Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP PENYAKIT DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

TENTANG KEJANG

Mata Kuliah : Keperawatan Anak 1

Disusun Oleh :

1. Dini Sri Wahyuni 18142011014


2. Neneng Yani Esridianti 18142011029

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YPIB MAJALENGKA
2019/2020
A. Konsep Dasar Kejang Demam
1. Pengertian
Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih
dari 38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit
akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI,
2009). Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks (Schwartz, 2005). Di
Asia sekitar 70% - 90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang demam
sederhana dan sisanya merupakan kejang demam kompleks (Karemzadeh,
2008).
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak mengalami
demam akibat proses diluar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang
perlu diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan
kerusakan sel-sel otak (Tikoalu J.R, 2009).

Berdasarkan pengertian diatas penulis menyimpulkan Kejang demam adalah


kejadian pada bayi atau anak yang mengalami peningkatan suhu tubuh diatas
rentang normal yaitu ≥ 38,8°C dan disertai dengan kejang

2. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada
sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan
peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi
disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu
tubuh (Dona Wong L, 2008).
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi Internasional terhadap kejang : (Smeltzer, Susan : 2002)
1) Kejang parsial (kejang yang dimulai setempat)
- kejang parsial sederhana (gejala-gejala dasar, umumnya tanpa
gangguan kesadaran)
- kejang parsial komplek ( dengan gejala komplek, umumnya dengan
gangguan kesadaran)
- kejang parsial sekunder menyeluruh
2) kejang umum / generalisata (simetrik bilateral, tanpa awitan lokal)
- kejang tonik-klonik
- absence
- kejang mioklonik (epilepsy bilateral yang luas)
- ke`jang atonik
- kejang klonik
- kejang tonik

b. kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu


1) Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
- Kejang berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu <10 menit
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2) Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
c. Kejang demam menurut proses terjadinya
1) Intrakranial
- Trauma (perdarahan) : perdarahan subrachnoid, subdural atau
ventrikuler.
- Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis
- Kongenital : disgenesis, kelainan serebri
2) Ekstrakranial
- Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
gangguan elektrolit (Na da Ka) misalnya pada pasien dengan riwayat
diare sebelumnya
- Toksik : intoksikasi, anestesi lokal, sindroma putus
obat.
4. Insidensi
Tahun 2012, WHO memperkirakan hampir 80% epilepsi di seluruh dunia
berada di negara–negara miskin. Prevalensi epilepsi di negara maju berkisar
3,5-10,7 per 1.000 penduduk (Theodore et al., 2006). Tinjauan terbaru
prevalensi epilepsi di Asia mulai dari 1,5-14 per 1.000 penduduk, di Amerika
Latin mulai dari 5,1 menjadi 57 per 1.000 penduduk dan di Afrika Sub-Sahara
mulai dari 5,2 hingga 74,4 per 1.000 penduduk (Mac et al., 2007 ; Preux,
2005).

Data epidemiologi penyakit epilepsi di Indonesia diperkirakan 900.000-


1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangannya belum menjadi prioritas
dalam Sistem Kesehatan Nasional. Masih banyak nya penderita epilepsi di
Indonesia menyebabkan epilepsi tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat
(Harsono, 2007). Hasil survei di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun
2012-2014 sekitar 0,4% kasus epilepsi.

Menurut WHO (2012), epilepsi dapat menjadi beban perekonomian dan


sosial. Biaya pengobatan per kasus epilepsi di India terhitung sekitar US $ 344
per tahun. Berbagai stigma di masyarakat juga dapat mempengaruhi
emosional penderita epilepsi sehingga terjadi isolasi sosial (Andreas, 2004 ;
Utomo, 2011).
5. Patofisiologi
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan
menyebabkan kenaikan kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan
oksigen meningkat sebanyak 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari membran sel neuron.
Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan
muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada tinggi atau
rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya.
Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut mempunyai
ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak
tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah (Latief et al., 2007).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kejang demam bermakna secara
statistik sebagai faktor risiko epilepsi (OR=5,941, p<0,05). Penelitian Kim
(2013) mengemukakan bahwa dari 183 pasien kejang demam kompleks, 22
pasien berkembang menjadi epilepsi (OR=3,63, p=0,031).

Penelitian yang dilakukan oleh Anne et al (1999) mendapat hasil yang


berbeda dari penelitian sebelumnya. Penelitian yang menggunakan analisis 4

prospektif ini mengatakan bahwa tidak ada hubungan khusus antara kejang
demam dengan epilepsi. Berdasarkan latar belakang dan data sebelumnya
masih didapatkan kontroversial tentang hubungan riwayat kejang demam
dengan angka kejadian epilepsi dan belum pernah dilakukannya penelitian ini
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta maka penulis ingin melakukan penelitian
untuk mengetahui hubungan riwayat kejang demam dengan angka kejadian
epilepsi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

6. Manifestasi Klinis
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adapun
tanda- tanda kejang demam meliputi :
a. Demam yang biasanya di atas (38,9 º C)
b. Jenis kejang (menyentak atau kaku otot)
c. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas)
d. Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang
b. Penurunan kesadaran
c. Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus
d. Muntah
e. Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam
waktu yang singkat (Lyons, 2012)
f. Takikardi : pada bayi frekuensi sering diata 150-200 x/menit
g. Gejala bendungan system vena :
- Hepatomegali
- Peningkatan tekanan vena jugularis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al.,
2009). Selain itu, glukosa darah harus diukur jika kejang lebih lama dari
15 menit dalam durasi atau yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai
(Farrell dan Goldman, 2011).
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada
pasein kejang demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk
bayi kurang dari 12 bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk
dilakukan dan bayi > 18 bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada
kasus kejang demam hasil pemeriksaan ini tidak berhasil (Pusponegoro
dkk, 2006).
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam
sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang
yang kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada
kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral
(Jonston, 2007).
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
jarang sekali dikerjakan dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan
neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya
lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas), terdapat tanda peningkatan
tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB
membonjol, paresis nervus VI, edema papil) (Saharso et al., 2009).
8. Teraphy medis/obat
a. Terapi farmakologi
1) Pengobatan saat terjadi kejang
a) Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif
dalam menghentikan kejang. Dosis pemberian :
- 5 mg untuk aak <3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak > 3
tahun
- Atau 5 mg untuk BB <10 kg dan 10 mg untuk anak dengan
BB>10 kg
- 0,5 – 0,7 mg/kg BB/kali
b) Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar
0,2-0,5 mg/kg BB. Pemberian secara perlahan-lahan dengan
kecepatan 0,5-1 mg/ menit untuk menghindari depresi pernafasan.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, hentikan penyuntikan.
Diazepam dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak
masih kejang. Diazepam tidak dianjurkan diberikan per IM karena
tidak di absorbsi dengan baik.
c) Bila tetap masih kejang, berikan Fenitoin per IV sebanyak 15
mg/kg BB perlahan-lahan. Kejang yang berlanjut dapat diberikan
per IM pentobarbital 50 mg IM dan pasang ventilator bila perlu.
2) Setelah kejang berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam
untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan
berupa :
a) Antipiretik
- Parasetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB/kali diberikan
4 kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan
pertimbangkan efek samping berupa hiperhidrosis
- Ibuprofen 10 mg/kgBB/ kali diberikan 3 kali
b) Antikonvulsan
- Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kg BB setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang, atau
- Diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB/hari sebanyak 3 kali
perhari
3) Bila kejang berulang
Berikan pengobatan rumatan dngan fenobarbital atau asam
valproat dengan dosis asam valproat 15-40 mg/kg BB/ hari dibagi
2-3 dosis, sedangkan fenobarbital 3-5 mg/kg BB/ hari dibagi
dalam 2 dosis. Indikasi untuk diberikan pengobatan rumatan
adalah :
- Kejang lama >15 menit
- Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum
atau sesudah kejang misalnya kemipareses, crebral palsy,
hidrocefalus.
- Kejang lokal
- Bila ada keluarga sekandung yang mengalami epilepsy
Disamping itu, terapi rumatan dapat dipertimbangkan untuk
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
- Kejang demam terjadi pada bayi <12 bulan
b. Terapi non-farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et
al., 2011 dan Capovilla et al., 2009):
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka
misalnya ikat pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu
tubuh yang tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat
antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan
darah, SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5
mg/kg pada kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan
ketika kejang berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10
menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli
anestesi, ahli saraf) untuk pengobatan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan klien dengan Kejang Demam


Sederhana
a. Pengkajian
Berdasarkan tanda dan gejala penyakit kejang demam, maka asuhan
keperawatan yang prioritas ditegakkan adalah pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi, perencanaan pemulang yaitu :
Riwayat Keperawatan
Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam
hari, terjadinya kejang dan penurunan kesadaran.
a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS,
diagnose medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluhan utama pasien,
sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat
muncul.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.
e. Riwayat psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
f. Pola Fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme :
Pola nutrisi klien perlu dikaji untuk menentukan terjadinya
gangguan nutrisi atau tidak pada klien
2) Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena
pasien merasakan demam terutama pada malam hari
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar-tidak sadar
(composmentis-coma) untuk mengetahui berat ringannya
prognosis penyakit pasien.
2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur
dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk
pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan
prinsip-prinsip (inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi),
disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui
adanya penurunan BB karena peningkatan gangguan nutrisi
yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan (Wijaya,2013).

b. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis
b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan
suhu tubuh
c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus
d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang
tidak adekuat (Doengoes, 2007)
e. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d gangguan aliran darah ke
otak akibat kerusakan sel neuron otak, hipoksia dan edema sere`bral
ditandai dengan TIK meningkat, sakit kepala, kejang.
f. Risiko cidera b.d ketidakefektifan orientasi (kesadaran umum), kejang
g. Resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan pertambahan.
c. Perencanaan

Rencana Tindakan keperawatan


N Diagnosa Perencanaan
O Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Peningkatan suhu TU: 1. Pantau suhu 1. Suhu 38,9-41,1
0
tubuh Setelah pasien (derajat C menunjukkan
berhubungan dilakukan dan pola): proses penyakit
dengan proses tindakan perhatikan infeksius akut.
patologis keperawatan menggigil? 2. Suhu ruangan,
selama 4 x 24 diaforesi. jumlah selimut harus
suhu tubuh 2. Pantau suhu dirubah untuk
normal. lingkungan, mempertahankan
TK: batasi/tambahkan suhu mendekati
Setelah linen tempat tidur normal
dilakukan sesuai indikasi. 3. Dapat
tindakan 3. Berikan kompres membantu
perawatan hangat: hindari mengurangi demam,
selama 3 x 24 penggunaan penggunaan air
jam proses kompres alkohol. es/alkohol mungkin
patologis teratasi 4. Berikan selimut menyebabkan
dengan kriteria: pendingin kedinginan
TTV stabil Kolaborasi: 4. Digunakan untu
Suhu tubuh 5. Berikan kengurangi demam
dalam batas antipiretik sesuai umumnya lebih besar
normal indikasi dari 39,5-40 0C pada
waktu terjadi
gangguan pada otak.
5. Digunakan
untuk mengurangi
demam dengan aksi
sentral
2 Resiko tinggi TU: 1. Ukur/catat haluaran 1. Penurunan haluaran
kekurangan volume setelah dilakukan urin. urin dan berat jenis
cairan berhubungan tindakan 2. Pantau tekanan akan menyebabkan
dengan perawatan selama darah dan denyut hipovolemia.
peningkatan suhu 3 x 24 jam jantung 2. Pengurangan dalam
tubuh kekurangan 3. Palpasi denyut sirkulasi volume
volume cairan perifer. cairan dapat
tidak terjadi 4. Kaji membran mengurangi tekanan
mukosa kering, darah/CVP,
TK: turgor kulit yang mekanisme
setelah dilakukan tidak elastis kompensasi awal dari
tindakan takikardia untuk
Kolaborasi:
perawatan selama meningkatkan curah
2 x 24 jam 5. Berikan cairan jantung dan
peningkatan suhu intravena, misalnya meningkatkan
tubuh teratasi, kristaloid dan tekanan darah
dengan kriteria: koloid sistemik.
Tidak ada tanda- 6. Pantau nilai 3. Denyut yang lemah,
tanda dehidrasi laboratorium mudah hilang dapat
Menunjukan menyebabkan
adanya hipovolemia.
keseimbangan 4. Hipovolemia/cairan
cairan seperti ruang ketiga akan
output urin memperkuat tanda-
adekuat tanda dehidrasi.
Turgor kulit baik
Membran mukosa 5. Sejumlah besar cairan
mulut lembab mungkin dibutuhkan
untuk mengatasi
hipovolemia relatif
(vasodilasi perifer),
menggantikan
kehilangan dengan
meningkatkan
permeabilitas kapiler.
6. Mengevaluasi
perubahan didalam
hidrasi/viskositas
darah.
3. Tidak efektifnya TU: 1. Anjurkan pasien 1. Menurunkan risiko
bersihan jalan nafas setelah dilakukan untuk aspirasi atau
b.d peningkatan tindakan mengosongkan masuknya sesuatu
sekresi mucus perawatan selama mulut dari benda asing ke faring.
4 x 24 jam jalan benda/zat tertentu. 2. Meningkatkan aliran
nafas kembali 2. Letakkan pasien (drainase) sekret,
efektif pada posisi miring, mencegah lidah jatuh
permukaan datar, dan menyumbat jalan
TK: miringkan kepala nafas.
setelah dilakukan selama serangan 3. Untuk memfasilitasi
tindakan kejang. usaha
perawatan selama 3. Tanggalkan bernafas/ekspansi
2 x 24 jam pakaian pada dada.
peningkatan daerah leher/dada 4. Jika masuknya di
sekresi mukus dan abdomen. awal untuk membuka
teratasi, dengan 4. Masukan spatel rahang, alat ini dapat
kriteria: lidah/jalan nafas mencegah tergigitnya
Suara nafas buatan atau lidah dan
vesikuler gulungan benda memfasilitasi saat
Respirasi rate lunak sesuai dengan melakukan
dalam batas indikasi. penghisapan
normal 5. Lakukan lendiratau memberi
penghisapan sesuai sokongan terhadap
indikasi pernafasan jika di
perlukan.
Kolaborasi :
5. Menurunkan risiko
6. Berikan tambahan aspirasi atau asfiksia.
oksigen/ventilasi 6. Dapat menurunkan
manual sesuai hipoksia serebral
kebutuhan pada sebagai akibat dari
fase posiktal. sirkulasi yang
menurunkan atau
oksigen sekunder
terhadap spasme
vaskuler selama
serangan kejang.

4 Resiko perubahan TU: 1. Buat tujuan berat 1. Malnutrisi adalah


nutrisi kurang dari setelah dilakukan badan minimum dan kondisi gangguan
kebutuhan tubuh tindakan kebutuhan nutrisi minat yang
b.d intake yang perawatan selama harian. menyebabkan depresi,
tidak adekuat 5 x 24 jam 2. Gunakan agitasi dan
perubahan nutrisi pendekatan mempengaruhi fungsi
kurang dari konsisten, duduk kognitif/pengambilan
kebutuhan tidak dengan pasien saat keputusan.
terjadi makan, sediakan 2. Pasien mendeteksi
dan buang makanan pentingnya dan dapat
TK: tanpa persuasi beraksi terhadap
setelah dilakukan dan/komentar. tekanan, komentar
tindakan 3. Berikan makan apapun yang dapat
perawatan selama sedikit dan makanan terlihat sebagai
3 x 24 jam intake kecil tambahan, paksaan memberikan
nutrisi adekuat, yang tepat. fokus padad makanan.
dengan kriteria: 4. Buat pilihan menu 3. Dilatasi gaster dapat
Makan klien habis yang ada dan terjadi bila pemberian
BB klien normal izinkan pasien untuk makan terlalu cepat
mengontrol pilihan setelah periode puasa.
sebanyak mungkin. 4. Pasien yang
5. Pertahankan jadwal meningkat
bimbingan berat kepercayaan dirinya
badan teratur. dan merasa
mengontrol
lingkungan lebih suka
menyediakan
makanan untuk
makan.
5. Memberikan catatan
lanjut penurunan
dan/atau peningkatan
berat badan yang
akurat.

d. Pelaksanaan
Menurut Iyer et al (1996) yang dikutip oleh Nursalam
(2008).Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditujukkan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan.

e. Evaluasi
Fase terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan dengan melihat perkembangan masalah klien
sehingga dapat diketahui tingkatan-tingkatan keberhasilan intervensi. Evaluasi
hasil perencanaan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan
dapat dilihat pada kriteria hasil intervensi keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai