Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk


di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Skizofrenia adalah gangguan yang paling lazim
dan paling penting. Gangguan skizotipal memiliki banyak ciri khas dari gangguan
skizofrenik dan mungkin berkaitan secara genetik dengan skizofrenia, namun demikian,
halusinasi, waham dan gangguan perilaku yang besar dari skizofrenia. Gangguan skizofrenia
umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek
yang tidak wajar atau tumpul.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian
telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis.
Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan
harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan
manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial yang akan di
bahas pada bab selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Penatalaksanaan Skizofrenia


Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan. Pertama, terlepas dari penyebabnya, skizofrenia
terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat individual, keluarga dan sosial psikologis yang
unik. Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien tertentu telah
terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan tertolong oleh pengobatan.
Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigot
adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk menyarankan bahwa
faktor lingkungan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan. Jadi, seperti agen
farmakologis digunakan untuk menjawab ketidakseimbangan kimiawi yang diperkirakan,
strategi nonfarmakologis harus menjawab masalah non biologis. Ketiga, skizofrenia adalah
suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan teraupetik tunggal jarang mencukupi
untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi. (Sadock dan
Kaplan, 2010)

2.2 Perawatan di Rumah Sakit


Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh dan perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian dan tempat berlindung. Tujuan
utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien
dan sistem pendukung masyarakat (Sadock dan Kaplan, 2010).
Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah skit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (empat sampai enam minggu) adalah
sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit dan bahwa rumah sakit
dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif dari pada institusi yang biasanya
dan komunitas terapeutik berorientasi tilikan (Sadock dan Kaplan, 2010).
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah
kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Perawatan dir rumah sakit hatus diarahkan unttuk mengikat pasien dengan fasilitas
pascarawat, termasuk keluarganya (Sadock dan Kaplan, 2010).

2.3 Terapi Biologik


Pemakaian medikasi antipsikotik pada skizofrenia harus mengikuti lima prinsip
utama. (1) Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati. (2)
Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus digunakan
lagi. Jika tidak ada informasi tersebut, pemilihan antipsikotik biasanya didasarkan pada sifat
efek samping. Data yang sekarang tersedia menyatakan bahwa risperidon, remoxipride, dan
obat-obat yang mirip dengannya yang akan diperkenalkan di tahun-tahun mendatang
mungkin menawarkan suatu sifat efek samping yang unggul dan kemungkinan kemanjuran
yang unggul. (3) Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu
pada dosis yang adekuat. Jika percobaan tidak berhasil, suatu antipsikotik, yang biasanya
dari kelas lain, dapat dicoba. Tetapi, pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan
pasien pada dosis pertama obat antipsikotik adalah berhubungan erat dengan respons buruk
dan ketidakpatuhan di masa depan. Pengalaman negatif dapat termasuk perasaan negatif
subjektif yang aneh, sedasi berlebihan, atau suatu reaksi distonik akut. Jika reaksi awal yang
parah dan negatif ditemukan, klinisi dapat mempertimbangkan untuk mengganti obat
menjadi obat antipsikotik yang berbeda dalam waktu kurang dari empat minggu. (4) Pada
umumnya, penggunaan lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang
diindikasikan, walaupun beberapa dokter psikiatrik menggunakan thioridazine untuk
mengobati insomnia pada pasien yang mendapatkan antipsikotik lain untuk pengobatan
gejala skizofrenia. Pada pasien yang diikat pengobatan secara khusus, kombinasi
antipsikotik dan obat lain sebagai contoh carbamazepine mungkin diindikasikan. (5) Pasien
harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk
mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik (Sadock dan Kaplan, 2010).

Obat Antipsikosis
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau
antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau
tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal (Utama, 2010).
Sebaiknya skizofrenia diobati dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah
antipsikotika diperlukan, setelah kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya
diteruskan untuk beberapa tahun. Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-
gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat. Obat APG-II
bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif (Utama, 2010).

Antipsikosis Tipikal (APG-I)


Klorpromazin dan Derivat Fenotiazin
Farmakodinamik. Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek
pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena
antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor -adrenergik,
muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.
Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga memiliki
afinitas yang tinggi terhadap reseptor -adrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas
yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2 (Syarif dan Zulnida, 2009).
Susunan Saraf Pusat. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak
acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi
terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien
sebelum minum obat (Syarif dan Zulnida, 2009).
Neurologik. Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan
gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala
sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu
obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom neuroleptic
malignant, yang terakhir jarang terjadi. Dua sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskinesia tardif.
Otot Rangka. CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot rangka yang berada dalam
keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral, sebab sambungan saraf-otot
dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ (Syarif dan Zulnida, 2009).
Efek Endrokrin. CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek
samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan
peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer. Pada antipsikosis yang batu misalnya olanzapin,
quetiapin dan aripriprazol, efek samping ini minimal karena afinitasnya yang rendah
terhadap reseptor dopamin (Syarif dan Zulnida, 2009).
Kardiovaskular. Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat
biasanya sering terjadi dengan derifat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer,
curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan
karena efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada
pemakaian tioridazin berupa perpanjangan interval QT, abnormalitas segmen ST dan
gelombang T. Perubahan ini biasanya bersifat reversibel (Syarif dan Zulnida, 2009).
Farmakokinetik. Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian diantaranya
mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar
antara 25-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat
larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%) (Syarif dan Zulnida,
2009).
Sediaan. CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga tersedia dalam
bentuk larutan suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah jambu
oleh pengaruh cahaya (Syarif dan Zulnida, 2009).

Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati haloperidol (Syarif dan Zulnida, 2009).
Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang normal,
efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek
dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya (Syarif dan Zulnida, 2009).
Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ.
Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol
menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin (Syarif dan Zulnida, 2009).
Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan
sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG belum
pernah dilaporkan.
Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati
dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol
lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah pemberian dosis
tunggal (Syarif dan Zulnida, 2009).
Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania
atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik.
Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg (Syarif dan Zulnida,
2009).

Potensi Toksisitas Efek Efek


Golongan Obat
Klinik ekstrapiramidal Sedatif hipotensi
Fenotiazin
- Alifatik Klorpromazin + + +++ ++++ +++
- Piperazin Flufenazin ++++ ++++ ++ +
Tioxanten Thiotixene ++++ +++ +++ +++
Butirofenon Haloperidol ++++ +++++ ++ +
Dibenzodiazepin Klozapin +++ + ++ +++
Benzisoksazol Risperidon ++++ ++ ++ ++
Tienobenzodiazepin Olanzapin ++++ + +++ ++
Dibenzotiazepin Quetiapin ++ + +++ ++
Dihidroindolon Ziprasidon +++ + ++ +
Dihidrokarbostiril Aripriprazol ++++ + + ++

Jenis-Jenis Obat APG-I (Utama, 2010)


Nama Generik Nama Dagang Dosis Akut Dosis
mg/hari pemeliharaan
mg/hari
Phenotiazine
- Chlorpromazine Promactil 200-1000 50-400
- Thioridazine Melleril 200-800 50-400
- Perphenazine Trilafon 12-64 8-24
- Trifluoperazine Stelazine 10-60 4-30
Butyrophenones
- Haloperidol Haldol 5-20 1-15
- Diphenylbutylpiperidines
pimozide Orap 2-10 2-10
Long acting injectable
preparation
- Fluphenazine decanoate *modecate inj
- Haloperidol decanoate **haldol
decanoate
*dosis 12,5 mg setiap 1-4
minggu
**dosis 25-200 setiap 2-4
minggu

Jenis-jenis Obat Antipsikosis Atipikal (APG-II)


Clozapine
Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstrapiramidalnya
dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II
mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap
reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin
mesolimbik daripada striatum. Semua obat-obat baru, kecuali clozapine karena efek
samping dan butuh pemeriksaan darah tiap minggu, adalah obat pilihan pertama (first-line
drug). Sebaliknya, clozapine, efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2
yang dihambat. Ada dugaan bahwa efektivitas clozapine sebagai antipsikotika di dapat
karena ia juga bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A (Syarif dan Zulnida, 2009).
Clozapine efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien
refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena efek samping ekstrapiramidal yang sangat
rendah, oobat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada
pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki risiko timbulnya
agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya
dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang
lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu.
Farmakokinetik. Clozapine diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral,
kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Klozapin
secara ekstensif diikat protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir sempurna
sebelum diekskresi lewat urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam.
Sediaan. Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg (Syarif dan Zulnida,
2009).

Risperidon
Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap
reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas
antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin (Syarif
dan Zulnida, 2009).
Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di plasma
risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%.
Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi
metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan
sebagian kecil lewat feses (Syarif dan Zulnida, 2009).
Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif
maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan
ciri psikosis (Syarif dan Zulnida, 2009).
Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan berat
badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding
antipsikosis tipikal (Syarif dan Zulnida, 2009).

2.4 Terapi Psikososial


Terapi Perilaku. Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada
kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan
praktis dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah di dorong dengan pujian atau
hadiah yang dapaat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan seperti hak istimewa dan pas jalan
di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladapatif atau menyimpang seperti
berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh yang aneh dapat
diturunkan (Sadock dan Kaplan, 2010).
Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills training) sering kali dinamakan
terapi keterampilan sosial (social skills therapy), terlepas dari namanya, terapi dapat secara
langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi
farmakologis. Di samping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang
paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak
mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh, tidak
adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau tidak adanya
persepsi emosi terhadap orang lain. Perilaku tersebut secara spesifik dipusatkan di dalam
latuhan keterampilan perilaku. Latihan keterampilan perilaku melihatkan penggunaan kaset
video orang lain dan pasien, permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan
rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan (Sadock dan Kaplan, 2010).
Terapi berorientasi keluarga. Berbagai terapi berorientasi keluarga cukup berguna
dalam pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial, keluarga di mana pasien skizofrenia kembali sering kali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif (setiap hari). Pusat
dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari
situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada
pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.
Tujuan dan Perilaku Sasaran untuk Terapi Keterampilan sosial (Sadock dan Kaplan, 2010).
Fase Tujuan Perilaku Sasaran
Stabilitasi dan penilaian Menegakkan ikatan terapeutik Empati dan rapport
Menilai kinerja sosial dan Komunikasi verbal dan nonverbal
keterampilan persepsi
Menilai perilaku yang
memprovokasi emosi yang
diekspresikan
Kinerja sosial dalam keluarga Mengekspresikan perasaan Kepatuhan, penghargaan, minat
positif dalam keluarga pada yang lain
Mengajarkan strategi efektif Respons menghindar terhadap
untuk menghadapi konflik kritik, menyatakan kesukaan dan
penolakan
Persepsi soaial dalam keluarga Mengidentifikasi isi, konteks, Membaca pesan
dan arti pesan secara benar Melabel suatu gagasan
Hubungan di luar keluarga Meningkatkan keterampilan Meningkatkan maksud orang lain
sosial Keterampilan bercakap-cakap
Meningkatkan keterampilan Bersahabat
perakejuruan dan kejuruan Aktivitas rekresional
Pemeliharaan Generalisasi keterampilan ke Wawancara kerja, kebiasaan kerja
dalam situasi baru
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Penatalaksanan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi biologis atau terapi
obat-obatan tetapi juga berfokus pada terapi psikososial. Sebagian besar pasien skizofrenia
mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau
antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau
tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal.
Beberapa terapi psikososial yang dapat dilakukan adalah terapi perilaku, terapi
berorientasi keluarga, terapi kelompok. Terapi psikososial mempengaruhi proses perbaikan
dan peningkatan kualitas hidup pasien skizofrenia.
Maka dari itu perlu adanya integrasi antara terapi biologis atau terapi obat-obatan
antipsikotika dengan terapi psikososial secara cermat demi perbaikan dan peningkatan
kualitas hidup pasien skizofrenia.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III,

Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I Direktorat Jendral Pelayanan

Medik.

Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis. Jakarta: EGC

Syarif A, Zunilda D S. 2009. Obat malaria. Dalam: Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi,

Elysabeth. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 556-

570.

Utama H. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai