A. PENGERTIAN
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding
alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan
dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien
mengalami gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel.
Dibarengi dengan bronchitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab
utama kecacatan.
Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling
berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh
inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga
menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan
udara).
Definisi emfisema menurut beberapa ahli :
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan
terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Kus Irianto, 2004, hlm.
216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal
ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya
(Robbins, 1994, hlm. 253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan
luas permukaan alveoli (Corwin, 2000, hlm. 435).
4. Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang
disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi
dinding alveolar (The American Thorack society 1962).
B. ETIOLOGI
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat
predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha1 yang merupakan suatu enzim inhibitor.
Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru.
Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok,
polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami
gejala-gejala obstruktif kronik. Sangat penting bahwa karier genetik ini harus
diidentifikasikan untuk memungkinkan modifikasi faktor-faktor lingkungan untuk
menghambat atau mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit. Konseling genetik
juga harus diberikan.
C. FAKTOR PENCETUS
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik
diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat
penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan
timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara
patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia,
bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan
bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian
dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan
angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin
kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
7. Pengaruh Usia
8. Obstruksi Jalan Nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga
terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu
inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada ekspirasi. Etiologinya adalah benda
asing di dalam lumen dengan reaksi local, tumor intrabronkial di mediastinum,
konginetal. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek
tulang rawan bronkus.
D. EPIDEMIOLOGI
Bronkitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada
seorang penderita. Kadang-kadang bronkitis kronis yang lebih banyak, kadang-
kadang emfisema paru yang lebih banyak. Jarang yang hanya bronkitis kronis saja
atau emfisema saja. Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita
emfisema. Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang
dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan
15 % wanita. Sedangkan data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Penderita
bronkitis kronis dan emfisema paru yang dirawat di Subunit Pulmonologi, UPF
/Laboratorium Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Unpad
Bandung selama tahun 1968-1978 adalah 6,21% dari seluruh penderita paru,
merupakaan urutan ke-enam terbanyak.
E. PATOFISIOLOGI
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2
dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya
destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan
kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum
kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebsdan di antara
parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau
darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal
jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda
biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari
elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT
merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT
dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam
paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan
jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas.
Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak.
Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease
inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan
jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru
normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar
yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan
tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik
jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan
tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih
banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang
rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung
pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan
tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau
terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan
dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus
atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar
dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang
bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pathway
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit – penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat
dua bentuk kelainan foto dada pada emfiseama paru, yaitu :
a. Gambaran defesiensi arteri overinflasi terlihat diafragma yang rendah dan
datar, kadang-kadang terlihat konkaf. Oligoemia penyempitan pembuluh darah
pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema
sentrilobular dan bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan kedistal fungsi paru
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk
difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Ventilasi yang hamper adekuat masih sering dapat di pertahankan oleh pasien
emfisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien
hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clockwise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada
hantaran II, III, dan Avf. Voltase QRS rendah . V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di
V6 rasio R/S kurang dari 1.
5. Sinar x dada
Dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan
area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
6. Kimia darah
Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema
primer.
7. Sputum
Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
G. PENATALAKSAAN (MEDIS & PERAWATAN)
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk
memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas
untuk menghilangkan hipoksia.
1. Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jaln nafas karena preparat ini melawan baik edema
mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi
obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini
mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin
(teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme
yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena,
per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol
bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis
terukur, atau IPPB.
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme,
menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini
memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses
inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan
Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi
tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin,
atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen
antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan
dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang
sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada
dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal
dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus
peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan
katarak.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah
untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat
oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EMFISEMA
I. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi :
A. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan penyakit emfisema
bervariasi, antara lain: sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah
kanan pada saat bernafas. Banyak sekeret keluar ketika batuk, berwarna kuning
kental, merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan penyakit emfisema biasanya diawali dengan sesak nafas , batuk,
dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas, banyak secret
keluar ketika batuk, secret berwarna kuning kental , merasa cepat lelah ketika
melakukan aktivitas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan juga apakah pasien sebelumnya pernah menderita penyakit
lain seperti TB Paru, DM, Asma, Kanker,Pneumonia dan lain-lain. Hal ini
perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya faktor predisposisi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang
sama atau mungkin penyakit-penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan
penyakit emfisema.
C. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1. Bernafas
Pasien umumnya mengeluh sesak dan kesulitan dalam bernafas karena
terdapat sekret.
2. Makan dan Minum
Observasi seberapa sering pasien makan dan seberapa banyak pasien
menghabiskan makanan yang diberikan. Minum seberapa banyak dan
seberapa sering pasien minum.
3. Eliminasi
Observasi BAB dan BAK pasien, bagaimana BAB atau BAK nya normal
atau bermasalah, seperti dalam hal warna feses /urine, seberapa sering,
seberapa banyak, cair atau pekat, ada darah tau tidak,dll.
4. Gerak dan Aktivitas
Observasi apakah pasien masih mampu bergerak, melakukan aktivitas atau
hanya duduk saja(aktivitas terbatas). Biasanya pasien dengan anemia
mengalami kelemahan pada tubuhnya akibat kurangnya suplai oksigen ke
jaringan tubuh.
5. Istirahat dan tidur
Kaji kebutuhan/kebiasaan tidur pasien apakah nyenyak/sering terbangun di
sela-sela tidurnya.
6. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus
dibantu oleh orang lain. Berapa kali pasien mandi ?
7. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C),
hiperpireksia=40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
8. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Pasien
dengan penyakit emfisema biasanya mengalami sesak nafas, batuk, dan
nyeri di daerah dada.
9. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakitnya.
10. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakah pasien mampu berkomunikasi dengan keluarganya,
seberapa besar dukungan keluarganya.
11. Prestasi dan Produktivitas
Prestasi apa yang pernah diraih pasien selama pasien berada di bangku
sekolah hingga saat usianya kini.
12. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kalipasien sembahyang,
dll.
13. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja
meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik
yang tepat saat depresi.
14. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi mual yang dirasakan
dan caranya meningkatkan nafsu makannya.Disinilah peran kita untuk
memberikan HE yang tepat.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Rambut dan hygene kepala
Warna rambut hitam, tidak berbau, rambut tumbuh subur, dan kulit kepala
bersih.
2. Mata ( kanan/kiri )
Posisi mata simetris, konjungtiva merah muda, skelera putih, dan pupil isokor,
dan respon cahaya baik.
3. Hidung
Simetris kiri dan kanan, tidak ada pembengkakkan, dan berfungsi dengan baik.
4. Mulut dan tenggorokan
Rongga normal, mukosa terlihat pecah-pecah, tonsil tidak ada pembesaran.
5. Telinga
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, dan pendengaran tidak terganggu.
6. Leher
Kelenjer getah bening, sub mandibula, dan sekitar telinga tidak ada
pembesaran.
7. Dada/ thorak
a. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi,
klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara
yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir
dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot
bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat
aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan
mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan
kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang
tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya,
bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan
tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru
yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf dihasillkan.
Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan
sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan
kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi.
8. Kardiovaskular
a. Irama jantung regular; S1,S2 tunggal.
b. Nyeri dada ada, biasanya skala 6 dari 10
c. Akral lembab
d. Saturasi Hb O2 hipoksia
9. Persyarafan
a. Keluhan pusing ada
b. Gangguan tidur ada
10. Perkemihan B4 (bladder)
a. Kebersihan normal
b. Bentuk alat kelamin normal
c. Uretra normal
11. Pencernaan
a. Anoreksi disertai mual
b. Berat badan menurun
12. Muskuloskeletal/integument
a. Berkeringat
b. Massa otot menurun
E. Data Penunjang
1. Analisa gas darah
- Pa O2 : rendah (normal 80 – 100 mmHg)
- Pa CO2 : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
- Saturasi hemoglobin menurun.
- Eritropoesis bertambah
2. Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen
3. Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat obstruksi.
4. Foto sinar X rontgen
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Analisa Data
Data Fokus Data Standar Masalah Keperawatan
DO :
DO :
DS : Perubahan nutrisi
Pasien mengatakan kurang dari kebutuhan
Nafsu makan pasien tubuh
tidak nafsu makan
meningkat, pasien
dan mual.
tidak merasa mual.
DO :
Berat badan pasien
Berat badan ideal,
menurun, tonus otot
tonus otot normal,
menurun, pasien
pasien tampak segar
tampak lemah.
DS : Intoleransi aktivitas
DO :
Pernafasan normal :
Pernafasan
16-20 ×/menit
meningkat setelah
melakukan aktivitas
Pasien tidak cepat
Cepat lelah saat
lelah saat beraktivitas
beraktivitas
B. Analisa Masalah
1. Problem : Kerusakan pertukaran gas
Etiologi : Ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
Symptom : Pasien mengatakan sesak, dispnea, pasien tampak gelisah,
tampak sianosis pada bibir pasien , nilai PO2 menurun,nilai PCO2 menurun,
RR = 24 ×/menit.
4. P : Intoleransi aktivitas
E : Keletihan dan hipoksemia.
S : Pasien selalu mengeluh kelelahan dan lemas, pernafasan meningkat
setelah melakukan aktivitas, cepat lelah saat beraktivitas
C. Diagnosa Keperawatan
III. INTERVENSI
B. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan emfisema, yaitu:
Diagnosa Tujuan &
No Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria hasil
1 Kerusakan Tujuan: Perbaikan A. Berikan bronkodilator 1. Bronkodilator
pertukaran gas dalam pertukaran sesuai yang mendilatasi jalan
yang berhubu- gas. diresepkan. napas dan
ngan dengan Kriteria hasil: B. Evaluasi tindakan membantu melawan
ketidaksamaan 1. Mengungka nebuliser, inhaler edema mukosa
ventilasi- p-kan dosis terukur, atau bronchial dan
perfusi. pentingnya IPPB. spasme muscular.
bronkodilator. C. Instruksikan dan 2. Mengkombinasikan
2. Melaporkan berikan dorongan medikasi dengan
penurunan pada pasien pada aerosolized
dispnea. pernapasan bronkodsilator
3. Menunjukk diafragmatik dan nebulisasi biasanya
an perbaikan batuk efektif. digunakan untuk
dalam laju D. Berikan oksigen mengendalikan
aliran ekspirasi. dengan metode yang bronkokonstriksi.
4. Menunjukk diharuskan. 3. Teknik ini
an gas-gas memperbaiki
darah arteri ventilasi dengan
yang normal. membuka jalan
napas dan
membersihkan jalan
napas dari sputum.
Pertukaran gas
diperbaiki.
4. Oksigen akan
memperbaiki
hipoksemia.
V. EVALUASI
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien
terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan
telah dicapai. Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap
tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya
dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi
keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan.
1. Diagnosa I
Individu atau pasien akan:
a. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
b. Melaporkan penurunan dispnea.
c. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
d. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
2. Diagnosa II
Individu atau pasien akan:
a. Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas/hari.
b. Batuk berkurang.
c. Jalan napas kembali efektif.
3. Diagnosa III
Individu atau pasien akan :
a. Menunjukkan peningkatan BB
b. Tidak mengalami tanda malnutrisi.
c. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan
BB yang tepat
4. Diagnosa IV
Individu atau pasien akan :
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktifitas
b. Memperlihatkan kamajuan (ketingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang
mungkin)
c. Melaporkan reduksi gejala-gejala intoleransi aktivitas