Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

KEJANG DEMAM

Oleh :

Widyawati Glentam 201810330311105

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering pada anak.
Hal ini terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian
kejang dalam 16 tahun pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh anak
yang berusia kurang dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar
150.000 anak mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi
status epilepsy.
Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstrakranial. Kejang
berhubungan dengan demam, tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial atau
penyebab lain seperti trauma kepala, gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia
atau hipoglikemia. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam
terjadi pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam. Umumnya kejang demam terjadi pada anak
dan berlangsung pada permulaan demam akut. Sebagian besar berupa serangan
kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda
neurologi post iktal.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai
Kejang Demam mulai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, hingga penatalaksanaannya.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Kejang Demam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstrakranial. Kejang
berhubungan dengan demam, tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial atau
penyebab lain seperti trauma kepala, gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia
atau hipoglikemia.

2.2 Klasifikasi
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu
hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum
pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan
pada anak berusia 3 hingga 13 tahun. Kejang parsial dapat dikelompokkan
menjadi:5
a. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan
perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas
motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang
terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan
perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari
sensorik, autonom, dan psikis.
b. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap-ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
c. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang
umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik.
Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
a. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
b. Kejang tonik
c. Kejang mioklonik
d. Kejang atonik
e. Kejang absens
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak
dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang
ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun.

Klasifikasi kejang demam :


1. Kejang demam sederhana
a. Kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, dan umumnya
akan berhenti sendiri.
b. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
c. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

2.3 Etiologi
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat:
• Infeksi saluran pernafasan
• Infeksi saluran pencernaan
• Infeksi THT
• Infeksi saluran kencing
• Roseola infantum/infeksi virus akut lain.
• Paska imunisasi
b. Derajat demam:
• 75% dari anak dengan demam ≥ 390C
• 25% dari anak dengan demam > 400C
2. Usia
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan – 6 tahun
b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan
c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi
SSP
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure
plus (FS+).
3. Gen
a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara sekandung mengalami kejang demam
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam

2.4 Patofisiologi
Pada demam, kenaikan suhu 10 C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %. Pada seorang
anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran listrik.
dengan bantuan ”neurotransmitter”, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini
dapat menimbulkan kejang.

2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
 Kejadian Pre-Iktal
 Kejadian saat kejang
 Kejadian post – iktal

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada
kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum
ditujukan untuk mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
neurologi meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil,
saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam.
1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
2. Pemeriksaan lain atas indikasi :glukosa, elektrolit, pungsi lumbal.
 Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk
melakukan pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan dan anak
kurang dari 18 bulan.
 Indikasi EEG
Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam,
kecuali jika ditemukan keraguraguan apakah ada demam sebelum
kejang.
 Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika terdapat kejang
demam yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada
pemeriksaan fisik, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis dari
gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau makrosefali, defisit
neurologis yang sudah ada, defisit neurologis post-iktal bertahan selama
lebih dari beberapa jam, atau ketika ada kejang demam berulang yang
kompleks, atau kejang yang dicurigai bukan kejang demam Magnetic
Resonance Imaging lebih sensitif dibandingkan Computed Tomography
untuk mendeteksi proses intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.

2.6 Tatalaksana
1. Keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya mengenai kejang demam
dan prognosisnya.
2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana kejang akut dan tatalaksana
profilaksis untuk mencegah kejang berulang.
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejang akut adalah dengan:
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB < 10 kg diazepam rektal 5
mg , BB > 10 kg diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus
segera diberikan jika akses intravena tidak dapat diperoleh dengan mudah.
Jika akses intravena telah diperoleh diazepam lebih baik diberikan
intravena dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
dengan maksimum pemberian 20 mg. Jika kejang belum berhenti diazepam
rektal/IV dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit. Lorazepam
intravena, setara efektivitasnya dengan diazepam intravena dengan efek
samping yang lebih minimal (termasuk depresi pernapasan) dalam
pengobatan kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena masih terdapat
kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB,
diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin dalam 1
ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum
50 mg/menit, dosis inisial maksimum adalah 1000 mg. Jika dengan fenitoin
masih terdapat kejang, dapat diberikan fenobarbital IV dengan dosis inisial
20 mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan kecepatan pemberian 20
mg/menit. Jika kejang berhenti dengan fenitoin maka lanjutkan dengan
pemberian rumatan 12 jam kemudian dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis. Jika kejang berhenti dengan fenobarbital, maka lanjutkan
dengan pemberian rumatan 12 jam kemudian dengan dosis 4-6 mg/kgBB/
hari dalam 2 dosis.

4. Pemberian farmakoterapi untuk profilaksis untuk mencegah berulangnya


kejang di kemudian hari.
a. Profilaksis intermiten dengan diazepam oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali
tiap 8 jam, hanya diberikan selama episode demam, terutama dalam waktu
24 jam setelah timbulnya demam.
b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/ kgBB/hari dibagi 2-3
dosis. Profilaksis hanya diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti kejang
demam dengan status epileptikus, terdapat defisit neurologis yang nyata
seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan selama 1 tahun.
BAB III
KESIMPULAN

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang: Tetap tenang dan tidak
panik, Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher. Bila tidak sadar,
posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di
mu-lut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
Tetap bersama pasien selama kejang. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan
bila kejang telah berhenti. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung
menit atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia


Medical Association. 2010.
2. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug
Dosage Guidelines. 5th edition. Vancouver. Department of Pharmacy Children’s
and Women’s Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006)
3. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American
Society of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009)
4. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. Epilepsy.
Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition: McGraw
Hill. 2008.
5. Major P, Thiele E.A. Seizures in Children: Determining the Variation. Pediatrics
in Review. 2007;28:363-371.
6. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008)
7. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI,
2006)

Anda mungkin juga menyukai