TENTANG KEJANG
Disusun Oleh :
2. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada
sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan
peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi
disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu
tubuh (Dona Wong L, 2008).
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi Internasional terhadap kejang : (Smeltzer, Susan : 2002)
1) Kejang parsial (kejang yang dimulai setempat)
- kejang parsial sederhana (gejala-gejala dasar, umumnya tanpa
gangguan kesadaran)
- kejang parsial komplek ( dengan gejala komplek, umumnya dengan
gangguan kesadaran)
- kejang parsial sekunder menyeluruh
2) kejang umum / generalisata (simetrik bilateral, tanpa awitan lokal)
- kejang tonik-klonik
- absence
- kejang mioklonik (epilepsy bilateral yang luas)
- ke`jang atonik
- kejang klonik
- kejang tonik
prospektif ini mengatakan bahwa tidak ada hubungan khusus antara kejang
demam dengan epilepsi. Berdasarkan latar belakang dan data sebelumnya
masih didapatkan kontroversial tentang hubungan riwayat kejang demam
dengan angka kejadian epilepsi dan belum pernah dilakukannya penelitian ini
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta maka penulis ingin melakukan penelitian
untuk mengetahui hubungan riwayat kejang demam dengan angka kejadian
epilepsi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
6. Manifestasi Klinis
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adapun
tanda- tanda kejang demam meliputi :
a. Demam yang biasanya di atas (38,9 º C)
b. Jenis kejang (menyentak atau kaku otot)
c. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas)
d. Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang
b. Penurunan kesadaran
c. Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus
d. Muntah
e. Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam
waktu yang singkat (Lyons, 2012)
f. Takikardi : pada bayi frekuensi sering diata 150-200 x/menit
g. Gejala bendungan system vena :
- Hepatomegali
- Peningkatan tekanan vena jugularis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al.,
2009). Selain itu, glukosa darah harus diukur jika kejang lebih lama dari
15 menit dalam durasi atau yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai
(Farrell dan Goldman, 2011).
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada
pasein kejang demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk
bayi kurang dari 12 bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk
dilakukan dan bayi > 18 bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada
kasus kejang demam hasil pemeriksaan ini tidak berhasil (Pusponegoro
dkk, 2006).
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam
sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang
yang kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada
kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral
(Jonston, 2007).
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
jarang sekali dikerjakan dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan
neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya
lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas), terdapat tanda peningkatan
tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB
membonjol, paresis nervus VI, edema papil) (Saharso et al., 2009).
8. Teraphy medis/obat
a. Terapi farmakologi
1) Pengobatan saat terjadi kejang
a) Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif
dalam menghentikan kejang. Dosis pemberian :
- 5 mg untuk aak <3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak > 3
tahun
- Atau 5 mg untuk BB <10 kg dan 10 mg untuk anak dengan
BB>10 kg
- 0,5 – 0,7 mg/kg BB/kali
b) Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar
0,2-0,5 mg/kg BB. Pemberian secara perlahan-lahan dengan
kecepatan 0,5-1 mg/ menit untuk menghindari depresi pernafasan.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, hentikan penyuntikan.
Diazepam dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak
masih kejang. Diazepam tidak dianjurkan diberikan per IM karena
tidak di absorbsi dengan baik.
c) Bila tetap masih kejang, berikan Fenitoin per IV sebanyak 15
mg/kg BB perlahan-lahan. Kejang yang berlanjut dapat diberikan
per IM pentobarbital 50 mg IM dan pasang ventilator bila perlu.
2) Setelah kejang berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam
untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan
berupa :
a) Antipiretik
- Parasetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB/kali diberikan
4 kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan
pertimbangkan efek samping berupa hiperhidrosis
- Ibuprofen 10 mg/kgBB/ kali diberikan 3 kali
b) Antikonvulsan
- Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kg BB setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang, atau
- Diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB/hari sebanyak 3 kali
perhari
3) Bila kejang berulang
Berikan pengobatan rumatan dngan fenobarbital atau asam
valproat dengan dosis asam valproat 15-40 mg/kg BB/ hari dibagi
2-3 dosis, sedangkan fenobarbital 3-5 mg/kg BB/ hari dibagi
dalam 2 dosis. Indikasi untuk diberikan pengobatan rumatan
adalah :
- Kejang lama >15 menit
- Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum
atau sesudah kejang misalnya kemipareses, crebral palsy,
hidrocefalus.
- Kejang lokal
- Bila ada keluarga sekandung yang mengalami epilepsy
Disamping itu, terapi rumatan dapat dipertimbangkan untuk
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
- Kejang demam terjadi pada bayi <12 bulan
b. Terapi non-farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et
al., 2011 dan Capovilla et al., 2009):
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka
misalnya ikat pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu
tubuh yang tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat
antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan
darah, SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5
mg/kg pada kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan
ketika kejang berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10
menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli
anestesi, ahli saraf) untuk pengobatan.
b. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis
b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan
suhu tubuh
c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus
d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang
tidak adekuat (Doengoes, 2007)
e. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d gangguan aliran darah ke
otak akibat kerusakan sel neuron otak, hipoksia dan edema sere`bral
ditandai dengan TIK meningkat, sakit kepala, kejang.
f. Risiko cidera b.d ketidakefektifan orientasi (kesadaran umum), kejang
g. Resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan pertambahan.
c. Perencanaan
d. Pelaksanaan
Menurut Iyer et al (1996) yang dikutip oleh Nursalam
(2008).Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditujukkan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan.
e. Evaluasi
Fase terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan dengan melihat perkembangan masalah klien
sehingga dapat diketahui tingkatan-tingkatan keberhasilan intervensi. Evaluasi
hasil perencanaan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan
dapat dilihat pada kriteria hasil intervensi keperawatan.