanjut infus 2 – 4 mg/kg/iv

30
Farmakologi obat untuk menghentikan kejang dan status epileptikus

Obat Pemberian Dosis Ulangan Kecepatan Keterangan


Pemberian

Diazepam IV 0,3 mg/kg 3-10 menit < 2 mg/mnt Tanpa


IO max 10mg dilarutkan

Diazepam Rectal 0,5 mg/kg 5-10 menit


max 10mg

Midazolam IV 0,1 mg/kg 2 kali < 2mg/mnt harus


IM max 4 mg setiap 10 encerkan
menit hipotensi
Depresi napas

Phenitoin* IV 20 mg/kg Tambahkan 1 mg/kg/mnt Hipotensi


IO max 1000 5mg/kg IV aritmia, harus
mg bila masih larutkan non
(30mg/kg) kejang glukosa

Phenobarbital** IV 20 mg/kg 1 mg/kg/mnt pilihan utama


max 600 untuk
mg neonatus
(30mg/kg) Depresi napas
terutama
setelah
diazepam.
Keterangan: Setelah pemberian phenitoin atau phenobarbital 20 mg/kg, bila masih kejang
dapat diberikan 5 mg/kg. Dosis berikutnya berdasarkan kadar antikonvulsan dalam darah.

Daftar Pustaka
1. JJ Rivielo JR, Ashwal S, Hirzt.D, dkk. Diagnostic assessment of the child with status
epilepticus (an evidence base review). Report of the quality standards subcommittee of
American academy of neurology and the practice committee of the child neurology
society. Neurology 2006;67:1542-50.
2. Lowenstein DH, Aldredge BK. Status epileptikus, current concept. New England journal of
medicine 1998:970-6.
3. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J. Status epileptikus. Dalam: Aicardi’s Epilepsy in
children. Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.456-98.

31
4. Aicardi J. Status epileptikus in infant and children: consenquences and prognosis. Int.
Pediatr 1987; 2:189-95.
5. Widodo DP. Algoritme penanganan status epileptikus pada bayi dan anak. Dalam:
Pusponegoro HD, Handryastuti S, Kurniati N. Pediatric neurology and neuroemergency in
Daily practice. Naskah lengkap PKB XLIX IKA. Jakarta; Badan penerbit IDAI, 2006. h. 63-69.
6. Walker MC. Serial seizure and status epileptikus. Neurology 2003;31-38.

32
EDEMA OTAK

Batasan
Edema otak adalah pengumpulan cairan abnormal di dalam jaringan otak, baik
intraseluler maupun ekstraseluler sebagai akibat proses-proses patologis lokal
ataupun pengaruh-pengaruh sistemik yang merusak. Edema otak dapat terjadi lokal
maupun umum.

Patofisiologi
Fishman, dkk membagi edema otak menjadi 3 tipe yaitu:
• Edema sitotoksik
Akibat peningkatan permeabilitas membran sel neuron otak sehingga terjadi
pergerakan cairan menuju ruang intraselular dan penumpukan cairan tersebut
terletak di area massa putih (white matter) maupun massa abu-abu (grey matter)
otak.
• Edema vasogenik
Terjadi akibat kenaikan permeabilitas kapiler dan kerusakan sawar darah otak,
sehingga cairan dari pembuluh darah masuk ke ruang ekstraselular terutama
terletak dalam massa putih otak (white matter).
• Edema interstitial atau edema hidrostatik
Terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik di dalam sistem ventrikel
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dari cairan serebrospinal, cairan tersebut
bergerak dan menumpuk terutama di ruang interstitial daerah periventrikular.

Etiologi
• Edema sitotoksik: Ensefalitis, hipoksia, hipoosmolar, iskemia, meningitis bakteri,
Sindrom Reye, dll.
• Edema vasogenik: tumor otak, trauma, abses otak, perdarahan otak, meningitis
bakteri, dll
• Edema interstitial: obstruksi oleh karena hidrosefalus, dll.

Gejala Klinis
Manifestasi klinis terutama akibat adanya kenaikan tekanan intrakranial, dengan
gejala:
• Sakit kepala.
• Mual, muntah.
• Gangguan kepribadian : irritabel, pemarah, apatis, penurunan prestasi sekolah.
• Pada bayi-bayi didapatkan lingkaran kepala sedikit lebih besar dari normal, ubun-
ubun besar tegang sampai membonjol.
33
• Kejang fokal/parsial atau kejang umum
• Gangguan penglihatan : edema yang bersifat kronis dapat menyebabkan paralise
nervus kranialis seperti nervus III dan VI.
• Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema, biasanya didapatkan pada anak
dengan ubun-ubun besar yang telah tertutup.
• Gangguan motorik

Pemeriksaan Penunjang
• CT scan kepala: tampak gambaran hipoden dengan sulkus dan girus yang kurang
jelas.

Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan radiologis.

Tata Laksana
Konsep dasarnya adalah sesuai dengan penatalaksanaan dari peningkatan tekanan
intrakranial.
• Menurunkan volume darah otak
o Hiperventilasi yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
o Elevasi kepala sekitar 30-45 derajat dengan tujuan tidak menghambat/
memperbaikivenous return.
o Cegah atau atasi kejang.
o Cegah atasi hiperpireksia,apabila mungkin dilakukan surface colling supaya
terjadi hipothermi.
o Restriksi cairan, diberikan 60-75 % kebutuhan.
• Menurunkan volume dari cairan serebrospinal
o Pemberian obat-obatan untuk mengurangi produksi cairan serebrospinal
seperti acetazolamide 10-25 mg/kg BB/kali, diberikan setiap 8 jam, efektif
untuk edema interstisial.
o Drainase cairan serebrospinal misalnya dengan VP shunt.
• Menurunkan volume otak
o Osmotik diuretik : manitol 0,5-2 gr/kg BB selama 30 menit setiap 8 jam, efektif
untuk edema sitotoksisk. Dapat juga diberikan gliserol.
o Loop diuretic : Furosemid 0,5-1 mg/kg BB setiap 8 jam.
o Dexamethason: 0,5 mg/kg BB bolus, dilanjutkan 0,1 mg/kg BB setiap 6-8 jam
atau metilprednisolon 1-2 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis, efektif untuk edema
vasogenik.
• Penatalaksanaan penyakit primer.

34
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah herniasi otak, distorsi batang otak, dan
regangan arteri. Ditandai dengan keadaan umum anak mendadak memburuk,
dengan tanda-tanda berupa penurunan kesadaran, dilatasi pupil, bradikardi,
pernapasan yang iregular sampai apnea.

Daftar Pustaka
1. Cohen BH. Andresfky JC. Altered state of consciousness. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current management in child neurology. Edisi ke-3,. Halminton: BC Decker inc,2005.h.551-
62.
2. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
penyunting. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby;
2006. h. 1377-1400.
3. Ismael S. Peninggian tekanan intracranial. Dalam: Taslim SS, Ismael S, penyunting. Buku
ajar neurologi anak; Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2000.h.60-77
4. Volpe JJ.Intracranial pressure monitoring. Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the
newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders, 2008.h.147-9.
5. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2005.h.47-75.

35
PALSI SEREBRAL
(TINJAUAN ASPEK NEUROLOGIS)

Batasan
Merupakan sekelompok kelainan postur tubuh dan motorik yang bersifat non
progresif dengan gambaran klinis dapat berubah dengan bertambahnya usia
penderita. Angka kejadian sebesar 2-3% dari 1000 kelahiran hidup dan kejadian ini
cenderung semakin meningkat.

Etiologi
Hal ini dapat terjadi secara sekunder akibat lesi atau kelainan otak yang terjadi pada
masa perkembangan oleh berbagai macam keadaan patologis yang melibatkan otak.

Klasifikasi Palsi serebral


The Gross motor function classification system(GMFCS) membagi palsi serebral
berdasarkan gangguan motorik yang dominan, bagian tubuh yang terkena, dan
derajat keparahan penyakit, seperti pada tabel berikut.

Klasifikasi Palsi Serebral

Bagian tubuh yang terkena Gangguan motorik dominan Derajat keparahan

Hemiparese/hemiplegi Spastik Derajat I


Diplegi Ataksik Derajat II
Triplegi Diskinetik Derajat III
Kuadriplegi/Tetraplegi Distonik Derajat IV
Koreostetosis Derajat V

Faktor risiko palsi serebral


• Masa Prenatal
Ibu riwayat abortus spontan, bayi lahir mati, dan adanya riwayat keluarga yang
menderita palsi serebral awitan dini.
• Masa Antenatal
Bayi BBLR, bayi kurang bulan, malformasi system saraf, kelahiran multipel, ibu
hipotiroidisme, ibu mendapat hormon tiroid, atau estrogen selama kehamilan,
perdarahan antepartum, atau proteinuria berat pada masa kehamilan.
• Masa Neonatal
Bayi lahir dari ibu menderita korioamnionitis, sepsis, infeksi TORCH, APGAR skor
rendah, kern icterus, persalinan dengan komplikasi, dan kejang neonatal.

36
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Tanda-tanda awal palsi serebral biasanya timbul sebelum usia 3 tahun. Bayi
mengalami keterlambatan perkembangan motorik kasar seperti tengkurep, duduk,
merangkak, berdiri atau berjalan. Tonus otot tampak abnormal, terlihat plaksid atau
spastik. Kadang-kadang tampak bayi hipotoni pada awalnya, kemudian berkembang
menjadi spastik setelah 2-3 bulan pertama kehidupan. Postur tubuh juga abnormal
dan biasanya disertai dengan gejala yang lain seperti iritabilitas berlebihan (bayi
mudah terangsang), gangguan oromotor (kesulitan mengisap, menelan dan
mengunyah), sekresi air liur berlebihan, dominan tangan yang nyata dalam 12 bulan
pertama kehidupan (hand preference). Kelainan penyerta yang lain; epilepsi, kelainan
penglihatan, pendengaran, dan retardasi mental.

Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala sampai kaki harus dikerjakan
termasuk pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi sedini mungkin abnormalitas
yang dapat mempengaruhi perkembangan. Harus diamati pertumbuhan yang
abnormal, wajah/kepala dismorfik, kelainan bawaan yang lain, organomegali,
kelainan pada kulit, serta kelainan pada mata, dan telinga.
• Asimetri tonus atau fungsi otot, hipertoni, hipotoni (floppy infant), menetapnya
refleks-refleks primitif, melambat, atau tidak munculnya refleks postural.
Penilaian tonus dilakukan dengan 3 cara yakni: respon tarikan, suspensi
horizontal, dan suspensi vertikal. Beberapa Refleks primitif yang penting harus
diperiksa antara lain:
o Refleks crossed extensor
o Refleks Galant
o Refleks melangkah
o Refleks genggam palmar&refleks genggam plantar
o Refleks Moro
o Refleks neck righting
o Refleks Babinski
o Refleks Landau.
Beberapa refleks postural yang penting antara lain:
o Refleksrighting
o Rrefleksprotective
o Refleksekuilibrium.
• Jika ditemukan anak dengan keterlambatan motorik harus dapat ditentukan
apakah keterlambatan bersifat fungsional akibat kurangnya kesempatan dan
stimulasi atau merupakan tanda-tanda palsi serebral (lesi upper motor neuron)
atau gangguan lower motor neuron.
• Bila perlu dilakukan pemeriksaan perkembangan dengan Denver II, Mulen dll.
37
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan pencitraan seperti USG kepala, CT scan, atau MRI kepala terhadap
bayi-bayi risiko tinggi untuk meramalkan kejadian palsi serebral dan kalau
mungkin mengetahui etiologinya.
• Pemeriksaan EEG, BERA, atau EMG dilakukan jika ada indikasi.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Yang
penting juga adalah menyingkirkan kelainan-kelainan lain yang juga dapat
menyebabkan gangguan perkembangan. Hal prinsip yang harus diingat adalah pada
palsi serebral, kelainannya bersifat non progresif meskipun gejalanya dapat berubah
dengan bertambahnya umur penderita.

Tata Laksana
• Palsi serebral adalah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Namun demikian,
dengan penanganan yang tepat dapat memperbaiki fungsi dan kualitas hidup
penderita.
• Tata laksana penderita palsi serebral harus dilakukan secara komprehensif dan
melibatkan beberapa disiplin ilmu antara lain: dokter anak, pendiatri sosial, saraf
anak, psikolog, rehabilitasi medik, ahli terapi okupasi, ahli fisioterapi, pekerja
sosial, guru, berbagai bidang yang berkaitan dengan gangguan lain yang
menyertai palsi serebral.
• Peran keluarga penderita sangat menentukan keberhasilan penanganannya.

Tata laksana meliputi:


• Fisioterapi
• Terapi kelainan penyerta seperti epilepsy, gangguan pendengaran dll.
• Terapi spesifik seperti: toksin botulinum.
• Terapi medikamentosa bersifat simptomatis saja.
• Asupan gizi yang adekuat
• Konsultasi ke dokter mata, THT, psikiatri, dan ortopedi.

Pencegahan
Pencegahan merupakan aspek yang paling penting pada palsi serebral, baik
pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pengenalan terhadap gejala klinis, faktor
risiko, modalitas yang membantu deteksi dini palsi serebral, prognosis berdasarkan
GMFCS, dan terapi yang dapat diberikan, dapat menjadi dasar pelaksanaan berbagai
tingkat pencegahan terhadap palsi serebral.
• Pencegahan primer: pengenalan terhadap berbagai faktor risiko
38
• Pencegahan sekunder: kemampuan deteksi dini
• Pencegahan tersier: dapat dilakukan pada saat anak tersebut sudah didiagnosis
palsi serebral dengan tujuan meningkatkan fungsi dan kualitas hidupnya dengan
pemilihan cara terapi yang tepat.

Daftar Pustaka
1. Johston MV. Encephalopathy cerebral palsy. Dalam: Behrman RE, Klieman RM, Jenson HB,
editor. Nelson textbook of pediatric, edisi ke-17. WB Saunder, 2004.h.2024-25.
2. Morgan AM, Aldag JC. Early identification of the cerebral palsy using a profil of
abnormalmmotor pattern. Pediatrics 1996;98:692-7.
3. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE, dkk. Prognosis for gros motor function in cerebral
palsy: creation of motor development curve. JAMA 2002;1357-63.
4. Ubhi T, Bhakta BB, Ives HL, Allgar V, Roussounis SH. Randomized double blind placebo
controlled trial of the effect botulinum toxin on walking in cerebral palsy. Arch Dis Child
2000;83:481-7.
5. Rosenbaum PL. Cerebral palsy; what parents and doctors want to know. BMJ
2003;326:970-4.

39
POLIOMIELITIS

Batasan
Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus poliomielitis
dengan predileksi infeksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan
inti motorik batang otak.

Epidemiologi
Reservoar alamiah adalah manusia. Berkat keberhasilaan program imunisasi polio
dan diperkuat dengan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) saat ini poliomielitis sudah
hampir tidak pernah ditemukan di Indonesia.

Etiologi
Virus poliomielitis tergolong dalam enterovirus. Dikenal 3 strain yaitu:
• Tipe I (Brunhilde), paling ganas
• Tipe 2 (Lansing)
• Tipe 3 (Leon)

Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui orofaring, berkembang biak dalam traktus
digestivus, kelenjar getah bening dan sistem retikulosit. Pada anak-anak yang tidak
mempunyai kekebalan terjadi viremia yang kemudian virus menyerang susunan saraf
pusat khususnya kornu anterior medula spinalis, batang otak dan daerah motorik
korteks serebri. Virus terdapat dalam tinja untuk beberapa minggu.

Manifestasi klinis
Tidak semua neuron yang terinfeksi mengalami kerusakan yang sama. Bila ringan
sekali (abortif), dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3–4 minggu
sesudah timbul gejala.

Gejala klinis
• Gejala prodromal
Menyerupai influenza, demam ringan, mual, muntah, anoreksia, lesu, pusing,
nyeri tenggorokan.
• Gejala Preparalitik
Nyeri otot, otot tulang belakang dan leher kaku, hipertonia tubuh dan tungkai.
Morning paralysis terjadi waktu anak bangun tidur, bila bangun tidur dan
berusaha duduk, ia menekuk kedua sendi lututnya ke atas, sedang kedua
lengannya menunjang ke belakang pada tempat tidur (tripod sign), dan bila tubuh
40
penderita ditegakkan dengan menarik kedua lengan anak terjadi head drop
(kepala terkulai ke belakang). Kaku kuduk, Kernig (+), Brudzinski (+).
• Gejala Paralitik
o Bentuk spinal
Tersering, meyerang otot besar seperti m. kuadrisep, m. femoralis, m.
gastroknemius atau m. deltoideus. Sifat paralisis perifer, asimetris, refleks
tendon mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
o Bentuk Bulber
Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak, dengan/tanpa gangguan pusat
seperti pernapasan dan sirkulasi. Kalau tidak ditolong dengan mesin jantung –
paru (Heart – Lung machine) pasien akan meninggal.

Diagnosis Banding
• Sindroma Guillain-Barre: sering terjadi gangguan sensibilitas, paralisis tidak akut,
bilateral, simetris. CSS pada awal penyakit protein tinggi tetapi sel sedikit/tidak
meningkat (albumino cytologic dissociation).
• Infective polineuritis: anamnesis penyakit sebelumnya seperti mumps, difteri dll,
terdapat gangguan sensibilitas.
• Paralisis atau pseudoparalisis oleh penyakit lain seperti scurvy, fraktur, artritis,
infeksi tulang, demam rematik dll. Tidak terdapat kuduk kaku, CSS normal.

Pemeriksaan Penunjang
• Cairan serebrospinalis (CSS)
o Menyerupai aseptik meningitis
o Sel sedikit meningkat, pada stadium awal didominasi oleh sel polimorfonuklear
kemudian berubah sel limfosit dominan.
o Pada stadium awal kadar protein normal tetapi setelah 2-3 minggu meningkat
sesuai dengan terjadinya paralisis
• Virologis
o Virus polio dapat ditemukan pada hapusan tenggorokan atau tinja

Tata Laksana
• Kausal
o Tidak ada terapi khusus, perhatian khusus harus diberikan pada penilaian
neurologi, untuk menentukan terjadinya paralisis pernapasan
• Simptomatis
o Panas: parasetamol
o Nyeri: Sedatif
• Tipe Paralisis

41
o Pada stadium akut istirahat total di tempat tidur (2 minggu)
o Metoda Kenny (heat pack) untuk mengurangi spasme dan rasa nyeri sehingga
o memungkinkan dilakukan fisioterapi dini untuk mencegah atrofi otot
o Beri penahan telapak kaki (foot board) agar kaki dengan tungkai terletak pada
sudut yang normal
o Fisioterapi setelah stadium akut lewat. Untuk mengurangi terjadinya
kontraktur, atrofi/atoni otot
• Tipe bulber
o Pasien harus dirawat di ICU dengan ventilator

Prognosis
Mortalitas 5-10%, paralisis menetap yang ringan terjadi pada 30% sedangkan yang
berat terjadi pada 15%.

Pencegahan
• Di Indonesia dipakai vaksin Sabin yang mengandung virus tipe I, II, dan III yang
dilemahkan.
• Imunisasi dasar diberikan pada umur 0, 2, 3, dan 4 bulan, dan ulangan (booster)
diberikan pada umur 18-24 bulan dan 5-7 tahun.

Daftar Pustaka
1. Petrus Nara, Sahala M. Lumbantobing. Poliomyelitis. Dalam: Taslim S. Sutomenggolo dan
Sofyan
2. Ismael, penyunting. Buku ajar neurologi. Jakarta: BP IDAI, 1999 .h. 276-7.
3. Staf Pengajar Bag. IKA FKUI. Poliomielitis. Dalam : Buku kumpulan kuliah ilmu kesehatan
anak, jilid 2. Jakarta: BP FKUI, 1985.h. 632-7.
4. Victor C. Vaughan, R. James McKay dan Waldo E. Nelson, penyunting. Poliomyelitis.
Dalam: Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 10. Philadelphia: WB Sanuders Comp., 1975
.h. 713 – 21.

42
SINDROM GUILLAIN – BARRE

Batasan
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah polineuropati yang menyeluruh, berlangsung
akut atau subakut, spontan atau setelah suatu infeksi, yang ditandai adanya
kelumpuhan asenden dan simetris sebagai akibat proses radang non infeksi di daerah
radiks saraf tepi.

Epidemiologi
Paling sering menyerang anak-anak berumur 4-10 tahun. Insidens 1-2 kasus per
100.000 penduduk per tahun.

Etiologi
Belum pernah ditemukan mikroorganisme penyebab pada penyakit ini.

Patogenesis
Terjadi 2-4 minggu setelah menderita infeksi pada saluran napas atau gastrointestinal
(Campylobacter jejuni, Enterovirus) atau infeksi virus lainnya. Penyakit ini
kemungkinan disebabkan oleh respons terhadap reaksi alergi saraf perifer yang
mengakibatkan terjadinya demielinisasi neuropati.

Gejala Klinik
• Gejala prodromal
Menyerupai influenza. Demam ringan, mual, muntah, anoreksia, lesu, pusing,
nyeri tenggorokan. Kemudian disusul masa laten 1-3 minggu.
• Gejala paralitik
o Kelumpuhan dapat didahului kelemahan otot kaki (Gower’s sign positif), otot
tulang belakang dan ekstremitas atas, disertai hipestesia, anestesia dengan
rasa nyeri (seperti ditusuk jarum) atau parestesia.
o Gejala khas dari SGB adalah lumpuh layuh simetris, asendens (menjalar dari
kaki, abdomen, ekstremitas atas, muka) (Landry ascending paralysis). Berbeda
dengan Polio, otot yang terkena tidak mengalami atropi.
o Kelumpuhan dapat juga menyerang N VII (15%) atau mata/optalmoplegia (3%),
dan saraf otonom dengan gejala hipotensi, hipertensi, aritmia, cardiac arrest.
Kadang-kadang kelumpuhan juga terjadi pada otot pernapasan dan otot
faringeal (tenggorokan), menyebabkan kesulitan napas dan disfagia.

Periode kelumpuhan :
- Minggu 1 – 2 : kelumpuhan meningkat
43
- Minggu 3 :Kelumpuhan tetap (plateau period)
- Minggu 4 :fase penyembuhan, kelumpuhan berangsur-angsur
menyembuh.

Diagnosis
Berdasarkan kriteria Asbury (1981):
• Adanya kelumpuhan yang progresif, asendens dan simetris
• Arefleksi dan gangguan perasa yang ringan tanpa terjadinya gangguan otot
sfingter.
• Penyakit tidak melebihi 4 minggu
• Kelainan cairan serebrospinal : protein meningkat, sel normal (Albumino cytologic
dissociation).

Diagnosis Banding
• Poliomielitis
• Infective polineuritis
• Paralisis atau pseudoparalisis oleh penyakit lain.
• Infantile botulism : pada bayi < 12 bulan

Pemeriksaan Penunjang
• Cairan serebrospinalis (CSS): Gambaran khas albumino cytologic dissociation

Tata Laksana
• Kausal
Tidak ada terapi khusus, perhatian khusus harus diberikan pada penilaian
neurologi, untukmenentukan terjadinya paralisis pernapasan
• Simptomatis
o Istirahat.
o Panas : Parasetamol
o Nyeri : Sedativa
• Medikamentosa
o Imunoglobulin intravena. Dosis : 0,4 g/kg.bb/hari, diberikan selama 5 hari
o Plasmaferesis sukar dikerjakan pada anak dengan berat badan < 15 kg.
o Steroid jika terdapat chronic demyelinating polyneuritis (CDIP).
• Tipe bulber
Pasien harus dirawat di ICU dengan ventilator

Prognosis
• Kebanyakan sembuh total, 15-20% terdapat gejala sisa berupa kelemahan otot
parsial.
• Kematian terjadi karena kelumpuhan otot pernapasan.
44
Daftar Pustaka
1. Tjipta Bahtera. Penyakit autoimun dan pascainfeksi susunan saraf : sindroma Guillain –
Barre. Dalam : Taslim S. Sutomenggolo dan Sofyan Ismael, penyunting. Buku ajar
neurologi. Jakarta : BP IDAI, 1999 .h. 438 – 40.
2. Staf Pengajar Bag. IKA FKUI. Sindroma Guillain - Barre. Dalam: Buku kumpulan kuliah Ilmu
kesehatan anak, jilid 2. Jakarta : BP FKUI, 1985 .h. 883 – 4.
3. Francis J. diMario. The Nervous system: Guillain – Barre syndrome. Dalam : Abraham M
Rudolph, Robert K Kamei dan Kim J Overby, penyunting. Rudolph’s fundamental of
pediatrics. Edisi ke 3.New York: McGraw – Hill, 2002.h.830-1.

45

Anda mungkin juga menyukai