Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDHULUAN

KEJANG DEMAM

disusun dalam rangka memenuhi tugas


states keperawatan anak

DI SUSUN OLEH
YENI HASRI UTAMI JALIL
14420212210

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022

1
A. Konsep Dasar Kejang Demam
1. Pengertian Kejang Demam

Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak terutama pada
golongan anak berumur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur
dibawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam (Ngastiyah, 2019).

Kejang Demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering ditemukan


pada anak, hal ini terutama pada rentang usia 4 bulan sampai 4 tahun. Kejang demam
merupakan gangguan transien pada anak-anak yang terjadi bersamaan dengan demam.
Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai
pada masa kanak-kanak dan menyerang sekitar 4% anak. Pada setiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda-beda, hal ini tergantung dari tinggi serta rendahnya
ambang kejang seorang anak. Anak dengan kejang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38ºC, tetapi pada anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru akan terjadi
pada suhu 40ºC atau bahkan lebih (Sodikin, 2017).

Kejang demam sederhana kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15
menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam (Wulandari& Erawati, 2016).

2. Klasifikasi Kejang Demam


Klasifikasi Kejang Demam menurut Widodo (2016) yaitu :
a. Kejang demam sederhana (Simple febrile
seizure) Ciri dari kejang ini adalah :
(1) Kejang berlangsung singkat
(2) Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
(3) Tanpa gerakan fokal
(4) Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (Complex febrile
seizure) Ciri dari kejang ini adalah :
(1) Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit

2
(2) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
(3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
3. Etiologi Kejang Demam
Penyebab dari kejang demam menurut Wulandari & Erawati (2016) yaitu :
a. Faktor genetika faktor keturunan memegang penting untuk terjadinya kejang
demam 25-50% anak yang mengalami kejang memiliki anggota keluarga yang
pernah mengalami kejang demam sekurang- kurangnya sekali.
b. Infeksi
(1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius (pernapasan), pharyngitis (radang
tenggorokan), tonsillitis (amandel), dan otitis media (infeksi telinga).
(2) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dan dengue (virus penyebab demam
berdarah).
(3) Demam Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu
sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.
(4) Gangguan metabolisme Hipoglikemia, gangguan elektrolit (Na dan K)
misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
(5) Trauma

4. Patofisiologi Kejang Demam

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh mebran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (CI-). Akibat konsetrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsetrasi Na+ rendah, sedang diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konstrasi ion di dalam dan diluar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh, perubahan konsentrasi
ion diruang ektraselular, rangsangan yang dating mendadak misalnya mekanisme,
3
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan patofiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau ketularan.
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontrasi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolism
anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat (Lestari, 2016).

4
Penyimpangan KDM

Gambar 2.1 pathway

5
5. Manifestasi Klinik Kejang Demam
Tanda dan gejala dari kejang demam menurut Wulandari dan Erawati (2016) yaitu :
a. Kejang demam mempunyai insiden yang tinggi pada anak, yaitu 3- 4%
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, terjadi lebih banyak laki-laki
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah naiknya suhu badan akibat infeksi di
luar susunan saraf misalnya otitis media akut, bronchitis, dan sebagainya
d. Bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau atonik
e. Takikardi pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 per menit

6. Penatalaksanaan Kejang Demam

Penatalaksanaan kejang demam menurut (Ngastiyah, 2019) yaitu :

a. Penatalaksanaan medis

(1) Bila pasien datang dalam keadaan kejang, obat pilihan utama yaitu diazepam
untuk memberantas kejang secepat mungkin yang diberikan secara intravena.
(2) Untuk mencegah edema otak, berikan kortikosteroid dengan dosis 20-30 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 3 dosis atausebaliknya glukortikoid misalnya
deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam.

b. Penatalaksanaan keperawatan

1) Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala dimiringkan.


2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien.
3) Lepaskan pakaian yang menganggu pernapasan.
4) Jangan memasang sudip lidah (tongue spatel), karena risiko lidah
tergigit kecil. Sudip lidah dapat membatasi jalan napas.
5) Bila pasien sudah sadar dan terbangun berikan minum hangat.
6) Pemberian oksigen untuk mencukupi perfusi jaringan.
7) Bila suhu tinggi berikan kompres hangat.

6
7. Komplikasi Kejang Demam

a. Komplikasi kejang demam menurut (Waskitho, 2018 dalam Wulandari


& Erawati, 2016) yaitu :
b. Kerusakan neurotransmitter lepasnya muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel ataupun membrane sel
yang menyebabkan kerusakan pada neuron.
c. Epilepsi Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan.
d. Kelainan anatomis di otak Serangan kejang yang berlangsung lama yang
dapat menyebabkan kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada
anak baru berumur 4 bulan - 5 tahun.
e. Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
f. kemungkinan mengalami kematian.

8. Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam

Menurut Widodo (2021) pemeriksaan penunjang kejang demam yaitu :

1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan


secara rutin pada kejang demam, teteapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain,
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).

2. Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk


menegakkan atau meningkirkan kemungkinan meningitis. Risiko
terjadinya meningitis batrerialis adalah 0,6 % - 6,7 %. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu,
pungsi lumbal dianjurkan pada : a. Bayi (kurang dari 12 bulan) sangat
dianjurkan dilakukan b. Bayi 12-18 bulan dianjurkan c. Anak umur >18
bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu

7
dilakukan fungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat


memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsy pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidk
direkomendasikan (level II2, rekomendasi E). Pemeriksaan EEG masih
dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal.

4. Pencitraan Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed


tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
jarang sekali dikerjakan, tidak rutin, dan hanya atas indikasi, seperti :

(1) Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)


(2) Paresis nervus VI
(3) Papilledema

B. Konsep Aspek Legal Etik


1. Pengertian
Aspek legal etik keperawatan adalah aturan keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan termasuk hak dan kewajibannya
(Sofia, 2016).
Etik adalah kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem nilai,
standa perilaku individu dan atau kelompok tentang penilaian terhadap apa
yang benar dan apa yang salah, mana yang baik, mana yang buruk, apa yang
merupakan kebajikan dan apa yang merupakan kejahatan, apa yang di
kehendaki dan apa yang di tolak.
2. Prinsip etik keperawatan

8
a) Respect (hak untuk dihormati) perawat harus menghargai hak-hak
pasien/klien
b) Autonomy (hak pasien memilih) hak pasien untuk memilih treatment
terbaik untuk dirinya
c) Beneficience (bertindak untk keuntungan orang lain/pasien) kewajiban
untuk melakukan hal tidak membahakan pasien/oang lain dan secara
aktif bekontribusi bagi kesehatan da kesejahteraan pasiennya.
d) Non maleficience (Utamakan tidak mencederai orang lain) kewajiban
perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera.
e) Confidentiality (hak kerahasiaan) mmenghargai kerahasiaan terhadap
semua informasi tentag pasien/klien perawat
f) Justice (keadilan) kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan
bertanggungjawab terhadap kesepakatan ang telah di ambil.
g) Veracity (truthfullness & honesty) Kewajiban untuk mengatakan
kebenaran.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kejang Demam

1. Pengkajian

Menurut Lestari tahun (2016) pengkajian kejang demam meliputi :


a. Anamanesis
(1) Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tempat
tanggal lahir, agama, pendidikan, nama orang tua, pekerjaan
orang tua, pendidikan orang tua, tempat tinggal. Menurut
(Sodikin, 2017). Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas
normal yang tidak teratur dan disebabkan ketidakseimbangan
antara produksi dan pembatasan panas.
(2) Riwayat kesehatan

9
a) Keluhan utama, biasanya anak mengalami peningkatan suhu
tubuh >38
b) °c, pasien mengalami kejang dan bahkan pada pasien
kejang demam sederhana biasanya mengelami kejang 1 kali
dengan durasi 15 detik dan mengalami penurunan
kesadaran.
c) Riwayat kesehatan sekarang, biasanya orang tua klien
mengatakan badan anaknya terasa panas, anaknya sudah
mengalami kejang 1 kali atau berulang dan durasi
kejangnya berapa lama, tegantung jenis kejang demam
yang dialami anak

d) Riwayat kesehatan lalu, khusus anak usia 0-5 tahun


dilakukan pengkajian prenatalcare, natal dan postnatal.
Untuk semua usia biasanya pada anakkejang demam
sederhana, anak pernah mengalami jatuh atau kecelakaan,
sering mengkonsumsi obat bebas dan biasanya
perkermbangannya lebih lambat.

e) Riwayat kesehatan keluarga, biasanya orang tua anak atau


salah satu dari orang tuanya ada yang memiliki riwayat
kejang demam sejak kecil.

f) Riwayat imunisasi, anak yang tidak lengkap melakukan


imunisasi biasanya lebih rentan terkena infeksi atau virus
seperti virus influenza

g) Pemeriksaan fisik keadaan umum biasanya anak rewel dan


selalu menangis, biasanya kesadaran compos mentis.

h) Menurut Lestari (2016) pemeriksaan fisik meliputi sebagai


berikut:

10
 Keadaan umum biasanya anak rewel dan menangis,
kesadaran composmentis.
 TTV (tanda-tanda vital) suhu tubuh biasanya >38 °c,
respirasi untuk anak 20-30 kali / menit, nadi pada anak usia
2 - 4 tahun 100 - 110 kali /menit.
 BB (berat badan), biasanya pada anak kejang demam
sederhana tidak mengalami penurunan berat badan yang
berarti.
 Kepala, tampak simetris dan tidak ada kelainan yang tampak
 Mata, kedua mata simetris antara kiri dan kanan, sklera
anemis dan konjungtiva pucat.
 Hidung, penciuman baik dan tidak ada pernapasan cuping
hidung, bentuk hidung simetris, mukosa hidung berwarna
merah mudNah.
 Mulut, gigi lengkap dan tidak ada caries, mukosa bibir pucat
dan pecah pecah, tongsil tidak hiperemis.
 Leher, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
 Thoraks (dada), inspeksi biasanya gerakan dada simetris,
tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan. Palpasi,
biasanya vremitus kiri kanan sama. Auskultasi, biasanya
ditemukan suara nafas tambahan.
 Jantung, biasanya mengalami penurunan dan peningkatan
denyut jantung. Inspeksi, cordis tidak terlihat. Palpasi, iktus
cordis di ICS V teraba. Perkusi, batas kiri jantung: ICS II
kiri di line parastrenalis kiri (pinggang jantung), ICS V kiri
agak ke mideal linea midclavicularis kiri. Batasan bawah
kanan jantung disekitar ruang intercostals III-IV kanan,
dilinea parasternalis kanan, batas atasnya di ruang
intercostal II kanan linea parasternalis kanan. Auskultasi,
bunyi jantung s1 s2 lup dup.
 Abdomen, lemas dan datar, tidak ada kembung, tidak ada
nyeri tekan.
 Anus, biasanya tidak terjadi kelainan pada genitalia dan
tidak ada lecet pada anus.
 Ekstermitas atas dan bawah tonus otot mengalami
kelemahan dan CRT>2 detik, akral teraba dingin. Penilaian
tingkat kesadaran Compos mentis (consclus), yaitu
kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS:
15-14. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh,
nilai 13-12. Delirium, yaitu gelisa dan disorentasi (waktu,

11
tempat dan orang), membrontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10. Somnolen
(obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran
dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal, nilai
GCS: 9-7. Stupor (spoor koma), yaitu kesadaran seperti
tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6-
4. Coma (comatose), yaitut idak biasa dibangunkan, tidak
ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada
respon pupil terhadap cahaya), nialai GCS: ≤3.
b. Tahap perkembangan menurut beberapa teori yaitu:
1) Teori perkembangan menurut Sigmund Freud. Tahap phallic (3 – 6
tahun) kesenangan anak terfokus pada kelamin, kepuasan terletak
pada autoeroti atau daerah kemaluan. Menurut Freud, pada fase ini
anak cenderung mengidentifikasikan diri dengan orangtua yang sama
jenis dan mencintai orangtuanya yang berbeda jenis kelamin.
Peristiwa ini disebut oedipus complex, yaitu anak laki-laki mencintai
ibunya dan berusaha menghindari ayahnya. Begitu juga sebaliknya,
pada anak perempuan yang disebut sebagai electra complex. Pada
tahap ini saya merasa dekat dengan kedua orangtua, termasuk ayah.
Hal tersebut dapat terlihat dari intensitas ayah mengajak bermain,
misalnya bermain mobil-mobilan. Di sisi lain, bukan berarti saya
ingin menghindari ibu. Justru pada masa tersebutlah ibu yang selalu
berada di samping saya, dikarenakan ayah harus bekerja di luar kota
sehingga jarang bertemu. Saat itu saya sempat berpikir “kenapa ayah
bekerja jauh?” dan terbesit sedikit perasaan tidak rela. Mungkin
inilah yang membentuk karakter pribadi saya sebagai seorang yang
perasa. Dari perilaku mengidentifikasikan diri dengan ibu, saya dapat
memahami peran yang seharusnya dijalankan sebagai seorang
perempuan adalah seperti itu. Misalnya melihat ibu yang
berkerudung dan memakai bedak, maka secara berkelanjutan perilaku
tersebut juga melekat pada diri saya hingga sekarang.
2) Teori perkembangan menurut Erik Erikson. Otonomi, malu dan
raguragu, masa bayi (1-3 tahun), anak cenderung aktif dalam segala
hal. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang
menuntut kemandirian dalam melakukan pilihan. Rasa mampu
mengendalikan diri membuat anak memiliki kemauan yang baik dan
bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya, pembatasan ruang gerak
pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan
kehilangan kontrol diri sehingga menyebabkan perasaan malu dan

12
ragu-ragu dalam bertindak yang juga bersifat menetap.
3) Tahap perkembangan menurut teori kognitif (Piaget). Tahap
preoprasional (2-7 tahun), anak mulai menjaskan dunia dengan
katakata dan gambaran, kata-kata dan gambaran ini mencerminkan
meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan
informasi sensoris dan tindakan fisik.
2. Diagnosa keperawatan
1) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat
pengatur suhu
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan jalan napas terganggu
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi
4) Risiko cedera berhubungan dengan kurangnya kesadaran,
gerakan tonik atau klonik

13
3. Intervensi
KeperawatanHiperte Setelah di berikan Manajemen hipertermia
rmia berhubungan asuhan keperawatan
1. Observasi
dengan proses selama 3x24 jam
a. Identifikasi penyebab
penyakit (infeksi diharapkan :
hipertermia (mis.
bakteri salmonella
1. Mengigil menurun Dehidrasi,terpapar lingkungan
typhosa).
2. Kulit merah menurun panas,penggunaan incubator).
3. Kejang menurun b. Monitor suhu tubuh
4. Takikardia menurun c. Monitor pengeluaran urin.
5. Takipnea menurun 2. Terapeutik
6. Suhu tubuh membaik a. Sediakan linkungan yang
dingin.
7. Suhu kulit membaik
b. Longgarkan atau
lepaskan pakaian.
c. Berikan cairan oral.
d. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh.
e. Lakukan pendinginan
eksternal(mis. Selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen,aksilla).
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
kKolaborasikan pemberian
cairan dan elektrolit

14
intravena, jika perlu.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Inda Eny, Winda Irwanti & Mulyanti. 2015. Kompres Air Hangat pada
Daerah Aksila dan Dahi Terhadap Penurunan Suhu Tubuh pada Pasien
Demam di PKU Muhammadiyah Kutoarjo. Vol. 3 No. 1 ISSN: 2354-7642
Bulan A. 2013 Faktor risiko
Bulechek, G. M. et al. (2018) Nursing Intervension Classification (NIC). 6th
edn.
Jakarta : Elsevier.
Gunawan, Prastiya Indra & Darto Saharso. 2017. Faktor Risiko Kejang Demam
Berulang Pada Anak. Vol. 46 No. 2
Herdman, T . H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Hutahean, (2020). Konsep dan dokumentasi peroses keperawatan. Jakarta : Trans
Info Media
KEMENKES RI, 2016, Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyrakat.
Jakarta : kemenkes
Lestari Titik. 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
Nanda. (2015) Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10
editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 2019. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC
Nurarif, Huda & Kusuma, Hardhi. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.2015. Yogyakarta. Mediaction Jogja
Pudiastuti.(2016). Penyakit pemicu stroke. Yogyakarta. Nuha medika
Sodikin. 2017. Prinsip Perawatan Demam Pada Anak. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Waskotho, Punguh A. (2018). Asuhan keperawatan hipetermi.
Jakarta : Selemba
Medika
Wibisono. (2015). AEC 2015 dan Reformasi Pendidikan Indonesia. Opini Editorial
The Habibie Center.
Widodo, Prabowo.P.Dkk, 2021, Pemodelan Sistem Berorientasi Obyek Dengan
UML, Graha ilmu, Yogyakarta.
Wulandari .M & Ernawati.M. (2016). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar

15

Anda mungkin juga menyukai