Disusun Oleh:
NISFI MAUZATUL MUSPITA (033styc20)
LEMBARENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA
MEDIS KEJANG DEMAM KOMPLEKS (KDK) DI RUANG MELATI
Laporan pendahuluan dan laporan kasus ini telah diperiksa, disetujui dan dievaluasi oleh
pembimbing akademik dan pembimbing lahan.
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Eka Adithia Pratiwi., Ners., M.Kep Baiq Erna Rosmala., S.Kep., Ners
B. Etiologi
Menurut Randle-Short (1994) kejang demam dapat disebabkan oleh:
a. Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis, faringitis, otitis
media, gastroentritis, bronkitis, bronchopneumonia, morbili, varisela, demam
berdarah, dan lain-lain.
b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap otak.
c. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.
d. Perubahan cairan dan elektrolit.
e. Faktor predispisisi kejang deman, antara lain:
Riwayat keluarga dengan kejang biasanya positif, mencapai 60% kasus.
Diturunkan secara dominan, tapi gejala yang muncul tidak lengkap.
Angka kejadian adanya latar belakang kelainan masa pre-natal dan perinatal
tinggi
Angka kejadian adanya kelainan neurologis minor sebelumnya juga tinggi, tapi
kelainan neurologis berat biasanya jarang terjadi.
C. Klasifikasi
1. Kejang demam Sederhana (KDS)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan
80% dari seluruh kejadian kejang demam (Pusponegoro, 2006).
2. Kejang Demam Kompleks (KDK)
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri kejang
lama yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang
lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada
8% kejang demam (Pusponegoro,2006).
D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(N+ ) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat
keadaan yang sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar
sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat berubah oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak seperti mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran itu sendiri karena penyakit atau keturunan.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer (2000), beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien dengan kejang demam adalah meliputi:
1) elektro encephalograft (eeg) untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai
prognostik. eeg abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. saat ini
pemeriksaan eeg tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana.
pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi.
2) pemeriksaan cairan cerebrospinal hal ini dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis fidak jelas sehingga. harus
dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan
untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
H. Penatalaksanaan
Pada tata laksana kejang demam, ada 3 hal yang perlu di kerjakan:
1. Pengobatan fase akut
Penanganan pada fase akut kejang demam antara lain:
a. Pertahankan jalan napas
b. Lindungi anak dari trauma/cidera
c. Posisikan anak tidur setengah duduk
d. Longgarkan pakaian atau lepas pakaian yang tidak perlu.
2. Mencari dan mengobati penyebab demam
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab.
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pencegahan berulang kejang demam perlu dilakukan karena bila sering berulang
dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada dua cara pengobatan
profilaksi :
1) Profilaksi intermitten pada waktu demam
2) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg untuk pasien dengna berat badan
≤ 10 kg dan 10mg untuk pasien dengan berat badan ≥ 10 kg, setiap pasien
menunjukan suhu 38,5OC atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan secara oral
dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam.
Untuk profilaksis terus menerus/jangka panjang dapat dengan pemberian obat
rumat. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri
sebagai berikut:
a) Kejang lama > 15 menit.
b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cereberal palsy, retardasi mental,
Hidrosefalus.
c) Kejang fokal.
d) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada baiyi kurang dari 12 bulan
Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum biasanya anak rewel
b. TTV
1) Suhu : >38,0⁰C
2) Respirasi: Pada usia 2- < 12 bulan : biasanya > 49 kali/menit
Pada usia 12 bulan - <5 tahun : biasanya >40 kali/menit
3) Nadi : >100 x/menit
c. BB
Pada anak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
d. Kepala
Tampak simetris dan tidak ada kelainan yang tampak
e. Mata
Biasanya simetris kiri-kanan, sklera tidak ikterik, konjungtiva anemis.
f. Mulut dan lidah
Mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, lidah tampak kotor
g. Telinga
Bentuk simetris kiri-kanan, keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran yang
bersifat sementara, nyeri tekan mastoid.
h. Hidung
Penciuman baik, ada pernafasan cuping hidung, bentuk simetris, mukosa hidung
berwarna merah muda.
i. Leher
Terjadi pembesaran kelenjar getah bening
j. Dada
1) Thoraks
a) Inspeksi: gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan
b) Palpasi: vremitus kiri kanan sama
c) Auskultasi: ditemukan bunyi napas tambahan seperti ronchi.
2) Jantung
Terjadi penurunan atau peningkatan denyut jantung
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis di SIC V teraba
P: batas kiri jantung : SIC II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang jantung),
SIC V kiri agak ke mideal linea midclavicularis kiri. Batas bawah kanan
jantung disekitar ruang intercostals III-IV kanan, dilinea parasternalis kanan,
batas atasnya di ruang intercosta II kanan linea parasternalis kanan.
A: BJ II lebih lemah dari BJ I
k. Abdomen
Lemas dan datar, kembung
l. Anus
Tidak terjadi kelainan pada genetalia anak
m. Ekstermitas :
1) Atas : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral dingin.
2) Bawah : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral dingin.
3. Aktivitas kejang
Meliputi karakteristik kejang, lama kejang, dan frekuensi kejang
4. Penilaian tingkat kesadaran
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15-14.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS:
9–7.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri, nilai GCS: 6–4.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
2) Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular otak
C. Intervensi
D. Implementasi
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang meliputi
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi yang dilakukan pada asuhan
keperawatan di dokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assessment,
planning) (Asmadi, 2008).Adapun komponen soap yaitu S (Subjektif) dimana perawat
menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan, O
(Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara
langsung pada pasien yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assessment)
adalah interpretasi dari data subjektif dan data objektif, P (planning) adalah perencanaan
keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana
tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. Tujan dan evaluasi yang akan
dicapai pada kasus ini antara lain yaitu, menggigil menurun, kulit merah menurun, pucat
menurun, suhu tubuh membaik (36,50C – 37,50C), suhu kulit membaik, dan tekanan darah
membaik (117/77 mmHg)
DAFTAR PUSTAKA
Andretty Rezy P. 2015. Hubungan Riwatar Kejang Demam Dengan Angka Kejadian eplilepsi di
Dr.Moewardi. Universitas Muhammadiah Surakarta
Aziz, H. 2008. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika .
Harjaningrum, A. 2011. Smart Patient: Mengupas Rahasia Menjadi Pasien Cerdas. Jakarta: PT.
Linggar Pena Kreativa.
Jones, T., & Jacobsen, S. T. 2017. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implication. Int J
Med Sci.
Munir Badrul. 2015, Neurologi Dasar. Cetakan pertama, Universitas Brawijaya Malang, Sagung
Seto. Jakarta