Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT


INTOKSIKASI ZAT STIMULAN

Oleh :

Widyawati Glentam 201810330311105

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketergantungan zat merupakan penyakit mental dan perilaku yang dapat
berdampak pada kondisi kejiwaan yang bersangkutan dan masalah sosial.
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada usia 10-60 tahun terdapat kurang
lebih 4 juta jiwa. Jumlah tersebut sebenarnya merupakan perkiraan dari jumlah
aslinya sesuai dengan fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus lebih besar
dibandingkan jumlah yang dilaporkan. Berdasarkan data morbiditas pasien rawat
jalan di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2010, gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan stimulansia paling banyak terdapat pada golongan usia
produktif, yaitu 25-44 tahundengan jumlah kasus baru sebanyak 214 orang.
Ketergantungan zat merupakan sebuah kelainan yang kompleks, dengan
berbagai mekanisme biologis yang mempengaruhi otak dan kemampuannya
untuk mengontrol penggunaanzat. Ketergantungan zat tidak hanya
dipengaruhioleh faktor biologis dan genetika namun juga terdapat komorbiditas
yang signifikan antara ketergantungan zat dan beberapa gangguan jiwa lainnya.
Komorbiditas antara gangguan penggunaan zat dan gangguan jiwa lainnya
selayaknya dijadikan salah satu elemen yang patut diperhatikan baik dalam
penanganan terhadap penyakit jiwa maupun ketergantungan zat.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Intoksikasi Zat Stimulan mulai definisi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Gangguan Mental dan Perilaku
Akibat Intoksikasi Zat Stimulan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
NAPZA atau narkoba adalah singkatan dari Narkotika, Pskikotropika dan
Zat adiktif lain dan obat-obatan yang berbahaya yang sangat berguna dan
diperlukan untuk kepentingan dunia kedokteran sebagai pengobatan dan
pelayanan. Penyalahgunaan NAPZA sangat membahayakan tidak hanya
merugikan kesehatan tapi juga berdampak pada ekonomi, sosial, produktivitas
kerjadan biaya untuk pengobatan.
Stimulan merupakan zat yang menginduksi sejumlah gejala karakteristik.
Efek SSP meliputi kewaspadaan dengan meningkatnya kewaspadaan, rasa
kesejahteraan, dan euforia. Banyak pengguna mengalami insomnia dan
anoreksia, dan beberapa mungkin mengalami gejala psikotik.

2.2 Patofisiologi
Patofisiologi gangguan psikiatri terkait amfetamin sulit ditemukan, karena
amfetamin mempengaruhi banyak sistem syaraf. Secara umum, penyalahgunaan
amfetamin kronis dapat menyebabkan gejala kejiwaan karena penghambatan
transporter dopamin di striatum dan nucleusaccumbens. Semakin lama lamanya
penggunaan, semakin besar besarnya pengurangan dopamin. Metilfetamin telah
disarankan untuk menginduksi psikosis melalui penghambat transporter
dopamin, dengan peningkatan dopamin resultan pada celah sinaptik. Peningkatan
aktivitas dopaminergik ini mungkin terkait dengan gejala psikotik karena
penggunaan agen pemblokiran D2 (misalnya haloperidol) sering memperbaiki
gejala ini. Amfetamin-induced psychosis telah digunakan sebagai model untuk
mendukung hipotesis dopamin skizofrenia, di mana terlalu banyak dopamin pada
sistem limbik dan striatum dikaitkan dengan psikosis.
2.3 Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Selama pemeriksaan fisik, periksakan pasien untuk komplikasi medis
penyalahgunaan amfetamin, termasuk hipertermia, dehidrasi, gagal ginjal, dan
komplikasi jantung. Selama pemeriksaan neurologis, tentukan pasien untuk
komplikasi neurologis penyalahgunaan amfetamin, termasuk perdarahan
subarachnoid dan intrakranial, delirium, dan kejang Pemeriksaan status mental
harus menekankan delusi, halusinasi, bunuh diri, pembunuhan, orientasi,
wawasan dan penilaian, dan pengaruhnya. Pemeriksaan status mental bisa
sangat berbeda untuk intoksikasi dan psikosis.
Sebuah status mental yang diharapkan untuk pasien dengan keracunan
amfetamin adalah sebagai berikut:
1) Penampilan dan tingkah laku (kesan umum): Kontak mata yang tidak
bersahabat dan tersebar, ekskoriasi pada ekstremitas dan wajah dari
memetik pada kulit, terlalu banyak bicara dan mengganggu secara verbal
2) Komunikasi: +, terputus-putus
3) Psikomotor : meningkat
4) Proses berpikir: Paranoid; Tidak ada pikiran bunuh diri atau pembunuhan
5) Suasana hati (afek/emosi): cemas, ketakutan
6) Orientasi : Waspada terhadap orang, tempat, dan tujuan; Perspektif waktu
tidak terorganisir
7) Persepsi : halusinasi auditorik
8) Intelegensi : dalam batas normal
9) Daya nilai realitas : buruk

b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Evaluasi laboratorium harus mencakup pengujian berikut:
- Uji glukosa darah jari-tusuk
- Penentuan CBC
- Penentuan kadar elektrolit, termasuk magnesium, amilase, albumin,
protein total, asam urat, BUN, alkaline phosphatase, dan kadar
bilirubin
- Urinalisis
- Skrining toksikologi urin atau serum darah
- Tes darah untuk tingkat alkohol jika pasien tampak mabuk
- Tes reagin HIV dan rapid plasma (RPR)

2) Tes pencitraan
Dengan adanya gangguan neurologis, CT atau MRI membantu dalam
mengevaluasi perdarahan subarachnoid dan intrakranial.

2.4 Tatalaksana
Pengobatan awal harus mencakup secara medis menstabilkan kondisi pasien
dengan menilai sistem pernapasan, peredaran darah, dan neurologisnya. Zat
yang menyinggung dapat dihilangkan dengan cara lambung gaster dan
pengasaman urin. Obat psikotropika dapat digunakan untuk menstabilkan pasien
yang mengalami gangguan dengan psikosis. Karena sebagian besar kasus
kelainan psikiatri terkait amfetamin membatasi diri, pengangkatan amfetamin
harus cukup. Emesis, lavage, atau arang yang diinduksi dapat membantu jika
terjadi overdosis. Jika pasien psikotik atau jika dia dalam bahaya membahayakan
dirinya atau orang lain, antipsikotik potensial tinggi, seperti haloperidol
(Haldol), dapat digunakan. Hati-hati karena potensi gejala ekstrapiramidal,
seperti reaksi dystonic akut, dan sindrom ganas neuroleptik. Agitasi juga dapat
diobati dengan hati-hati dengan benzodiazepin PO, IV, atau intramuskular (IM).
Lorazepam (Ativan) dan chlordiazepoxide (Librium) biasa digunakan.
Berikan naloxone (Narcan) jika terjadi toksisitas opiat bersamaan. Hati-hati
untuk menghindari pengendapan penarikan opioid akut pada pasien yang telah
menggunakan opioid dosis tinggi untuk jangka panjang. Beta-blocker, seperti
propranolol (Inderal), dapat digunakan jika terjadi tekanan darah tinggi dan
denyut nadi. Mereka juga mungkin bisa membantu dengan kecemasan atau
panik. Rawat inap psikiatri mungkin diperlukan saat psikosis, agresi, dan bunuh
diri tidak dapat dikendalikan di lingkungan yang kurang ketat. Jika sindrom
serotonin dicurigai, hentikan semua obat SSRI dan SNRI.
a. Farmakologis
1) Dopamin agonis
- Amfetamin (Long-act)
- Disulfiram
- Modafinil
- Bupoprion
2) Neuroadaptasi
- Guanfacin
- Propanolol
- Carvedilol
3) Pemulihan kognitif
- Galantamine
4) Imunoterapi
- TA-CD
b. Non-farmakologis
1) Psikoterapi
2) Rehabilitasi kebiasaan kognitif
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan mental dan perilaku akibat stimulant didefinisikan sebagai penyakit


perilaku seseorang yang ditimbulkan oleh ketergantungan dari stimulan. Pemakaian
stimulan pada gangguan ini fokus pada amfetamin dan kokain. Kokain lebih banyak
dipakai daripada amfetamin. Remaja lebih rentan mengkonsumsi stimulan diluar
pemakaian medis. Adanya gangguan perilaku akibat stimulant akan merangsang
otak yang menjadikan neurotransmitter tidak melakukan mekanisme semestinya.
Halusinasi dan gangguan waham atau sering berdelusi menjadi gejala yang dapat
ditemukan pada penderita. Pengobatan yang dilakukan akan bermakna bila
lingkungan mendukung dalam motivasi ingin berubah. Konsumsi obat hanya sesuai
anjuran dokter, bukan secara bebas. Penderita dapat sembuh bila optimis terhadap
pengobatan. Kebiasaan kognitif harus sering dibentuk dan diaplikasikan agar fungsi
motorik semakin berjalan dari tahap abnormal menjadi normal.
DAFTAR PUSTAKA

1) Parsley, I., Zhang, Z., Hausmann, M., Lerdahl, A., Vaughan, B., Edwards, R., &
Hwang, S. (2020). Effectiveness of Stimulant Medications on Disruptive
Behavior and Mood Problems in Young Children. Clinical psychopharmacology
and neuroscience : the official scientific journal of the Korean College of
Neuropsychopharmacology, 18 (3), 402–411.
2) American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and Statistical
Mamual of Mental Disorders. 5th ed. Wuhington. DC: American
Psychiatric Association; 2013.
3) Lesmana, Cokorda Bagus Jaya. 2017. Buku Panduan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Denpasar : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
4) Fauzan, Diano Ramadhan et al., 2016. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat
Stimulansia Termasuk Kafein. Jurnal Medula Unila Volume 6 Nomor 1.
5) Manullang, Brigita Sanina et al., 2019. Gangguan Psikotik Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif Multipel pada Pria Muda Usia 19 Tahun. Majority Journal
Volume 8 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai