Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Emfisema

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh


pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Emfisema
adalah suatu penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan pernafasan
yang pendek yang disebabkan oleh kesulitan untuk menghembuskan seluruh
udara keluar dari paru-paru karena tekanan udara yang berlebihan dari kantung
udara di dalam paru-paru (alveoli). Normalnya ketika bernafas, alveoli
mengembang ketika udara masuk untuk pertukaran gas antara alveoli dan darah.
Sewaktu menghembuskan nafas, jaringan elastis di alveoli menyebabkan alveoli
kembali menguncup, memaksa udara untuk keluar dari paru-paru melalui saluran
pernafasan.1 Pada emfisema, hilangnya elastisitas yang demikian karena
kerusakan akibat bahan kimia dari asap tembakau atau polutan yang menyebabkan
alveoli berekspansi terus menerus dan udara tidak dapat keluar sama sekali.
Ketika jaringan kehilangan elastisitasnya pada saluran pernafasan kecil di atas
alveoli, hal ini menyebabkan terjadinya pengempisan saluran pernafasan, yang
lebih lanjut lagi dapat membatasi udara mengalir keluar. Pada kasus berat, hal ini
dapat menyebabkan pelebaran rongga dada, yang dikenal dengan nama barrel
chest.2 Orang yang menderita emfisema biasanya bernafas dengan mengerutkan
bibir karena bibir hanya sedikit terbuka ketika mereka menghembuskan nafas,
meningkatkan tekanan pada saluran pernafasan yang mengempis dan
membukanya, membiarkan udara yang terperangkap agar dapat dikosongkan.
Pengobatan seperti bronkoldilator dan kortikosteroid, tersedia untuk membantu
mengurangi gejala. Berhenti merokok adalah satu-satunya cara untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut dari kondisi ini.3,4

Terdapat tiga tipe emfisema:

a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah
sampai bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umunya juga merusak paru-
paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering
kali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan pasien
dengan defisiensi enzim alfa-antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema
dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan.5
2.2 Etiologi
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungna yang
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) 7
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakan faktor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1 antitripsin adalah satu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang
memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila
penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-
gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada
seorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu melipatkan infeksi paru
bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi
bronkhitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang
kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase-Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema.
Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN, dan
makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophag-PAM). Rangsangan
pada paru antara lain asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase
bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-
protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun.
Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis
paru dan kemudian emfisema.8
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan
angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang
padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat
menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambh merokok resiko akan lebih tinggi.8
6. Pengaruh usia
2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.


Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat
menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65% laki-laki dan
15% wanita.

Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk


melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan
mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26%, kedua terbanyak setelah
tuberkulosis paru (65%). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema
paru.9

2.4 Patofisiologi

Faktor-faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu inflamasi dan


pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan rekoil elastik
jalan napas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu proses yang
dipercepat oleh infeksi kambuhan), area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinyu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida
mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida
dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.10
Dinding alveolar terus mengalami kerusakan sehingga jaring-jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (cor-pulmonal) adalah
salah satu komplikasi emfisema. Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan
individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk
mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru-paru yang
mengalami emfisema sehingga memperberat masalah. Individu dengan
emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai dengan peningkatan tahanan
jalan napas) ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru-paru, dimana paru-
paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Pada beberapa kasus, barrel chest
terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian atas secara abnormal
bentuknya menjadi membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot aksesori pernapasan.
Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu
melengkung ke depan. Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga
betrkontraksi saat inspirasi, terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital,
ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan.
Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dari volume ekspirasi
kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1;VC) rendah. Hal ini terjadi
karena elastisisas alveoli sangat menurun. Upaya yang dibutuhkan klien untuk
menggerakan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang
menyempit meningkatkan upaya pernapasan. Kemampuan untuk mengadaptasi
terhadap perubahan kebutuhan oksigenasi sangat terganggu.11

2.5 Manifestasi Klinis

Kebanyakan pasien datang dengan gejala yang sangat tidak spesifik berupa
sesak napas kronis dan batuk dengan atau tanpa produksi dahak. Seiring
berkembangnya proses penyakit, sesak napas dan batuk semakin memburuk.
Awalnya, terdapat dispnea saat aktivitas dengan aktivitas fisik yang signifikan,
yang kemudian berkembang menjadi sesak dengan aktivitas sederhana sehari-hari
dan tidak membaik dengan istirahat.12

Pasien dapat kehilangan berat badan secara signifikan karena peradangan


sistemik dan peningkatan energi yang dihabiskan untuk kerja pernapasan. Selain
itu, sering terjadi eksaserbasi intermiten seiring dengan meningkatnya
penyumbatan saluran napas. Episode eksaserbasi PPOK dapat ditandai dengan
peningkatan sesak napas, peningkatan keparahan batuk, dan peningkatan dahak,
yang biasanya disebabkan oleh infeksi atau faktor lingkungan.13

Pada tahap awal penyakit, pemeriksaan fisik mungkin normal. Pasien dengan
emfisema biasanya disebut sebagai “pink puffers,” yang berarti cachectic dan non-
cyanotic. Ekspirasi melalui bibir yang mengerucut meningkatkan tekanan saluran
napas dan mencegah kolaps saluran napas selama pernapasan, dan penggunaan
otot bantu pernapasan mengindikasikan penyakit lanjut.

Perkusi mungkin normal pada awal penyakit. Pemeriksaan selanjutnya dapat


berkisar dari prolnged ekspirasi atau wheezing saat ekspirasi hingga peningkatan
resonansi, yang menunjukkan hiperinflasi seiring dengan meningkatnya obstruksi
jalan napas. Pada auskultasi terdengar suara napas yang jauh, wheezing, ronki
pada dasar paru, dan/atau bunyi jantung jauh.14
2.6 Pemeriksaan Penunjang

Emfisema adalah diagnosis patologis. Oleh karena itu, pemeriksaan


laboratorium dan radiografi rutin tidak diindikasikan.

Pulmonary function testing (PFT), khususnya spirometri, adalah diagnosis


utama. Tes pasca bronkodilator dapat dilakukan pada pasien dengan nilai
abnormal. PPOK hanya bersifat reversibel sebagian atau ireversibel dengan
bronkodilator, dan FEV1/FVC pasca bronkodilator kurang dari 0,07, sehingga
bersifat diagnostik.8,9,10,11

Penentuan stadium GOLD berdasarkan tingkat keparahan keterbatasan aliran


udara adalah sebagai berikut:

1. Ringan dengan FEV1 lebih besar atau sama dengan perkiraan 80%.

2. Sedang dengan FEV1 kurang dari perkiraan 80%.

3. Parah dengan FEV1 kurang dari 50% prediksi

4. Sangat parah dengan FEV1 kurang dari perkiraan 30%.

Pengukuran volume paru-paru yang menunjukkan adanya perangkap udara


pada emfisema menunjukkan peningkatan volume residu dan kapasitas total paru-
paru. Kapasitas difusi karbon monoksida berkurang karena kerusakan
emfisematous pada membran paru kapiler alveolar.15

Rontgen hanya membantu dalam diagnosis jika emfisema parah, namun


biasanya merupakan langkah pertama ketika mencurigai adanya PPOK untuk
menyingkirkan penyebab lainnya. Hancurnya alveoli dan terperangkapnya udara
menyebabkan hiperinflasi paru-paru dengan mendatarnya diafragma, dan jantung
tampak memanjang dan berbentuk tabung.14

Analisa gas darah biasanya tidak diperlukan pada PPOK ringan sampai
sedang. Hal ini dilakukan ketika saturasi oksigen berada di bawah 92% atau ketika
penilaian hiperkapnia diperlukan pada obstruksi aliran udara yang parah.
Pemeriksaan diagnostik yaitu:11
a. Pemeriksaan laboratorium

Lapisan sputum terdiri atas pus dan sel-sel rusak (bawah), sereus
(tengah), dan busa (atas). Sputum berbau busuk menunjukkan infeksi
kuman anaerob. Pemeriksaan darah tepi dan urin.
b. Pemeriksaan radiologi
Corakan paru ditemukan lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi
kabur, daerah yang terkena corakan tampak mengelompok, terkadang
terlihat gambaran seperti sarang tawon dan kistik (berdiameter 2 cm),
serta terdapat garis-garis batas permukaan udara-cairan.17

Gambar 2.1 X-Ray Subtle Paraseptal Emphysema7


c. AGD (Analisa Gas Darah)
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
d. Bronkogram
Menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.
e. EKG
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.

2.7 Tatalaksana
a. Bronkodilator
Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan napas karena
preparat ini melawan baik edema mukosa maupun spasme muskular
dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan napas maupun
dalam memperbaiki pertukaran gas. Medikasi ini mencangkup agonis
β-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin,
aminophilin) yang menghasilkan dilatasi bronchial melalui mekanisme
yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan,
intravena, per rektal, atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan
melalui aerosol bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser
dorongan-pompa, inhaler dosis-terukur, atau IPPB. Efek samping yang
muncul yaitu takikardi, disritmia jantung, dan perangsangan sistem
saraf pusat.18
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan
bronkiolus dan membuang sekresi tidak menunjukan hasil. Prednison
biasanya diresepkan. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal
dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang mungkin klien
mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati
steroid, dan pembentukan katarak.
c. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien
dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80
mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per
hari, dengan 24 jam lebih baik.
d. Terapi Aerosol
Aerosolisasi merupakan proses membagi partikel menjadi serbuk yang
sangat halus dan bronkodilator salin dan mukolitik sering kali
digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel
dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi
dideposisikan dalam-dalam didalam percabangan trakeobronkial.
Aerosol yang dinebulizer menghilangkan bronkospasme, menurunkan
edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini
memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu
mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.
Perbaikan saturasi oksigen dari darah arteri dan reduksi kandungan
karbondioksidanya membantu dalam meghilangkan hipoksia klien dan
memberikan peredaran besar akibat keletihan pernapasan yang konstan.
e. Agonis beta
Medikasi awal yang digunakan dalam mengobati asma karena agen ini
mendilatasi otot-otot polos bronkial, meningkatkan gerakan siliaris,
menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan dapat menguatkan efek
bronkodilatasi dari kortikosteroid. Yang paling umum digunakan
adalah epinefrin, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine,
dan terbulatn. Obat ini diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalur
inhalasi akan mempengaruhi bronkiolus secara langsung dan
mempunyai efek samping paling sedikit.
f. Methysantin
Mempunyai efek bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos
bronkus,meningkatkan gerakan mukus dalam jalan napas, dan
meningkatkan kontraksi diafragma. Jenis yang sering digunakan yaitu
aminofilin diberikan secara intravena namun harus hati-hati, jika
terlalu cepat dapat terjadi takikardi atau disritmia jantung dan teofilin
diberikan secara peroral. Metilsantin digunakan dalam serangan akut
karena awitannya lebih lambat dibanding agonis beta. Ada beberapa
faktor yang dapat mengganggu metabolisme metilsantin, terutma
sekali teofilin, termasuk merokok, gagal jantung, penyakit hepar
kronis, kontraseptif oral, eritromisin, dan simetidin.18
g. Anti Kolinergik
Antikolinergik secara khusus mungkin bermanfaat terhadap asmatik
yang bukan kandidat untuk agonis beta dan metilsantin karena
penyakit jantung yang mendasari. Derivat amonium kuaternari seperti
atropin metilnitrat dan ipratropium bromida (atrovent) menunjukkan
efek bronkodilator yang sangat baik dengan efek samping sistemik
minimal. Agent ini diberikan secara inhalasi. Namun antikolinergik
seperti atropin tidak pernah digunakan untuk pengobatan asma rutin
karena efek samping sistemiknya seperti kekeringan pada mulut,
penglihatan mengabur, berkemih anyang-anyangan, palpitasi dan
flusing.18
h. Inhibitor Sel Mast
Natrium kromolin suatu inhibitor sel mast adalah bagian integral dari
pengobatan asma. Medikasi ini diberikan melalui inhalasi. Medikasi ini
mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik, dengan demikian
mengakibatkan bronkodiltasi dan penurunan inflamasi jalan napas.
Natrium kromolin sangat bermanfaat diberikan antar serangan atau
sementara asma dalam remisi. Obat ini dapat mengakibatkan
pengurangan penggunaan medikasi lain dan perbaikan menyeluruh
dalam gejala.18
2.8 Komplikasi
a. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernafasan
b. Daya tahan tubuh kurang sempurna
c. Proses peradangan yang kronis di saluran napas
d. Tingkat kerusakan paru makin parah.
e. Pneumonia
f. Atelaktasis
g. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
2.9 Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur


dan gejala klinis waktu berobat.20
Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan:
a. Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
b. Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat
dan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rustagi N, Singh S, Dutt N, Kuwal A, Chaudhry K, Shekhar S,


Kirubakaran R. Efficacy and Safety of Stent, Valves, Vapour ablation,
Coils and Sealant Therapies in Advanced Emphysema: A Meta-
Analysis. Turk Thorac J. 2019 Jan 01;20(1):43-60. [PMC free article]
[PubMed]
2. Fernandez-Bussy S, Labarca G, Herth FJF. Bronchoscopic Lung Volume
Reduction in Patients with Severe Emphysema. Semin Respir Crit Care
Med. 2018 Dec;39(6):685-692. [PubMed]
3. Dunlap DG, Semaan R, Riley CM, Sciurba FC. Bronchoscopic device
intervention in chronic obstructive pulmonary disease. Curr Opin Pulm
Med. 2019 Mar;25(2):201-210. [PubMed]
4. Asri H, Zegmout A. [The two major complications of tobacco in a single
image!]. Pan Afr Med J. 2018;30:252. [PMC free article] [PubMed]
5. Thomson NC. Challenges in the management of asthma associated with
smoking-induced airway diseases. Expert Opin Pharmacother. 2018
Oct;19(14):1565-1579. [PubMed]
6. Zhang H, Dong L, Kang YK, Lu Y, Wei HH, Huang J, Wang X, Huang K.
Epidemiology of chronic airway disease: results from a cross-sectional
survey in Beijing, China. J Thorac Dis. 2018 Nov;10(11):6168-6175. [PMC
free article] [PubMed]
7. Mouronte-Roibás C, Fernández-Villar A, Ruano-Raviña A, Ramos-
Hernández C, Tilve-Gómez A, Rodríguez-Fernández P, Díaz ACC,
Vázquez-Noguerol MG, Fernández-García S, Leiro-Fernández V. Influence
of the type of emphysema in the relationship between COPD and lung
cancer. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2018;13:3563-3570. [PMC free
article] [PubMed]
8. Harrison R, Knowles S, Doherty C. Surgical Emphysema in a Pediatric
Tertiary Referral Center. Pediatr Emerg Care. 2020 Jan;36(1):e21-
e24. [PubMed]
9. Buttar BS, Bernstein M. The Importance of Early Identification of Alpha-1
Antitrypsin Deficiency. Cureus. 2018 Oct 25;10(10):e3494. [PMC free
article] [PubMed]
10. Cheng T, Li Y, Pang S, Wan HY, Shi GC, Cheng QJ, Li QY, Pan ZL,
Huang SG. Emphysema extent on computed tomography is a highly
specific index in diagnosing persistent airflow limitation: a real-world study
in China. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2019;14:13-26. [PMC free
article] [PubMed]
11. Bhatt SP, Bhakta NR, Wilson CG, Cooper CB, Barjaktarevic I, Bodduluri
S, Kim YI, Eberlein M, Woodruff PG, Sciurba FC, Castaldi PJ, Han MK,
Dransfield MT, Nakhmani A. New Spirometry Indices for Detecting Mild
Airflow Obstruction. Sci Rep. 2018 Nov 30;8(1):17484. [PMC free article]
[PubMed]
12. Campo MI, Pascau J, José Estépar RS. EMPHYSEMA
QUANTIFICATION ON SIMULATED X-RAYS THROUGH DEEP
LEARNING TECHNIQUES. Proc IEEE Int Symp Biomed Imaging. 2018
Apr;2018:273-276. [PMC free article] [PubMed]
13. Storre JH, Callegari J, Magnet FS, Schwarz SB, Duiverman ML, Wijkstra
PJ, Windisch W. Home noninvasive ventilatory support for patients with
chronic obstructive pulmonary disease: patient selection and
perspectives. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2018;13:753-760. [PMC
free article] [PubMed]
14. Press VG, Cifu AS, White SR. Screening for Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. JAMA. 2017 Nov 07;318(17):1702-1703. [PubMed]
15. Calverley PMA, Anderson JA, Brook RD, Crim C, Gallot N, Kilbride S,
Martinez FJ, Yates J, Newby DE, Vestbo J, Wise R, Celli BR., SUMMIT
(Study to Understand Mortality and Morbidity) Investigators. Fluticasone
Furoate, Vilanterol, and Lung Function Decline in Patients with Moderate
Chronic Obstructive Pulmonary Disease and Heightened Cardiovascular
Risk. Am J Respir Crit Care Med. 2018 Jan 01;197(1):47-55. [PubMed]
16. Wood-Baker RR, Gibson PG, Hannay M, Walters EH, Walters JA.
Systemic corticosteroids for acute exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2005 Jan 25;
(1):CD001288. [PubMed]
17. Haruna A, Muro S, Nakano Y, Ohara T, Hoshino Y, Ogawa E, Hirai T,
Niimi A, Nishimura K, Chin K, Mishima M. CT scan findings of
emphysema predict mortality in COPD. Chest. 2010 Sep;138(3):635-
40. [PubMed]
18. Takei N, Suzuki M, Makita H, Konno S, Shimizu K, Kimura H, Kimura H,
Nishimura M. Serum Alpha-1 Antitrypsin Levels and the Clinical Course of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Int J Chron Obstruct Pulmon
Dis. 2019;14:2885-2893. [PMC free article] [PubMed]
19. Singh D, Agusti A, Anzueto A, Barnes PJ, Bourbeau J, Celli BR, Criner GJ,
Frith P, Halpin DMG, Han M, López Varela MV, Martinez F, Montes de
Oca M, Papi A, Pavord ID, Roche N, Sin DD, Stockley R, Vestbo J,
Wedzicha JA, Vogelmeier C. Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Lung Disease: the
GOLD science committee report 2019. Eur Respir J. 2019
May;53(5) [PubMed]
20. Oey I, Waller D. The role of the multidisciplinary emphysema team
meeting in the provision of lung volume reduction. J Thorac Dis. 2018
Aug;10(Suppl 23):S2824-S2829. [PMC free article] [PubMed]

Anda mungkin juga menyukai