Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN MATERNITAS II

INKONTINENSIA URINE

Dosen Pembimbing: Winda Nurmayani, Ners., MPH

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 4


1. Andiansyah (004STYC20)

2. Eka Nuraini Muslimah (013STYC20)

3. Lalu Mohamad Naufal Rifqi (024STYC20)

4. Nori Saputra (035STYC20)

5. Sinta Rukyani (045STYC20)

6. Rizkiyana Pradina Putri (150STYC21)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH


TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PROGRAM STUDI NERS
TAHAP AKADEMIK
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah
dan Lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-
Nya sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah Keperawatan
Maternitas II dengan judul “Inkontinensia Urine” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan
dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya.
Untuk itu kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak
yang sudah membantu kami dalam rangka menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa
serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka
seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun
sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana
ini bisa bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih
berhubungan pada makalah- makalah berikutnya.

Mataram, 03 Juni 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Tujuan..........................................................................................................................5
1.3 Manfaat........................................................................................................................5
BAB II KONSEP DASAR INKONTINENSIA URINE...........................................................6
2.1 Definisi........................................................................................................................6
2.2 Etiologi........................................................................................................................7
2.3 Patofisiologi.................................................................................................................8
2.4 Klasifikasi....................................................................................................................9
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................................11
2.6 Penatalaksanaan.........................................................................................................11
2.7 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................13
BAB III INKONTINENSIA URINE PADA IBU HAMIL ATAU NIFAS............................14
3.1 Definisi......................................................................................................................14
3.2 Klasifikasi..................................................................................................................14
3.3 Etiologi......................................................................................................................15
3.4 Manifestasi Klinis......................................................................................................15
3.5 Patofisiologi...............................................................................................................15
3.6 Pencegahan................................................................................................................16
3.7 Pathway.....................................................................................................................17
3.8 Komplikasi................................................................................................................17
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE......................................18
4.1 Pengkajian.................................................................................................................18
4.2 Analisa Data..............................................................................................................23
4.3 Diagnosis Keperawatan.............................................................................................24
4.4 Intervensi Keperawatan.............................................................................................25
4.5 Implementasi Keperawatan.......................................................................................26
4.6 Evaluasi Keperawatan...............................................................................................27
BAB V PENUTUP...................................................................................................................28
5.1 Kesimpulan................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu kondisi rentan dengan segala macam stress yang
berakibat pada terjadinya perubahan fisiologis dan fungsi metabolik (Wagey, 2011 dalam
Widya, 2018). Kehamilan membawa begitu banyak perubahan pada tubuh seorang
wanita sehingga tidak mengejutkan bila timbul beberapa ketidaknyamanan selama
kehamilan. Kebanyakan dari ketidaknyaman ini berhubungan dengan perubahan anatomi
dan fisiologis yang terjadi dan yang lainnya berhubungan dengan aspek-aspek emosi
dalam kehamilan (Lichayati, 2013 dalam Widya, 2018). Salah satu ketidaknyamanan
yang sering timbul pada kehamilan adalah stres inkontinensia urin pada kehamilan.
Resiko kejadian stres inkontinensia urin diketahui meningkat selama kehamilan dan
keadaan ini dapat berlanjut pada pasca persalinan. Kondisi ini dikarenakan proses
kehamilan itu sendiri yang secara signifikan berpengaruh pada fungsi saluran kemih
bagian bawah dan berat uterus yang tidak hanya memberikan tekanan pada kandung
kemih tapi juga mengganggu kandung kemih (Eason, 2004 dalam Widya, 2018).
Proses persalinan sering menimbulkan komplikasi akibat adanya trauma dan tekanan
terhadap jalan lahir dan bayi. Lamanya persalinan dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan saraf-saraf otot dasar panggul, termasuk uterus dan otot-otot kandung kemih.
Lemahnya otot dasar panggul dapat menimbulkan inkontinensia. Inkontinensia urin tidak
mengancam jiwa pada penderita, tetapi dapat berdampak terhadap fisik dan kualitas
hidup. (Saifudin, 2001 dalam Pinem, et al., 2012).
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada
orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak
dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah
tersebut merupakan masalah yang memalukan untuk diceritakan. Pada wanita perubahan
fisik akibat kehamilan, melahirkan dan menopause sering menyebabkan stres
inkontinensia. Pada wanita menurunnya kadar estrogen dapat menyebabkan tekanan otot
disekitar urethra lebih menurun sehingga meningkatkan kemungkinan kebocoran.
Insiden inkontinensia stres meningkat pada wanita yang menopause.
Sehingga berdasarkan penjelasan di atas, kelompok menyusn makalah tentang
konsep inkontinensia urine serta konsep asuhan keperawatan inkontinensia urine.

4
1.2 Tujuan
Dalam penyusunan makalah, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep dasar inkontinensia urine
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan inkontinensia urine
1.3 Manfaat
Manfaat dalam penyusunan makalah ini anatara lain:
1. Mahsiswa dapat memahami dan mengerti tentang konsep dasar inkontinensi urine
2. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang asuhan keperawatan
inkontinensia urine

5
BAB II
KONSEP DASAR INKONTINENSIA URINE
2.1 Definisi
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya,
keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan.
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi
di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume
kandung kemih mencapai 150–350 ml. Umumnya kandung kemih dapat menampung
urin sampai kurang lebih 500 ml tanpa terjadi kebocoran (Kurniasari, 2016).
Inkontinensia urin disebut juga ketidakmampuan menahan air kencing.
Berdasarkan International Continence Society, inkontinensia urin adalah keluhan
berkemih tanpa disadari (involunter) akibat gangguan fungsi saluran kemih bagian
bawah yang dipicu oleh sejumlah penyakit sehingga menyebabkan pasien berkemih
pada situasi yang berbeda (Imam, 2008). Inkontinensia Urine merupakan symptom
storage. Dengan definisi sebagai berikut:
 Keluhan setiap keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan (definisi ini
untuk keperluan studi epidemiologi)
 Keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan yang menyebabkan problem
sosial dan hygiene.

2.2 Etiologi
Menurut

Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor penyebab
inkontinensia urin antara lain :

6
1. Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan
produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal karena gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
2. Nokturia
Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia. Nokturia
merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
3. Faktor usia
Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena
terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
4. Penurunan produksi estrogen (pada wanita)
Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra
sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
5. Operasi pengangkatan rahim
Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa otot yang
sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat
mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.
6. Frekuensi melahirkan
Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
7. Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin
pada dinding kandung kemih.
8. Konsumsi alkohol dan kafein
Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan inkontinensia urin
karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
berkemih.
9. Obesitas
Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin
karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan
intra abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan
melemahnya tonus otot.

10. Infeksi saluran kemih


Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya adalah
7
peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak
akan menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat
terjadi inkontinensia urin.
2.3 Patofisiologi
Inkontinensia urin terjadi ketika ada disfungsi baik dalam fungsi penyimpanan atau
kadang-kadang dalam fungsi pengosongan saluran kemih bawah. Disfungsi sfingter
uretra dan disfungsi vesica urinaria dapat hadir berdampingan dan berbagai komponen
dari mekanisme inkontinensia mungkin dapat mengkompensasi satu sama lain.
Sebagai contoh, wanita mungkin mengalami cedera anatomis atau neuromuskuler
selama persalinan namun tetap asimtomatik sampai ada hilangnya fungsi sfingter
uretra akibat penuaan (Furqan, 2007)
Inkontinensia urin berdasarkan etiologi dapat dibagi seperti berikut ini :
a. Disfungsi vesica urinaria.
Disfungsi vesica urinaria terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Inkontinensia Urge. Proses terjadinya inkontinensia urge meliputi
mekanisme Overactivity muskulus detrusor baik yang nonneurogenic
maupun neurogenic serta poor compliance. Urge incontinence terjadi ketika
tekanan kandung kemih cukup untuk mengalahkan mekanisme sfingter.
Peningkatan kandung kemih atau tekanan detrusor cenderung membuka
leher kandung kemih dan uretra. Peningkatan tekanan detrusor dapat terjadi
dari kontraksi kandung kemih intermiten (over activity detrusor) atau
karena kenaikan tambahan tekanan dengan volume kandung kemih
meningkat (poor compliance). Over activity detrusor mungkin idiopatik
atau mungkin berhubungan dengan penyakit neurologis (detrusor
overactivity asalneurogenik). Over activity detrusor umumnya terjadi pada
orang tua dan mungkin berhubungan dengan obstruksi kandung kemih (A.
Schorder, 2010)
2. Inkontinensia overflow. Inkontinensia overflow terjadi pada volume
kandung kemih yang ekstrim atau ketika volume kandung kemih mencapai
batas sifat viskoelastik kandung kemih. Hilangnya urin didorong oleh
peningkatan tekanan detrusor. Inkontinensia overflow terlihat ketika ada
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap disebabkan baik oleh
obstruksi atau kontraktilitas kandung kemih yang buruk (A. Schorder,

8
2010)
b. Disfungsi Uretra (inkontinensia stres)
Inkontinensia terkait uretra, atau inkontinensia stres, terjadi karena
hipermobilitas uretra atau defisiensi sfingter intrinsik. Inkontinensia terkait
dengan hipermobilitas uretra telah disebut inkontinensia anatomi, karena
inkontinensia adalah karena malposisi unit sfingter. Pemindahan dari uretra
proksimal di bawah tingkat dasar panggul tidak memungkinkan untuk transmisi
tekanan perut yang biasanya membantu dalam menutup uretra. Ada wanita
dengan mobilitas leher kandung kemih atau uretra yang tidak mengalami
inkontinensia. defisiensi sfingter intrinsik baru biasanya terjadi setelah
kegagalan dari satu atau lebih operasi untuk inkontinensia stres. Penyebab lain
defisiensi sfingter intrinsik termasuk myelodysplasia, trauma, dan radiasi.
Beberapa penulis telah berteori bahwa semua pasien mengompol harus memiliki
unsur defisiensi sfingter intrinsik dalam rangka untuk benar-benar bocor. Pasien
dengan inkontinensia stres akan bocor urin dengan peningkatan mendadak
tekanan perut. Pada pasien dengan defisiensi sfingter intrinsik berat, dibutuhkan
hanya sedikit peningkatan tekanan perut untuk menyebabkan kebocoran, dan
karena itu pasien dapat bocor urin dengan aktivitas minimal (A. Schorder,
2010).
2.4 Klasifikasi
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi
secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidakmampuan
menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul, manifestasinya dapat berupa
perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge), berkemih berulang kali
(frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari (nokturia).
b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol keluar
akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul,
operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain keluarnya urin sewaktu
batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut.

9
c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari
penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran kemih yang
tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah berkemih (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya
lemah.
d. Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia.
Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga
pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada
demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan psikologi.

2.5

Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin, antara
lain:
a. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih sering
dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah
sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).

10
b. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat dan
seringnya berkemih.
c. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit dan tanpa
sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung kemih.
d. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari bahwa
kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan kontraksi
spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.
e. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai toilet
merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu dengan mengurangi
faktor risiko, mempertahankan homeostatis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa
hal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang keluar
baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman yang
diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga dicatat dalam
catatan tersebut.
b. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, dan hiperglikemi.
Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu
berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan berkemih
sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan lansia mampu
menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian meningkat 23 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal ini

11
bertujuan untuk membiasakan lansiaberkemih sesuai dengan kebiasaannya.
Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia memberitahukan petugas.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel.
Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul
dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah
prolaps urin jangka panjang.
c. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge)yaitu antikolenergik
atau obat yang bekerja dengan memblokir neurotransmitter, yang disebut
asetilkolin yang membawa sinyal otak untuk mengendalikan otot. Ada beberapa
contoh obat antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine,
flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan obat alfa
adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari obat tersebut yaitu
pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan retensi urethra. Pada
sfingter yang mengalami relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja
untuk meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung maupun
tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi kontraksi.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada inkontinensia overflow
biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin. Terapi ini biasanya
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvis.
e. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan pengobatan
masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan beberapa alat bantu bagi
lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan bedpan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk masalah
inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis

12
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab inkontinensia
urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, dan
kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa, dan
sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
1) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
2) Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat dan
saat dinamis.
3) Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah.
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola berkemih.
Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta gejala yang berhubungan
dengan inkontinensia urin.

13
BAB III
INKONTINENSIA URINE PADA IBU HAMIL ATAU NIFAS
3.1 Definisi
Menurut International Continence Society di definisikan keluarnya urin secara
involuter yang menimbulkan masalah sosial dan hygine sehingga secara objektif
tampak nyata. Biasanya pada ibu post partum terjadi inkontinensia urin stress.
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah
dan frekuensi yang cukup. Sehingga dapat menimbulkan masalah pada kesehatan,
sosial, psikologi, fisik, dan seksual (Askandar, 2015).
3.2 Klasifikasi
Pada ibu post partum, inkontinensia urine diklasifikasikan menjadi :
a. Inkontinensia stress
Dapat terjadi apabila terdapat tekanan di dalam perut seperti, bersin, bisa
mengakibatkan kebocoran urin dari kandung kemih. Tipe ini sering terjadi pada
wanita yang memiliki banyak anak dan ibu pasca melahirkan.
b. Inkontinensia mendesak
Kondisi ini terjadi karena kandung kemih mengalami kontraksi tanpa didahului
untuk keinginan berkemih, hal ini terjadi karena syaraf mengalami penurunan
fungsi.
c. Inkontinensia meluap
Pada pasien yang mengalami inkontinensia meluap akan mengeluh bahwa
urinnya mengalir secara terus menerus. Hal ini disebabkan oleh obstruksi pada
saluran kemih.
d. Inkontinensia reflek
Ini terjadi karena system pada syaraf pusat terganggu seperti pada penderita
dimensia.
e. Inkontinensia fungsi
Inkontinensia ini disebabkan karena pasien mengalami kelemahan gangguan
aktifitas ke belakang/ toileting. Pada kandung kemih dan saluran kemih tidak
mengalami kerusakan persyarafan (Siti, 2008).

14
3.3 Etiologi
Pada ibu hamil biasanya terjadi inkontinensia urin stress. Penyebab
inkontinensia urin stress adalah karena terdapat tekanan mendadak di kandung kemih,
seperti tertawa atau bersin. Hilangnya kekuatan pada ureta bisa disebabkan oleh :
1) Kerusakan syaraf saat partum,
2) Kurangnya hormone pada wanita,
3) Mengkonsumsi obat tertentu.
3.4 Manifestasi Klinis
1. Kebocoran urin secara involunter.
2. Tonus otot panggul yang buruk.
3. Defisiensi sfringter uretra.
4. Kelebihan berat badan
3.5 Patofisiologi
Sedangkan pada ibu hamil setelah melahirkan, Inkontinensia urin stress terjadi akibat
peningkatan tiba-tiba dalam tekanan intra abdomen seperti batuk dan bersin.
Inkontinensia stress dapat mengikuti perlukaan pada struktur leher kandung kemih.
Mekanisme pada sfringter leher kandung kemih akan menekan uretra bagian atas,
menariknya ke atas dibelakang simfisis, dan membentuk sudut akut di persambungan
dinding uretra posterior dengan dasar kandung kemih (sudut uretrovesikolo). Untuk
mengosongkan kandung kemih, kompleks sfringter relaksasi, dan trigonum
berkontraksi untuk membuka orifisium uretra interna dan menarik dinding kandung
kemih yang berkontraksi ke atas, dan mendorong urin untuk keluar. Sudut antara
uretra dan dasar kandung kemih menghilang atau meningkat jika otot pubokoksigeus
yang menyanggah terluka. Perubahan ini bersama dengan uretrokel, menyebabkan
inkontinensia
3.6 Pencegahan
1. Latihan Otot Panggul
Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Yetti,dan Sutadi (2008) menunjukkan
bahwa Kegel’sexercise dan bladder training mampu mengembalikan interval
berkemih pada interval yang normal yaitu 2–3 jam pada responden yang
mengalami inkontinensia urin. Bladder training bertujuan untuk mengembalikan
fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke

15
fungsi optimal (Potter & Perry, 2005). Hickey (2003) menyatakan bahwa dengan
bladder training pasien dibantu belajar menahan atau menghambat sensasi
urgensi, dan berkemih sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dengan tujuan
meningkatkan interval antar waktu pengosongan kandung kemih ataupun
mengurangi frekuensi berkemih selama terjaga sampai dengan waktu tidur,
meningkatkan jumlah urin yang dapat ditahan oleh kandung kemih, dan
meningkatkan kontrol terhadap urge incontinence.
2. Membatasi Mengonsumsi Minuman yang Bersifat Diuretic
Menurut Ghetti (2006), makanan dan minuman dapat menyebabkan inkontinensia
seperti kafein (ditemukan dalam kopi, soda dan coklat), dan alkohol. Dengan
membatasi makanan dan minuman tersebut dapat mengurangi inkontinensia.
Kafein dan alkohol bersifat mengiritasi kandung kemih. Selain dapat mengiritasi
otot kandung kemih, kafein juga bersifat diuretik dan akan meningkatkan
frekuensi berkemih. Selain itu, alkohol akan menghambat hormon antidiuretik
sehingga produksi urin meningkat.

16
3.7 Pathway

3.8 Komplikasi
Menurut para ahli komplikasi yang terjadi pada ibu setelah melahirkan dengan
masalah kebocoran urin antara lain:
a) Infeksi kandung kemih
b) Infeksi uretra
c) Iritasi vagina

17
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE
4.1 Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan secara menyeluruh menurut Rosidawati, (2011)
yaitu:
a. Karakteristik demografi
1) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan hobi.
2) Riwayat keluarga, keluarga yang bisa dihubungi, jumlah saudara kandung,
jumlah anak, riwayat kematian keluarga dalam satu tahun, dan riwayat
kunjungan keluarga.
3) Riwayat pekerjaan dan status ekonomi, pekerjaan sebelumnya dan sumber
pendapatan saat ini.
4) Aktivitas dan rekreasi, meliputi jadwal aktivitas, hobi, wisata, dan
keanggotaan organisasi.
b. Pola kebiasaan sehari-hari menurut Virginia Henderson
1) Respirasi
Frekuensi pernafasan biasanya mengalami peningkatan.
2) Nutrisi
Biasanya klien tidak mengalami gangguan pada nafsu makan. Kebanyakan
ibu mengalami peningkatan nafsu makan hingga dua kali lipat dari jumlah
yang biasanya dikonsumsi.
3) Eliminasi
Pada ibu post partum normal kadang-kadang mengalami kesulitan pada saat
buang air kecil karena spincer uretra mengalami tekanan oleh kepala janin
dan spame oleh iritasi musculus spincter ani selama persalinan. Buang air
besar. Jika belum buang air besar selama 2-3 hari post partum dapat
mengakibatkan obstipasi maka diberikan obat laksans peroral atau perektal
atau bila belum berhasil diberikan obat pencahar/laksatif.
4) Istirahat/tidur
Biasanya klien tidak mengalami gangguan pada istirahat/tidurnya. klien
mengalami gangguan pada suhu tubuhnya yang dapat mencapai lebih dari
37,5 ˚C.

18
5) Kebutuhan personal hygine
Biasanya klien dalam pemeliharaan kesehtan terutama personal hygine
dibantu oleh keluarga.
6) Aktivitas
Biasanya klien post partum nomal mengalami gangguan pada aktivitas dan
kegiatan sehari-hari karena keadaannya yang lemah.
7) Gerak dan keseimbangan tubuh
Pada ibu post partum aktivitas sehari-hari berkurang, mengalami gangguan
pada saat berjalan karena nyeri akibat adanya trauma persalinan.
8) Kebutuhan berpakaian
Biasanya pada klien tidak mengalami gangguan dalam kebutuhan
berpakaian.
9) Kebutuhan keamanan
Apakah klien merasa aman dan terlindungi oleh keluarganya. Klien mampu
menghindari bahaya dari lingkungan.
10) Sosialisasi
Bagaimana klien dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam
mengekspresikan emosi, kebutuhan, kekhawatiran dan opini
11) Kebutuhan spriritual
Apakah klien menjalankan ajaran agamanya ataukah terhambat karena
keadaan yang dialaminya sekrang.
12) Kebutuhan bermain dan rekreasi
Biasanya pada klien dalam memenuhi kebutuhan bermain dan rekreasi tidak
terpenuhi karena kondisinya lemah.
13) Kebutuhan belajar
Biasanya klien berusaha untuk mencari tahu yang mengarah pada
perkembangan yang nomal, kesehatan dan penggunaan fasilitas kesehatan
yang tersedia.
c. Status kesehatan
1) Status kesehatan saat ini
Keluhan yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit yang dirasakan
klien saat ini. Biasanya klien merasakan nyeri karena trauma akibat
persalinan. Biasanya juga adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin
keluar dengan tiba-tiba, dan tingginya frekuensi berkemih
19
2) Riwayat kesehatan masa lalu
a) Penyakit yang pernah diderita, meliputi diabetes, hipertensi, kolesterol,
dan asam urat.
b) Riwayat alergi (obat, makanan, minuman, binatang, debu, dan lain-
lain).
c) Riwayat kecelakaan, lansia sering mengalami jatuh dan terpeleset saat
berjalan.
d) Riwayat dirawat di rumah sakit.
e) Riwayat pemakaian obat, biasanya pemakaian obat diuretik yang cukup
lama dapat menyebabkan inkontinensia urin.
3) Riwayat obstetrik
Yang perlu diketahui mengenai riwayat obstetrik pada klien meliputi :
a) Keadaan haid
Meliputi menarche, siklus haid, hari pertama haid terkhir, jumlah
dan warna darah yang keluar, encer, menggumpal, lamanya haid,
nyeri atau tidak dan bau.
b) Riwayat kehamilan
Meliputi berapa kali melakukan ANC ( Ante Natal Care), Selama
kehamilan periksa dimana, apakah diukur tinggi badan dan berat
badan selama masa kehamilan.
c) Riwayat persalinan
Meliputi riwayat persalinan yang baru terjadi, jenis persalinan
spontan atau caesaria, penyulit selama persalinan.
4) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu pemeriksaan fisik head to toe yaitu
pemeriksaan yang dilakukan mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Pemeriksaan ini meliputi:
a) Kepala
Mengetahuii turgor kulit dan tekstur kulit dan mengetahui adanya lesi
atau bekas luka.
 Inspeksi : lihat ada atau tidak adanya lesi, warna kehitaman atau
kecoklatan, edema, dan distribusi rambut kulit.
 Palpasi : diraba dan tentukan turgor kulit elastik atau tidak, tekstur

20
kepala kasar atau halus, akral dingin atau hangat.
b) Rambut
Mengetahui warna, tekstur dan percabangan pada rambut dan untuk
mengetahui mudah rontok dan kotor.
 Inspeksi : distribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak,
bercabang atau tidak.
 Palpasi : mudah rontok atau tidak, tektur kasar atau halus.
c) Wajah
Mengetahui bentuk dan fungsi kepala dan untuk mengetahui luka dan
kelainan pada kepala.
 Inspeksi : lihat kesimetrisan wajah jika muka kanan dan kiri
berbeda atau missal lebih condong ke kanan atau ke kiri, itu
menunjukkan ada parase/kelumpuhan.
 Palpasi : cari adanya luka, tonjolan patologik dan respon nyeri
dengan menekan kepala sesuai kebutuhan
d) Mata
Mengetahui bentuk dan fungsi mata (medan penglihatan visus dan otot-
otot mata), dan juga untuk mengetahui adanya kelainan atau pandagan
pada mata. Bila terjadi hematuria, kemungkinan konjungtiva anemis.
 Inspeksi : kelopak mata ada lubang atau tidak, reflek kedip
baik/tidak, konjungtiva dan sclera : merah atau konjungtivitis,
ikterik/indikasi hiperbilirubin atau gangguan pada hepar, pupil :
isokor, miosis atau medriasis.
 Palpasi : tekan secara rinagn untuk mengetahui adanya TIO
(tekanan intra okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras
(pasien glaucoma/kerusakan dikus optikus) kaji adanya nyeri
tekan.
e) Telinga
Mengetahui kedalaman telinga luar, saluran telinga, gendang telinga.
 Inspeksi : daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran bentuk,
kebersihan, lesi.
 Palpasi : tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan
kelenturan kartilago.

21
f) Hidung
Mengetahui bentuk dan fungsi hidung dan mengetahui adanya
inflamasi atau sinusitis.
 Inspeksi : apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah
ada secret.
 Palpasi : apakah ada nyeri tekan massa.
g) Mulut dan gigi
Mengetahui bentuk dan kelainan pada mulut, dan untuk mengetahui
kebersihan mulut dan gigi.
 Inspeksi : amati bibir apa ada kelainan kongenital (bibir
sumbing)warna,kesimetrisan, kelembaban pembengkakan, lesi,
amati jumlah dan bentuk gigi, berlubang, warna plak dan
kebersihan gigi.
 Palpasi : pegang dan tekan darah pipi kemudian rasakan ada massa
atau tumor, pembengkakan dan nyeri.
h) Leher
Menentukan struktur imtegritas leher, untuk mengetahui bentuk dan
organ yang berkaitan dan untuk memeriksa system limfatik.
 Inspeksi : amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut,
amati adanya pembengkakan kelenjar tiroid, amati kesimetrisan
leher dari depan belakan dan samping.
 Palpasi : letakkan telapak tangan pada leher klien, minta pasien
menelan dan rasakan adanya kelenjar tiroid.
i) Abdomen
Mengetahui bentuk dan gerakan perut , mendengarkan bunyi peristaltik
usus, dan mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam abdomen.
 Inspeksi : amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya
retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites.
 Palpasi : adanya massa dan respon nyeri tekan.
 Auskultasi : bising usus normal 10-12x/menit.
 Perkusi : apakah perut terdapat kembung/meteorismus.
j) Dada
Mengetahui bentuk kesimetrisan, frekuensi, irama pernafasan, adanya

22
nyeri tekan, dan untuk mendengarkan bunyi paru.
 Inspeksi : amati kesimetrisan dada kanan kiri, amati adanya
retraksi interkosta, amati pergerakan paru.
 Palpasi : adakah nyeri tekan , adakah benjolan
 Perkusi : untuk menentukan batas normal paru.
 Auskultasi : untuk mengetahui bunyi nafas, vesikuler,
wheezing/crecles.
k) Ekstremitas atas dan bawah
Mengetahui mobilitas kekuatan otot dan gangguan-gangguan pada
ektremitas atas dan bawah. Lakukan inspeksi identifikasi mengenai
ukuran dan adanya atrofil dan hipertrofil, amati kekuatan otot dengan
memberi penahanan pada anggota gerak atas dan bawah.
l) Kulit
Mengetahui adanya lesi atau gangguan pada kulit klien. Lakukan
inspeksi dan palpasi pada kulit dengan mengkaji kulit kering/lembab,
dan apakah terdapat oedem
5) Lingkungan dan tempat tinggal
Pengkajian terhadap kebersihan dan kerapian ruangan, penerangan,
sirkulasi udara, dan kebersihan toilet.
4.2 Analisa Data
Tabel 1. Analisa Data
No Data Etiologi Diagnosis
Keperawatan
1 DS : Inkontinensia Urine Gangguan Pola
- Mengeluh sulit tidur Fungsional Tidur
- Mengeluh sering
terjaga
- Mengeluh tidak puas Tidak dapat mengontrol
tidur keluaran Urine
- Mengeluh pola tidur
berubah
- Mengeluh istirahat Mengganggu Aktifitas
tidak cukup Tidur
- Menegluh
kemampuan
beraktivitas menurun Gangguan Pola Tidur
DO : -

2 DS : - Inkontinensia Urine Gangguan Integritas

23
Fungsional Kulit
DO :
- Kerusakan jaringan
dan/atau lapisan kulit Tidak dapat mengontrol
- Nyeri keluaran Urine
- Perdarahan
- Kemerahan
- Hematoma Urine yang bersifat asam
mengiritasi kulit

Daerah genetalia lembab

Menimbulkan lecet

Gangguan Integritas
Kulit

3 DS : Inkontinensia Urine Defisit Perawatan


- Menolak Fungsional Diri
melakukan
perawatan diri
Tidak dapat mengontrol
DO : keluaran Urine
- Tidak mampu
mandi/mengenaka
n Genetalia Eksterna Basah
pakaian/makan/ke
toilet/berhias
secara mandiri Urine Tersisa di Celana
- Minat melakukan
perawatan diri
kurang
Tubuh berbau pesing

Defisit Perawatan Diri

4.3 Diagnosis Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang

24
berkaitan dengan kesehatan (DPP PPNI SDKI, 2017). Diagnosa keperawatan yang
muncul pada klien Inkontinensia urine menurut SDKI (2017) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan Pola Tidur
2. Gangguan Integritas Kulit
3. Defisit Perawatan Diri
4.4 Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan atau disebut juga intervensi keperawatan adalah segala
treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (DPP PPNI,
2017).
Tabel 2. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan / Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil
1 Gangguan Pola Setelah dilakukan Observasi :
Tidur tindakan - Identifikasi pola aktivitas
keperawatan selama dan tidur
3x24 jam maka pola - Identifikasi faktor
tidur membaik pengganggu tidur
dengan kriteria hasil: Terapeutik:
1. Keluhan sulit - Lakukan prosedur untuk
tidur menurun meningkatkan kenyamanan
2. Keluhan sering Edukasi :
terjaga menurun - Anjurkan menghindari
3. Keluhan tidak makanan/minuman
puas tidur mengganggu tidu
menurun - Ajarkan relaksasi otot
4. Keluhan pola autogenik atau cara
tidur berubah nonfarmakologi lainnya
menurun
5. Keluhan
istirahan tidak
cukup menurun
6. Kemampuan
beraktivitas
meningkat
2 Gangguan Setelah dilakukan Observasi :
Integritas Kulit tindakan
keperawatan selama - Monitor karateristik luka
3x24 jam diharapkan - Monitor tanda-tanda infeksi
integritas kulit
meningkat dengan Terapeutik :
kriteria hasil:
1. Elastisitas - Berikan salep yang sesuai ke

25
meningkat
2. Hidarasi kulit
meningkat - Berikan suplemen vitamin
3. Perfusi jaringan dan mineral
meningkat
4. Kerusakan Edukasi :
jaringan
menurun - Jelaskan tanda dan gejala
5. Kerusakan infeksi
lapisan kulit - Anjurkan mengonsumsi
menurun makanan tinggi kalori dan
6. Nyeri menurun protein
7. Peradarahan - Ajarkan prosedur perawatan
menurun luka secara mandiri
8. Kemerahan
menurun Kolaborasi :
9. Hematoma
menurun - Kolaborasi pemberian
10. Suhu kulit antibiotik, jika perlu
membaik
3 Defisit Perawatan Setelah dilakukan Observasi :
Diri tindakan
keperawatan selama - Identifikasi kebiasaan BAK
3x24 jam diharapkan - Monitor integritas kulit
perawatan diri pasien
meningkat dengan
kriteria hasil: Terapeutik :
1. Kemampuan ke
toilet (BAK) - Buka pakaian yang
meningkat diperlukan untuk
2. Verbalisasi memudahkan eliminasi
keinginan - Dukung penggunaan tolet
meningkat secara konsisten
3. Melakukan - Jaga privasi selama
perawatan diri eliminasi
meningkat - Bersihkan alat bantu BAK
4. Minat - Sediakan alat bantu (mis.
melakukan Kateter eksternal, urinal),
perawatan diri jika perlu
meningkat
5. Mempertahankan Edukasi :
kebersihan diri
meningkat - Anjurkan BAK secara rutin
- Anjurkan ke kamar
mandi/toilet, jika perlu

4.5 Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari keperawatan, selesaikan

26
perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk membantu pasien mencapai hasil dan
tujuan yang diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat
menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).
4.6 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan klien yang dilakukan terapi kegel
exercise. Klien merupakan sumber evaluasi hasil dari respons terbaik bagi asuhan
keperawatan. Perawat harus mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan dengan
membandingkan tujuan. Bandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan untuk
menentukan keberhasilan sebagian atau penuh (Potter & Perry, 2010).

27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat dijumpai pada semua
umur, khususnya pada perempuan dengan derajat dan variasi perjalanan penyakit.
Inkontinensia urin terjadi ketika ada disfungsi baik dalam fungsi penyimpanan atau
kadang-kadang dalam fungsi pengosongan saluran kemih bawah. Penegakan
diagnosis inkontinensia urin itu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Klasifikasi inkontinensia urin dapat dibagi menjadi lima
secara garis besar, yaitu stress inkontinensia urin, urge inkontinensia urin, overflow
inkontinensia urin,mixed inkontinensia urin, dan fungsional inkontinensia urin. Untuk
mendiagnois inkontinensia urin kita dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan inkontinensia urin dapat secara
konservatif, behavioural, dan operatif.

28
DAFTAR PUSTAKA
Widya, K &Yanda, D. (2018). Efek Senam Hamil Terhadap Stres Inkontinensia
Urin (SIU) Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Tiron. Akbid
Dharma Husada Kediri : Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 7 No. 1
Pinem, Lina Herida, Setyowati, Gayatri, Dewi. (2012). Pencegahan Inkontinensia
Urin Pada Ibu Nifas Dengan Paket Latihan Mandiri. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 1, (1), 4752.
Kurniasari, D, Soesilowati, R. (2016). Pengaruh antara Inkontinensia Urin terhadap
Tingkat Depresi Wanita Lanjut Usia di Panti Wredha.
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info
Media
Furqan., Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter
Menetap : Pertama Kali fan Berulang. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2007
A. Schröder, P. Abrams, Et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European
Association of Urology. 2010.P:1-10
Angelina, M, Rina, K. 2017. Hubungan Inkontinensia Urine dengan tingkat depresi
pada lansia di Panti Werdha. E-jurnal keperawatan. Vol. 5 No.1
Artinawati, S. 2014. Asuhan keperawatan gerontik. Bogor : IN MEDIA. Barentsen,
J. Visser, E. Hofstetter, H. Maris, A. Dekker, J. Bock, G. 2012
Setyowati, R., Yetti, K., & Sutadi, H. (2007). Efek kombinasi kegel’s exercise dan
bladder training dalam menurunkan episode inkontinensia urin pada lansia di
panti wredha wilayah Semarang (Tesis master, tidak dipublikasikan). Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik (Volume 2, Edisi 4). (Alih Bahasa: Renata Komalasari,
dkk.). Jakarta: EGC
Hickey, J.V. (2003). The clinical practice: neurological and neurosurgical nursing
(5th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
29
Goldman, H.B., & Vasavada, S.P. (2007). Female urology: A practical clinical
guide. New Jersey: Humana Press.
Ghetti, C. (2006). Urinary incontinence. Diperoleh dari
http://www.womenshealth.gov/faq/urinaryincontinence.cfm.
June Russell’s Health Facts. (2005). Alcohol – Kidney and bladder. Diperoleh dari
http://www.jrussellshealth.com/alckid.html.

30

Anda mungkin juga menyukai