Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS

PADA ANAK

DOSEN PEMBIMBING:
Fitri Rhomadonika, Ners., M. Kep
DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:

1. Efa Rosdiana (012 STYC20)


2. Khairil Anwar (023 STYC20)
3. M. Syarif Hidayatullah (028 STYC20)
4. Ninda Aulia (032 STYC20)
5. Nispi Mauzatul Muspita (033 STYC20)
6. Nur Dewi Anggraini (036 STYC20)
7. Nursasih Hikmayati (038 STYC20)
8. Suci Ayu Rahmawati (046 STYC20)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
MATARAM 2021/2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah
dan Lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-
Nya sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan Makalah pada Mata
kuliah Keperawatan Anak dengan judul “Makalah Konsep Asuhan Keperawatan
Hidrosefalus Pada Anak” tepat pada waktunya.
Penyusunan Makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan
dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya.
Untuk itu kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak
yang sudah membantu kami dalam rangka menyelesaikan Makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam
Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa
serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka
seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun
sarannya demi penyempurnaan Makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari Makalah yang sederhana ini
bisa bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada
Makalah-Makalah berikutnya.

Mataram, 05 Juni 2022

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah.........................................................................................
BAB 2 TINJAUAN TEORI.....................................................................................3
2.1 Konsep Dasar Ketoasidosis diabetikum (KAD)..........................................................
2.1.1 Definisi..................................................................................................3
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Cairan Serebrospinal........................................3
2.1.3 Etiologi..................................................................................................5
2.1.4 Klasifikasi.............................................................................................7
2.1.5 Patofisiologi........................................................................................10
2.1.6 WOC...................................................................................................11
2.1.7 Manifestasi Klinis...............................................................................12
2.1.8 Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis...................................13
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang......................................................................15
2.1.10 Penatalaksanaan..................................................................................16
2.1.11 Komplikasi..........................................................................................19
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hidrosefalus...........................
2.2.1 Pengakjian...........................................................................................21
2.2.2 Diagnosa..............................................................................................26
2.2.3 Intervensi.............................................................................................26
2.2.4 Implementasi.......................................................................................37
2.2.5 Evaluasi...............................................................................................37
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................38
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
3.2 Saran...............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah cairan serebrospinal (CSS) dalam rongga serebrospinal yang
berlebihan dapat meningkatkan tekanan sehingga dapat merusak jaringan
saraf. Keadaan ini disebut dengan hidrosefalus. Hidrosefalus merupakan
keadaan yang disebabkan gangguan keseimbangan antara produksi dan
absorpsi cairan serebrospinal dalam ventrikel otak. Jika sistem produksi
cairan serebrospinal lebih besar dari pada absorpsi, cairan serebrospinal
akan terakumulasi dalam system ventrikel, dan biasanya peningkatan
tekanan akan menghasilkan dilatasi pasif ventrikel (Wong, 2008).
Hidrosefalus dapat terjadi sejak lahir (congenital hydrocephalus) dan dapat
juga terjadi karena didapat di kemudian hari (acquired hydrocephalus)
(Espay, 2010).
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe obstruksi dan usia.
Berdasarkan tipe obstruksi dibagi menjadi hidrosefalus non komunikans,
yaitu adanya obstruksi aliran CSS dan hidrosefalus komunikans yaitu
gangguan penyerapan CSS. Berdasarkan usia dibagi menjadi hidrosefalus
infantil (kongenital) pada bayi dan hidrosefalus juventil pada orang dewasa
(Ayu, 2016).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018
melaporkan bahwa setiap hari lebih dari 7200 bayi lahir mati, sebagian
besar diantaranya (98%) terjadi di negara berpendapatan rendah hingga
sedang. WHO juga mencatat (40%) kasus angka lahir mati disebabkan
karena kelainan kongenital (labioskizis dan palatoskiziz, atresia esofagus,
esofagus, atresia ani, atresia doudenum, hirschprung, omfakokel,
hidrosefalus).
Menurut penelitian Bott (2014) jumlah kasus hidrosefalus di dunia cukup
tinggi. Amerika kejadian hidrosefalus dijumpai sekitar 0,5 per 1000
kelahiran hidup. Jepang kejadian hidrosefalus 0,2 per 1000 kelahiran.
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Hidrosefalus infantil; 46%

1
diantaranya adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena
perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor
fossa posterior.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dikemukakan maka diperoleh rumusan
masalah yaitu, bagaimana konsep hidrosefalus dan bagaimana konsep asuhan
keperewataran dengan hidrosefalus pada anak.

1.3 Tujuan Penyusunan Makalah


Adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat
memahami:
1. Pengertian Hidrosefalus
2. Anatomi dan Fisiologi Cairan Serebrospinal
3. Etiologi Hidrosefalus
4. Klasifikasi Hidrosefalus
5. Patofisiologi Hidrosefalus
6. WOC Hidrosefalus
7. Manifestasi Klinis Hidrosefalus
8. Pemeriksaan Penunjang Hidrosefalus
9. Penatalaksanaan Hidrosefalus
10. Komplikasi Hidrosefalus

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Hidrosefalus


2.1.1 Definisi
Hidrosefalus berasal dari bahasa latin “hydro” berarti air dan “cepalus”
berarti kepala, secara singkat artinya “air didalam kepala”. Hidrosefalus
pertama kali dijelaskan oleh ilmuan dari yunani bernama hippocrates.
Penderita hidrosefalus memiliki kelainan cairan serebrospinal (CSS) didalam
ventrikel atau selaput otak. Hal ini menyebabkan meningkatnya tekanan pada
intrakranial dalam tengkorak serta menyebabkan kepala menjadi membesar
dan cacat mental, dalam kasus yang berat dapat menyebabkan kematian
(Marmi, 2015).
Hidrosefalus adalah penambahan volume cairan serebrospinalis (CSS) di
ruang ventrikel dan ruang subarakhnoid. Keadaan ini disebabkan karena tidak
seimbangnya produksi dan absorpsi cairan serebrospinalis. (Afdhalurrahman,
2013). Hidrosefalus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang disebakan karena adanya penumpukan cerebrospinal fluid
didalam ventrikel otak. (Ayu, 2016).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Cairan Serebrospinal
Afdhalurrahman (2013) menyebutkan anatomi dan fisiologi cairan
serebrospinal, yaitu:
Ruangan cairan serebrospinal (CSS) mulai terbentuk pada minggu kelima
masa embrio. Ruangan ini terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna pada
dasar otak dan ruangan subarakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf.
CSS yang dibentuk di dalam sistem ventrikel oleh pleksus koroidalis, berjalan
kembali ke peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid
yang meliputi seluruh sususan saraf pusat. Hubungan antara sistem ventrikel
dan ruang subarakhnoid adalah melalui foramen Magendie di sebelah medial
dan foramen Luschka di sebelah lateral ventrikel IV

3
Gambar 2.1 Sirkulasi Cairan Serebrospinal
Sebagian besar CSS yang dihasilkan oleh pleksus koroidalis akan mengalir
ke foramen monro dan ventrikel III, kemudian melalui akuaduktus sylvius ke
ventrikel IV. Setelah itu, CSS mengalir melalui foramen magendi dan
foramen luschka menuju sisterna magna dan rongga subarakhnoid di bagian
kranial maupun spinal.
Setelah mencapai ruang subarakhnoid, CSS keluar melalui sistem vaskular
karena sistem saraf pusat tak mengandung sistem getah bening. Sebagian
besar cairan serebrospinal di reabsorpsi ke dalam darah melalui struktur
khusus yang dinamakan vili araknoidalis atau granulasio araknoidalis, yang
menonjol dari ruang subarakhnoid ke sinus sagitalis superior otak.
Bagi anak-anak usia 4-13 tahun rata-rata volume cairan liqour adalah 90
mlRata- rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500
ml/hari, sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml
dalam sewaktu. Ini merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan,
sirkulasi dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah cairan serebrospinal
tetap dalam sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali dalam sehari.
CSS mempunyai fungsi:
1. CSS menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur pokok
pada CSS berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler,
jadi mempertahankan lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel
dalam sistem saraf
2. CSS mengakibatkann otak dikelilingi cairan, mengurangi berat otak
dalam tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak
dari keadaan/trauma yang mengenai tulang tengkorak

4
3. CSS mengalirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari otak, seperti
CO2, laktat, dan ion Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya
mempunyai sedikit sistem limfatik. Dan untuk memindahkan produk
seperti darah, bakteri, materi purulen dan nekrotik lainnya yang akan
diirigasi dan dikeluarkan melalui villi arakhnoid.
4. Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon-hormon
dari lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari fineal dapat
dikeluarkan ke CSS dan transportasi ke sisi lain melalui intraserebral
5. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara pengurangan CSS
dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan
mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga mencapai
sinus venosus, atau masuk ke dalam rongga subarakhnoid lumbal yang
mempunyai kemampuan mengembang sekitar 30%.
2.1.3 Etiologi
Marmi (2015) menyebutkan beberapa dari etiologi penyakit hidrosefalus
adalah:
1. Faktor keturunan
2. Gangguan tumbuh kembang janin seperti spina bifida, atau enchefalokel
(hernia jaringan saraf karena cacat tempurung kepala).
3. Komplikasi persalinan prematur (perdarahan intaventrikular, meningitis,
tumor, cidera kepala traumatis, atau perdarahan sub arachnoid)
4. Tidak lancarnya aliran serebrospinalis atau berlebihnya produksi cairan
serebrospinalis.

5
Hidrosefalus dapat terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada
salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel
dan tempat absorbsi dalam ruang subarachnoid. Akibat penyumbatan,
terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Penyumbatan aliran CSS sering
terdapat pada bayi dan anak ialah:
a. Kelainan bawaan atau kongenital
1) Stenosis aquaduktus sylvii
2) Spina bifida dan kraniom bifida
3) Sindrom dandy-walker
4) Kista arachnoid dan anomali pembuluh darah
b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara
patologis terlihat penebalan jaringan diameter dan arachnoid sekitar
siterna basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah
toksoplasmosis.
c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV/aquaduktus sylfii bagian terakhir biasanya
suatu glioma yang berasal dari cerebelum, penyumbatan bagian
depan ventrikel III disebabkan kranio faringioma.
5. Pendarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningfen terutama pada daerah basal otak,
selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.

6
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Ayu (2016) hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal,
antara lain:
1. Berdasarkan anatomi / tempat obstruksi CSS
a. Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans
Terjadi bila CSS otak terganggu (gangguan di dalam atau pada
sistem ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam
sistem ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital:
stenosis akuaduktus sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis
dan ventrikel
III. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan lokasinya).
Jatang ditemukan sebagai penyebab hidrosefalus adalah sindrom
Dandy-Walker, atresia foramen, Monro, malformasi vaskuler atau
tumor bawaan. Radang (eksudat, infeksi meningeal). Perdarahan /
trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor
intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior).
b. Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan
penyerapan (gangguan di luar sistem ventrikel).
c. Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
d. Radang meningeal, Meningitis adalah infeksi yang menyebabkan
selaput di sekitar otak dan sumsum tulang belakang (meninges)
mengalami peradangan. Meningitis disebut juga dengan radang
selaput otak. Beberapa gejala umum dari meningitis adalah sakit
kepala, demam, dan leher kaku (kaku kuduk).

7
2. Berdasarkan etiologi Tipe obstruksi
a. Stenosis akuaduktus serebri
Mempunyai berbagai penyebab, kebanyakan disebakan oleh infeksi
atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis kongenital sejati
adalah sangat jarang, (Toxoplasma/T.gondii, rubella, X-linked
hidrosefalus)
b. Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan
hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa
ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia vermis serebelum.
Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi
ventrikel IV dan rongga subarachnoid yang tidak adekuat; dan hal ini
dapat tampil pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak
dalam 3 bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan
dengan anomali lainnya seperti agenesi korpus kolosum,
labiopatalatoskhisis, anomali okulet, anomali jantung, dan sebagainya.
c. Malformasi Arnold-Chiari
Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu batang
otak dan cerebelum mengalami perpanjangan dari ukuran normal dan
menonjol keluar menuju canalis spinalis.
d. Aneurisma vena Galeni
Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi secara
normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusisa beberapa bulan.
Hal ini terjadi karena vena galen mengalir di atas akuaduktus sylvii,
menggembung dan membentuk kantong aneurisma. Seringkali
menyebabkan hidrosefalus.
e. Hidrancephaly
Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak ada dan diganti dengan
kantong CSS.

8
3. Didapat (acquired)
a. Stenosis akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)
Infeksi oleh bakteri meningitis, menyebabkan radang pada selaput
(meningen) di sekitar otak dan spinal cord. Hidrosefalus berkembang
ketika jaringan parut dari infeksi meningen menghambat aliran css
dalam ruang subarachnoid, yang melalui akuaduktus pada sistem
ventrikel atau mempengaruhi penyerapan CSS dalam vili arachnoid.
b. Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial
c. Hematoma intraventrikuler
Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel, mengakibatkan
darah mengalir dalam jaringan otak sekitar dan mengakibatkan
perubahan neurologis. Kemungkian hidrosefalus berkembang
disebabkan oleh penyumbatan atau penurunan kemampuan otak
untuk menyerap CSS.
d. Tumor (Ventrikel, regio vinialis, fosa posterior)
Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia 5-10
tahun. 70% tumor ini terjadi dibagian belaknag otak yang dapat
menyebabkan hidrosefalus adalah tumor intraventrikuler dan kasus
yang sering terjadi adalah tumor plexus choroideus (termasuk
papiloma dan carsinoma). Tumor ini yang berada di bagian belkang
otak sebagian besar akan menyumbat aliran CSS yang keluar dari
ventrikel IV.
e. Abses/granuloma
f. Neoplasma
g. Kista arakhnoid
Jika terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS dan
dilapisi dengan jaringan pada membran arachnoid. Kista biasanya
ditemukan pada anak-anak dan berada di ventrikel otak atau pada
ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat menyebakan
hidrosefalus non komunikans dengan cara menyumbat aliran CSS
dalam ventrikel khususnya ventrikel III. Berdasarkan lokasi kista,
dengan mengeringkan cairan kista. Jika kista terdapat pada tempat

9
yang tidak dapat dioperasi (dekat batang otak), dokter memsangkan
shunt untuk mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan
menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.
4. Berdasarkan usia
a. Hidrosefalus tipe kongenital / infantil (bayi)
b. Hidrosefalus tipe juventile / adult (anak-anak/ dewasa)
2.1.5 Patofisiologi
Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran liquor,
peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme
diatas adalah peningkatan tekanan intracranial sebagai upaya
mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya
dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan jelas, namun hal ini bukanlah
hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan
antara produksi dan absorbs. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup
rumit dan berlangsung berbeda beda tiap saat tiap saat selama perkembangan
hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:
1. Kompensasi sistem serebrovascular
2. Redistribusi dari liquor serebrospinal atau cairan ekstraseluler atau
kedunya dalam susunan sistem saraf pusat.
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura cranial.
Produksi liquor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang

10
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis.
Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran
akan meningkatkan tekanan liquor secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi
aliran cairan liquor adan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik
berpengaruh pada penampilan klinis (Khalilullah, 2011).
2.1.6 WOC

11
2.1.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang disusul
oleh gangguan neorologik akibat tekanan likuor yang menngkat yang
menyebabkan hipotrofi otak.
Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1 tahun)
didaptkan gambaran:
1. Sutura melebar
2. Fontanella anterior makin menonjo, sehingga fontanela menjadi tegang,
keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak
3. Mata kearah bawah (sunset phenomena)
4. Nistagmus horizontal
5. Perkusi kepala: “cracked pot sign” atau seperti semangka masak
6. Vena pada kulit kepala dilatasi dan terlihat jelas saat bayi menangis
7. Terdapat cracked pot sign
8. Mudah terstimulasi
9. Rewel
10. Lemah
11. Kemampuan makan kurang
12. Perubahan kesadaran
13. Opisthonus
14. Spastik pada ekstremitas bawah
15. Pada masa bayi, dengan malformasi Arnold-Chiari, bayi mengalami
kesulitan menelan, bunyi nafas stridor, kesulitan bernafas, apnea,
aspirasi, dan tidak ada reflek muntah.
Tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti:
1. Mual, muntah, oedema papil saraf, gelisah, menangis, dengan suara
tinggi, peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi,
peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi –
stupor
2. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan sutura belum menutup/melebar,
CSS denganatau tanpa kuman dengan biakan dimana protein CSS normal
atau menurun, leukosit meningkat/tetap dan glukosa menurun atau tetap.

12
3. Peningkatan tonus otot ekstremitas.
Tanda – tanda fisik lainnya:
1. Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah
terlihat jelas
2. Alis mata dan bulu mata keatas, sehingga sklera terlihat seolah – olah di
atas iris
3. Anak/bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas. Penyakit ini
biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya infeksi generalpada
umumnya seperti demam, mungkin juga didapatinya tanda kernig dan
tanda brudzinski.
Gejala pada anak-anak:
1. Sakit kepala
2. Kesadaran menurun
3. Gelisah
4. Mual, muntah
5. Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
6. Gangguan perkembangan fisik dan mental
7. Papil edema, ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat
mengakibatkan kebutuhan bila terjadi atrofi papila
2.1.8 Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Menurut Marni (2015) respon tubuh terhadap perubahan fisiologis adalah:
1. Peningkatan Tekanan intrakranial
Respon tubuh anak karena adanya pengumpulan cairan serebrospinal
dikepala akan terjadi peningkatan TIK. Dengan gejala anak akan muntah,
TTV menjadi kacau, nyeri hebat, suhu tubuh meningkat dan kepala akan
bertambah besar serta akan mengalami penurunan kesadaran.
2. Gangguan cairan dan elektrolit
Penyumbatan cairan serebrospinal menyebabkan tekanan pada
intrakranial. akibatnya akan terjadi mual muntah, yang dapat
mengganggu cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan suhu tubuh
akan meningkat.

13
3. Sistem integument
Cairan serebrospinal yang tersumbat akan berdampak pada ukuran
kepala yang abnormal, kulit kepala akan merenggang dan tipis sehingga
akan berisiko terjadinya kerusakan pada integritas kulit.
4. Mobilitas fisik
Anak yang menderita penyakit hidrosefalus mengalami kelemahan
dan ketidakseimbangan akibat pembesaran pada daerah kepala. Hal
tersebut mengakibatkan anak tidak bisa beraktifitas dan tejadi kelemahan
pada fisik.
5. Tumbuh dan kembang
Anak dengan Hidrosefalus mengalami gangguan tumbuh kembang
akibat desakan pada medula oblongata sehingga mengalami anoreksia
dan menyebabkan anak kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
6. Sistem persyarafan
Respon sistem saraf akibat penekanan pada jaringan dan syaraf otak
adalah terjadinya sakit kepala, kesadaran menurun, gelisah, mual muntah,
hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak, ketajaman penglihatan
akan menurun dan lebih lanjut dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi
atrofi pada papila N. II.
7. Sistem muskuloskeletal
Penyumbatan cairan serebropsinal (CSS) diotak menyebabkan
terjadinya pembesaran ukuran kepala anak, sehingga tulang tengkorak
anak akan terlihat membesar.
8. Sistem imunitas
Salah satu tindakan pengobatan hidrosefalus yaitudilakukan
pembedahan shunt, pembedahan ini akan menyebabkan risiko infeksi
pada anak yang berisiko dapat mengganggu pada sistem imun tubuh
anak.
9. Sistem endokrin
Cairan serebrospinal (CSS) yang tersumbat akan menekan jaringan
dan syaraf otak, yang menyebabkan kerusakan pada bagian otak anak,
salah satunya terjadi kerusakan Hipotalamus yang dapat mengganggu

14
proses metabolisme tertentu dan kegiatan lain dari sistem saraf otonom,
kerusakan ini menyebabkan suhu tubuh yang tidak terkontrol, respon
emosional yang tidak baik, serta tidak dapatmengontrol asupan makanan
dan air seperti merasakan lapar dan haus.
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan funduskopi Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan
papilledema bilateral ketika tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
mungkin normal, namun, dengan hidrosefalus akut dapat memberikan
penilaian palsu.
2. Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan disproporsi
kraniofasial, tulang menipis dan sutura melebar.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui
foramen frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan
perdarahan baru atau lama.
4. CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi
penyebab dengan modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan
mudah. CT scan kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema
serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau
thalamic atau pontine tumor. CT scan wajib bila ada kecurigaan proses
neurologi akut.
5. Lingkaran kepala Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika
penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis- garis kisi
pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4
minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini
disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan
secara fungsional. Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan
suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara
menyeluruh.
6. Ventrikulografi Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau
kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior
langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung
difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar.

15
Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan
kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau
oksipitalis. Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka.
Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang
melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita
hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan
keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak
dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti
halnya pada pemeriksaan CT scan. (Suriadi, 2005)
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Diagnosis
Hidrosefalus merupakan salah satu dari kelainan kongenital. Untuk
mewaspadai adanya kelainan kongenital maka diperlukan
pemeriksaan fisik, radiologik, dan laboratorium untuk menegakkan
diagnosa kelainan kongenital setelah bayi lahir. Pada anak yang lebih
besar kemungkinan hidrosefalus diduga bila terdapat gejala dan tanda
tekanan intrakranial yang meninggi. Tindakan yang dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis ialah transluminasi kepala, ultrasonogafi
kepala bila ubunubun besar belum menutup, foto Rontgen kepala dan
tomografi komputer (CT scan). Pemeriksaan untuk menentukan
lokalisasi penyumbatan ialah dengan menyuntikkan zat warna PSP ke
dalam ventrikel lateralis dan menampung pengeluarannya dari fungsi
lumbal untuk mengetahui penyumbatan ruang subaraknoid. Sebelum
melakukan uji PSP ventrikel ini, dilakukan dahulu uji PSP ginjal
untuk menentukan fungsi ginjal. Ventrikulografi dapat dilakukan
untuk melengkapi pemeriksaan. Namun dengan adanya pemeriksaan
CT scan kepala, uji PSP ini tidak dikerjakan lagi.

16
b. Pengobatan
Penanganan hidrosefalus telah semakin baik dalam tahun- tahun
terakhir ini, tetapi terus menghadapi banyak persoalan. Idealnya
bertujuan memulihkan keseimbangan antara produksi dan resorpsi
CSF. Beberapa cara dalam pengobatan hidrosefalus yaitu:
1) Terapi Medikamentosa
Hidrosefalus dengan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi
pada umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi
asetazolamid dengan dosis 25-50 mg/kg BB. Asetazolamid dalam
dosis 40-75 mg/kg 24 jam mengurangi sekitar sepertiga produksi
CSF, dan terkadang efektif pada hidrosefalus ringan yang
berkembang lambat. Pada keadaan akut dapat diberikan manitol.
Diuretika dan kortikosteroid dapat diberikan, meskipun hasilnya
kurang memuaskan.
2) Operasi
Operasi berupa upaya menghubungkan ventrikulus otak
dengan rongga peritoneal, yang disebut ventriculo- peritoneal
shunt. Tindakan ini pada umumnya ditujukan untuk hidrosefalus
non-komunikans dan hidrosefalus yang progresif. Setiap tindakan
pemirauan (shunting) memerlukan pemantauan yang
berkesinambungan oleh dokter spesialis bedah saraf. Pada
Hydrocephalus Obstruktif, tempat obstruksi terkadang dapat
dipintas (bypass). Pada operasi Torkildsen dibuat pintas stenosis
akuaduktus menggunakan tabung plastik yang menghubungkan
tabung plastik yang menghubungkan 1 ventrikel lateralis dengan
sistem magna dan ruang subaraknoid medula spinalis; operasi
tidak berhasil pada bayi karena ruangan ruangan ini belum
berkembang dengan baik (Suryadi & Darsono, 2016)
Operasi shunt dilakukan dengan menanamkan tabung tipis
yang disebut shunt ke dalam otak. Pemasangan shunt bertujuan
untuk mengalirkan kelebihan cairan serebrospinal melalui pirau
ke bagian lain dari tubuh, biasanya perut. Kemudian, cairan akan

17
diserap ke dalam aliran darah pengidapnya. Di dalam shunt,
terdapat katup yang mengontrol aliran cairan serebrospinal untuk
memastikan tidak mengalir terlalu cepat. Setelah dipasang,
pengidap hidrosefalus akan merasakan katup ini seperti ada
benjolan di bawah kulit kepala.
Proses pemasangan ventriculoperitoneal shunt akan dilakukan
oleh dokter dengan langkah-langkah di bawah ini:
1. Pasien akan menjalani bius total agar tertidur dan tidak
merasakan sakit selama prosedur berlangsung.
2. Perawat akan mencukur rambut bagian belakang telinga
pasien agar tidak menghalangi akses kateter. Selang ini
digunakan untuk mengeluarkan cairan serebrospinal berlebih.
3. Dokter kemudian membuat sayatan kecil di belakang telinga
pasien dan mengebor lubang kecil di tulang tengkorak.
4. Satu kateter lalu dimasukkan ke dalam otak melalui lubang
tengkorak tersebut, sementara kateter lain ditempatkan di
bawah kulit telinga bagian belakang.
5. Kateter tersebut nantinya akan bergerak ke dada dan perut
untuk mengalirkan cairan serebrospinal yang perlu
dikeluarkan.
6. Dokter akan memasang pompa kecil ke kedua kateter dan
menempatkannya di bawah kulit belakang telinga.
7. Pompa tersebut akan mengeluarkan cairan ketika tekanan
dalam tengkorak meningkat. Pompa ini juga dapat diprogram
sebagai katup yang akan terbuka secara otomatis untuk
mengalirkan cairan serebrospinal ketika volumenya mencapai
angka tertentu.
8. Ketika VP shunt telah terpasang, dokter akan menutup
sayatan dengan jahitan atau staples.

18
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Upaya pencegahan progresi penyakit ke arah berbagai akibat penyakit
yang lebih buruk, pada penderita Hidrosefalus dapat dilakukan yaitu
dengan pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Tindakan
ini dilakukan pada periode pasca operasi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi shunt seperti infeksi, kegagalan
mekanis, dan kegagalan fungsional yang disebabkan oleh jumlah aliran
yang tidak adekuat. Infeksi pada shunt meningkatkan resiko akan
kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan
mekanis mencakup komplikasikomplikasi seperti: oklusi aliran di dalam
shunt (proksimal, katup atau bagian distal), diskoneksi atau putusnya
shunt, migrasi dari tempat semula, tempat pemasangan yang tidak tepat.
Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah
kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat
menimbulkan komplikasi lanjut seperti terjadinya efusi subdural,
kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik (Suryadi &
Darsono, 2016)
2.1.11 Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada selaput otak),
peritonitis (peradangan pada selaput rongga perut), dan peradangan
sepanjang selang Penggunaan antibiotik dapat meminimalkan risiko
terjadinya infeksi dan terkadang diperlukan tindakan pencabutan selang
shunt.
2. Perdarahan subdural
(Lokasi yang berada di bawah lapisan pelindung otak duramater)
Perdarahan subdural terjadi karena robekan pada pembuluh darah balik
(vena). Risiko komplikasi ini dapat diturunkan dengan penggunaan shunt
yang baik.

19
3. Obstruksi atau penyumbatan selang shunt
Yang terjadi pada selang shunt mengakibatkan gejala yang terus
menerus ada atau timbulnya kembali gejala yang sudah mereda. Sekitar
sepertiga kasus hidrosefalus dengan pemasangan shunt memerlukan
penggantian dalam waktu 1 tahun. Sebagian besar kasus (80%)
memerlukan revisi dalam 10 tahun.
4. Keadaan tekanan rendah
(Low pressure) Bila cairan yang dialirkan terlalu berlebihan, maka
dapat menjadi keadaan dengan tekanan rendah. Gejaala yang timbul
berupa sakit kepala dan muntah saat duduk atau berdiri. Gejala ini dapat
membaik dengan asupan cairan yang tinggi dan perubahan posisi tubuh
secara perlahan.

20
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hidrosefalus
2.2.1 Pengakjian
1. Anamnesis
a. Identitas Pasien
Meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, anak-ke,
BB/TB, alamat.
b. Keluhan Utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada
peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri
kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, dan
kontriksi penglihatan perifer.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput
otak dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat
meliputi seorang anak mengalami pembesaran kepala, tingkat
kesadaran menurun (GCS<15), kejang, muntah, sakit kepala,
wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak menjadi lemah,
kelemahan fisik umum, akumulasi secret pada saluran nafas, dan
adanya liquor dari hidung. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran akibat adanya perubahan di dalam intracranial.
Keluhan perubahan prilaku juga umum terjadi.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak,
kelainan bawaan pada otak dan riwayat infeksi.
3) Riwayat perkembangan
Kelahiran premature. lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir
menangis keras atau tidak. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji
adanya anggota generasi terdahulu yang menderita stenosis

21
akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit
keluarga/keturunan yang terpaut seks.
4) Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan
keluarga (orang tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang
diderita dan perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam
keluarga maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal. Perawat juga memasukkan pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan
dalam mengkaji terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang
diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungan dengan peran
sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
pada gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum:
Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan
kesadaran (GCS <15) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
b. B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas.
Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini
akan didapatka hal-hal sebagai berikut: Ispeksi umum: apakah
didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot batu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Terdapat retraksi klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada dari otot-otot
interkostal, substernal pernafasan abdomen dan respirasi paraddoks

22
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Palpasi: Taktil primitus biasanya seimbang kanan an kiri Perkusi:
Resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi: Bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi stridor,
ronkhi pada klien dengan adanya peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
hidrosefalus dengan penurunan tingkat kesadaran.
c. B2 (Blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis
tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
Nadi brakikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan
otak. Kulit kelihatan pucat merupakan tanda penurunan hemoglobin
dalam darah. Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi
jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok.
d. B3 (Brain)
Kepela terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal
ini diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala suboksipito
bregmatikus dibanding dengan lingkar dada dan angka normal pada
usia yang sama. Selain itu pengukuuran berkala lingkar kepala, yaitu
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari
normal. Ubun- ubun besar melebar atau tidak menutup pada
waktunya, teraba tegang atau menonjol, dahi tampak melebar atau
kulit kepala tampak menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran
vena kulit kepala.
e. Pengkajian tingkat kesadaran
Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya
dimensia. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien hidrosefalus
biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai
koma.

23
f. Pengkajian fungi serebral, meliputi:
Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. Pada bayi
dan anak-anak pemeriksaan status mental tidak dilakukan.
g. Pengkajin saraf cranial, meliputi:
1) Saraf I (Olfaktori)
2) Saraf II (Optikus)
3) Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens)
4) Saraf V (Trigeminius)
5) Saraf VII (facialis)
6) Saraf VIII (Akustikus)
7) Saraf IX dan X (Glosofaringeus dan Vagus)
8) Saraf XI (Aksesorius)
9) Saraf XII (Hipoglosus)
h. Pengkajian system motorik.
1) Tonus otot
2) Kekuatan otot
3) Keseimbangan dan koordinasi
i. Pengkajian Refleks.
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada rrespon normal.
Pada tahap lanjut, hidrosefalus yang mengganggu pusat refleks,
maka akan didapatkan perubahan dari derajat refleks. Pemeriksaan
refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
j. Pengkajian system sensorik.
Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan

24
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli
visual, taktil, dan auditorius.
k. B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Peningkatan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunya perfungsi
pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap lanjut klien mungkin mengalami
inkontensia urin karena konfusi, ketidak mampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidak mampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan system perkemihan karena kerusakan control motorik
dan postural. Kadang- kadang control sfingter urinarius eksternal
hilang atau steril. Inkontensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
l. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai
muntah akibat peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya
kontensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakann neurologis
luas.
m. B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum,
pada bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga menggangu
mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan,
dan turgon kulit. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruaan
menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstermitas, telingga,
hidung, bibir dan membrane mukosa). Pucat pada wajah dan
membrane mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
hemoglobinatau syok. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya damam atau infeksi. Integritas kulit untuk

25
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
2.2.2 Diagnosa
1. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif d.d embolisme (D.0017)
2. Risiko cedera d.d perubahan fungsi psikomotor (D.0136)
3. Risiko infeksi d.d efek prosedur invasive (D.0142)
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan agen cedera kimiawi
(D.0129)
6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan
(D,0085)
7. Defisit Nutrisi b.d Faktor psikologis (D.0019)
8. Hipertermi b.d proses penyakit (infeksi) (D.0130)
9. Gangguan tumbuh dan kembang b.d kelainan genetik atau kongenital
(hidrosefalus) (D.0106)
2.2.3 Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
& Kreteria Hasil Keperawatan

26
1 Risiko Tujuan: Setelah Manajemen Peningkatan
perfusi dilakukan tindakan TIK
jaringan keperawatan 1x8 jam Observasi
serebral tidak diharapkan tidak terjadi a. Identifikasi penyebab
efektif risiko perfusi serebral peningkatan TIK
(D.0017) tidak efektif dengan b. Monitor tanda atau
Kriteria Hasil: gejala peningkatan
a. Tekanan TIK
Intrakranial c. Monitor MAP
Menurun Terapeutik
b. Sakit kepala a. Berikan posisi semi
Menurun fowler
c. Gelisah Menurun b. Hindari pemberian
d. Kecemasan cairan IV hipotonik
Menurun c. Cegah terjadinya
e. Agitasi Menurun kejang
Kolaborasi
a. Kolaborasi dalam
pemberian sedasi dan
anti konvulsan, jika
perlu
b. Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika
perlu

2 Risiko cedera Tujuan: Setelah Manajemen Keselamatan


(D.0136) dilakukan tindakan Lingkungan
keperawatan 3x24 Observasi:
jamkeparahan dan a. Identifikasi
cedera yang diamati atau kebutuhan
dilaporkan menurun keselamatan
dengan kriteria hasil: b. Monitor perubahan
a. Kejadian Cedera status keselamatan
Menurun lingkungan
b. Luka/Lecet Terapeutik:
Menurun a. Hilangkan bahaya
c. Pendarahan keselamatan, Jika
Menurun memungkinkan
d. Fraktur Menurun b. Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan risiko
c. Sediakan alat bantu
kemanan linkungan
(mis. Pegangan
tangan)
d. Gunakan perangkat
pelindung (mis. Rel
samping, pintu

27
terkunci, pagar)
Edukasi
a. Ajarkan individu,
keluarga dan
kelompok risiko
tinggi bahaya
lingkungan
Pencegahan Cidera
Observasi:
a. Identifikasi obat yang
berpotensi
menyebabkan cidera
b. Identifikasi
kesesuaian alas kaki
atau stoking elastis
pada ekstremitas
bawah
Terapeutik:
a. Sediakan
pencahayaan yang
memadai
b. Sosialisasikan pasien
dan keluarga dengan
lingkungan rawat inap
c. Sediakan alas kaki
antislip
d. Sediakan urinal atau
urinal untk eliminasi
di dekat tempat tidur,
Jika perlu
e. Pastikan barang-
barang pribadi mudah
dijangkau
f. Tingkatkan frekuensi
observasi dan
pengawasan pasien,
sesuai kebutuhan
Edukasi
a. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
b. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
dan duduk beberapa
menit sebelum berdiri
3 Risiko Tujuan: Setelah Pencegahan infeksi
infeksi dilakukan tindakan Observasi:

28
(D.0142) keperawatan 3x24 jam a. Monitor tanda gejala
glukosa derajat infeksi infeksi lokal dan
menurun dengan sistemik
Kriteria Hasil: Terapeutik
a. Demam Menurun a. Batasi jumlah
b. Kemerahan pengunjung
Menurun b. Berikan perawatan
c. Nyeri Menurun kulit pada daerah
d. Bengkak Menurun edema
e. Kadar sel darah c. Cuci tangan sebelum
putih Membaik dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
d. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
b. Ajarkan cara
memeriksa luka
c. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
imunisasi, Jika perlu
4 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri
(D.0077) keperawatan selama 3 kali Observasi
24 jam, maka diharapkan a. Lokasi, karakteristik,
tingkat nyeri menurun durasi, frekuensi,
dengan kriteria hasil:
kualitas, intensitas
a. Keluhan nyeri
nyeri
menurun
b. Meringis menurun
b. Identifikasi skala
c. Sikap protektif nyeri
menurun c. Identifikasi respon
d. Gelisah menurun nyeri nonverbal
e. Kesulitan menurun d. Identifikasi faktor
f. Frekuensi nadi yang memperberat
membaik dan memperingan
nyeri
e. Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
f. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri

29
g. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
h. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
i. Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat
dan tidur
d. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
b. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
d. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik

30
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
f. Kolaborasi
g. Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu
5 Gangguan Tujuan: Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
integritas tindakan keperawatan Observasi:
kulit 3x24 jam diharapkan a. Identifikasi penyebab
(D.0129) integritas kulit dan gangguan integritas
jaringan meningkat dengan
kulit
Kriteria Hasil:
a. Elastisitas Meningkat
Terapeutik:
b. Hidrasi Meningkat a. Ubah posisi tiap 2
c. Kerusakan lapisan jam jika tirah baring
kulit Menurun b. Gunakan produk
d. Perdarahan Menurun berbahan petrolium
e. Nyeri Menurun atau minyak pada
f. Hematoma Menurun kulit kering
c. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
Edukasi
a. Anjurkan
menggunakan
pelembab
b. Anjurkan minum air
yang cukup
c. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
d. Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ekstrem
e. Anjurkan mandi dan
menggunkan sabun
secukupnya
Perawatan Luka
Observasi:
a. Monitor karakteristik
luka
b. Monitor tanda-tanda
infeksi
Terapeutik:
a. Lepaskan balutan dan
plester secara
perlahan
b. Bersihkan dengan

31
cairan NaCl atau
pembersih nontoksik
c. Bersihkan jaringan
nekrotik
d. Berikan salep yang
sesuai ke kulit/lesi,
jika perlu
e. Pasang balutan sesuai
jenis luka
f. Pertahankan teknik
steril saat melakukan
perawatan luka
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
b. Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
Kolaborasi
a. Kolaborasi prosedur
debridement
b. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
6 Gangguan Tujuan: Setelah dilakukan Manajemen Halusinasi
persepsi tindakan keperawatan 1x8 Observasi
sensori jam diharapkan pesepsi a. Monitor perilkau
(D.0085) sensori membaik membaik yang
dengan Kriteria Hasil:
mengidentifikasi
a. Verbalisasi
mendengar bisikan
halusinasi
Meningkat b. Monitor dan
b. Verbalisasi nelihat sesuaikan tingkat
bayangan Meningkat aktivitas dan
c. Verbalisasi stimulasi lingkungan
merasakan sesuatu c. Monitor isi halusinasi
melalui indra (mis. kekerasan atau
penciuman membahayakan diri)
Meningkat Terapeutik
d. Verbalisasi a. Pertahankan
merasakan sesuatu
lingkungan yang
melalui indra
perabaan Meningkat
aman
e. Verbalisasi b. Lakukan tindakan
merasakan sesuatu keselamatan ketika
melalui indra tidak dapat
pengecapan mengontrol perilaku
Meningkat (mis. limit setting,
f. Distorsi sensori pembatasan wilayah,
Meningkat pengekangan fisik,

32
g. Perilaku halusinasi seklusi)
Meningkat Edukasi
a. Anjurkan memonitor
sendiri situasi
terjadinya halusinasi
b. Anjurkan bicara pada
orang yang dipercaya
untuk memberi
dukungan dan umpan
balik korektif
terhadap halusinasi
c. Anjurkan melakukan
distraksi (mis.
mendengarkan music,
melakukan aktivitas
dan teknik relaksasi)
d. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
obat antipsikotik dan
antiansietas, jika
perlu.
7 Defisit Setelah dilakukan asuhan Menejemen Nutrisi:
Nutrisi keperawatan selama 3 kali Observasi
24 jam, maka diharapkan a. Identifikasi status
status nutrisi membaik nutrisi
dengan kriteria hasil:
b. Identifikasi alergi
a. Porsi makan yang dan intoleransi
dihabiskan makanan
meningkat c. Identifikasi makanan
b. Diare menurun yang disukai
c. frekuensi makan d. Identifikasi
membaik kebutuhan kalori dan
d. Nafsu makan jenis nutrient
membaik e. Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
f. Monitor asupan
makanan
g. Monitor berat badan
h. Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika

33
perlu
b. Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
c. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
d. Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
f. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
b. Ajarkan diet yang
diprogramkan
c. Kolaborasi
d. Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
e. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu

8 Hipertermi Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipertermia


keperawatan selama 3 kali Observasi
24 jam, maka diharapkan a. Identifkasi penyebab
termogulasi membaik hipertermi (mis.
dengan kriteria hasil: Dehidrasi terpapar
a. Menggigil lingkungan panas
Menurun penggunaan
b. Kulit merah

34
Menurun incubator)
c. Akrosianosis b. Monitor suhu tubuh
Menurun c. Monitor kadar
d. Konsumsi oksigen elektrolit
Menurun d. Monitor haluaran
e. Piloereksi Menurun urine
f. Vasokonstriksi Terapeutik
perifer Menurun a. Sediakan lingkungan
g. Kutis memorata yang dingin
Menurun b. Longgarkan atau
h. Pucat Menurun lepaskan pakaian
i. Takikardia c. Basahi dan kipasi
Menurun permukaan tubuh
j. Takipnea Menurun d. Berikan cairan oral
k. Bradikardia e. Ganti linen setiap
Menurun hari atau lebih sering
l. Hipoksia Menurun jika mengalami
m. Suhu Tubuh hiperhidrosis
Membaik (keringat berlebih)
n. Suhu kulit f. Lakukan
Membaik pendinginan
o. Kadar glukosa eksternal (mis.
darah Membaik Selimut hipotermia
p. Pengisisan kapiler atau kompres dingin
Membaik pada dahi, leher,
q. Ventilasi Membaik dada, abdomen,
r. Tekanan darah aksila)
Membaik g. Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
h. Batasi oksigen, jika
perlu
Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
b. Kolaborasi
c. Kolaborasi cairan
dan elektrolit
intravena, jika perlu
9 Gangguan Tujuan: Setelah dilakukan Perawatan Perkembangan
tumbuh dan tindakan keperawatan Observasi:
kembang 3x24 status perkembangan a. Identifikasi
(D.0106) membaik edngan Kriteria pencapaian tugas
Hasil:
perkembangan anak
a. Keterampilan/perilaku
sesuai usia Meningkat
b. Identifikasi isyarat
b. Kemampuan perilaku dan
melakukan perawatan fisiologis yang
diri Meningkat ditunjukkan bayi
c. Respon sosial (mis. lapar, tidak

35
Meningkat nyaman)
Terapeutik:
a. Pertahankan
sentuhan seminimal
mungkin pada bayi
premature
b. Berikan sentuhan
yang bersifat grntle
dan tidak ragu-ragu
c. Meminimalkan nyeri
d. Meminimalkan
kebisingan ruangan
e. Pertahankan
lingkungan yang
mendukung
perkembangan
optimal
f. Motivasi anak
berinteraksi dengan
anak lain
g. Sediakan aktivitas
yang memotivasi
anak berinteraksi
dengan anak lainnya
h. Fasilitasi anak
berbagi dan
bergantian/bergilir
i. Dukung anak
mengekspresikan diri
melalui penghargaan
positif atau umpan
balik atas usahanya
j. Pertahankan
kenyamanan anak
k. Fasilitasi anak
melatih keterampilan
pemenuhan
kebutuhan secara
mandiri) mis. makan,
sikat gigi, cuci
tangan, memakai
baju)
l. Bernyanyi bersama
anak lagu-lagu yang
disukai
m. Bacakan cerita atau
dongrng
n. Dukung partisipasi

36
anak disekolah,
ekstrakurikuler dan
aktivitas komunitas
Edukasi
a. Jelaskan orang tua
dan atau pengasuh
tentang milestone
perkembangan anak
dan perilaku anak
b. Anjurkan orang tua
menyentuh dan
menggendong
bayinya
c. Anjurkan orang tua
berinteraksi dengan
anaknya
d. Ajarkan anak
keterampilan
berinteraksi
e. Ajarkan anak teknik
asertif
Kolaborasi
a. Rujuk untuk
konseling, jika perlu

2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan. Ukuran implementiasi keperawatan yang diberikan kepada
klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki
kondisi, pendidikan untuk klienkeluarga, atau tindakan untuk mencegah
masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktorfaktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan
dan kegiatan komunikasi (Olfah & Ghofur, 2016)
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan

37
mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan
yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah tahap
yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan
tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi
dan tanda gejala yang spesifik (Olfah & Ghofur, 2016)

38
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Hidrosefalus adalah penambahan volume cairan serebrospinalis (CSS) di
ruang ventrikel dan ruang subarakhnoid. Keadaan ini disebabkan karena
tidak seimbangnya produksi dan absorpsi cairan serebrospinalis
2. Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran liquor,
peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari tiga
mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intracranial sebagai upaya
mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.
3. Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang
disusul oleh gangguan neorologik akibat tekanan likuor yang menngkat
yang menyebabkan hipotrofi otak.

3.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah
itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.
1.

39
DAFTAR PUSTAKA
Afdhalurrahman. (2013). Gambaran Neuroimaging Hidrosefalus pada Anak.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13(2), 117–122.
doi:10.1016/0039-6028(76)90107-2
Apriyanto, Agung, R. P., & Sari, F. (2013). Hidrosefalus Pada Anak. Jmj, 1,
61,67.
Ayu, N. T. A. ke. (2016). patologi dan fisiologi kebidanan. Yogyakarta:
Nuha Medika
Marmi dan Raharjo, kukuh. 2015. Asuhan nonatus, bayi, balita dan anak
prasekolah. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Permana, K. R. (2018). Hidrosefalus dan Tatalaksana Bedah Sarafnya,
45(11), 820–823.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta: PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta: PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta: PPNI
WHO (2018). Global Health Observatory Data. Diperoleh dari
http://www.who.int./ghi/child_health/mortality/neonatal_infant_te
xt/en.

40

Anda mungkin juga menyukai