Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS)

PADA ANAK DI RUANG RAWAT INAP ASOKA RSUD BANGIL

Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Profesi Ners Departemen
Keperawatan Anak

DISUSUN OLEH

MAIMUNA KUNIYO 2023611005

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UN IVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2023-2024
A. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu 38oC. Yang
disebabkan oleh suatu proses ekstranium, biasanya terjadi pada usia 3 bulan-5 tahun.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
mencapai >38C). kejang demam dapat terjadi karena proses intracranial maupun
ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai
dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).

2. Klasifikasi Kejang Demam


a. Kejang demam sederhana
1) Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi
2) Sebelumnya tidak ada riwayat cedra otak oleh penyakit apapun
3) Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
4) Lamanya kejang berlangsung < 20 menit
5) Kejang tidak bersifat tonik klonik
6) Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7) Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologi atau abnormalitas
perkembangan
8) Kejang tidak berulang dalam waktu sngkat
9) Tanpa gerakan focal dan berulang dalam 24 jam (H. Nabiel Ridha, 2014)
b. Kejang Demam Kompleks (KDK)
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri kejang
lama yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang
lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada
8% kejang demam (Pusponegoro,2006).

3. Etiologi Kejang Demam


a. Faktor-faktor prenatal
b. Malformasi otak congenital
c. Faktor genetika
d. Penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis)
e. Demam
f. Gangguan metabolisme
g. Trauma
h. Neoplasma, toksin
i. Gangguan sirkulasi
j. Penyakit degeneratif susunan saraf.
k. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.

4. Patofisiologi Kejang Demam


Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+)
dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Beberapa faktor yang mungkin juga berperan dalam menyebabkan kejang demam
antara lain:
1) Demam itu sendiri
2) Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4) Perubahan keseimbangan atau elektrolit
5) Ensefalitis viral

Dari beberapa faktor diatas yang menyebabkan kejang demam maka masalah yang
bisa muncul diantaranya ialah: Perfusi jaringan serebral yang tidak efektif disebabkan
karena rangsang mekanik dan biokimia yang menyebabkan perubahan konsentrasi ion di
ruang ekstraseluler difusi Na dan K yang akhirnya terjadi kejang kurang dari 15 menit
atau lebih dari 15 menit yang menimbulkan resiko kerusakan sel neuron, selain itu resiko
cedera juga terjadi dikarenakan adannya inkordinasi kontraksi otot mulut dan lidah saat
anak mengalami kejang, hipertermi pada anak terjadi setelah kejang saat aktivitas otot
meningkat, metabolisme dan suhu juga mengalami peningkatan dan kurangnya
pengetahuan orang tua dalam menangani dan mencegah kejang demam pada anak.

5. Tanda dan gejala klinis Klinis Kejang Demam


Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
a) Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
1) Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
2) Kejang umum tonik dan atau klonik
3) Umumnya berhenti sendiri
4) Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
b) Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis sebagai berikut :
1) Kejang lama > 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
6. Pathway

Infeksi bakteri Rangsang mekanik dan biokimia.

Virus dan parasit gangguan keseimbangan cairan&elektrolit

perubahan konsentrasi ion

Reaksi inflamasi di ruang ekstraseluler

Resiko Infeksi

Proses demam

Ketidakseimbangan kelainan neurologis

Hipertermia potensial membran perinatal/prenatal

ATP ASE

Resiko kejang berulang

difusi Na+ dan K+

Pengobatan perawatan

Kondisi, prognosis, lanjut kejang Resiko cedera

Dan diit

Defisit pengetahuan keluarga kurang dari lebih dari 15 menit

15 menit perubahan suplay darah keotak

Tidak menimbulkan gejala sisa resiko kerusakan sel Neuron otak

Gangguan Perfusi jaringan cerebral


7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah
 Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mq/dl)
 BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
 Elektrolit : K, Na
 Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
 Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
 Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ) (The Barbara, 2011).
2. Urinalisis
Urinalisis direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak ditemukan focus
infeksinya (Guidelines, 2010).
3. Fungsi Lumbal
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
4. Radiologi
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah kejang demam sederhana.
Dipertimbangkan jika terdapat gejala klinis gangguan neurologis.
5. Elekroensefalografi (EEG) Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai
prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini
pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi.
6. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
7. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
8. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
8. Penaktalaksanaan Medis
a) Pengobatan
Pengobatan fase akut : Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah
diazepam yang diberikan melalui interavena atau indra vectal. Dosis awal : 0,3 –
0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan). Bila kejang belum berhenti dapat diulang
dengan dosis yang sama setelah 20 menit.
 Turunkan panas : Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
 Mencari dan mengobati penyebab : Pemeriksaan cairan serebro spiral
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada
pasien kejang demam yang pertama, walaupun demikian kebanyakan
dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama.
b) Pengobatan profilaksis : Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten /
saat demam dan profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk
profilaksis intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/hgBB/hari.
 Penanganan sportif
 Bebaskan jalan napas
 Beri zat asam
 Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pertahankan tekanan darah

Untuk profilaksis terus menerus/jangka panjang dapat dengan pemberian obat


rumat. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri
sebagai berikut:

a) Kejang lama > 15 menit.


b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cereberal palsy, retardasi mental,
Hidrosefalus.
c) Kejang fokal.
d) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
 Kejang demam terjadi pada baiyi kurang dari 12 bulan
 Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.

Obat pilihan adalah asam valproate adalah 15-40 mg/kgBB/hari. Untuk


fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1
tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

c). Pencegahan
 Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri
diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.
 Pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikasi, Dapat digunakan :
Penobarbital 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis, Fenitorri 2-8 mg/kg/24 jam
dibagi 2-3 dosis, Diazepam (indikasi khusus).

B. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa
a. Aktivitas atau Istirahat : Keletihan, kelemahan umum, Keterbatasan dalam beraktivitas,
bekerja, dan lain-lain
b. Sirkulasi : Iktal ; Hipertensi, peningkatan nadi sinosis, Posiktal : Tanda-tanda vital
normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
c. Intergritas Ego : Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan. Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya
Perubahan dalam berhubungan
d. Eliminasi : Inkontinensia epirodik, Makanan atau cairan, Sensitivitas terhadap
makanan, mual atau muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang
e. Neurosensori : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing riwayat
trauma kepala, anoreksia, dan infeksi serebal, Adanya area (rasangan visual, auditoris,
area halusinasi), Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis,
Kenyamanan Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal), Nyeri
abnormal proksimal selama fase iktal
f. Pernafasan : Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat peningkatan
sekresi mulus, Fase posektal : Apnea
g. Keamanan : Riwayat terjatuh, Adanya alergi
h. Interaksi Sosial : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan
sosialnya
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum biasanya anak rewel
b. TTV : Suhu : >38,0⁰C, Respirasi: Pada usia 2- < 12 bulan : biasanya > 49 kali/menit
Pada usia 12 bulan - <5 tahun : biasanya >40 kali/menit, Nadi : >100 x/menit
c. BB : Pada anak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan berat badan yang
berarti
d. Kepala : Tampak simetris dan tidak ada kelainan yang tampak
e. Mata : Biasanya simetris kiri-kanan, sklera tidak ikterik, konjungtiva anemis.
f. Mulut dan lidah: Mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, lidah tampak kotor
g. Telinga : Bentuk simetris kiri-kanan, keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran
yang bersifat sementara, nyeri tekan mastoid.
h. Hidung : Penciuman baik, ada pernafasan cuping hidung, bentuk simetris, mukosa
hidung berwarna merah muda.
i. Leher : Terjadi pembesaran kelenjar getah bening
j. Dada : Thoraks, Inspeksi: gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu
pernapasan, Palpasi: vremitus kiri kanan sama, Auskultasi: ditemukan bunyi napas
tambahan seperti ronchi. Jantung Terjadi penurunan atau peningkatan denyut jantung ,
I: Ictus cordis tidak terlihat, P: Ictus cordis di SIC V teraba , P: batas kiri jantung :
SIC II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang jantung), SIC V kiri agak ke mideal
linea midclavicularis kiri. Batas bawah kanan jantung disekitar ruang intercostals III-
IV kanan, dilinea parasternalis kanan, batas atasnya di ruang intercosta II kanan linea
parasternalis kanan. A: BJ II lebih lemah dari BJ I
k. Abdomen: Lemas dan datar, kembung
l. Anus : Tidak terjadi kelainan pada genetalia anak
m. Ekstermitas : Atas : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral dingin.
Bawah : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral dingin.
n. Aktivitas kejang: Meliputi karakteristik kejang, lama kejang, dan frekuensi kejang,
Penilaian tingkat kesadaran, Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya,
nilai GCS: 15-14. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12. Delirium, yaitu
gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11 - 10. Somnolen (Obtundasi, Letargi),
yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7. Stupor (soporo koma), yaitu
keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3.
Penilaian kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan otot tidak ada 0
Tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2
Terangkat sedikit < 45, tidak mampu melawan gravitasi 3
Bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, namun tidak mampu melawan 4
tahanan pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kekuatan otot normal 5

3. Diagnosa Keperawatan
1) Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
sirkulasi otak
3) Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi
4. Intervensi Tindakan Keperawatan
No Dx Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Hipertermi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor suhu tubuh sesering mungkin
berhubungan keperawatan selama 2x24 jam 2. Monitor warna kulit
dengan proses diharapkan tidak terjadi 3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
infeksi hipertermi atau peningkatan 4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
suhu tubuh dengan kriteria 5. Tingkatkan sirkulasi udara dengan
hasil: membatasi pengunjung
a. Suhu tubuh dalam rentan 6. Berikan cairan dan elektrolit sesuai
normal (36,5-37oC) kebutuhan
b. Nadi dalam rentan normal 7. Menganjurkan menggunakan pakaian
80-120x/menit yang tipis dan menyerap keringat
c. RR dalam rentan normal 18- 8. Berikan edukasi pada keluarga tentang
24x/menit kompres hangat dilanjutkan dengan
d. Tidak ada perubahan warna kompres dingin saat anak demam
kulit dan tidak ada pusing. 9. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat penurun panas
2. Gangguan perfusi Setelah diberikan asuhan 1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
jaringan cerebral keperawatan selama 2x24 jam 2. Catat adanya penginkatan TD
berhubungan diharapkan pasien tampak tidak 3. Monitor tingkat kesadaran
dengan kerusakan lemah, tidak pucat, kulit tidak 4. Monitor GCS
neuromuskular kebiruan dengan kriteria hasil:
otak a. TD sistole dan diastole
dalam batas normal 80-
100/60 mmHg
b. RR normal 20-30 x/menit
c. Nadi normal 80-90 x/menit
d. Suhu normal 36-37 derajat
celcius
e. GCS 456
3. Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan 1. Sediakan lingkungan yang aman
cedra berhubungan keperawatan selama 2x24 jam untuk pasien
dengan spasme diharapkan masalah tidak 2. Identifikasi kebutuhan dan
otot ekstermitas menjadi aktual dengan kriteria keamanan pasien
hasil: 3. Menghindarkan lingkungan yang
a. Tidak terjadi kejang berbahaya
b. Tidak terjadi cedra 4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
6. Membatasi pengunjung
7. Memberikan penerangan yang
cukup
8. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Edukasi tentang penyakit kepada
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Amid dan Hardhi, 2013. Diagnosis keperawatan, NANDA NIC-NOC, EGC, Jakarta

Carpenito, L.J.,2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, EGC,


Jakarta

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, alih bahasa; I Made Kariasa,
editor; Monica Ester, Edisi 3. EGC: Jakarta.

Harjaningrum, A. 2011. Smart Patient: Mengupas Rahasia Menjadi Pasien Cerdas.


Jakarta: PT. Linggar Pena Kreativa.
Mohammadi, M. 2010. Febrile Seizures: Four Steps Alogarithmic Clinical
Approch.Irania Journal of Pediatric, volume 20 (No1), page 5-15
http://journals.tums.ac.ir

Riandita, A. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Deman


Dengan Pengelolaan Demam Pada Anak. Jurnal Media Medika Muda

Rahayu, S. 2015. Model Pendidikan Kesehatan Dalam Meningkatkan Pengatahuan


Tentang Pengelolaan Kejabg Demam Pada Ibu Balita Di Posyandu Balita. Politeknik
Kesehatan Surakarta

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI).
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI).
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia

Suriadi, Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta

Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor: Monica


Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG
https://www.academia.edu/36726471/LAPORAN_PENDAHULUAN_KEJANG_DEMA
M diakses tgl 16 januari 2024 pukul 9;00 wib

Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor: Monica


Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai