Anda di halaman 1dari 13

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


DI RSUD SLEMAN YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Disusun oleh :
Dinar Uswatun Khasanah
1810104076

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)
DI RSUD SLEMAN YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Ditujukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Mencapai Gelar


Sarjana Terapan Kebidanan
Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan
Fakultas Ilmu Kesehatan
di Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta

Disusun oleh :
Dinar Uswatun Khasanah
1810104076

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)
DI RSUD SLEMAN YOGYAKARTA1
Dinar Uswatun Khasanah2, Eka Fitriyanti3
Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
dinardhinov@gmail.com

ABSTRAK

Prevalensi BBLR global adalah 15,5% atau sekitar 20 juta bayi BBLR yang lahir setiap
tahun. Sebanyak 96,5% dari jumlah bayi BBLR seluruh dunia diantaranya terjadi di negara
berkembang. Berdasarkan Riskesdas tahun 2018 sebanyak 6,2% bayi mengalami berat lahir
rendah. Dari data profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 angka BBLR
sebesar 4,86%, turun sebanyak 0,34% dari tahun 2016 (5,20%). Meskipun terjadi penurunan,
BBLR masih menjadi penyebab utama angka kematian bayi di Sleman yaitu sebanyak 31%.
Angka kejadian BBLR di RSUD Sleman pada tahun 2018 adalah sebanyak 13,5%. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
BBLR di RSUD Sleman Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik
dengan pendekatan waktu restropektif. Pengumpulan data menggunakan rekam medis pasien
tahun 2018 dengan jumlah sampel 78 responden. Analisis data yang digunakan dengan uji
chi-square. Faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR adalah umur ibu, paritas, dan
umur kehamilan. Sedangkan jarak kelahiran dan status gizi tidak berhubungan dengan
kejadian BBLR. Disarankan bagi setiap ibu untuk melakukan perencanaan kehamilan dan
menjaga kesehatannya ketika sedang hamil agar dapat melahirkan bayi dalam keadaan sehat
dan tidak BBLR.

Kata Kunci : BBLR, Jarak Kelahiran, Paritas, Status Gizi, Umur Ibu, Umur Kehamilan.

ABSTRACT

The prevalence of global LBW is 15.5% or around 20 million LBW babies born every year.
As many as 96.5% of the total LBW babies worldwide occur in developing countries. Based
on Basic Health Research in 2018, as much as 6.2% of babies experience low birth weight.
Based on the Yogyakarta Special Region health profile data in 2017, the LBW incidence was
4.86%, down by 0.34% from 2016 (5.20%). Despite the decline, LBW is still the main cause
of infant mortality in Sleman, which is as much as 31%. The incidence of LBW in Regional
Public Hospital of Sleman in 2018 was 13.5%. The study aims to determine the factors
associated with the incidence of LBW in Regional Public Hospital of Sleman Yogyakarta.
This study employed a descriptive analytical method with a retrospective time approach. The
data collection used patient medical records in 2018 with a sample of 78 respondents. The
factors related to the incidence of LBW included mother’s age, parity, and gestational age.
While the pregnancy interval and nutritional status were not related to the incidence of
LBW. It is recommended for every mother to do pregnancy planning and maintain her health
while being pregnant so that she can give birth to a baby in a healthy condition and is not
LBW baby.
Keywords : Gestational Age, LBW, Mother’s Age, Nutritional Status, Parity, Pregnancy
Interval.
PENDAHULUAN
Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate) adalah kematian yang terjadi
saat setelah bayi lahir sampai bayi berusia tepat satu tahun. Angka Kematian Bayi
(AKB) menjadi salah satu indikator penting dalam mencerminakan keadaan derajat
kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan kesehatan penduduk secara
umum (BPS, 2014 dalam Depkes, 2017). AKB merupakan indikator kesehatan yang
termasuk di dalam salah satu target SDG’s yang merupakan kelanjutan dari program
MDGS yang telah berakhir di tahun 2015 (Depkes, 2017). Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR) ialah bayi baru lahir dengan berat badan saat lahir kurang dari 2.500 gram
(sampai dengan 2.499 gram). BBLR menjadi penyebab tidak langsung dan
berkontribusi hingga 60% hingga 80% dari semua kematian neonatal. Prevalensi
BBLR global adalah 15,5%, yang berjumlah sekitar 20 juta bayi BBLR yang lahir
setiap tahun. Sebanyak 96,5% di antaranya di negara berkembang (WHO, 2018).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2018 sebanyak 6,2% bayi mengalami berat lahir rendah
di Indonesia. Dari data profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017
angka BBLR sebesar 4,86 %, turun sebanyak 0,34% dari tahun 2016 (5,20%). Pada
tahun 2016 dari data Dinkes Sleman kejadian BBLR sebanyak 5,3% sedangkan di
tahun 2017 didapatkan sebanyak 4,6%. Sehingga dapat disimpulkan terjadi
penurunan sebesar 0,7%. Meskipun sudah terjadi penurunan, BBLR masih menjadi
penyebab utama angka kematian bayi di Sleman yaitu sebanyak 31%.

Penyebab BBLR dapat berasal dari berbagai faktor seperti faktor ibu, faktor
janin, faktor plasenta dan faktor lingkungan. Kematian perinatal pada bayi BBLR
delapan kali lebih besar dibandingkan dengan bayi normal. BBLR dapat
menyebabkan masalah baik jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah jangka
pendek seperti gangguan metabolik, gangguan imunitas, gangguan pernafasan dan
gangguan sistem peredaran darah. Sedangkan untuk resiko masalah jangka panjang
yang timbul pada bayi-bayi BBLR salah satunya adalah gangguan pada pertumbuhan
dan perkembangan (Pantiawati, 2010).

Semua faktor tersebut dapat dicegah dengan promosi kesehatan melalui


kunjungan ANC. ANC adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan
obstetrik untuk optimalisasi luaran maternal dan neonatal melalui serangkaian
kegiatan pemantauan rutin selama kehamilan (Winkjosastaro & Saifuddin, 2010).
Jika ibu hamil mau melakukan pemeriksaan melalui kunjungan ANC, maka kelainan
yang mungkin akan timbul cepat diketahui dan segera diatasi sebelum berpengaruh
buruk pada kehamilan (Rukiyah, Yulianti, Maemunah, & Susilawati, 2013). Peran
bidan dalam pelaksanaan perawatan bayi baru yaitu melakukan penanganan awal
hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR melalui penggunaan selimut atau
fasilitas dengan cara menghangatkan tubuh bayi dengan metode kanguru
(Kementrian Kesehatan, 2017). Bayi BBLR sangat membutuhkan perhatian khusus
dan perawatan intensif di rumah sakit terutama di ruang NICU (Neonatal Intensive
Care Unit) untuk membantu mengembangkan fungsi organ tubuh bayi (Padila,
Amin, & Rizki, 2018). Penanganan bayi BBLR dirumah dengan cara
mempertahankan suhu bayi agar tetap normal, pemberian ASI dan pencegahan
infeksi misalnya dengan hand washing (Ningsih, Suryantoro, & Nurhidayati, 2016).

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Sleman Yogyakarta didapatkan data presentase bayi baru lahir berat
rendah dari bulan Januari hingga Desember tahun 2018 sebanyak 13,5%. Jumlah
tersebut terjadi kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2017 yaitu sebanyak 11%.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian Survey Analitik dengan pendekatan Case


Control. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 39 bayi baru lahir
dengan berat rendah pada kelompok kasus dan 39 bayi dengan berat badan lahir
normal sebagai kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakan metode
purposive sampling. Faktor-faktor yang diteliti adalah usia ibu, paritas, jarak
kelahiran, umur kehamilan dan status gizi. Analisis yang digunakan adalah analisis
univariat dan bivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Univariat
Tabel I Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Ibu, Paritas, Umur Kehamilan,
Jarak Kelahiran dan Status Gizi di RSUD Sleman Yogyakarta
Frekuensi Presentase
Umur Ibu
(N) (%)
Umur Ibu
Beresiko (<20 tahun dan >35 tahun) 35 44.9
Tidak Bersiko (20-35 Tahun) 43 55.1
Paritas
Beresiko ( 1 dan >3) 25 32.1
Tidak Bersiko (2 dan 3) 53 67.9
Umur Kehamilan
Beresiko (<37 minggu) 28 35.9
Tidak Bersiko (>37 minggu) 50 64.1
Jarak Kelahiran
Beresiko (<2 tahun) 7 9
Tidak Bersiko (>2 tahun) 71 91
Status Gizi
Beresiko (Lila <23,5 cm) 28 35.9
Tidak Bersiko (Lila >23,5 cm) 50 64.1
Berat Badan Lahir
BBLN 39 50
BBLR 39 50
Data Sekunder, 2018
Berdasarkan tabel I dapat diketahui bahwa umur ibu bersiko (<20 dan >35
tahun) sebanyak 35 responden (44.9%) dan umur ibu tidak beresiko (20-35 tahun)
sebanyak 43 responden (55.1%). Paritas beresiko (paritas 1 dan >3) sebanyak
responden 25 responden (32.1%) dan paritas tidak beresiko (2 dan 3) sebanyak
responden 53 (67.9%). Umur kehamilan beresiko (<37 minggu) sebanyak 28
responden (35.9%) dan umur kehamilan tidak beresiko sebanyak 50 responden
(64.1%). Responden memiliki jarak kehamilan >2 tahun sebanyak 71 (91%) dan
responden dengan jarak kehamilan <2 tahun sebanyak 9 responden (9%). Status gizi
beresiko (lila <23,5 cm) sebanyak 28 responden (35.9%) dan status gizi tidak
beresiko (lila >23,5 cm) sebanyak 50 responden (64.1%). Jumlah sampel kategori
bayi dengan berat badan normal sebanyak 39 responden (50%), BBLR sebanyak 39
responden (50%).

Bivariat
Tabel II Analisa Bivariat Faktor Ibu yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR di
RSUD Sleman Yogyakarta
Berat Lahir
Tidak Jumlah OR
BBLR Nilai p
BBLR
f % f % f %
Umur Ibu
Beresiko 33 42.3 2 2.6 35 44.9
101.75 0,000
Tidak Beresiko 6 7.7 37 47.4 43 55.1
Paritas
Beresiko 23 29.5 2 2.6 25 32.1
26.594 0.000
Tidak Beresiko 16 20.5 37 47.4 53 67.9
Umur Kehamilan
Beresiko 25 32.1 3 3.8 28 35.9
21.429 0.000
Tidak Beresiko 14 17.9 36 46.2 50 46.1
Jarak Kehamilan
Beresiko 3 3.8 4 5.1 7 9
0.729 1.000
Tidak Beresiko 36 46.2 35 44.9 72 91
Status Gizi
Beresiko 7 9 2 2.6 9 11.5
4.047 0.154
Tidak Beresiko 32 41 37 47.4 69 88.5
Sumber : Data Sekunder, 2018
Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian BBLR
Berdasarkan hasil analisis hubungan umur ibu dengan kejadian BBLR
menunjukkan bahwa umur ibu <20 tahun dan >35 tahun melahirkan bayi dengan
BBLR sebanyak 33 responden (42.3%), sedangkan umur ibu 20 sampai 35 tahun
melahirkan bayi BBLR sebanyak 6 responden (7.7%). Berdasarkan analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa umur ibu <20 tahun dan >35 tahun melahirkan bayi
dengan BBLR lebih banyak dan beresiko 101.75 kali lebih besar dibandingkan usia
ibu 20 tahun sampai 35 tahun. Berdasarkan hasil chi-square antara umur ibu dengan
kejadian BBLR menunjukkan nilai Asymp.Sig = 0.000 (p value < 0,05) sehingga
dapat disimpulkan ada hubungan umur ibu dengan kejadian BBLR di RSUD
Sleman.
Umur dibawah 20 tahun perkembangan sistem reproduksi belum optimal dan
kesiapan psikologis menerima kehamilan sehingga berpengaruh pada berat lahir
bayi. Pada ibu umur diatas 35 tahun, fungsi dari alat reproduksi sudah menurun
sehingga akan mempengaruhi kehamilannya, juga seiring dengan penambahan umur
ibu akan terjadi perubahan-perubahan pada pembuluh darah dan juga ikut
menurunnya fungsi hormon yang mengatur siklus reproduksi (Pinontoan &
Tambokan, 2015). Usia paling aman untuk hamil dan bersalin adalah usia antara 20
tahun sampai dengan 35 tahun karena termasuk dalam kelompok usia reproduksi
sehat. Ibu yang termasuk dalam kelompok usia reproduksi sehat memiliki organ
reproduksi yang telah mampu untuk hamil dan bersalin serta belum mengalami
penurunan fungsi organ reproduksi yang dapat menyebabkan komplikasi pada
kehamilan maupun persalinan (Sembiring, Pratiwi, & Sarumaha, 2019).

Hubungan Paritas dengan Kejadian BBLR


Berdasarkan hasil analisis hubungan paritas dengan kejadian BBLR
menunjukkan bahwa 23 ibu dengan paritas 1 dan >3 melahirkan bayi BBLR dengan
presentase 29.5%, sedangkan ibu yang memiliki paritas 2 dan 3 melahirkan bayi
BBLR 16 responden (20.5%). Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan
bahwa ibu dengan paritas 1 dan >3 lebih banyak dan beresiko 26.594 kali lebih
besar melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu dengan paritas 2 dan 3.
Beradasarkan hasil uji chi-square paritas ibu dengan kejadian BBLR menunjukkan
nilai Asymp. Sig = 0.000 (<0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan paritas
ibu dengan kejadian BBLR. Ibu dengan paritas 1 dan >3 beresiko 26.594 kali lebih
besar melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan ibu dengan paritas 2 dan 3.
Kehamilan yang berulang-ulang mengakibatkan dinding pembuluh darah di
uterus dapat mengalami kerusakan. Suplai makanan dapat terganggu dari ibu ke
janin sehingga dapat menyebabkan janin mengalami gangguan pertumbuhan pada
kehamilan yang selanjutnya akan mengalami BBLR (Ekowati, 2019). Primipara
atau kelahiran pertama banyak melahirkan bayi dengan BBLR karena belum mampu
beradaptasi terhadap hormon estrogen dan gonadotropin. Multipara lebih siap
dengan perubahan mental dan fisik karena pernah mengalami masa kehamilan
sebelumnya. Ibu primipara memerlukan adaptasi yang lebih dalam perubahan fisik
dan mentalnya (Mahdalena, Astuti, & Vitrianingsih, 2018). Primipara belum
mempunyai pengalaman yang cukup untuk meningkatkan kualitas saat kehamilan.
Seorang wanita mengandung anak lebih dari 3, keadaan kesehatannya akan mulai
menurun, sering mengalami kurang darah dan berdampak pada berat bayi lahir
(Saimin, Faisal, Asmarani, & Wicaksono, 2018).
Resiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang baik,
sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana dan sebagian kehamilan paritas tinggi adalah tidak direncanakan. Resiko
kesehatan ibu dan anak akan meningkat pada persalinan pertama, empat dan
seterusnya. Terlalu sering melahirkan, rahim akan semakin lemah karena jaringan
perut uterus akibat kehamilan berulang, jaringan parut ini menyebabkan tidak
adekuatnya persediaan darah ke plasenta sehingga plasenta tidak mendapat aliran
darah yang cukup untuk menyalurkan nutrisi ke janin akibatnya pertumbuhan janin
terganggu. Pada ibu dengan paritas >3 dengan tingkat ekonomi yang rendah akan
berpengaruh terhadap penyediaan dana bagi pemeriksaan kehamilan karena untuk
menghemat pengeluaran tersebut terkadang ibu tidak dapat memeriksakan
kehamilannya secara rutin sehingga tidak mendapatkan informasi yang cukup
tentang kehamilan walaupun ibu sudah mempunyai pengalaman dalam melahirkan
ada baiknya ibu mengantisipasi terjadinya kemungkinan buruk (Solama, 2019).

Hubungan Umur Kehamilan dengan Kejadian BBLR


Berdasarkan hasil analisis antara umur kehamilan dengan kejadian BBLR
menunjukkan bahwa 28 ibu yang melahirkan dengan umur kehamilan <37 bulan
melahirkan bayi BBLR sebanyak 25 responden (32.1%) lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan >37 minggu melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak
14 responden (17.9%). Berdasarkan hasil chi square didapatkan nilai Asymp. Sig =
0.000 (<0,05) yaitu ada hubungan umur kehamilan dengan kejadian BBLR di
RSUD Sleman. Ibu yang melahirkan <37 minggu akan beresiko 21.429 kali lebih
besar melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan ibu yang melahirkan pada umur
kehamilan >37 minggu.
Usia kehamilan kurang dari bulan atau preterm lebih beresiko melahirkan
bayi dengan BBLR karena janin dalam kandungan belum tumbuh secara sempurna
sehingga beratnya kurang dari normal. Usia kehamilan cukup (aterm) yang
melahirkan bayi berat lahir rendah bisa disebabkan oleh asupan gizi yang kurang
saat hamil atau penyakit-penyakit lain yang diderita ibu sehingga menghambat
pertumbuhan janinnya (Sembiring, Pratiwi, & Sarumaha, 2019). Secara biologis,
semakin bertambahnya usia kehamilan, maka pertumbuhan dan perkembangan janin
juga semakin meningkat, sehingga apabila bayi lahir sebelum usia gestasi yang
seharusnya (37–42 minggu) maka panjang dan berat badan bayi belum bertambah
secara maksimal (Fajriana & Buanasita, 2018). Persalinan prematur lebih sering
terjadi pada kehamilan pertama dan akan berkurang jumlah paritas yang cukup
bulan sampai dengan paritas keempat (Nursusila, Majid, & Ahmal, 2017). Usia
kehamilan adalah masa yang dihitung mulai dari haid terakhir sampai saat masa
persalinan. Usia kehamilan <37 minggu merupakan hal yang berbahaya karena
berpotensi terjadinya kematian perinatal dan umumnya berkaitan dengan kejadian
BBLR (Dewina, Putri, & Sugiarto, 2018).

Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian BBLR


Berdasarkan hasil analisis jarak kehamilan dengan kejadian BBLR
menunjukkan bahwa pada jarak kehamilan <2 tahun sebanyak 3 (3.8%) melahirkan
bayi BBLR dan jarak kelahiran >2 tahun sebanyak 36 (46.2%) melahirkan bayi
dengan BBLR. Jarak kelahiran <2 tahun dan >2 tahun sama-sama melahirkan bayi
dengan BBLR. Ibu yang melahirkan di RSUD Sleman sudah banyak memiliki jarak
kelahiran >2 tahun. Berdasarkan hasil analisis fisher’s exact test antara hubungan
jarak kelahiran dengan kejadian BBLR menunjukan Asymp.Sig = 1.000 (>0,05)
yang artinya tidak ada hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian BBLR di
RSUD Sleman.
Dalam penelitian (Hasriyani, Hadisaputro, Budhi, Setiawati, & Setyawan,
2018) menyebutkan bahwa jarak kelahiran bukan merupakan faktor dari kejadian
BBLR. Jarak kelahiran >2 tahun akan memberi kesempatan kepada ibu untuk pulih
secara fisik dan emosi sebelum mengalami kehamilan lagi. Dalam penelitian Nur,
Arifuddin., & Novilia (2016) seorang ibu memerlukan waktu 2 sampai 3 tahun
antara kehamilan agar pulih secara fisiologis dan mampu mempersiapkan diri untuk
persalinan berikutnya. Semakin pendek resiko yang ditimbulkan semakin besar
seperti perdarahan, persalinan prematur dan anemia. Untuk itu dapat dicegah dengan
penggunaan KB.

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian BBLR


Berdasarkan hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kejadian BBLR
menunjukan bahwa status gizi beresiko sebanyak 9 responden dan tidak beresiko
sebanyak 69 responden. Ibu yang memiliki LILA <23,5 melahirkan bayi BBLR
sebanyak 7 responden (9%) dari. Sedangkan 69 ibu yang memiliki LILA >23,5
melahirkan bayi BBLR sebanyak 32 (41%) responden. Dari hasil analiisis fisher’s
exact tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan kejadian BBLR. Sebagian
besar ibu yang melahirkan di RSUD Sleman sudah memiliki status gizi baik.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Megawati (2015) bahwa tidak ada hubungan
antara status gizi dengan kejadian BBLR. Kurang gizi pada awal kehidupan manusia
dimulai sejak dalam kandungan ibu. Sehingga calon ibu perlu mempunyai kondisi
yang baik saat kehamilan. Kesehatan dan gizi ibu hamil sangat diperlukan bagi bayi
untuk tumbuh kembang yang optimal. Keadaan gizi ibu yang kurang baik sebelum
hamil dan pada waktu hamil cenderung melahirkan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR).
Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Ekowati (2019) yang
menyatakan ada hubungan antara KEK dengan kejadian BBLR di Puskesmas
Bungatan Kabupaten Situbondo. Ibu yang memiliki status KEK beresiko
melahirkan bayi dengan BBLR 4 kali lipat dibandingkan dengan ibu yang tidak
KEK. Ibu yang melahirkan KEK lebih banyak melahirkan bayi BBLR dibandingkan
BBLN. KEK pada ibu hamil terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan yang
sesuai dengan kebutuhan dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Volume darah
menjadi menurun dan cardiac output mengalami penurunan, menyebabkan aliran
darah ke plasenta menurun. Aliran darah ke plasenta menurun dan mengakibatkan
berkurangnya pasokan nutrisi dari ibu menuju plasenta yang berpengaruh pada
pertumbuhan fetus dan uri lebih kecil sehingga berpotensi melahirkan BBLR.
Menurut penelitian Mahardani, Nugraheni, & Aruben (2015) gizi kurang
pada ibu hamil dapat menyebabkan anemia, perdarahan dan berat badan ibu tidak
bertambah secara normal serta lebih berisiko terkena penyakit infeksi. Ibu yang
mengalami KEK akan lebih berisiko melahirkan BBLR karena adanya kekurangan
energi yang menyebabkan ukuran plasenta yang sedang mengalami pembentukan di
trimester pertama menjadi kecil dan akan mengurangi suplai zat-zat nutrisi ke janin.
Tingkat kecukupan protein yang lebih selama kehamilan dibutuhkan oleh
plasenta untuk membawa makanan ke janin, serta untuk pembentukan hormon
enzim ibu dan janin. Kekurangan zat gizi energi dan protein pada ibu hamil dapat
mengurangi inti DNA dan RNA yang dapat memengaruhi profil asam lemak
sehingga transfer zat gizi ibu ke janin menjadi terganggu. Ukuran otak juga akan
berkurang pada mekanisme ini karena akibat dari perubahan struktur protein,
konsentrasi faktor pertumbuhan dan produksi neurotransmitter (Haryanti,
Pangestuti, & Kartini, 2019).
Ibu hamil KEK adalah ibu hamil dengan hasil pemeriksaan antropometri
Lingkar Lengan Atas (LILA) <23,5 cm. Masalah ibu hamil KEK disebabkan
konsumsi zat gizi yang kurang. Bentuk penambahan energi dapat berupa Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil KEK. PMT dapat berupa pangan lokal
atau pabrikan dan minuman padat gizi. Program pemberian makanan tambahan
berhasil mengurangi jumlah ibu hamil yang mengalami KEK (Setyowati & Ulvie,
2019).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang fakor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian BBLR di RSUD Sleman tahun 2018 maka peneliti
dapat menyimpulkan besaran prevalensi pada sampel yang diambil di RSUD Sleman
yaitu kategori bayi dengan berat badan lahir normal sebanyak 50% dan BBLR
sebanyak 50%. Besaran prevalensi ibu dengan umur <20 tahun dan >35 tahun
melahirkan bayi BBLR sebanyak 42.3% dan ibu dengan umur 20 tahun sampai 35
tahun yang melahirkan bayi BBLR sebanyak 7.7%. Besaran prevalensi ibu dengan
paritas 1 dan >3 melahirkan bayi BBLR sebanyak 29.5% dan ibu dengan paritas 2
dan 3 yang melahirkan bayi BBLR sebanyak 20.5%. Besaran prevalensi ibu dengan
jarak kehamilan <2 tahun melahirkan bayi BBLR sebanyak 3.8 % dan ibu dengan
jarak kehamilan >2 tahun yang melahirkan bayi BBLR sebanyak 46.2%. Besaran
prevalensi ibu dengan umur kehamilan <37 minggu melahirkan bayi BBLR sebanyak
32.1% dan ibu dengan umur kehamilan >37 minggu yang melahirkan bayi BBLR
sebanyak 17.9%. Besaran prevalensi ibu dengan status gizi <23,5 cm melahirkan
bayi BBLR sebanyak 9% dan ibu dengan status gizi >23,5 cm melahirkan bayi
BBLR sebanyak 41%.
Ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Sleman
dengan hasil uji statistik A.symp. Sig = 0.000 (<0.05). Umur ibu yang paling dominan
melahirkan bayi dengan BBLR adalah umur ibu <20 dan >35 tahun yaitu sebanyak
42.3%. Ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Sleman
dengan hasil uji statistik A.symp. Sig = 0.000 (<0.05). Paritas ibu yang paling
dominan melahirkan bayi dengan BBLR yaitu paritas 1 dan >3 sebanyak 29.5%.
Ada hubungan antara umur kehamilan dengan kejadian BBLR di RSUD Sleman
dengan hasil uji statistik A.symp. Sig = 0.000 (<0.05). Umur kehamilan yang paling
dominan melahirkan bayi dengan BBLR adalah umur kehamilan < 37 minggu yaitu
sebanyak 32.1%. Tidak ada hubungan antara jarak kelahiran dengan kejadian BBLR
di RSUD Sleman dengan hasil uji statistik A.symp. Sig = 1.000 (<0.05). Jarak
kelahiran yang paling dominan melahirkan bayi dengan BBLR yaitu jarak kelahiran
>2 tahun sebanyak 46.2%. Tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan
kejadian BBLR di RSUD Sleman dengan hasil uji statistik A.symp. Sig = 0.154
(<0.05). Status gizi ibu yang paling dominan melahirkan bayi dengan BBLR adalah
ibu dengan lila >23.5 yaitu sebanyak 41%

Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber
informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR,
sehingga dapat melakukan perencanaan kehamilan dan menjaga kesehatannya ketika
sedang hamil agar dapat melahirkan bayi dalam keadaan sehat dantidak BBLR.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2017 dalam http://www.depkes.go.id/resources/download
/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2017/14_DIY_2017.pdf diakses 10
Desember 2019.
Dewina, M., Putri, N. Y., & Sugiarto, H. (2018). Karakteristik Ibu Yang Melahirkan
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Puskesmas Wilayah Pantura Kabupaten
Indramayu Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Indra Husada Volume 6 Nomor 2.
Ekowati, D. (2019). Paritas >3 dan Kekurangan Energi Kronik Berhubungan dengan
Kelahiran Bayi Berat Lahir Rendah di Situbondo. MID-Z Jurnal Volume 1
Nomor 1 .
Fajriana, A., & Buanasita, A. (2018). Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di Kecamatan Semampir Surabaya.
Media Gizi Indonesia, Volume 13 Nomor 1.
Haryanti, S. Y., Pangestuti, D. R., & Kartini, A. (2019). Anemia dan Kek Pada Ibu
Hamil Sebagai Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
(Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Juwana Kabupaten Pati). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (E-Journal) Volume 3 Nomor 7.
Hasriyani, Hadisaputro, S., Budhi, K., Setiawati, M., & Setyawan, H. (2018).
Berbagai Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Studi di
Beberapa Puskesmas Kota Makassar). Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas Volume 2 Nomor 3.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2017 dalam http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/
profil-kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-
2018.pdf diakses 19 Januari 2019.
Mahardani, S., Nugraheni, & Aruben, R. (2015). Faktor Risiko dari Aspek Maternal
Pada Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kota Cirebon Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-
Journal) Volume 3 Nomor 3.
Mahdalena, S., Astuti, T., & Vitrianingsih. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian BBLR di RSUD Wonosari, Gunungkidul Tahun 2017 .
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta Volume 5 Nomor 2.
Ningsih, S. R., Suryantoro, P., & Nurhidayati, E. (2016). Hubungan Pengetahuan Ibu
Tentang Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Kenaikan Berat
Badan Bayi. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume 12 Nomor 2.
Nur, R., Arifuddin , A., & Novilia, R. (2016). Analisis Faktor Resiko Kejadian Berat
Badan Lahir Rendah di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jurnal
Preventif Volume 7 Nomor 1.
Nursusila, Majid, R., & Ahmal, L. O. (2017). Faktor Risiko Kejadian Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) Di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2016. JIMKESMAS Volume 2 Nomor 6.
Padila, Amin, M., & Rizki. (2018). Pengalaman Ibu Dalam Merawat Bayi Preterm
yang Pernah Dirawat di Ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU) Kota
Bengkulu. Jurnal Keperawatan Silampari (JKS) Volume 1 Nomor 2.
Pantiawati, E. (2010). Bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Yogyakarta:
Nuha Medika.
Pinontoan, V. M., & Tambokan, S. (2015). Hubungan Umur dan Paritas Ibu dengan
Kejadian Berat Badan Lahir Rendah. Jurnal Ilmiah Bidan.
Rukiyah, Y., Yulianti, L., Maemunah, & Susilawati, L. (2013). Asuhan Kebidanan I.
Jakarta: CV Trans Info Media.
Saimin, J., Faisal, M., Asmarani, & Wicaksono, S. (2018). Peningkatan Berat Badan
Ibu Hamil Mempengaruhi Berat Badan Lahir Bayi Di Daerah Pesisir.
Preventif Journal Volume 2 Nomor 2.
Sembiring, J. B., Pratiwi, D., & Sarumaha, A. (2019). Hubungan Usia , Paritas dan
Usia Kehamilan dengan Bayi Berat Lahir Rendah Di RSU Mitra Medika
Medan Periode 2017. Jurnal Bidan Komunitas Volume 2 Nomor 1.
Setyowati, N., & Ulvie, Y. N. (2019). Pengaruh PMT Biskuit Sandwich Terhadap
Ibu Hamil Kurang Energi Kronis di Puskesmas Bantarbolang Kabupaten
Pemalang. Jurnal Gizi Volume 8 Nomor 1 .
Solama, W. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Persalinan
Prematur . Jurnal 'Aisyiayah Medika Volume 3 Nomor 1.
Winkjosastaro, G., & Saifuddin, A. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
World Health Organization. (2018). Care of the Preterm and Low Birth Weight
Newborn dalam https://www.who.int/maternal_child_adolescent/newborns/
prematurity/en/ diakses 10 Januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai