Anda di halaman 1dari 15

EMFISEMA

A. PENGERTIAN
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli (Price & Wilson, 2013).
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Mansjoer, 2008).
Emfisema adalah penyakit paru kronik dan progresif yang terjadi ketika dinding-dinding
alveoli rusak/hancur bersama dengan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mengalir
didalamnya. Hal ini mengurangi total area didalam paru dimana darah dan udara dapat
bersentuhan sehingga membatasi potensi untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Akibatnya terjadi penurunan aliran udara ekspirasi dan terjadi hiper-inflasi yang
menyebabkan aliran udara terhambat dan terperangkap di paru-paru, sehingga tubuh tidak
mendapatkan oksigen yang diperlukan (Price & Wilson, 2013).

Gambar 1. Perbedaan alveoli normal dan alveoli yang terkena emfisema


(Price & Wilson, 2013).
B. KLASIFIKASI
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya
yaitu:
1. Centriacinar atau Centrilobular Emfisema (CLE)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu
ruang. Penyakit ini sering kali menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada perokok berat dengan bronchitis
kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. (Price & Wilson, 2013).
2. Panacinar atau Panlobular Emfisema (PLE)
Panlobular Emfisema mempengaruhi bagian bawah paru-paru. Jenis emfisema ini
disebabkan terutama karena kekurangan enzim alfa-1 antitrypsin, yang penting untuk
fungsi normal paru-paru. Merupakan bentuk emfisema yang kurang umum, dan dapat
dijumpai pada orang yang tidak pernah merokok/perokok pasif. (Price & Wilson, 2013).

CLE dan PLE sering kali ditandai dengan adanya bullae tetapi bisa juga tidak.
Biasanya bullae timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu
inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat
penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus
tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara
(Brunner & Suddarth, 2008).

C. PENYEBAB
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-
paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap di dalamnya. Asap rokok dan
kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru
ini (Mansjoer, 2008).
Penyebab lainnya menurut Price & Wilson (2013) yaitu :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali
pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan
enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen
S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi skunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase – Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar
tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan
timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan
makrofag alveolar (pulmonary alveolar macropage—PAM). Rangsangan pada paru
antara lain oleh asap rokok dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-
antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan
elastic paru dan kemudian emfisema
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
berlangsung. Tanda dan gejala emfisema antara lain:
1. Sesak napas
2. Batuk kronis
3. Kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun
4. Kelelahan
5. Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
6. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid)
7. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
8. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
9. Distensi vena leher selama ekspirasi (Price & Wilson, 2013).

E. PATOFISIOLOGI
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang berlebihan, kehilangan
recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke
alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke
luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru kedalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan
tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang
normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang
lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga
saluran bagian bawah paru akan tertutup. (Price & Wilson, 2013)
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun,
semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi
kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun
aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada
keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). (Price &
Wilson, 2013). Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri
(hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus
mengalami kerusakan, maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah
pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang
tinggi dalam area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema
dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung (Price & Wilson, 2013).
Sekresi Yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatkan tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernafasan yang
berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfikasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Tranversal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian atas
secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke depan
untuk dapat bernafas, menggunakan otot-otot bantu nafas. Retraksi fosa supraklavikula yang
terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi.
Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit
dan akhirnya tidak memingkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi
rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal
ini terjadi karena elastisitas alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan nafas yang
menyempit meningkatkan upaya pernafasan (Price & Wilson, 2013).
F. KOMPLIKASI
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan.
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna.
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah.
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas.
5. Pneumonia.
6. Atelektasis.
7. Pneumothoraks.
8. Meningkatkan resiko gagal nafas (Price & Wilson, 2013).

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan
area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
3. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
5. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
6. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma
7. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
8. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps
bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronchitis.
9. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil
(asma)
10. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer
11. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
12. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema)
13. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi
keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan (Mansjoer, 2008).

H. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu mencegah
penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti merokok mencegah
perkembangan penyakit.
Pengobatan / terapi farmakologi didasarkan pada gejala yang terjadi, apakah gejalanya
ringan, sedang atau berat. Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang
masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan
dengan:
1. Pemberian Bronkodilator
a. Golongan Teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan
kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. Golongan Agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol / nebulizer. Efek samping utama adalah tremor,
tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
2. Pemberian Kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi
saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid
selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
3. Mengurangi Sekresi Mucus
a. Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine
tetap kuning pucat.
b. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida,
dan amonium klorida.
c. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas
dan mengencerkan sputum.
d. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin (Mansjoer, 2008).
BRONKIOLITIS

A. PENGERTIAN

Bronkiolitis adalah penyakit virus pada saluran pernafasan bawah

yang ditandai dengan peradangan bronkioli yang lebih kecil ditandai edema

membran mukosa yang melapisi dinding bronkioli, ditambah infiltrasi sel

dan produksi mukus meningkat, yang menimbulkan obtruksi jalan nafas (Price

& Wilson, 2013).

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada

saluran nafas kecil (Bronkiolus), terjadi pada anak berusia kurang dari 2

tahun dengan insiden tertinggi sekitar usia 6 bulan (Mansjoer, 2000).

Bronkiolitis akut adalah suatu sindrom obtruksi bronkiolus yang sering

diderita bayi atau anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia

6 bulan .

Dari ketiga pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa

pengertian bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pemafasan yang

ditandai oleh obtruksi infla.masi saluran nafas kecil (Bronkiolus), Sering

mengenai anak usia dibawah 2 tahun. (Brunner & Suddarth, 2008).


B. PENGERTIAN

Bronkiolitis pada anak-anak sebagian besar disebabkan oleh

Respiratory Syncitial Virus (RSV) 50% sampai 90%. Penyebab lain adalah

parainfluenza virus, mikroplasma, adenovirus dan beberapa virus lain

(Mansjoer, 2000).

C. PATOFISIOLOGI

Bronkiolitis biasanya didahului oleh suatu infeksi saluran nafas

bagian atas yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis

akut ditandai obstruksi bronkiole yang disebabkan oleh edema, penimbunan

lendir serta debris- jebris seluler. Karena tahanan terhadap aliran udara di

dalam tabung berbanding terrbalik dengan pangkat tiga dari tabung tersebut,

maka penebalan kecil yang pada dinding brokiolus pada bayi akan

mengakibatkan pengaruh besar atas aliran udara. Tekanan udara pada

lintasan udara kecil akan meningkat baik selama fase inspirasi maupun

selama fase ekspirasi, karena jari-jari suatu saluran nafas mengecil selama

ekspirasi, maka obstruksi pernafasan akan mengakibatkan terrperangkapnya

udara serta pengisian udara yang berlebihan. (Price & Wilson, 2013).

Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas

normal di dalam paru-paru. Ventilasi yang semakin menurun pada alveolus

akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini. Retensi karbon dioksida

(hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita yang terserang


hebat. Pada umumnya semakin tinggi pernafasan, maka semakin rendah

tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak dijumpai hingga kecepatan

pernafasan melebihi 60 x / menit yang kemudian meningkat sesuai dengan

takipne yang terjadi, (Price & Wilson, 2013).

D. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik dari bronkiolitis akut biasanya didahului oleh

infeksi saluran nafas bagian atas, disertai dengan batuk pilek beberapa hari,

biasanya disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris. Anak mulai menderita

sesak nafas. makin lama makin berat, pernafasan dangkal dan cepat, disertai

serangan batuk. Terlihat juga pernafasan cuping hidung disertai retraksi

interkostal dan suprasternal, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan

terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirium memenjang disertai dengan mengi

(Wheezing). (Price & Wilson, 2013).

Ronchi nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir ekpirasi

atau permulaan ekpirasi. Pada keadaan yang berat sekali, suara pernafasan

tidak terdengar karena kemungk:inan obtruksi hampir total. Foto rontgen

menunjukkan paru-paru dalam keadaan hipererasi dan diameter antero

posterior membesar pada foto lateral. Pada sepertiga pasien ditemukan bercak

di sebabkan atelektasis atau radang. (Price & Wilson, 2013).


Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi

dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik

maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.

Bila menjumpai pasien atau bayi anak di bawah umur 2 tahun yang

menunjukkan gejala pasien asma, harus hati-hati karena dapat terjadi pada

pasien dengan bronkiolitis akut. Bedanya, pasien asma akan memberikan

respon terhadap bronkodilator, sedangkan pasien brokiolitis akut tidak. (Price &

Wilson, 2013).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang untuk bronkiolitis adalah :

1. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan

polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan

prognosis buruk, dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.

2. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam

batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik

maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.

3. Pemeriksaan radiologis : Foto dada anterior posterior, hiperinflasi paru,

pada foto lateral, diameter anteroposterior membesar dan terlihat bercak

honsolidasi ,yang tersebar.

4. Analisa gas darah : Hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis

metabolik, atau respiratorik ( Raharjoe, 1994).


F. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Oksigen 1 – 2 L / menit

2. IVFD dextrose 10 %; Na Cl 0,9 % = 3 : 1 + KCl 10 mq / 500 ml cairan

3. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap

melalui selang nasogastrik dengan feading drip.

4. Jika sekresi lendir berlebih dapat diberikan inhalasi dengan salin normal

dan beta agonis untuk memperbaiki transpor mukosilier.

5. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.

6. Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :

a. Untuk kasus bronkiolitis community base :

1) Ampicillin 100 mg / Kg BB / hari dalam 4 hari pemberian.

2) Chloramfenikol 75 mg / Kg BB / hari dalam 4 kali pemberian

b. Untuk kasus bronkiolitis hospital base :

1) Cefotaxim 100 mg / Kg BB / hari dalam 2 hari pemberian.

2) Amikasin 10 - 15 mg / Kg BB / hari dalam 2 kali pemberian

(Mansjoer, 2000)
G. PATHWAY
Faktor penyebab
Polusi, virus, bakteri

Penetrasi patogen pada


Mukosa saluran pernafasan

Infeksi saluran
Pernafasan atas

Peradangan bronkiolus

Hipertrofi kelenjar Infiltrasi sel radang Edema Hospitalisasi


Mukosa dan bronkus di bronkiolus

Aktivitas silia dan Kerusakan sel Penurunan kapasitas Cemas


Fagositosis lambat vital paru-paru

Peningkatan sekresi Aktivasi dan pelepasan Ketidak seimbangan

Bronkiolus Pirogen endogen ventilasi dan perfusi


jaringan terganggu

Kurang
Penumpukan mukus Perangsangan pusat
termoregulasi Hiposekmia
di hipotalamus

Bersihan jalan
Hipertermi Gangguan Kurang
Nafas tidak efektif
Pertukaran gas Pengetahuan

7
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2008) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Corwin, E. J. (2006) Patofisiologi. Jakarta: EGC

Mansjoer, A. (2008) Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2013) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed. 6.
Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai