PENDAHULUAN
Obat Antipsikosis
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau
antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau
tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal (Utama, 2010).
Sebaiknya skizofrenia diobati dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah
antipsikotika diperlukan, setelah kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya
diteruskan untuk beberapa tahun. Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-
gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat. Obat APG-II
bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif (Utama, 2010).
Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati haloperidol (Syarif dan Zulnida, 2009).
Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang normal,
efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek
dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya (Syarif dan Zulnida, 2009).
Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ.
Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol
menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin (Syarif dan Zulnida, 2009).
Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan
sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG belum
pernah dilaporkan.
Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati
dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol
lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah pemberian dosis
tunggal (Syarif dan Zulnida, 2009).
Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania
atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik.
Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg (Syarif dan Zulnida,
2009).
Risperidon
Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap
reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas
antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin (Syarif
dan Zulnida, 2009).
Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di plasma
risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%.
Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi
metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan
sebagian kecil lewat feses (Syarif dan Zulnida, 2009).
Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif
maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan
ciri psikosis (Syarif dan Zulnida, 2009).
Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan berat
badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding
antipsikosis tipikal (Syarif dan Zulnida, 2009).
Penatalaksanan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi biologis atau terapi
obat-obatan tetapi juga berfokus pada terapi psikososial. Sebagian besar pasien skizofrenia
mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau
antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau
tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal.
Beberapa terapi psikososial yang dapat dilakukan adalah terapi perilaku, terapi
berorientasi keluarga, terapi kelompok. Terapi psikososial mempengaruhi proses perbaikan
dan peningkatan kualitas hidup pasien skizofrenia.
Maka dari itu perlu adanya integrasi antara terapi biologis atau terapi obat-obatan
antipsikotika dengan terapi psikososial secara cermat demi perbaikan dan peningkatan
kualitas hidup pasien skizofrenia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III,
Medik.
Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis. Jakarta: EGC
Elysabeth. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 556-
570.